+628xxxxxxxxxx Walaikumsalam, lusa ya ambil ke bengkel yang ada di dekat RS kemarin. Setelah makan siang kita ketemuan.
+628xxxxxxxxxxs hare location.
.
.
Kering sudah menunggu, ini sudah 2 jam berlalu dari jam janji pak Raffa. Waktu liburku yang berharga berkurang sia-sia.
“Maaf saya terlambat,” ungkap Raffa sedikit terengah, baru datang.
Aku menatapnya tajam “Saya menunggu selama dua jam, bapak tau bagi saya hari libur itu sangat berarti,” omelku meluapkan kekesalan padanya. “Tapi bapak membohongi saya perihal motor kakak saya. Itu sudah diambil kemarin sore!”
Raffa terlihat sedikit bingung dengan perkataanku. Dia tidak tau atau hanya pura-pura tidak tau? Aku tambah kesal melihatnya.
“Maaf Alia, saya tidak tau,” Raffa menyanggah dengan lembut.
“Karena bapak sudah datang, saya sudah menepati janji untuk datang kesini. Permisi!” pamitku beranjak meninggalkannya.
“Tunggu Alia!” panggil Raffa, aku mendengarnya hanya saja ah sudahlah.
Grep!
Tanganku terasa ditarik cukup keras, sial! Kenapa jaraknya dekat sekali “Lepaskan!” tolakku.
Dia memberi jarak tanpa melepasku “Kamu pulang pakai apa? Biar saya antar,” tawarnya.
Aku menggeleng pelan “Tidak usah, saya pulang sendiri saj,” tolakku halus. Berusaha melepaskan tangan besar milik Raffa. Bukan mahram, malu sama hijab.
Buaya keras kepala! Raffa menyeretku menuju mobil milikknya. Mau dibawa kemana aku? “Lepas!” pintaku setengah berbisik takut membuat orang di sekitar salah paham dan kami jadi pusat perhatian. Aku masih tau diri dengan rasa malu, entah kalau buaya yang bernama Raffa itu.
Raffa membuka pintu mobilnya “Masuk!” perintahnya mutlak, sangat tegas. Menyebalkan.
Aku merasa terdorong untuk masuk ke dalam mobil, pemaksa ulung. Sungguh aku ingin keluar saja saat ada kesempatan, tapi setelah melirik ke arah Raffa nyaliku ciut. Tatapan yang sangat dingin, berbeda dengan di rumahsakit tempo hari.
“Alamatmu dimana nona Alia?"
Aku tak ingin menjawab.
“Alia?” panggilannya melembut.
Aku terhipnotis sejenak, sungguh buaya berpengalaman. Aku melihat sekelilingnya mobil itu dilengkapi navigasi. Dia butuh alamat bukan? Aku memasukkan alamat rumahku di sana.
“Terimakasih,” ujar Raffa sangat lembut. “Saya tadi melewatkan makan siang, apa tak keberatan jika kita mampir sejenak di sebuah restoran?” tanyanya mencoba untuk mencairkan suasana.
“Keberatan,” jawabku cepat.
“Huh?”
“Maksud saya, lebih baik antar saya pulang saja.” Ternyata berkomunikasi dengan yang orang tua itu sulit. “Lagi pula saya tidak la—
–kruyuk~~
—par”, lanjutku menahan malu. Perut sialan.
Aku tau Raffa sedikit menahan tawanya “Baiklah, tempat makan terlebih dahulu lalu pulang,” putusnya sepihak.
.
.
Raffa membawaku ke sebuah tempat makan sederhana di jalan menuju rumah. Dia menaikkan penilaianku sedikit, dia mau untuk makan di tempat seperti ini. Tidak seperti dugaanku yang cukup gila.
“Maaf soal dibengkel tadi. Saya benar-benar tidak tahu, mungkin Chandra yang mengurusnya tanpa mengkonfirmasikan lagi. Maaf juga soal menarikmu dengan paksa,” ungkap Raffa dengan tulus di tengah makan.
