Greta menarik koper di tangan kanannya sementara tangan kirinya memegang segelas es kopi yang sesekali diseruputnya, saat itu ia baru saja mendarat di bandara Brisbane usai menghadiri pernikahan kakak laki-lakinya.
Pikiran Greta melayang kemana-mana karena di pernikahan kakaknya kemarin, beberapa orang dengan kasar menanyakan bagaimana rasanya ditipu tepat dua bulan sebelum hari pernikahan! Saat itu, dia merasa ingin menghilang ke bumi dari pada harus menghadapi orang-orang tidak sopan itu.
Saat Greta masih asyik melamun, tiba-tiba seseorang menabrak pundaknya dengan keras. "Ya Tuhan! Bisakah kau berjalan dengan sedikit lebih fokus?!" bentak pria itu sambil membersihkan baju putihnya yang terkena noda kopi.
Greta memutar matanya, "Apa yang kamu katakan? Itu bukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan setelah kau menabrak seseorang!" bentaknya dengan wajah memerah karena marah.
"Apa kau bilang? Jadi kau baru saja bilang bahwa aku yang menabrakmu? Haruskah kita memeriksa CCTV untuk membuktikannya?" Pria itu mendongak dan menunjukkan wajah Australia yang tampan yang mengejutkan Greta, tetapi untungnya, dia segera mengendalikan diri.
Greta tampak ragu sejenak, dia sendiri tidak yakin tapi dia memilih berpura-pura, tentu saja dia tidak ingin disalahkan, apalagi reaksi pria itu agak berlebihan.
"Iya, memangnya kenapa? Kau yang menabrakku lebih dulu kan? Ya Tuhan, seharusnya kau minta maaf bukannya malah marah! Kau benar-benar menyebalkan! Oke, anggap saja aku baik hari ini jadi kau akan kubiarkan!" teriak Greta saat dia bersiap untuk melarikan diri.
Tapi tangan pria itu dengan cepat menghentikannya.
"Aku masih punya cukup waktu untuk membuktikan bahwa kau yang bersalah," kata pria itu datar dan tegas.
"Apa?" Greta terlihat sangat gugup, sejujurnya dia sendiri tidak yakin bahwa pria itu yang menabraknya. Jangan-jangan ia yang menabrak pria itu karena pikirannya terlalu fokus pada pertanyaan-pertanyaan menyebalkan yang diajukan orang-orang di pernikahan kakaknya kemarin.
"Oke, oke, anggap saja aku yang menabrakmu, maafkan aku, oke?" desis Greta yang tak mau dipermalukan di depan orang.
Genggaman pria itu mengendur lalu terlepas. Ia memandang Greta dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu menarik napas dalam-dalam dan berjalan menjauh dari Greta sambil menarik kopernya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Greta mendengus kesal,
"Astaga! Dia pikir dia Chris Hemsworth atau semacamnya? Dasar brengsek!" gerutu Greta sambil menarik kopernya dan terus berjalan menuju lobi. Matanya mengamati laki-laki angkuh itu dari belakang, saat itu mereka sama-sama sedang menuju ke lobby untuk bergabung dengan antrean taksi.
Greta menguap lebar, dia berdiri di lobi dan mengantri untuk mendapatkan taksi dengan mata mengantuk sehingga dia tidak sadar ketika dia tidak sengaja masuk ke dalam taksi yang ia pikir kosong.
"Kau?! Lagi! Apa yang kau lakukan di sini! Ya Tuhan! Tidak bisakah hariku lebih sial dari ini!" teriak seseorang yang ternyata adalah pria sombong yang bertengkar dengannya di dalam bandara tadi.
Greta melotot, dia tidak mengatakan apa-apa dan bersiap untuk turun kembali. Namun antrean yang mengular di belakangnya membuatnya malas mengulang antrean hingga baris pertama. "Bisakah kita jalan saja, Sir? Saya akan membayar ongkos taksi dua kali lipat, saya benar-benar tidak ada waktu untuk mengantri, tolong," kata Greta kepada supir taksi dengan wajah memelas.
Pria sombong itu menatapnya dengan mata lebar,
"Hei, kau pikir kau ini siapa? Keluar!" kata pria itu singkat. Sebelum Greta sempat turun dari taksi, suara klakson yang sangat keras membuat sopir taksi bingung dan memilih untuk melanjutkan perjalanan. “Maaf, tapi saya tidak diperbolehkan untuk menghentikan taksi di area ini, jika anda tidak keberatan, saya akan mengantarkan kalian berdua secara bergiliran” kata supir taksi sambil menatap Greta dan pria di sebelahnya melalui kaca spion tengah.
Greta dan laki-laki itu sama-sama diam, artinya mereka setuju.
"Antarkan aku dulu," kata pria itu dengan wajah sangat kesal.
