"Aku kembalikan ke Mas Kaizer. Soalnya itu buku milik Mas Kaizer."Raymond menatap buku di atas pangkuannya kemudian meraihnya. Dia langsung menyembunyikan buku tersebut, menoleh pada Carmen dengan tatapan datar. Sedangkan Carmen, dia memperlihatkan senyuman tak enak–langsung menatap ke arah jendela di sebelahnya. 'Kan! Sudah kuduga, Mas Kaizer pasti kesal padaku karena Ayah memberikan buku itu padaku. Untung aku langsung memberikan bukunya ke dia.' batin Carmen, hanya diam setelahnya karena takut berbicara pada suaminya. Yang ada di otaknya, Raymond kesal padanya. Pria ini pasti marah karena Lennon memberinya buku legendaris milik Raymond pada Chestnut. Setelah tiba di hotel, Carmen segera turun dari mobil. Dia tak mengatakan apa-apa pada Raymond, dan dia terkesan buru-buru meninggalkan suaminya. "Tuan, apa kita langsung berangkat ke kantor?" tanya Diego yang sedang mengemudi. Raymond mengamati istrinya yang berlari kecil ke dalam hotel. Setelah itu dia menganggukkan kepala, di m
Carmen melipat laporan pemeriksaan dan memasukkannya dalam tas. Raut mukanya pucat dan tegang, mata membulat serta tatapan kosong. Dia kira dia hanya demam biasa karena cuaca yang sering berubah-ubah. Namun, ternyata dia salah! "Bagaimana hasilnya, Car?" tanya Teresia, setelah Carmen keluar dari ruang pemeriksaan–mendatanginya di tempat tunggu. Teresia memang tak ikut masuk untuk menemani Carmen karena dilarang oleh Carmen. Mereka adalah sahabat yang sangat garing, mudah tertawa dan sulit serius jika sudah bersama. Oleh sebab itu, Carmen menolak ditemani masuk oleh Teresia. Carmen takut tertawa terus saat pemeriksaan! "Gejala perubahan cuaca saja, Tere," jawab Carmen mantap, tersenyum tipis pada Teresia. "Aku harus banyak minum air putih dan sebaiknya istirahat juga. Itu kata dokter," lanjutnya berbohong. "Ouh, syukurlah bukan penyakit serius." Teresia merangkul Carmen lalu keduanya berjalan beriringan–pergi dari sana. "Berarti sekarang kamu harus pulang dong. Kata dokter ka
"Auu …." Clarissa terjatuh cukup kasar ke lantai, dia meringis lalu melayangkan tatapan marah pada Carmen. "Sialan kamu, Carmen! Dasar anak buangan! Sampah!""Sampah?! Hei, kamu dan Ibumu padasitisme! Dan aku anak buangan?!" Carmen menunjuk diri sendiri, "kalian semua yang kubuang! Buktinya aku pergi meninggalkan keluarga Wijaya, bukan kalian yang meninggalkanku.""Argkkk!" Clarissa menjerit marah karena tak terima dengan perkataan Carmen, dia segera bangkit dan langsung menjambak rambut Carmen. Carmen tentunya tak mau kalah. Dia balik menjambak rambut Clarissa secara membabi buta, meluapkan semua kemarahan serta rasa sakit yang dia terima selama ini melalui jambakan X 3000 ultra pro max miliknya. Orang-orang mulai mengerumuni mereka, menonton keduanya yang sedang jambak-jambakan. Teresia sendiri, awalnya dia ingin memisahkan Carmen dan Clarissa. Dia cukup khawatir pada kondisi Carmen yang sedang sakit. Namun, melihat Carmen lebih unggul dan mendominasi, Teresia beralih menjadi supp