Aku sedikit tertegun mendengar penuturan Raffa, dia melembut. “Iya tak masalah. Saya juga sedikit lelah, terimakasih atas makanannya.”
“Apa lain kali saya bisa mengajakmu untuk makan?”
“Apa?”
“Eum, maksud saya itu..emm.. Saya berniat mengajak makan kamu dengan kakakmu sebagai permintaan maaf,” ajak Raffa sedikit terbata “ah, saya akan pergi bersama Chandra juga,” tambahnya seperti menyembunyikan tujuannya.
Aku tersenyum melihat tingkah pria dewasa di depanku ini. Kupikir hanya di usia kami para lelaki terlihat seperti itu. “Oh, tentu saja. Nanti saya sampaikan kepada kak Tama.”
“Alia.”
“Ya?”
“Apa saya terlalu tua untuk terus mempertahankan bahasa yang formal ini?” tanya Raffa tiba-tiba.
Aku tak bisa menahan tawaku mendengar pertanyaan dari Raffa. “Maaf,” selaku mencoba untuk tak merasa mengejeknya “Karena bapak berpakaian formal, jadi itu otomatis saja.”
“Jika saya memakai pakaian yang lebih kasual apa kita bisa meninggalkan situasi formal ini. Seperti saat pertama kali bertemu?”
Raffa itu sedikit lucu.
“Mungkin,” jawabku santai lalu kembali tertawa pelan.
“Kamu cukup memanggilku degan nama itu lebih baik.”
Aku menggeleng pelan “Itu tidak baik, tidak sopan. Bapak terlihat jauh lebih tua dari saya,” terangku menolak tawaran panggilan itu.
Dia tertegun, mudah sekali terbaca atau dia dengan sengaja melakukannya?
“Alia sudah punya pacar?"
Deg! Sudah kuduga tapi tetap saja itu mengejutkan. Pacar ya, aku ingin membuang kata itu jauh sekali sehingga tak muncul lagi di pendengaranku.
“Maaf saya sedikit lancing,” ujarnya sedikit merasa bersalah.
“Tidak apa-apa,” sergahku cepat agar suasana tidak menjadi canggung kembali “Saya tidak memilikinya.”
“Apa dia menyakitimu?”
Kenapa dia harus bertanya seperti itu?
“Apa maksud pak Raffa?”
Raffa menghela nafasnya pelan “Kamu sempat terdiam tadi, kupikir kamu pernah terluka. Saya janji tidak akan melakukannya.”
Apa maksud pak tua ini? Pedofil. Aku sangat terkejut, dia seolah menarikku untuk membuka diri tapi dia terlalu perasa. Itu tidak baik, aku tak ingin terjebak kedua kalinya.
“Maaf pak, saya harus pulang,” ujarku mengalihkan topik yang cukup sensitif ini.
“Baiklah saya antar sesuai janji Alia.”
Maaf Raffa, mungkin jika dalam posisi yang berbeda aku akan meladeninya dengan waras. Aku belum siap untuk membuka diri. Senior sialan.
.
.
Sial!
Raffa sudah pulang dari tadi tapi aku masih memikirkannya. Aku pikir itu pertanyaan biasa dari orang asing tapi, sepertinya tidak. Itu membuatku tergangu, pacar—orang yang tega meninggalkannya tanpa kejelasan.
“Raffa ya? Kata kakak dia cukup tertarik denganku. Bolehkah aku berharap padanya?”
Pak Raffa
Ini mengangguku, maaf soal pembicaraan di tempat makan tadi.
Segera hubungi saya untuk waktu rencana makan bersama kita.
