“Halo, dengan keluarga Sohbi Pratama Habib? Sohbi sedang berada di IGD, kami terlibat kecelakaan kecil tadi, bisa anda kesini?”
…
Aku tak perduli lagi, yang kutahu pergi secepatnya menuju ke rumah sakit. Tempat Kak Tama berada. Rumahsakit dekat bandara, 30 menit dari tempatku sekarang. Masa bodoh dengan teriakan senior saat aku akan naik ojek terdekat. Aku hanya ingin cepat sampai, melihat separah apa luka kak Tama.
Disini lah aku, depan IGD dan masih menggunakan helm.
“Kak, helmnya,” tegur tukang ojek yang mengantarku.
Aku melepas helm dengan tergesa dan memberikannya ke tukang ojek “Maaf bang, terimakasih.”
Kakiku masih terasa lemas, terasa berat untuk melangkah memasuki IGD yang cukup besar ini. Rupaku terpantul di kaca bening pintu IGD, masih menggunakan jas putih kebanggaan. Sial, tidak ada bagusnya sama sekali, berantakan. Aku melepasnya sebelum masuk, atau orang akan bingung dengan identitasku. Huft.
Ruangan IGD yang lapang, tidak terlalu banyak pasien. Diujung kanan ruangan aku melihat kak Tama dengan selang infus menempel di tangannya. Perban yang melilit di beberapa bagian tubuhnya. Tidak parah, hanya cukup membuatnya terdiam sejenak. Aku merasa lega setelah melihatnya.
“Kak Tama ceroboh.”
Seseorang datang mendekat ke arahku dan Kak Tama. Orang yang meneleponku tadi? “Maaf, tadi saya sedikit lalai di jalan,” rupanya orang yang menabrak Kak Tama, terdengar tulus.
“Sekali lagi saya minta maaf.”
Orang yang sopan sesuai penampilannya, kemeja polos, dasi, dan jas yang cukup berantakan. Tidak ada luka, dia menggunakan mobil. Ini hanya sebuah kecelakaan kecil.
“Iya, lagipula bapak telah bertanggung jawab terhadap kakak saya. Lukanya juga tak terlalu serius”, balasku sesopan mungkin.
“Kakak saya ini memang merasa seperti raja jalanan jika sedang terburu-buru, saya juga mewakili kakak minta maaf.”
“Jangan panggil saya bapak, saya tidak setua itu. Nama saya Chandra,” dia memperkenalkan diri dengan memberi kartu nama, tipikal pebisnis.
“Teman saya juga sedikit terluka disana,” tunjuknya ke salah satu brangkar di seberang.
Aku melihat ke seberang arah telunjuknya, tampan eh bukan maksudnya tidak jauh berbeda dari sosok Chandra, pembisnis kelas atas. “Nama saya Alia,” balasku mengambil kartu nama yang sejak tadi terabaikan.
“Dokter?” tanyanya melirik jas putih yang tergeletak di atas brangkar.
“Sedang ko-as di RSUD,” jawabku singkat.
“Keluarga korban?”
Suara yang berat dan lembut, eh sejak kapan temannya datang menghampiri kami?
“Sepertinya adek korban,” bisik Chandra ke temannya.
Dia melirik ke arahku, meski sulit karena menggunakan cervical collar di lehernya “Sekali lagi maafkan teman saya ya, untuk kendaraan kakak anda kami akan tanggungjawab kerusakannya.”
“Tidak–
“Jangan begitu, bagaimanapun kami yang menabrak kakak anda,” sela pria tadi dengan cepat.
“Aku Raffa, anda bisa menghubungi no ini untuk kedepannya,” ujarnya menyodorkan sebuah kartu nama, pebisnis.
Aku segera mengambil kartu itu dan sedikit tersenyum “Alia, terimakasih untuk tetap bertanggungjawab atas kakak saya.”
“Tidak masalah,” balas pria yang mengaku Raffa tadi.
Tatapan yang teduh. Stop Alia! Kenapa aku harus terpesona di saat seperti ini?
