Saat itu, orang-orang mulai mengerumuni mereka untuk menonton keributan.Eleanor sebenarnya belum pernah menghadiri pesta-pesta membosankan seperti ini. Selain beberapa teman dekat dalam kalangan ini dan beberapa senior yang akrab dengan Keluarga Izara, sebenarnya tidak banyak orang dari kalangan atas Kota Ordo yang benar-benar mengenalnya.Tujuan Harvey mengadakan pesta ini adalah untuk mengenalkan Eleanor ke dalam kalangan elite Kota Ordo secara resmi.Melihat semakin banyak orang yang berkumpul, mata Miranda memancarkan kilatan puas. "Semua orang tolong jadi saksi ya, wanita ini mencuri gelangku tapi nggak mau ngaku!"Yolanda berdiri di samping sambil ikut memprovokasi. "Huh, tadi katanya nggak mencuri, nggak merampok ... sekarang malah ketahuan nyolong? Cuma gelang saja, kalau kamu mau, Miranda juga bisa ngasih ke kamu, kenapa harus nyuri? Dasar wanita nggak tahu malu!"Tadi Eleanor memang sempat mengatakan bahwa Yolanda tidak punya keahlian dan cuma bisa menghabiskan duit suami da
Eleanor tersenyum manis sambil menyerahkan tasnya pada Miranda. "Nih, mau geledah? Silakan saja."Sikap Eleanor yang begitu santai dan percaya diri membuat Miranda sempat terdiam. Apa jangan-jangan Eleanor sudah tahu dan mengeluarkan gelang itu terlebih dahulu?Dia menatap Eleanor penuh curiga, tetapi Eleanor tetap tersenyum tipis di sudut bibirnya. Entah mengapa, senyum itu terasa aneh. Seolah ada sesuatu yang disembunyikan.Tas itu sudah diulurkan ke depannya. Namun, Miranda malah jadi ragu. Dia merasa seperti sedang digiring masuk ke perangkap besar yang sengaja dibuat Eleanor.Saat dia masih berpikir, Yolanda tiba-tiba merebut tas dari tangan Eleanor dan langsung membuka ritsletingnya. Dia membalikkan tas itu dan menjatuhkan semua isinya ke lantai.Gelang Van Cleef & Arpels dengan batu akik biru langsung terjatuh ke lantai. Yolanda memungut gelang itu dan membentak, "Masih bilang nggak nyuri? Lalu ini apa? Jangan-jangan tas Chanel kamu itu juga hasil nyolong?"Kerumunan langsung he
Sambil berbicara, Harvey melemparkan tatapan tajam ke arah Yolanda dan Miranda. "Entah dari mana datangnya dua orang sampah ini, berani-beraninya memfitnah adik sepupuku mencuri."Harvey memberi isyarat kepada para pengawal. Para pengawal langsung paham. Mereka berjalan cepat ke arah Yolanda dan Miranda, lalu menyeret mereka berdua dengan kasar ke arah pintu dan langsung melemparkan mereka keluar dari aula.Sampai Yolanda dan Miranda benar-benar dibuang keluar, barulah Rowan sadar kembali dari keterkejutannya. Dia menatap Eleanor dengan ekspresi bingung dan berkata dengan tergagap, "Aku ... kamu ... kamu itu sepupunya Pak Harvey?""Menurutmu?" Eleanor menatapnya dengan senyum mengejek.Rowan menelan ludah dengan gugup. Matanya mulai berkaca-kaca dan hatinya terasa getir. Bibirnya bergetar dengan suara serak, "Kenapa? Kenapa selama tiga tahun kamu nggak pernah ngasih tahu aku identitasmu?""Aku dulu memang mau bilang. Waktu itu aku bilang mau ajak kamu pulang ke kampung halaman, tujuann
