Musim sekolah sudah di mulai. Para pecinta musim panas telaah pulang ke rumah. Klub tidak begitu ramai lagi karena itulah jumlah tipnya menurun. Hal terbesar adalah Rudy sudah tidak lagi membahas tentang lamaran sejak malam di apartemen ketika dia bilang apa yang dia katakan pada ibunya, adiknya dan ayahku. Dia tidak pernah menyebut mereka lagi. Kadang-kadang aku bertanya-tanya jika suatu saat dia berubah pikiran atau kalau aku hanya membayangkannya.
Jika bukan karena Beti yang menanyakanku setiap minggu apakah Rudy sudah membicarakannya lagi aku akan berfikir itu adalah bagian dari imajinasiku. Setiap kali aku mengatakan pada Beti kalau Rudy tidak bilang dia menjadi semakin gelisah. Belum lagi hatiku menjadi semakin terluka. Aku takut dia terus-menerus emikirkan itu dan memutuskan kalau itu adalah suatu kesalahan.
Sebelum dia mengatakannya lagi malam itu aku bahkan tidak membiarkan diriku percaya kalau dia ingin menikahiku. Aku membayangkan kami membesarkan bayi ini d
Kami sedang berjalan pulang ke rumah Rudy. Dia memasuki jalanan menuju rumah dan mematikan mobil di taman ketika ponselnya berdering untuk ke tiga kalinya dari ibunya. Tapi tidak dia angkat. Kemudian ponselnya kemballi berdering untuk ke empat kalinya Dia menatap ponsel itu dan mengerutkan keningnya."Siapa itu?" Tanyaku."Tidak tahu.""Jawab saja. Mungkin sesuatu yang penting."Wajah Rudy berubah pucat. Aku memegang tangannya namun dia tidak bereaksi. Dia duduk di sana mendengarkan orang yang sedang berbicara pada ujung telepon satunya tanpa berkata apa pun.Semakin lama mereka bicara semakin putih wajahnya. Jantungku bergemuruh. Sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Aku terus menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Apa saja."Aku dalam perjalanan." Katanya dengan nada datar sebelum menjatuhkan ponselnya ke atas pangkuannya dan memindahkan tangannya dari cengkeramanku untuk memegang kemudi dengan sangat erat."Ada apa?" ta
Aku duduk di ruang tunggu dan berusaha keras untuk tidak memandang pada wanita hamil lainnya yang juga sedang menunggu.Ada tiga wanita hamil termasuk aku. Wanita di seberangku di dekap erat oleh lengan suaminya. dia terus menerus berbisik di telinga sang isteri yang membuatnya tersenyum. Tangan sang suami tidak pernah meninggalkan perutnya. Tidak ada keposesifan yang telihat dari perilakunya. hanya sikap protektif. Seolah-olah sang pria melindungi isteri dan anaknya hanya dari isyarat tubuh yang sederhana.Wanita lainnya usia kehamilannya lebih tua dari kamiberdua dan bayinya bergerak. Kedua tangan suaminya berada di perutnya saat dia memandang isterinya dengan penuh kekaguman. Ada sorot pemujaan yang manis terlihat di wajahnya. Mereka sedang berbagi momen dan hanya dengan melirik ke arah mereka saja membuatku merasa seakan-akan mengganggu momen itu.Kemudian di sinilah aku. bersama Raka. Aku telah berkata padanya kalau dia tidak perlu menemaniku tapi dia bilan
Aku belum lama tertidur saat telepon berdering. Saat ini masih tengah malam dan hanya beberapa orang yang memiliki nomerku. Perutku melilit saat aku meraih ponsel. Itu dari Rudy."Halo." Kataku hampir takut pada apa yang akan dia katakan padaku."Hei, ini aku." Suaranya seperti dia baru saja menangis. Ya Tuhan... tolong jangan biarkan Grizelle meninggal."Apakah dia baik-baik saja?" Tanyaku, berharap kali ini Tuhan benar-benar mendengar doaku."Dia akhirnya bangun. Dia sedikit bingung tapi dia mengenaliku saat dia membuka mata jadi dia baik-baik saja."'Oh terima kasih Tuhan." Aku duduk di ranjang dan memutuskan kalau aku perlu berdoa lebih sering lagi."Maafkan aku, Aileen. Aku benar-benar minta maaf." Suaranya serak. Aku dapat merasakan rasa sakit dalam kata-katanya dan aku tidak perlu menanyakan apa maksudnya. Ini saatnya. Dia hanya tidak bisa mengatakannya."Tidak apa-apa. Rawat saja Grizelle. Aku benar-benar bahagia dia bai