Pak Raffa Siang Alia, sudah makan hari ini? Saya mengirimkan sesuatu di loby rumah sakit, ambil ya. Pesan itu lagi, sejak ajakan makan malam tempo hari Pak Raffa seakan menerorku. Setiap harinya dia akan menanyakan jawaban perihal makan malam. Belum lagi pesan-pesan penuh perhatian yang sangat menganggu. Aku tidak selalu memegang ponsel dan sekalinya memegang ponsel spam pesan darinya membuatku sakit kepala. Materi dan praktek ko-as saja sudah membuat kepalaku sakit ditambah pesan-pesan menyebalkan darinya. Aku sedikit menghela nafas, dia bertanya soal makan maka, hari ini dia pasti mengirimkan bingkisan makanan yang akan sampai di lobi rumah sakit. Soal bingkisan, itu dimulai dari minggu lalu. Saat aku total mengabaikan pesan-pesan darinya. Pertama sekali bingkisan-bingkisan seperti ini datang ke rumah. Namun, setelah dia ‘tahu’ jika rumah jarang dihuni, dia mengirimkannya ke rumah sakit. Pri
Aku keluar dari kamar dengan sedikit panik. Bagaimana tidak, sebelum jam 7 malam sudah dijemput. Salah juga aku yang tak mengecek kotak pipih berlabel smartphone itu. Alia ceroboh. Aku tak tau apakah penampilanku rapi ataupun tidak, sekiranya rapi terakhir mengeceknya di depan cermin sebelum keluar. Huft. “Akhirnya tuan putri selesai dandannya,” ejek kak Tama setelah melihatku sekilas “ayo berangkat,” ajaknya menarik Chandra keluar dari rumah. Raffa? Dia berdiri ditempatnya, jadi patung. Patung yang sangat tampan dengan pakaian yang lebih santai. Seperti patung manequin di mall, yang tingginya tidak realistis. Aku jadi penasaran berapa sebenarnya tinggi si Pak Raffa ini. Dia terus memandangiku, apa ada yang salah? Apa hijabku berantakan? Apa aku terlihat sangat jelek? Ya Tuhan, Alia! “Pak Raffa, kita jadi berangkat?” tanyaku mencoba menyadarkannya. Raffa terlihat terkejut ditempatnya, sungguh ingin aku tertawa t
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, dan bulan-bulan berikutnya, aku menunggu seperti orang yang patah hati. Aku tak ingin mengakuinya, Raffa orang yang membuatku tertarik dan aku merindukannya. Kami memang hanya bertemu beberapa kali atau bisa dikatakan hanya tiga kali. Tapi dia mengetuk rasa penasaran milikku, sungguh tak biasa berbeda rasanya dibandingkan bang Dika. Eh, aku tak ingin terburu-buru. “Ai sedang memikirkan apa?” tanya Kayla yang baru datang ke ruang dokter. “Raffa,” jawabku singkat. Lebih baik jujur daripada dia bersikeras mengorekku nanti. Kayla menatapku penuh curiga “Laki-laki yang ngasih hadiah itu kan?” Aku mengangguk sebagai jawaban kali ini. “Bukannya kau masih mendapatkannya?” Aku mengangguk lagi “Seminggu dua kali seperti jadwal jaga malam kita.” “Terus apa masalahnya?” “Biasanya dia masih menghubungiku tapi kali ini tidak, hanya ada notes di setiap bingkisan”, terangku menunjukkan beberapa notes yan
Angin bertiup selalu menandakan akan turunnya hujan, musim penghujan sudah mulai sejak bulan lalu. Oktober, tepat setahun yang lalu aku bertemu dengannya, Raffa. Laki-laki yang membuatku tertarik dalam sekejap dan menghilang begitu saja, ternyata dia hanya angin lewat. Setelah kejadian tertangkap basah Pak Chandra, tidak ada lagi kabar darinya. Bahkan pesan yang hampir satu semester lalu aku kirimkan. Jangankan dibalas, dibaca pun belum pesan itu. Kesal, sangat kesal!Jika aku bisa bertemu dengannya aku ingin meluapkannya. Tidak perduli dengan perbedaan usia dan tata krama terhadap yang lebih tua, aku akan memarahinya. “Aila!” Panggilan menyebalkan, kenapa di bulan-bulan terakhir koas-ku dia datang bergabung bersama kami. Namanya Dimas, laki-laki berjas putih yang sedang berjalan kearahku dengan melambai-lambaikan tangannya. Laki-laki yang selalu menimbulkan kesalahpahaman sejak bangku menengah atas. “Baby, kita makan siang di kantin yuk,” ajaknya dengan meran
“Halo, dengan keluarga Sohbi Pratama Habib? Sohbi sedang berada di IGD, kami terlibat kecelakaan kecil tadi, bisa anda kesini?” … Aku tak perduli lagi, yang kutahu pergi secepatnya menuju ke rumah sakit. Tempat Kak Tama berada. Rumahsakit dekat bandara, 30 menit dari tempatku sekarang. Masa bodoh dengan teriakan senior saat aku akan naik ojek terdekat. Aku hanya ingin cepat sampai, melihat separah apa luka kak Tama. Disini lah aku, depan IGD dan masih menggunakan helm. “Kak, helmnya,” tegur tukang ojek yang mengantarku. Aku melepas helm dengan tergesa dan memberikannya ke tukang ojek “Maaf bang, terimakasih.” Kakiku masih terasa lemas, terasa berat untuk melangkah memasuki IGD yang cukup besar ini. Rupaku terpantul di kaca bening pintu IGD, masih menggunakan jas putih kebanggaan. Sial, tidak ada bagusnya sama sekali, berantakan. Aku melepasnya sebelum masuk, atau orang akan bingung dengan identitasku. Huft.