Rowan diusir keluar oleh para pengawal. Di luar, Yolanda dan Miranda sudah menunggu dengan cemas.Yolanda nyaris menangis karena panik. "Anakku ... sekarang gimana? Kita ... kita benar-benar sudah menyinggung Keluarga Salvo? Gimana dengan rencana investasi kita?"Miranda juga ketakutan setengah mati. "Keluarga Salvo itu latar belakangnya kuat sekali. Gimana kalau mereka balas dendam sama kita?"Namun, Rowan tidak menjawab apa-apa. Dia seperti boneka tanpa jiwa yang berjalan dengan langkah kaku seperti mayat hidup. Ekspresinya kosong tanpa emosi sedikit pun.....Pesta pun berakhir. Dominic mengantar Eleanor kembali ke apartemennya."Mengenai masalah hari ini ...," ucap Eleanor dengan ragu saat berdiri di bawah gedung apartemennya.Dominic berdiri di depannya, lalu mengangkat tangan dan menyelipkan sehelai rambut Eleanor ke belakang telinganya dengan lembut. Suaranya pelan dan dalam, menyiratkan sedikit kepedihan."Tadi dia bilang, kalau kamu jujur soal identitasmu dari dulu, kalian mun
Tiga hari kemudian."Tok tok tok ...." Miranda berdiri di depan pintu suite hotel dan mengetuk beberapa kali."Rowan, kamu di dalam?"Tidak ada respons.Miranda mengerutkan kening, lalu mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon. Nada sambung berbunyi lama sekali, tapi tidak ada yang mengangkat, sampai akhirnya sambungan terputus otomatis.Sejak pulang dari tempat Harvey, Miranda benar-benar kehilangan kontak dengan Rowan. Pesannya tidak dibalas, telepon tidak dijawab, bahkan ketika dia datang ke hotel, Rowan tetap tidak membukakan pintu.Dari resepsionis, dia tahu bahwa Rowan belum check out."Tok tok tok ...." Kali ini dia memukul pintu dengan keras. "Rowan, buka pintunya! Kalau hari ini kamu nggak buka, aku akan terus mengetuk sampai kamu buka!"Setelah Miranda memukul pintu selama sepuluh menit, pintu akhirnya terbuka.Aroma tajam dari asap rokok dan alkohol langsung menerpa wajahnya dan membuatnya mual. "Bau sekali." Miranda mencubit hidungnya dengan ekspresi jijik.Kemudian, di
Rowan menatap cahaya matahari yang masuk melalui jendela, lalu menundukkan kepala dan berkata dengan suara rendah, "Eleanor."Anthony langsung terkejut dan meninggikan nada bicaranya, "Apa? Eleanor? Dia mau tunangan? Sama siapa?""Sama siapa itu nggak penting." Suara Rowan terdengar penuh obsesif. "Aku nggak akan biarkan dia bertunangan sama pria itu. Dia cuma boleh jadi milikku! Aku akan merebutnya kembali!""Uh ...." Anthony sampai kehilangan kata-kata karena terkejut.Beberapa saat kemudian, barulah dia berkata dengan hati-hati, "Rowan ... itu ... sepertinya nggak etis?"Rowan hanya tertawa sinis. "Etis? Aku nggak peduli soal itu. Aku cuma mau dia ada di sisiku."Mendengar ucapan itu, Anthony sampai kehabisan kata-kata.Yang benar saja? Waktu Eleanor masih bersamanya, Rowan malah memperlakukan wanita itu seperti pengganti. Begitu cinta pertamanya kembali dari luar negeri, Rowan malah berselingkuh dengan cinta pertamanya.Sekarang setelah putus dan Eleanor hampir bertunangan, Rowan m
Eleanor mengambil berkas itu dan membacanya sekilas.Vivian berkata, "Kalau kamu bisa menegosiasikan kasus ini dengan sukses, aku akan kasih kamu komisi 20% sesuai standar divisi bisnis. Komisi itu bisa digabung dengan pembagian biaya pengacara setelahnya."Eleanor sebenarnya tidak terlalu memikirkan soal komisi. Yang lebih penting baginya adalah kesempatan untuk melatih kemampuan negosiasi.Saat masih bekerja di firma hukum di Kota Alman dulu, semua negosiasi ditangani oleh tim bisnis. Sebagai pengacara, dia hanya menerima kasus yang sudah selesai dinegosiasikan. Lagi pula, di Kota Alman dia juga tidak punya banyak koneksi atau jaringan, jadi nyaris tidak pernah mendapat kesempatan untuk negosiasi langsung.Eleanor menerima tugas itu, lalu mengangkat kepala dan berkata pada Vivian, "Baik, Bu Vivian."Vivian menepuk bahu Eleanor dengan nada menenangkan. "Nanti jam tujuh malam, di Kelab Starry. Aku minta Jovin untuk pergi bersamamu. Maaf harus lembur, ya."Eleanor mengangguk. "Baik, ngg