“Bagaimana dengan mobil bapak-bapak ini?” tanyaku sedikit takut untuk membayar biaya kerusakan mobil.
“Tak masalah ada asuransi, lagipula itu mobil kantor dan kami sedang bekerja jadi pasti kantor akan membiayainya.”
“Saya permisi untuk melanjutkan administrasi tadi,” pamit Chandra meninggalkan kami berdua di tengah kak Tama yang masih belum sadar.
“Alia masih kuliah?” tanya Raffa acak sambil menunggu Chandra.
“Saya lagi ko-as.”
“Calon Dokter?”
Aku mengangguk pelan sebagai jawaban.
“Wah hebat, lalu bagaimana dengan koas-nya bukankah sulit untuk izin?”
“Ya, karena ini darurat jadi boleh.”
“Begitu ya?” dia terlihat sedang berpikir yang entah apa itu.
“Bang Raffa ini sudah selesai semua, kita bisa pulang,” ajak Chandra yang baru dating ke dekat kami.
“Bagaimana dengan abangnya Alia?” tanya Raffa.
“Ah Bang Sohbi, setelah infusnya habis baru boleh pulang,” jawab Chandra.
“Kita tunggu saja, biar sekalian diantar,” tegas Raffa.
Raffa yang mudah terbaca, sedikit memastikan tidak masalah kan. “Tidak usah, bapak-bapak ini pasti ditunggu dikantor. Saya bisa pulang sendiri,” ujarku sedikit menengahi.
“Beneran bisa?” tanya Rafffa terlihat sedikit khawatir bercampur kesal di wajahnya.
“Iya,” jawabku mantap.
Raffa seolah terlihat berpikir sebentar lalu mengambil dompetnya dan mengelurakan beberapa lembar uang dari sana “Ini untuk ongkos pulang.”
“Tidak perlu pak,” tolakku lembut.
“Ambil saja,” paksa Raffa.
“Terimakasih.”
“Ini juga Alia,” Chandra menyerahkan kertas administrasi padaku “Ini sudah dibayar, obatnya nanti akan diantarkan perawatnya.”
“Terimakasih.”
“Sampai jumpa, jangan lupa hubungi kami untuk biaya perbaikan motornya,” pesan Raffa sebelum meninggalkan kami.
“Ya”
Menarik.
“Sepertinya, salah satunya tertarik padamu Ai.”
Suara yang sedikit mengagetkanku, kak Tama. “Sejak kapan sadar?” tanyaku tanpa basa basi lagi.
“Sejak...,” tatapan penuh tanya milik Kak Tama yang menyebalkan “... namaku Raffa”
“Dih!” cibirku pelan dan senyuman menyebalkan dari kak Tama “Buat panik aja, mau jadi pembalap?”
Kak Tama tertawa ringan “Kaget juga ya ditabrak dari belakang.”
Aku tak tau terbuat dari apa kakak satu ayahku ini, bukannya meringis kesakitan malah tertawa renyah. “Itu motor bakal pensiun kali ya?”
“Tanggung jawab juga orangnya, nanti kamu yang hubungi dia ya,” goda Kak Tama.
“Kok aku?”
“Siapa tau kan jodoh.”
“FTV kali ah.”
Kak Tama hanya tertawa mendengar jawaban dariku, dan jauh di dalam diriku membenarkan kemungkinan kecil itu. Aku juga tertarik padanya, Raffa.