Raymond meniup daun telinga Carmen, dan akhirnya itu berhasil membuat Carmen melepas gigitannya di kepala Clarissa. Carmen marah pada seseorang yang meniup telinganya, dia berniat memaki dan memukul wajahnya. Namun, melihat siapa pelakunya, Carmen langsung membelalakkan mata. Dia menutup mulut yang menganga sembari menatap kaget pada sosok pria tinggi yang saat ini berhadapan dengannya. Oh Tuhan! Suaminya! Clarissa sendiri, reflek berhenti menangis ketika melihat pria yang sangat tampan di dekat Carmen. Dia menatap pria itu penuh dengan kekaguman dan ketertarikan. 'Wow! Tuan ini sangat tampan dan … mempesona. Dari pakaiannya, dia sepertinya orang terpandang. Oh my God!! Bagaimana bisa ada pria se tampan ini?!' batinnya, masih terus menatap pria itu dengan tatapan terpesona. Orang-orang yang mengerumuni, perlahan meninggalkan tempat itu. Beberapa dari mereka mengenal Raymond, dan hal yang menakutkan jika mereka sampai harus berhadapan dengan Raymond. Lebih baik menghindari pria
"Kau sakit apa, Humm?" tanya Raymond, membawa Carmen ke kantornya. Dia terpaksa karena ada pertemuan mendesak–tadi. Raymond telah melakukan pertemuan bisnis penting tersebut, kini menemui istrinya di ruangannya. "Hanya demam biasa, Mas. Efek pergantian cuaca," jawab Carmen pelan, menatap Raymond dengan pandangan yang sulit diartikan. Selama lima hari ini, Raymond seperti menghilang–tak memperhatikannya dan bersikap dingin. Carmen merasa ragu dan takut! "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau sedang sakit?" tanya Raymond kembali, meletakkan tangan di kening istrinya–mencek apakah suhu tubuh istrinya tinggi atau tidak. Panas, akan tetapi bukan panas yang membuat seseorang panik. Meski begitu, Raymond tetap khawatir. "Aku hanya sakit biasa dan aku tidak ingin merepotkan siapapun," jawab Carmen lagi, menyingkirkan tangan Raymond dari kening. Raymond menghela napas lalu duduk di sebelah istrinya. Dari nada bicara istrinya, sepertinya Raymond telah membuat perempuan in
"Mah, aku bertemu dengan Carmen di kota itu," adu Clarissa pada mamanya, di mana saat ini dia telah kembali ke kotanya dan sedang bersantai dengan mamanya–di rumah mewah peninggalan ayah tirinya. Seharusnya ini milik Carmen, akan tetapi dia dan ibunya berhasil merebutnya. Clarissa sangat bangga akan hal itu. Kebenciannya pada Carmen sudah muncul sejak lama. Dia satu sekolah dengan Carmen saat SMP dan SMA. Carmen selalu menjadi primadona karena dianggap cantik, ramah, asyik, pintar, dan juga baik. Semua orang menyukai Carmen dan itu membuatnya iri. Ibunya dan ayah Carmen menikah saat dia berusia 17 tahun–awal kelas tiga, di mana sebelumnya dia memang sudah membenci Carmen karena satu SMP. Dia semakin membenci Carmen saat tahu Carmen masuk ke SMA yang sama dengannya–menganggap Carmen adalah ancaman untuknya. Ah yah, tentu saja ancaman! Clarissa sangat suka menjadi pusat perhatian sedangkan Carmen berpotensi merebut atensi semua orang darinya. Karena hal itu, dia menghasut se
Carmen dan Raymond telah sampai di rumah mereka, di mana setelah mandi Carmen langsung membaringkan tubuh di atas ranjang. Berbeda halnya dengan Raymond, pria itu masih di dalam walk in closet. Entah apa yang pria itu lakukan di dalam sana. "Tiba-tiba saja Mas Kaizer mengatakan hal seperti tadi," gumam Carmen, kembali teringat pada perkataan Raymond yang menyinggung masalah balas dendam Carmen pada ibu tiri serta keluarga Wijaya. Saat Carmen sedang termenung memikirkan masalah tersebut, tiba-tiba saja Raymond datang–pria itu langsung menariknya kemudian menyerahkan sebuah dress seksi pada Carmen. "Aku ingin kau mengenakan ini. Cepat!" titah Raymond, tak sabar dan tergesa-gesa. Carmen mengangkat dress pemberian Raymond. Sial! Ini lingerie yang dia beli saat itu. Lingerie tersebut berbentuk dress mini, akan tetapi sangat erotis dan memancing apabila dikenakan. Muka Carmen berubah tak bersahabat, menatap lingerie di tangannya dengan ekspresi muram bercampur panik. "A-aku sedang saki