Angin bertiup selalu menandakan akan turunnya hujan, musim penghujan sudah mulai sejak bulan lalu. Oktober, tepat setahun yang lalu aku bertemu dengannya, Raffa. Laki-laki yang membuatku tertarik dalam sekejap dan menghilang begitu saja, ternyata dia hanya angin lewat. Setelah kejadian tertangkap basah Pak Chandra, tidak ada lagi kabar darinya. Bahkan pesan yang hampir satu semester lalu aku kirimkan. Jangankan dibalas, dibaca pun belum pesan itu. Kesal, sangat kesal!Jika aku bisa bertemu dengannya aku ingin meluapkannya. Tidak perduli dengan perbedaan usia dan tata krama terhadap yang lebih tua, aku akan memarahinya. “Aila!” Panggilan menyebalkan, kenapa di bulan-bulan terakhir koas-ku dia datang bergabung bersama kami. Namanya Dimas, laki-laki berjas putih yang sedang berjalan kearahku dengan melambai-lambaikan tangannya. Laki-laki yang selalu menimbulkan kesalahpahaman sejak bangku menengah atas. “Baby, kita makan siang di kantin yuk,” ajaknya dengan meran
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, dan bulan-bulan berikutnya, aku menunggu seperti orang yang patah hati. Aku tak ingin mengakuinya, Raffa orang yang membuatku tertarik dan aku merindukannya. Kami memang hanya bertemu beberapa kali atau bisa dikatakan hanya tiga kali. Tapi dia mengetuk rasa penasaran milikku, sungguh tak biasa berbeda rasanya dibandingkan bang Dika. Eh, aku tak ingin terburu-buru. “Ai sedang memikirkan apa?” tanya Kayla yang baru datang ke ruang dokter. “Raffa,” jawabku singkat. Lebih baik jujur daripada dia bersikeras mengorekku nanti. Kayla menatapku penuh curiga “Laki-laki yang ngasih hadiah itu kan?” Aku mengangguk sebagai jawaban kali ini. “Bukannya kau masih mendapatkannya?” Aku mengangguk lagi “Seminggu dua kali seperti jadwal jaga malam kita.” “Terus apa masalahnya?” “Biasanya dia masih menghubungiku tapi kali ini tidak, hanya ada notes di setiap bingkisan”, terangku menunjukkan beberapa notes yan
Aku keluar dari kamar dengan sedikit panik. Bagaimana tidak, sebelum jam 7 malam sudah dijemput. Salah juga aku yang tak mengecek kotak pipih berlabel smartphone itu. Alia ceroboh. Aku tak tau apakah penampilanku rapi ataupun tidak, sekiranya rapi terakhir mengeceknya di depan cermin sebelum keluar. Huft. “Akhirnya tuan putri selesai dandannya,” ejek kak Tama setelah melihatku sekilas “ayo berangkat,” ajaknya menarik Chandra keluar dari rumah. Raffa? Dia berdiri ditempatnya, jadi patung. Patung yang sangat tampan dengan pakaian yang lebih santai. Seperti patung manequin di mall, yang tingginya tidak realistis. Aku jadi penasaran berapa sebenarnya tinggi si Pak Raffa ini. Dia terus memandangiku, apa ada yang salah? Apa hijabku berantakan? Apa aku terlihat sangat jelek? Ya Tuhan, Alia! “Pak Raffa, kita jadi berangkat?” tanyaku mencoba menyadarkannya. Raffa terlihat terkejut ditempatnya, sungguh ingin aku tertawa t