"Tentu saja, anda yang pertama masuk ke taksi saya, anda akan saya utamakan!" kata pengemudi itu dengan santai.
"Tujuan kalian?" tanya sopir taksi kepada mereka berdua.
"125 Eagle Street,"
"72 Eagle Street,"
Greta dan pria sombong itu menjawab bersamaan.
Sopir taksi yang merupakan pria paruh baya tertawa terbahak-bahak sendirian seolah-olah sesuatu yang lucu baru saja terjadi.
"Dengar! Tidak ada yang perlu diperdebatkan! Tujuan kalian sama, tuliskan tanggal hari ini, mungkin kalian akan mengingat hari ini sebagai hari pertama kalian bertemu..."
Baik Greta maupun pria sombong itu memalingkan muka dan memasang ekspresi ingin muntah. Menuju ke Eagle Street, mereka berdua diam. Bahkan pria angkuh itu sengaja memasang Airpods di telinganya agar Greta tidak mengajaknya berbicara.
17 menit kemudian mereka sampai di Eagle Street, taksi menurunkan Greta terlebih dahulu di depan apartemennya.
"Berapa yang harus saya bayar? Saya tidak keberatan jika saya harus membayar semua ongkosnya tapi saya khawatir pria sombong ini akan merasa terhina," gerutu Greta sambil membuka dompetnya.
Pria sombong itu mendengus, “Bisakah kau pergi saja dari sini secepatnya, aku benar-benar sakit kepala melihat kelakuanmu,” katanya sambil memijat keningnya.
Greta mencibir, satu alisnya terangkat. Dia membuka pintu taksi, lalu sebelum turun dia memberikan seratus dolar kepada sopir yang menerimanya dengan gembira.
"Hei, pria sombong! Dengarkan aku baik-baik! Kau tidak menarik perhatianku sama sekali! Jadi jangan bertingkah seolah kau adalah tampan yang mempesona atau semacamnya!" gerutu Greta setelah berhasil menurunkan kopernya ke trotoar.
Pria sombong itu hanya menggelengkan kepalanya dengan wajah menyebalkan dan menutup pintu mobil dengan keras. "Arrghhhhh!" Greta menghentakkan kakinya ke lantai dengan wajah kesal. Ia menatap taksi itu hingga menghilang dari pandangannya lalu bergegas menyeret kopernya kembali ke apartemennya dengan suasana hati yang buruk.
*****
"Kudengar akan ada demo memasak dari Michelin Stars Chef yang sedang naik daun saat ini," kata Amy, teman Greta.
"Siapa namanya?" tanya Greta sambil mengenakan celemek dan mengikat tali belakangnya erat-erat.
Amy memiringkan kepalanya untuk mengingat, "Ryan, Um, Ryan Lewis! Yup Ryan Lewis, itu namanya!"
Greta mengangguk, dia terlihat santai karena hari itu tugas mereka hanya menonton demo dan berlatih memasak. "Kau membawakan sesuatu untukku, dari Amerika?" bisik Amy, sesekali memeriksa catatannya.
Greta membuka tasnya, hendak mengatakan sesuatu namun suara keras teman-temannya membuatnya mendongak penasaran. Di depan meja demo memasak, Chef itu berdiri dengan wajah tampannya yang terlihat menarik dan tegas. Dia mengenakan jaket koki hitam dengan tulisan, The Food Theory di atasnya.
"Greta, minggu lalu kau menang kuis kan? Greta? Greta?" seru Amy yang kesal karena Greta tidak juga menoleh.
"Siapa yang memenangkan kuis minggu lalu?" tanya dosen yang berdiri di depan sekali lagi. "Greta! Greta!" Dengan gemas, Amy mencubit lengan Greta hingga membuat Greta tersadar dari lamunannya. “Yang menang kuis minggu lalu, silahkan maju untuk menjadi asisten Chef Ryan Lewis hari ini,” dosen itu berkeliling mencari si pemenang kuis.
Greta dengan gugup melangkah maju, menyembunyikan wajahnya agar tidak dikenali.
"Oke, Greta, perkenalkan dirimu kepada Chef Ryan Lewis," kata si dosen memaksa Greta untuk mendongak sehingga dia tidak bisa menghindar dari tatapan tajam pria sombong di hadapannya.
"Kau?" desis Chef Ryan Lewis dengan gusar.