"Jadi anak nakal itu ada di kota penguasa tertinggi?" tanya Armen Wijaya, adik Herlando (ayah Carmen). Herlando memiliki tiga saudara, diantaranya, Armen, Martin, dan Elisa. Herlando kakak tertua di keluarganya sehingga dulu dia sangat disegani dan dipatuhi. Namun, sekarang Armen lah yang memegang keluarga Wijaya, dia yang memimpin. Tiara dan Clarissa menganggukkan kepala. "Carmen menemui keluarga suaminya dan sekarang dia tinggal dengan suaminya, Paman."Clarissa dan ibunya menemui Armen serta keluarga Wijaya lainnya untuk mendapatkan bantuan. Bagaimanapun caranya, Clarissa harus merebut posisi Carmen. Ibunya benar! Dulu, Raymond miliknya dan sampai sekarang pun tetap miliknya. "Baguslah." Armen berkata remeh, "akhirnya sampah itu pergi dari keluarga kita. Anak tidak berguna sepertinya memang pantas meninggalkan keluarga Wijaya," ujar Armen dengan nada lantang, pertanda jika ucapannya tak boleh dibantah serta mengandung ketidaksukaan pada Carmen. Sekarang dia adalah pemimpin k
"Kau ini apa-apaan, Hah? Siapa yang … berbicara denganmu?!" ketus Harlen, menepuk-penuk pelan pundaknya yang disentuh oleh Diego–seakan ada noda di sana dan dia sedang membersihkan noda tersebut. "Perutmu sepertinya belum sembuh, Tuan. Jadi tolonglah!" Peringat Diego. Akan tetapi sayangnya Harlen tak mengindahkan. Meski Raymond di sini, dia sama sekali tak takut. Ini rumah Lennon, ayahnya juga di sini. Jadi Raymond tidak mungkin macam-macam padanya. Lagipula ayahnya datang ke sini untuk membicarakan masalahnya dan Raymond kemarin. "Diamlah, Babu!" arogan dan ketus Harlen. Setelah itu menatap Carmen dengan penuh keterpesonaan. Entah perasaannya saja, pagi ini Carmen terlihat sangat cantik. Wajah Carmen segar dan berseri-seri. 'Cih. Syukur juga aku sudah bercerai dari Siran yang menjijikkan itu. Sekarang ada Carmen yang jauh lebih baik dari Siran, dan aku harus segera memilikinya. Siran bukan apa-apa lagi, dia terlihat seperti sampah. Dan Carmen-- dia terlihat seperti batu berli
"Kenapa tanganmu bisa terbakar, Nak?" tanya Lennon bernada panik, memberi isyarat pada maid untuk mengambil obat. Alih-alih menjawab perkataan ayahnya, Raymond malah memperlihatkan senyuman senang. Hal tersebut membuat Lennon bingung dan heran. "Itu Ayah, Mas Kaizer sepertinya ingin memindahkan wajan. Tapi mungkin karena Mas Kaizer melamun, dia salah memegang," jelas Carmen. Ketika maid datang membawa kotak obat, Carmen langsung mengambilnya dari maid. Dia membuka kotak obat lalu mencari obat untuk luka bakar. Lennon kembali menatap putranya dengan ekspresi tak percaya. "Koki terhebat sepertimu--" Lennon memicingkan mata, "melamun di dapur dan salah memegang wajan?" "Aduh, Ayah. Mas Kaizer kan manusia, wajar jika Mas melakukan sebuah kesalahan," ucap Carmen lagi, kini sedang mengoles luka pada tangan suaminya. "Jadi--" Lennon kali ini menatap menantunya, "kau membawa Kaizer ke sini untuk apa?" "Untuk mengobatinya. Hehehe …." Menyadari maksud pertanyaan ayah mertuanya, Carmen