Kedua pria paruh baya itu langsung menunjukkan raut wajah berbinar saat melihat Eleanor yang muda dan cantik masuk ke ruangan.Salah satu dari mereka, seorang bos bertubuh agak gemuk, menatap Eleanor dengan mata mesum sambil menyipitkan mata. "Ini siapa, ya?"Jovin melirik Eleanor dan diam-diam melemparkan tatapan sinis dan tidak acuh.Eleanor tetap tenang. Dia mengambil dokumen kontrak dan meletakkannya di atas meja minum, lalu tersenyum ringan. "Pak Hasyim, Pak Baim, saya Eleanor dari Firma Hukum Victory. Saya ke sini untuk membicarakan kerja sama kontrak penasihat hukum."Dia duduk di sisi samping sofa, lalu mulai menjelaskan dengan nada profesional, "Pak Hasyim, saya dengar kontrak penasihat hukum perusahaan Anda dengan firma hukum sebelumnya akan segera habis, ya?""Mungkin Anda bisa mempertimbangkan untuk bekerja sama dengan firma kami. Victory adalah firma hukum nomor satu di Kota Ordo. Kami punya pengacara-pengacara ternama di bidang perdata, pidana, hak kekayaan intelektual, d
Mereka berdua terlihat berbincang dan tertawa, tampak begitu akrab.Rowan bergumam, "Cepat sekali dia keluar dari rumah sakit. Benar-benar susah mati."Anthony menduga pria itu adalah tunangan Eleanor. Tanpa ragu, Rowan membuka pintu mobil dan berjalan menuju Eleanor.....Sudah seminggu sejak Dominic keluar dari rumah sakit. Selama seminggu ini, setiap hari dia harus makan makanan polos di bawah pengawasan Eleanor.Awalnya dia masih bisa menerimanya, tetapi setelah beberapa hari berturut-turut hanya makan makanan yang begitu-begitu saja, dia mulai bosan.Setelah membujuk dan merajuk, akhirnya hari ini Eleanor setuju untuk membawanya keluar makan sesuatu yang lebih enak.Restoran yang mereka tuju berada di pusat kota, daerah paling ramai. Itu adalah restoran tua yang terkenal di Kota Ordo, tempat mereka biasa makan sejak kecil.Karena sekarang jam makan, restoran itu penuh. Tidak ada satu kursi pun yang kosong, bahkan di depan pintu ada antrean panjang yang menunggu giliran masuk.Untu
Akhir-akhir ini, Rowan sibuk mencari investor untuk perusahaannya. Di Kota Ordo, hampir tidak ada perusahaan yang bersedia berinvestasi di Grup Naval. Jadi, dia terpaksa mencari peluang di luar kota. Sebagian besar waktunya dihabiskan di hotel dan pesawat.Hari ini, Rowan baru saja kembali ke Kota Ordo dan Anthony sudah datang menjemputnya. Saat sore hari dalam perjalanan menuju sebuah acara makan, Anthony melirik sekilas ke arah Rowan ketika mobil berhenti di lampu merah.Rowan sedang memegang ponselnya, melihat satu per satu foto lamanya bersama Eleanor. Anthony membuka mulut seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu-ragu.Sebelum dia sempat berbicara, Rowan sudah lebih dulu menyodorkan ponselnya. Matanya penuh nostalgia. "Lihat, betapa bahagianya kami dulu."Anthony memandangnya dengan ekspresi rumit. Beberapa waktu lalu, Rowan memintanya membeli cincin dari Pransis, katanya ingin menggunakannya untuk merebut kembali Eleanor.Saat itu, Rowan mengatakan bahwa Eleanor akan seg