+628xxxxxxxxxx Walaikumsalam, lusa ya ambil ke bengkel yang ada di dekat RS kemarin. Setelah makan siang kita ketemuan. +628xxxxxxxxxxs hare location. . . Kering sudah menunggu, ini sudah 2 jam berlalu dari jam janji pak Raffa. Waktu liburku yang berharga berkurang sia-sia. “Maaf saya terlambat,” ungkap Raffa sedikit terengah, baru datang. Aku menatapnya tajam “Saya menunggu selama dua jam, bapak tau bagi saya hari libur itu sangat berarti,” omelku meluapkan kekesalan padanya. “Tapi bapak membohongi saya perihal motor kakak saya. Itu sudah diambil kemarin sore!” Raffa terlihat sedikit bingung dengan perkataanku. Dia tidak tau atau hanya pura-pura tidak tau? Aku tambah kesal melihatnya. “Maaf Alia, saya tidak tau,” Raffa menyanggah dengan lembut. “Karena bapak sudah datang, saya sudah menepati janji untuk datang kesini. Permisi!” pamitku beranjak meninggalkannya
Pak Raffa Siang Alia, sudah makan hari ini? Saya mengirimkan sesuatu di loby rumah sakit, ambil ya. Pesan itu lagi, sejak ajakan makan malam tempo hari Pak Raffa seakan menerorku. Setiap harinya dia akan menanyakan jawaban perihal makan malam. Belum lagi pesan-pesan penuh perhatian yang sangat menganggu. Aku tidak selalu memegang ponsel dan sekalinya memegang ponsel spam pesan darinya membuatku sakit kepala. Materi dan praktek ko-as saja sudah membuat kepalaku sakit ditambah pesan-pesan menyebalkan darinya. Aku sedikit menghela nafas, dia bertanya soal makan maka, hari ini dia pasti mengirimkan bingkisan makanan yang akan sampai di lobi rumah sakit. Soal bingkisan, itu dimulai dari minggu lalu. Saat aku total mengabaikan pesan-pesan darinya. Pertama sekali bingkisan-bingkisan seperti ini datang ke rumah. Namun, setelah dia ‘tahu’ jika rumah jarang dihuni, dia mengirimkannya ke rumah sakit. Pri
Aku keluar dari kamar dengan sedikit panik. Bagaimana tidak, sebelum jam 7 malam sudah dijemput. Salah juga aku yang tak mengecek kotak pipih berlabel smartphone itu. Alia ceroboh. Aku tak tau apakah penampilanku rapi ataupun tidak, sekiranya rapi terakhir mengeceknya di depan cermin sebelum keluar. Huft. “Akhirnya tuan putri selesai dandannya,” ejek kak Tama setelah melihatku sekilas “ayo berangkat,” ajaknya menarik Chandra keluar dari rumah. Raffa? Dia berdiri ditempatnya, jadi patung. Patung yang sangat tampan dengan pakaian yang lebih santai. Seperti patung manequin di mall, yang tingginya tidak realistis. Aku jadi penasaran berapa sebenarnya tinggi si Pak Raffa ini. Dia terus memandangiku, apa ada yang salah? Apa hijabku berantakan? Apa aku terlihat sangat jelek? Ya Tuhan, Alia! “Pak Raffa, kita jadi berangkat?” tanyaku mencoba menyadarkannya. Raffa terlihat terkejut ditempatnya, sungguh ingin aku tertawa t
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, dan bulan-bulan berikutnya, aku menunggu seperti orang yang patah hati. Aku tak ingin mengakuinya, Raffa orang yang membuatku tertarik dan aku merindukannya. Kami memang hanya bertemu beberapa kali atau bisa dikatakan hanya tiga kali. Tapi dia mengetuk rasa penasaran milikku, sungguh tak biasa berbeda rasanya dibandingkan bang Dika. Eh, aku tak ingin terburu-buru. “Ai sedang memikirkan apa?” tanya Kayla yang baru datang ke ruang dokter. “Raffa,” jawabku singkat. Lebih baik jujur daripada dia bersikeras mengorekku nanti. Kayla menatapku penuh curiga “Laki-laki yang ngasih hadiah itu kan?” Aku mengangguk sebagai jawaban kali ini. “Bukannya kau masih mendapatkannya?” Aku mengangguk lagi “Seminggu dua kali seperti jadwal jaga malam kita.” “Terus apa masalahnya?” “Biasanya dia masih menghubungiku tapi kali ini tidak, hanya ada notes di setiap bingkisan”, terangku menunjukkan beberapa notes yan