Hal tersebut membuat mata Selin membelalak lebar. Jantungnya berpacu kencang dan punggungnya panas dingin. Ke-kenapa pria tua ini perhatian? Astaga, Selin tidak bisa! 'Dia memijat kepalaku?' batin Selin, meneguk saliva secara kasar sambil melirik tangan Lennon yang sedang memijat keningnya. "A-aku sudah merasa jauh lebih baik, Tuan. An-anda tidak perlu memijat kepalaku," ucap Selin gugup, mencoba bangkit tetapi Lennon menahan pundaknya. "Akhir-akhir ini kita banyak masalah. Mungkin itu mempengaruhi kesehatanmu," ucap Lennon, masih memijat pelan kening istrinya. Selin hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Pada akhirnya dia membiarkan Lennon memijat kepalanya. 'Tuan Lennon semakin baik padaku. Lama-lama aku merasa tak enak. Aku-- canggung sekali.' batin Selin, mencoba memejamkan mata, mulai menikmati pijatan suaminya di kepalanya. *** "Mas Kaizer sangat hebat," puji Carmen, bertepuk tangan sambil menatap suaminya dengan kagum. "Tadi itu, aku sangat terpesona pada Mas Kaiz
"Sekarang kau tinggal di sini. Jangan menyusahkan putraku dengan meminta tinggal bersamanya," peringat Lennon pada Talita. Kebetulan hanya Lennon dan Talita yang berada di tempat ini, Carmen sedang memasak bersama Raymond. Sedangkan Selin, tengah mengambil kacamata untuk Lennon. Talita menatap takut bercampur gugup pada ayahnya. Dia sangat ingin tinggal dengan kakaknya karena Raymond baik. Ayahnya-- Talita sangat takut pada ayahnya. "Ta-pi Tata ingin tinggal bersama Kakak Lemon," cicit Talita pelan, meremas dress berwarna pink yang dia kenakan sambil menundukkan kepala. "Kakakmu sudah memiliki istri, dan Kakak Ura sedang hamil. Dia butuh perhatian lebih dari Kakak Lemon. Jika kau di sana, perhatian Kakak Lemon akan terbagi padamu. Kasihan Kakak Ura kalau begitu," ucap Lennon, berbicara datar dan tegas akan tetapi menirukan nama panggilan Talita pada kakak laki-lakinya dan kakak iparnya. "Ck, lama sekali perempuan itu. Hanya mengambil kacamata ke kamar, tapi kenapa kenapa lamanya
Lennon mengangkat pandangan, menatap putranya dengan tatapan kagum bercampur tak percaya. Yah, pria yang sering diteriaki iblis tak berhati itu adalah putranya. Dia orang yang sama dengan anak kecil yang melihat ayahnya membunuh ibunya yang sedang hamil besar. Dia anak yang tumbuh dengan kasih sayang yang sangat kurang, dan mental yang terluka. Namun, kenapa dalam hal ini, putranya terlihat seperti seseorang yang tumbuh tanpa luka?! Lennon tahu Raymond sangat ingin punya adik, dan dulu-- dia sangat menunggu kelahiran adiknya. Lennon juga tahu Raymond melindungi Talita karena gadis kecil itu adiknya. Hanya saja, Lennon tetap tak percaya bahwa putranya bisa melakukan hal ini; membuat adiknya percaya pada hari baik, menjaganya, dan menjamin kehidupan bagi adiknya. Lennon tak menyangka kalau Raymond sangat tulus pada Talita. Ketulusan anak itu sampai di titik-- membuat Talita lebih memilih kakaknya dibandingkan ibu ataupun ayahnya. "Kemari," panggil Raymond pelan pada Talita. A
"Kak Lemon," jawab Talita dengan nada takut bercampur gugup. Jawabannya tersebut membuat orang-orang menatap terkejut pada Talita, merasa aneh ataupun heran. Sebab, kenapa Talita malah memilih Raymond? Bukankah seharunya Talita memilih salah satu dari orang tuanya? Bukan Raymond. "Sayang, Tuan Raymond bukan pilihan," ucap Laudia lembut pada cucunya. Hanya pura-pura karena dia juga tak menyukai Talita, anak ini akan menjadi beban di keluarga Klopper. Yah, kecuali Siran menikah dengan Lennon, mungkin anak ini akan menjadi cucu kesayangannya. Talita melepas pelukan Siran dari tubuh kecilnya. Dia berdiri ditengah dengan tubuh kecil yang ketakutan. Talita menatap satu per satu orang-orang di sana, memperhatikan wajah mereka yang terlihat menakutkan bagi Talita. Meski masih kecil, tapi Talita tahu mereka semua tak menginginkan Talita. Tapi …- Talita menatap ke arah Raymond yang menampilkan air muka datar. Kemudian dia menatap ayah dan berakhir pada mamanya. "Talita tidak menyayang