*****
"Kamu?!" Ryan mendesis, tampak kesal pada Greta. Dia masih ingat dengan jelas wajah wanita menyebalkan yang ditemuinya kemarin di bandara. Greta berusaha keras untuk terlihat normal, dia bahkan mencoba tersenyum pada Ryan yang jelas tidak akan membalas senyumnya, ia justru melengos dan memilih untuk fokus pada apa yang sedang ia lakukan. “Oke guys, jadi hari ini kita akan memasak Beef Wellington, seperti yang kita ketahui memasak Beef Wellington membutuhkan keahlian khusus, karena kita harus memastikan steak yang ada di dalam puff pastry matang dengan baik dan kita juga harus memastikan Pastry yang kita buat dimasak dengan sempurna," ujar Chef Ryan Lewis memulai demo memasaknya. "Jadi hari ini saya akan ditemani oleh, siapa nama kamu?" tanyanya singkat pada Greta. "Greta, Greta Spectre," jawab Greta dengan suara yang tertahan, dia cukup terkejut dengan bagaimana Chef Ryan Lewis mampu mengintimidasinya. Acara demo berjalan lancar, Greta sedikit membantu Ryan, tetapi dia kebanyakan
Akhirnya, Greta memutuskan untuk melompat ke punggung Ryan dan membiarkan Ryan membawanya ke ruang terapi. Meskipun ia digendong, itu sama sekali tidak mengurangi rasa sakit yang ia rasakan. Dengan canggung ia menempelkan wajahnya ke punggung Ryan yang harum. Aneh rasanya bersandar pada seseorang yang membuatnya terluka...Ada dorongan dalam benak Greta untuk mengajukan pertanyaan kepada Ryan, tentang apa saja. Tapi sekali lagi harga dirinya menolaknya untuk melakukan hal seperti itu.Di lobi klinik, mereka disambut oleh petugas yang langsung memberikan kursi roda kepada Greta dengan sigap. "Aku akan menurunkanmu," ujar Ryan sambil dengan perlahan menurunkan Greta ke atas kursi roda. "Aduh!" Greta memekik setengah menangis saat merasakan tulang ekornya membentur jok kursi roda. Dia sengaja duduk dengan posisi miring untuk mengurangi rasa sakitnya. Di belakangnya, Ryan terlihat sangat bersalah, sesuatu yang tidak dia tunjukkan di depan Greta karena gengsinya yang terlalu tinggi."Anda
Saat Greta mendongak untuk mencari tissue, ia menjadi terkejut seketika karena mendapati Ryan berdiri diam di dekat tempat tidurnya. "Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah seharusnya kau sudah pergi?" gerutu Greta, menyembunyikan wajahnya yang sembab di balik selimut, ia merasa sangat malu. Bagaimana mungkin wanita dewasa sepertinya menangis hanya karena hal sepele seperti itu."Cobalah berbaring miring, aku akan membantumu," kata Ryan dengan suara yang lebih lembut, ia menjadi sedikit iba setelah mendengar Greta menangis tersedu-sedu. Tadinya ia ingin mengabaikan tangisan itu, tapi karena tangisan Greta yang semakin keras, naluri melindunginya tergelitik.Greta tidak menolak, ia membiarkan Ryan membantunya agar ia bisa berbaring miring. Setelah memastikan Greta berbaring dengan nyaman, Ryan duduk di tepi tempat tidur, lalu mengambil piring pasta dan mulai menyuapi Greta tanpa suara. Matanya terus menunduk menatap piring, ia bahkan enggan menatap mata sembab wanita yang baru dikenaln
Hari berikutnya,'Aku hanya ingin memberi tahumu bahwa aku sudah merasa lebih baik, kau tidak perlu membawakanku makanan lagi.'Setelah menimbang-nimbang beberapa saat akhirnya Greta mengirimkan pesan tersebut ke nomor Ryan. Dari ekspresi wajah Ryan setiap kali ia mengantarkan makanan, sepertinya ia tidak suka melakukan hal semacam itu untuknya dan Greta tidak ingin terlihat seperti orang yang tidak peka.Ia mengetukkan jarinya di atas meja, menunggu jawaban Ryan. Ia tidak tahu mengapa ia sangat mengharapkan Ryan mengatakan sesuatu seperti, 'Apa kau yakin? Aku tetap akan datang ke sana untuk memastikan kau baik-baik saja.'Namun hingga ia menghabiskan kopinya, tidak ada balasan sama sekali dari Ryan. Dia menghela nafas panjang, lalu memukul kepalanya dengan pelan beberapa kali. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba perasaan aneh dan konyol seperti itu datang padanya.'Ayolah Greta! Bersihkan kepalamu! Jangan mudah jatuh cinta! Lihat apa yang telah dilakukan Mike padamu! Apakah kau ingin