Aku terbangun dari tidurku karena mendengar derap kaki yang terburu-buru. Aku melihat sebuah bayangan hitam dan besar di kegelapan."Rudy?" Panggilku.Aku menunggunya kembali dan tertidur di atas sofa yang besar di dalam kamarnya. Aku duduk di atas sofa dan melihatnya berdiri terpaku melihat ke arahku."Kau di sini." Katanya dan menghampiriku dan berlutut di hadapanku menjatuhkan kepalanya di atas pangkuanku.Aku menyentuh kepalanya dan membelai rambutnya. "Ya. Aku di sini." Jawabku tidak yakin. "Kau baik-baik saja?"Dia mengangguk dan mengangkat kepalanya dari pangkuanku dan menatapku. "Aku mencintaimu.""Aku tahu dan itu bukan masalah. Aku tidak akan membuatmu memili. Aku hanya menginginkan agar kau bahagia. Kau pantas untuk bahagia. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku kuat. Aku bisa melakukan ini seorang diri.""Apa?" Tanyanya bingung.'Aku bicara denga ayahku hari ini.Aku tahu semuanya. Memang sulit untuk di pahami tap
Rudy memegang tanganku saat aku sibuk membolak-balik majalah di ruang tunggu untuk mengontrol kehamilan. Semua gambar popok dan benda bayi lainnya yang menakutkanku seperti kotoran bayi. Aku tidak mengatakan padanya tapi kenyataannya hal-hal yang menyangkut bayi mulai mebuatku takut."Aileen Adira." Seorang perawat memanggil namaku."Itu kita." Kataku sambil tersenyum pada Rudy sebelum berdiri.Dia tidak melepaskan tanganku saat aku membawa kami ke ruang pemeriksaan. Beberapa kali perawat melirik ke arah Rudy."Di sini." Kata perawat, mundur ke belakang dan membiarkan kau masuk ke dalam ruangan. "Silahkan lepaskan semua pakaian dan ganti dengan baju ini. Dokter akan melakukan pemeriksaan menyeluruh hari ini." Perawat itu berhenti dan melihat pada Rudy. "Apa tidak masalah jika orang ini ada di sini?"Aku tersenyum dan kembali melihat Rudy. "Ya, orang ini adalah ayah si bayi."Perawat berdiri dan memberikan senyum lega. "Itu bagus
Tanpa riasan dan jaket kulit hitam, dia terlihat seperti Rudy. Aku harus bergerak cepat untuk mengikuti Rudy yang menggenggam tanganku erat-erat saat dia berjalan cepat untuk keluar dan melewati beberapa orang di bar. Ayahnya memimpin jalan. Aku tidak yakin apakah Rudy senang melihatnya atau tidak. Satu-satunya interaksi yang mereka lakukan adalah Rudy menganggukkan kepalanya ke arah pintu keluar. Dia jelas tidak ingin ada pembicaraan ini memiliki penonton.Kenzo Adhitama, aktor paling terkenal, berhenti beberapa kali dalam perjalanan keluar untuk memberi tanda tangan pada kertas atau barang yang di sodorkan di depannya. Tidak hanya perempuan, seorang pria bahkan melangkah maju dan memintanya untuk menandatangani serbet bar. Kilauan ancaman di mataRudy saat dia mencoba mengeluarkan ayahnya dari bar membuat mereka menjauh. Sebaliknya, mereka semua tetap diam dan menyaksikan sang bintang keluar dari pintu.Angin malam terasa dingin sekarang. Aku segera menggigil dan Rudy
Ayah Rudy berjalan ke sofa dan duduk di atasnya sebelum mengeluarkan sebungkus rokok."Tidak boleh merokok di sini atau di sekitaran Aileen. Tidak baik untuk bayinya." Kata Rudy.Ayahnya menaikan salah satu alisnya. "Nak, aku sangat yakin ibumu merokok ketika dia sedang mengandungmu.""Aileen tidak seperti ibu." Jawab Rudy.Aku masuk ke dalam ruang tamu setelah sudah cukup diam-diam menguping pembicaraan ayah dan anak sambil membawa dua kaleng bir. Rudy berjalan ke arahku saat dia melihatku memasuki ruangan."Kau tidak harus membawa ini." Katanya padaku sambil mengambil ke dua bir dari tanganku dan mencium pelipisku."Aku tahu. Tapi kita punya tamu." Jawabku sambil tersenyum."Bawakan aku bir itu nak, dan berhentilah bersikap seperti itu, kau akan mencekik gadis itu. Tidak tahu apa yang sedang merasukimu."Sebuah tawa kecil keluar dari mulutku. Aku tidak bisa berbohong kalau aku menyukai ayahnya."Ini." Kata Rudy sambil menyodor
Bicara tentang natal sudah mengingatkanku pada ibuku. Ini akan menjadi liburan pertamaku tanpanya. Semakin aku tenggelam pada ingatanku padanya semakin sulit aku bernafas. Aku memaksakan senyum dan membuat alasan sebelum bergegas ke atas untuk mandi. Rudy butuh waktu berduaan dengan ayahnya.Aku membiarkan air mata yang aku tahan jatuh bebas saat aku melepaskan pakaian dan melangkah ke kamar mandi. Air hangat dari pancuran menghujaniku saat isak tangisku pecah. Tahun lalu aku memasak saat natal unuk kami dan kami memakannya bersama sambil menonton film. Tidak ada teman atau keluarga. hanya kami berdua. Aku juga menangis malam itu. Karena jauh di lubuk hatiku aku tahu kalau itu adalah natal terakhirku dengan ibuku. Kenangan tahun-tahun berlalu ketika Freya dan ayah ada di sana semakin terasa pahit. Hatiku sakit untuk semua yang telah kami lalui. Aku tidak berpikir apa pun bisa terasa lebih menyakitkan dari ini.Menghadapi liburan natal tanpa ibuku akan terasa berat. Dia