Angin bertiup selalu menandakan akan turunnya hujan, musim penghujan sudah mulai sejak bulan lalu. Oktober, tepat setahun yang lalu aku bertemu dengannya, Raffa. Laki-laki yang membuatku tertarik dalam sekejap dan menghilang begitu saja, ternyata dia hanya angin lewat. Setelah kejadian tertangkap basah Pak Chandra, tidak ada lagi kabar darinya. Bahkan pesan yang hampir satu semester lalu aku kirimkan. Jangankan dibalas, dibaca pun belum pesan itu. Kesal, sangat kesal!Jika aku bisa bertemu dengannya aku ingin meluapkannya. Tidak perduli dengan perbedaan usia dan tata krama terhadap yang lebih tua, aku akan memarahinya. “Aila!” Panggilan menyebalkan, kenapa di bulan-bulan terakhir koas-ku dia datang bergabung bersama kami. Namanya Dimas, laki-laki berjas putih yang sedang berjalan kearahku dengan melambai-lambaikan tangannya. Laki-laki yang selalu menimbulkan kesalahpahaman sejak bangku menengah atas. “Baby, kita makan siang di kantin yuk,” ajaknya dengan meran
Angin bertiup selalu menandakan akan turunnya hujan, musim penghujan sudah mulai sejak bulan lalu. Oktober, tepat setahun yang lalu aku bertemu dengannya, Raffa. Laki-laki yang membuatku tertarik dalam sekejap dan menghilang begitu saja, ternyata dia hanya angin lewat. Setelah kejadian tertangkap basah Pak Chandra, tidak ada lagi kabar darinya. Bahkan pesan yang hampir satu semester lalu aku kirimkan. Jangankan dibalas, dibaca pun belum pesan itu. Kesal, sangat kesal!Jika aku bisa bertemu dengannya aku ingin meluapkannya. Tidak perduli dengan perbedaan usia dan tata krama terhadap yang lebih tua, aku akan memarahinya. “Aila!” Panggilan menyebalkan, kenapa di bulan-bulan terakhir koas-ku dia datang bergabung bersama kami. Namanya Dimas, laki-laki berjas putih yang sedang berjalan kearahku dengan melambai-lambaikan tangannya. Laki-laki yang selalu menimbulkan kesalahpahaman sejak bangku menengah atas. “Baby, kita makan siang di kantin yuk,” ajaknya dengan meran
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, dan bulan-bulan berikutnya, aku menunggu seperti orang yang patah hati. Aku tak ingin mengakuinya, Raffa orang yang membuatku tertarik dan aku merindukannya. Kami memang hanya bertemu beberapa kali atau bisa dikatakan hanya tiga kali. Tapi dia mengetuk rasa penasaran milikku, sungguh tak biasa berbeda rasanya dibandingkan bang Dika. Eh, aku tak ingin terburu-buru. “Ai sedang memikirkan apa?” tanya Kayla yang baru datang ke ruang dokter. “Raffa,” jawabku singkat. Lebih baik jujur daripada dia bersikeras mengorekku nanti. Kayla menatapku penuh curiga “Laki-laki yang ngasih hadiah itu kan?” Aku mengangguk sebagai jawaban kali ini. “Bukannya kau masih mendapatkannya?” Aku mengangguk lagi “Seminggu dua kali seperti jadwal jaga malam kita.” “Terus apa masalahnya?” “Biasanya dia masih menghubungiku tapi kali ini tidak, hanya ada notes di setiap bingkisan”, terangku menunjukkan beberapa notes yan