Pak Raffa Siang Alia, sudah makan hari ini? Saya mengirimkan sesuatu di loby rumah sakit, ambil ya. Pesan itu lagi, sejak ajakan makan malam tempo hari Pak Raffa seakan menerorku. Setiap harinya dia akan menanyakan jawaban perihal makan malam. Belum lagi pesan-pesan penuh perhatian yang sangat menganggu. Aku tidak selalu memegang ponsel dan sekalinya memegang ponsel spam pesan darinya membuatku sakit kepala. Materi dan praktek ko-as saja sudah membuat kepalaku sakit ditambah pesan-pesan menyebalkan darinya. Aku sedikit menghela nafas, dia bertanya soal makan maka, hari ini dia pasti mengirimkan bingkisan makanan yang akan sampai di lobi rumah sakit. Soal bingkisan, itu dimulai dari minggu lalu. Saat aku total mengabaikan pesan-pesan darinya. Pertama sekali bingkisan-bingkisan seperti ini datang ke rumah. Namun, setelah dia ‘tahu’ jika rumah jarang dihuni, dia mengirimkannya ke rumah sakit. Pri
+628xxxxxxxxxx Walaikumsalam, lusa ya ambil ke bengkel yang ada di dekat RS kemarin. Setelah makan siang kita ketemuan. +628xxxxxxxxxxs hare location. . . Kering sudah menunggu, ini sudah 2 jam berlalu dari jam janji pak Raffa. Waktu liburku yang berharga berkurang sia-sia. “Maaf saya terlambat,” ungkap Raffa sedikit terengah, baru datang. Aku menatapnya tajam “Saya menunggu selama dua jam, bapak tau bagi saya hari libur itu sangat berarti,” omelku meluapkan kekesalan padanya. “Tapi bapak membohongi saya perihal motor kakak saya. Itu sudah diambil kemarin sore!” Raffa terlihat sedikit bingung dengan perkataanku. Dia tidak tau atau hanya pura-pura tidak tau? Aku tambah kesal melihatnya. “Maaf Alia, saya tidak tau,” Raffa menyanggah dengan lembut. “Karena bapak sudah datang, saya sudah menepati janji untuk datang kesini. Permisi!” pamitku beranjak meninggalkannya
“Halo, dengan keluarga Sohbi Pratama Habib? Sohbi sedang berada di IGD, kami terlibat kecelakaan kecil tadi, bisa anda kesini?” … Aku tak perduli lagi, yang kutahu pergi secepatnya menuju ke rumah sakit. Tempat Kak Tama berada. Rumahsakit dekat bandara, 30 menit dari tempatku sekarang. Masa bodoh dengan teriakan senior saat aku akan naik ojek terdekat. Aku hanya ingin cepat sampai, melihat separah apa luka kak Tama. Disini lah aku, depan IGD dan masih menggunakan helm. “Kak, helmnya,” tegur tukang ojek yang mengantarku. Aku melepas helm dengan tergesa dan memberikannya ke tukang ojek “Maaf bang, terimakasih.” Kakiku masih terasa lemas, terasa berat untuk melangkah memasuki IGD yang cukup besar ini. Rupaku terpantul di kaca bening pintu IGD, masih menggunakan jas putih kebanggaan. Sial, tidak ada bagusnya sama sekali, berantakan. Aku melepasnya sebelum masuk, atau orang akan bingung dengan identitasku. Huft.