"Tetapi Ayah tidak mau menikah dengan Mama, jadi kamu harus memilih salah satunya," ujar Siran lagi dengan nada sendu supaya mendapat simpati dari yang lainnya. Dia sengaja mengatakan hal itu, agar Talita memaksa Lennon untuk menikahinya. Secara ragu, Talita menatap ke arah Lennon, akan tetapi anak itu langsung menunduk takut karena melihat wajah marah ayahnya. Dia tidak berani! "Jadi Talita ingin bersama Ayah atau Mama?" tanya Siran kembali dengan nada rendah, sengaja membelai rambut Talita agar dia terlihat lembut dan menyayangi anak itu. "Bukankah dulu Kak Lennon tidak ingin Talita? Jadi biarkan saja Talita ikut dengan Siran. Toh, status Talita juga bukan anak sah keluarga Abraham," ucap Rihana dengan nada tegas, memberi tanggapan pada Lennon. Memang benar, Rihana ingin Lennon menikahi Siran, karena dengan begitu nama baik Lennon perlahan akan pudar. Selain itu, dia ingin balas dendam pada Selin. Sebab jika Lennon menikah dengan Siran, maka posisi Selin akan semakin rendah. Itu
"Aku hanya ingin anakku kembali padaku. Aku yang membesarkan Talita dengan segenap jiwa. Sedangkan kalian semua, dulu kalian ingin melenyapkannya kan?" ucap Siran dengan sedih, duduk di lantai sebagai hukuman dari ayahnya. Sebelumnya, dia mendapat tamparan di wajahnya dari Lennon. Itu sangat sakit! Untungnya ayahnya memohon supaya Lennon berhenti menamparnya. Mantan suami dan mertuanya juga datang ke sini. Mereka ingin mengetahui apa sebenarnya terjadi, dan seperti apa selanjutnya. Selain itu, mereka datang untuk menuntut Raymond pada Lennon karena Raymond menendang perut Harlen. Perut Harlen lebam dan sakit, dan itu perbuatan kejam Raymond. "Itu karena kami tidak tahu kalau anak yang kau kandung, itu anak Kak Lennon," ucap Rihana dengan nada lembut, tetapi terkesan menyindir–seperti menggiring orang-orang supaya berpikir kalau Lennon adalah pria bejad. Padahal semua sudah tahu jika Lennon adalah korban kelicikan Siran. Lennon dijebak oleh wanita menjijikan ini! "Apa mak
Carmen langsung melebarkan senyuman pada Raymond, melambaikan tangan pada suaminya tersebut. Namun, dia tetap berdiri di kaku di tempatnya. Faktanya, bukan hanya chef lain yang takut Raymond di sini. Carmen juga sangat takut karena dia yang akan menjadi bulan-bulanan suaminya di sini. Melihat Vincen tak jauh darinya, Carmen mendekati pria itu lalu berbisik padanya. "Kepala Chef yang memanggilnya ke sini yah?" bisik Carmen pelan. "Menjauh, Carmen. Saya dalam masalah besar," balas Vincen, sudah berkeringat dingin sambil menatap panik pada Raymond. Tiba-tiba Carmen mendekatinya dan Raymond yang ada di depan sana langsung melayangkan tatapan membunuh padanya. "Makanya jawab, Kepala Chef." Carmen berbisik lagi. Vincen menganggukkan kepala. "Saya takut Tuan Harlen melukaimu, Carmen. Oleh sebab itu saya menghubungi Tuan Raymond.""Hehehe … terimakasih, Kepala Chef. Kamu membuat kita semua dalam bahaya," cengenges Carmen, menatap tertekan pada Vincen. Astaga! Kenapa atasannya ini harus