Aku keluar dari kamar dengan sedikit panik. Bagaimana tidak, sebelum jam 7 malam sudah dijemput. Salah juga aku yang tak mengecek kotak pipih berlabel smartphone itu. Alia ceroboh. Aku tak tau apakah penampilanku rapi ataupun tidak, sekiranya rapi terakhir mengeceknya di depan cermin sebelum keluar. Huft. “Akhirnya tuan putri selesai dandannya,” ejek kak Tama setelah melihatku sekilas “ayo berangkat,” ajaknya menarik Chandra keluar dari rumah. Raffa? Dia berdiri ditempatnya, jadi patung. Patung yang sangat tampan dengan pakaian yang lebih santai. Seperti patung manequin di mall, yang tingginya tidak realistis. Aku jadi penasaran berapa sebenarnya tinggi si Pak Raffa ini. Dia terus memandangiku, apa ada yang salah? Apa hijabku berantakan? Apa aku terlihat sangat jelek? Ya Tuhan, Alia! “Pak Raffa, kita jadi berangkat?” tanyaku mencoba menyadarkannya. Raffa terlihat terkejut ditempatnya, sungguh ingin aku tertawa t
Pak Raffa Siang Alia, sudah makan hari ini? Saya mengirimkan sesuatu di loby rumah sakit, ambil ya. Pesan itu lagi, sejak ajakan makan malam tempo hari Pak Raffa seakan menerorku. Setiap harinya dia akan menanyakan jawaban perihal makan malam. Belum lagi pesan-pesan penuh perhatian yang sangat menganggu. Aku tidak selalu memegang ponsel dan sekalinya memegang ponsel spam pesan darinya membuatku sakit kepala. Materi dan praktek ko-as saja sudah membuat kepalaku sakit ditambah pesan-pesan menyebalkan darinya. Aku sedikit menghela nafas, dia bertanya soal makan maka, hari ini dia pasti mengirimkan bingkisan makanan yang akan sampai di lobi rumah sakit. Soal bingkisan, itu dimulai dari minggu lalu. Saat aku total mengabaikan pesan-pesan darinya. Pertama sekali bingkisan-bingkisan seperti ini datang ke rumah. Namun, setelah dia ‘tahu’ jika rumah jarang dihuni, dia mengirimkannya ke rumah sakit. Pri
+628xxxxxxxxxx Walaikumsalam, lusa ya ambil ke bengkel yang ada di dekat RS kemarin. Setelah makan siang kita ketemuan. +628xxxxxxxxxxs hare location. . . Kering sudah menunggu, ini sudah 2 jam berlalu dari jam janji pak Raffa. Waktu liburku yang berharga berkurang sia-sia. “Maaf saya terlambat,” ungkap Raffa sedikit terengah, baru datang. Aku menatapnya tajam “Saya menunggu selama dua jam, bapak tau bagi saya hari libur itu sangat berarti,” omelku meluapkan kekesalan padanya. “Tapi bapak membohongi saya perihal motor kakak saya. Itu sudah diambil kemarin sore!” Raffa terlihat sedikit bingung dengan perkataanku. Dia tidak tau atau hanya pura-pura tidak tau? Aku tambah kesal melihatnya. “Maaf Alia, saya tidak tau,” Raffa menyanggah dengan lembut. “Karena bapak sudah datang, saya sudah menepati janji untuk datang kesini. Permisi!” pamitku beranjak meninggalkannya
“Halo, dengan keluarga Sohbi Pratama Habib? Sohbi sedang berada di IGD, kami terlibat kecelakaan kecil tadi, bisa anda kesini?” … Aku tak perduli lagi, yang kutahu pergi secepatnya menuju ke rumah sakit. Tempat Kak Tama berada. Rumahsakit dekat bandara, 30 menit dari tempatku sekarang. Masa bodoh dengan teriakan senior saat aku akan naik ojek terdekat. Aku hanya ingin cepat sampai, melihat separah apa luka kak Tama. Disini lah aku, depan IGD dan masih menggunakan helm. “Kak, helmnya,” tegur tukang ojek yang mengantarku. Aku melepas helm dengan tergesa dan memberikannya ke tukang ojek “Maaf bang, terimakasih.” Kakiku masih terasa lemas, terasa berat untuk melangkah memasuki IGD yang cukup besar ini. Rupaku terpantul di kaca bening pintu IGD, masih menggunakan jas putih kebanggaan. Sial, tidak ada bagusnya sama sekali, berantakan. Aku melepasnya sebelum masuk, atau orang akan bingung dengan identitasku. Huft.