Eleanor masih belum puas dan bertanya lagi, "Benar-benar nggak ada perkiraan waktu?""Kalau harus dijawab, mungkin saat kamu SMA. Saat Declan mengganggumu, aku menghajarnya dan baru sadar kalau perasaanku ke kamu memang berbeda."Eleanor merapatkan bibirnya. "Kamu menyembunyikannya dengan baik ya."Dominic mengusap kepala Eleanor yang lembut. "Aku harus menunggumu tumbuh dewasa dulu."Tatapannya tiba-tiba dipenuhi sedikit kesedihan. "Begitu kamu lulus kuliah, aku langsung menemui ayahmu untuk mengajukan pernikahan. Tapi, kamu malah menolak dan kabur dari rumah."Eleanor merasa bersalah. Dia mengalihkan pandangannya dan bergumam, "Waktu itu ... aku pikir Ayah mengorbankanku demi bisnis keluarga. Mana aku tahu kalau kamu sudah merencanakan ini sejak lama? Kamu juga nggak pernah bilang. Aku benar-benar merasa dirugikan ...."Tiba-tiba, Dominic memasang ekspresi kesakitan. "Aduh, sakit sekali."Eleanor pun panik dan buru-buru melihat ke arah pinggangnya yang terluka. "Kenapa? Kebentur sesu
Ucapan Rowan seperti mantra yang terus bergema di kepala Eleanor, membuat pikirannya kacau sepanjang hari.Keesokan harinya saat Eleanor datang ke rumah sakit untuk menjenguk Dominic, wajahnya tampak penuh beban."Elea, lagi pikirin apa?" tanya Dominic.Eleanor mengedipkan matanya, memalingkan wajahnya agar tak menatapnya langsung. "Itu ... soal Katalina, sebenarnya dia siapa?"Dominic tersenyum misterius. "Cemburu ya?"Eleanor berusaha terlihat tidak acuh dan menggembungkan pipinya sedikit. "Nggak kok. Aku hanya penasaran. Kamu nggak pernah menyebutnya sebelumnya."Mengingat bagaimana wanita itu menculik Emily dan hampir menikamnya, Eleanor bukan hanya cemburu, tetapi juga marah. "Dari mana kamu mendapatkan penggemar gila seperti itu?"Dominic melambaikan tangannya ke arah Eleanor. "Kemari."Eleanor menurut. Dia mendekat dan duduk di tepi tempat tidur.Dominic menggenggam tangannya dengan serius. "Aku dan dia dulu teman sekelas waktu SMA. Dia pernah mengejarku dengan sangat agresif, t
"Hmm."Selena menoleh menatap Dominic. "Kamu sudah kenyang? Mau makan lagi nggak? Ibu bawa semua makanan favoritmu."Dominic menjawab, "Nggak perlu. Masakan Eleanor pas banget di lidahku, aku habiskan semuanya."Mendengar itu, Selena tersenyum puas. "Baiklah. Kalau sudah makan, nggak apa-apa."Kevin memandang mereka dengan tatapan menggoda. "Oh? Masakan Eleanor ya?"Dia meletakkan keranjang buah dan suplemen yang dibawanya, lalu menatap Dominic sambil tersenyum. "Kamu beruntung sekali ya."Dominic menanggapi, "Tentu saja. Kebahagiaan seperti ini mana bisa dirasakan oleh para jomblo?"Senyuman Kevin langsung membeku. "Baiklah, aku juga harus cari pacar, lalu pamer kemesraan setiap hari di depanmu sampai kamu muak!"Olivia membelalakkan mata karena terkejut. "Elea, kamu bisa masak?"Eleanor tersenyum tipis. "Baru saja belajar.""Tsk, tsk, cinta memang ajaib." Olivia masih tak percaya. Dia bahkan mengelilingi Eleanor seakan-akan ingin memastikan sesuatu."Aku masih ingat waktu kuliah dulu
Saat Dominic sadar kembali, meja lipat di depannya sudah penuh dengan makanan. Ada tumis pakcoy, daging sapi, nasi putih yang masih mengepul asap, serta semangkuk sup."Kamu masak sebanyak ini?" Dominic tersenyum lembut. "Sup apa ini?""Sup ayam kampung." Eleanor mengangkat mangkuk sup, mengambil sesendok, lalu meniupnya perlahan sebelum menyodorkannya ke bibir Dominic. "Coba cicipi."Dominic menurunkan pandangannya sambil tersenyum, tetapi senyuman itu tiba-tiba memudar. "Tanganmu kenapa?" Dia melihat ada lepuhan kecil di jari telunjuk kanan Eleanor.Eleanor refleks ingin menyembunyikannya, tetapi sudah terlambat. Dia hanya bisa berkata dengan jujur, "Tadi ... waktu di dapur, aku nggak sengaja kena air panas. Nggak apa-apa, cuma lepuhan kecil saja."Mata Dominic sedikit memerah. "Sakit nggak?"Eleanor menggeleng. "Nggak sakit."Dominic menyesap sup dengan tenang, lalu menggenggam pergelangan tangan Eleanor dengan lembut, menunduk dan meniup pelan bagian yang terluka.Setelah beberapa
Bibir pucat Dominic membentuk senyuman tipis. "Baik, aku janji padamu."Isaac dan Selena baru saja keluar dari ruang ICU ketika mereka menerima telepon. Suara di ujung telepon terdengar cemas. "Pak Isaac, ada masalah."Di pusat tahanan, Katalina mengaku bahwa dia hamil. Sesuai prosedur, dia harus dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan.Dalam perjalanan ke rumah sakit, sebuah mobil tiba-tiba melaju dengan kencang, menabrak mobil yang membawa Katalina hingga berhenti di tepi jalan.Dari mobil itu, turun beberapa pria bertubuh kekar dengan keterampilan luar biasa. Mereka pun membawa Katalina pergi.Petugas yang mengawal mengalami cedera parah, sementara kendaraan mereka rusak berat dan tidak bisa langsung mengejar.Mendengar laporan itu, wajah Isaac menunjukkan ekspresi tak percaya. "Dia berhasil dibawa pergi?""Apa yang terjadi? Siapa yang dibawa pergi?" tanya Selena dengan cemas.Isaac menarik napas dalam-dalam, tubuhnya sedikit bungkuk. "Katalina.""Apa?" Selena terkejut. "Bukankah di
Eleanor sudah cemas sepanjang sore. Sekarang setelah Dominic melewati masa kritis, dia ingin melihatnya. Bagaimanapun, Dominic terluka karena melindunginya."Ayo, ikut aku pulang," ucap Adrian dengan tegas.Eleanor menggeleng, menatap ayahnya dengan teguh. "Ayah, aku tahu Ayah sangat marah sekarang, tapi aku belum bisa pulang. Dominic sudah mempertaruhkan nyawanya untukku. Aku nggak punya alasan untuk pergi begitu saja. Kalau dia nggak melihatku saat siuman nanti, dia pasti akan sangat sedih."Nirvan merasa terharu mendengar kata-kata itu. Dia lantas menoleh ke Adrian. "Adrian, istriku tadi memang terlalu kasar. Aku minta maaf, jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati."Isaac juga menimpali, "Benar, Dominic pasti ingin melihat Eleanor di sisinya setelah siuman."Selena berkata, "Adrian, jangan marah. Kedua anak ini saling mencintai, ini hal yang baik."Tokoh besar seperti Nirvan sampai merendahkan diri untuk meminta maaf, Adrian pun tidak bisa berkata apa-apa lagi.Memang benar bahwa Gi
Eleanor menunduk. "Semua ini salahku."Selena langsung menoleh ke arahnya. "Elea, apa maksudmu?"Eleanor pun menceritakan semuanya dengan jelas.Giana bertanya dengan nada menyalahkan, "Jadi, Dominic ditikam karena melindungimu?"Eleanor menggigit bibirnya. "Ya."Giana pun kesal. "Eleanor, kamu terlalu gegabah. Kami sudah melapor ke polisi dan ada banyak pengawal di vila. Kenapa kamu nggak bisa menunggu sebentar? Kalau kamu nggak bertindak gegabah, Dominic nggak akan terluka seperti ini.""Maafkan aku, ini semua salahku," ucap Eleanor dengan suara lirih, kepalanya semakin tertunduk.Giana semakin menekan. "Kamu belum resmi masuk keluarga ini, tapi sudah membawa masalah sebesar ini."Wajah Adrian langsung menjadi masam. "Apa maksudmu? Jelas-jelas Dominic yang ada masalah dengan wanita itu, sementara putriku adalah korbannya. Kenapa malah menyalahkan putriku?"Adrian menyindir, "Gampang sekali kalian bicaranya. Kalian suruh kami menunggu? Wanita itu menculik putri bungsuku, menodongkan p