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Greta mengulangi pertanyaannya dengan wajah panik."Apa maksudmu? Ini restoranku, tentu saja, aku ada di sini, bukannya pertanyaannya terbalik? Harusnya aku yang menanyakan hal itu kepadamu," jawab Ryan santai. Ia menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya.Greta menutup mulut dengan tangannya. "Apa katamu? Restoranmu? Kamu tidak bercanda, kan?" suaranya terdengar lebih keras dari yang ia maksudkan."Jika kamu masih ingin bekerja magang di sini, sebaiknya kamu mulai menurunkan nada suaramu saat berbicara denganku, kamu tau kan kita tidak berada di level yang sama," kata Ryan tegas dan datar.Greta menelan ludah, matanya tertuju pada Jaket chef berwarna hitam dengan tulisan The Food Theory terukir di atasnya. "Ya Tuhan! Harusnya aku sudah sadar dari awal! Kamu memakai jaket ini saat demo masak di kampusku, iya kan?" pekik Greta dengan mata terbelalak."Aku akan menghitung sampai tiga, jika kamu masih tidak bisa mengendalikan nada bicaramu, aku akan menca
"Greta? Kenapa kamu terlihat sangat terkejut? Aku tahu kamu pasti kesal karena dia melukai tulang ekormu, tapi dia sangat tampan sehingga aku tidak bisa berhenti memikirkannya..." Amy bergumam sambil berganti pakaian menjadi seragam dapur. Greta meringis, "Apakah kamu benar-benar menyukainya? Maksudku, apakah kau jatuh cinta padanya?" tanyanya sambil membuka lokernya dan meletakkan semua barangnya di sana. Amy tersenyum malu-malu, lalu dia menganggukkan kepalanya dengan rona merah di pipinya. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi jantungku berdetak sangat kencang setiap kali dia berada di dekatku!" Greta mengangkat alis, "Setiap kali dia berada di dekatmu? Sudah berapa kali kamu bertemu dengannya?" tanyanya dengan sangat penasaran. "Um..." Amy mengangkat dua jari, meringis. Greta melotot, "Dua kali? Kamu hanya melihat Ryan Lewis dua kali dan kamu tahu jantungmu berdebar setiap kali berada di dekatnya?" serunya, dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ami merengut
Ponsel Greta berdering tepat setelah dia tiba di apartemennya, sebuah dari ibunya. Dia mengklik tombol hijau dan meletakkan telepon dalam mode pengeras suara. "Hai, Bu!" sapa Greta ringan, berusaha keras menyembunyikan kelelahannya. "Greta, kamu sudah pulang?" “Ya, aku baru saja sampai rumah , ibu sedang apa? Apakah ayah bersamamu?” tanya Greta sambil melepas sepatu Chef-nya. Dia meringis saat melihat kemerahan di kedua kakinya. "Aku di sini sayang, bagaimana hari pertamamu?" Itu adalah suara ayahnya. "Hi Ayah! Um, bagus, aku mendapatkan partner kerja yang sangat baik dan restorannya sangat ramai, sama sekali tidak membosankan!” oceh Greta, ia berdiri dan berjalan ke lemari es untuk mengeluarkan sekaleng bir lalu duduk di atas sofa. "Terdengar menyenangkan! Jadi siapa Koki Eksekutifnya? Apakah kami mengenalnya? Maksudku biasanya, aku dan ayahmu mengenali beberapa Koki Michelin Star," gumam Gabriel Spectre, ayah Greta. Greta bisa membayangkan pasti ibunya sedang menganggukkan ke
“Apakah kau marah padaku hanya karena aku mengatakan kepada Chef Ryan bahwa kita berkencan?” Liam mengejek sambil mendekatkan wajahnya kepada Greta yang sibuk menguleni adonan. Greta mengambil napas dalam-dalam, ini adalah kali keempat Liam bertanya hal yang sama."Berapa kali aku harus menjawab bahwa aku sama sekali tidak marah, jika kau bertanya padaku sekali lagi, aku mungkin akan benar-benar marah!" sahut Greta seraya melemparkan cangkang telur ke tangannya dengan marah.“Whoa, lihatlah dirimu! Jadi kau berani bersikap kasar padaku sekarang? Greta, aku seniormu di sini, nilai magangmu tergantung padaku, jadi sebaiknya menjaga sikapmu, atau aku tidak akan ragu-ragu untuk memberi nilai yang buruk untukmu!” oceh Liam, wajahnya terlihat sangat menjengkelkan. Bagaimana mungkin Greta sempat berpikir bahwa Liam adalah teman kerja yang baik? Ia benar-benar tidak bisa membaca karakter orang!Ia menatap Liam untuk waktu yang lama, kemudian mengangguk, "Okay kalau begitu," ia menjawab kemudi
"Hai," sapa Amanda kaku saat melihat Summer dan Shawn. Summer tersenyum lebar, "Hai, apa kabar? Kalian datang bersama?" Archie mengangguk, "Ya," katanya sambil menoleh ke arah Amanda dan tersenyum. Summer dan Shawn saling memandang, sedikit bingung dengan keterkejutannya. Setelah itu, mereka semua duduk di kursi masing-masing, dan kebetulan, Summer mendapat tempat duduk tepat di seberang Amanda yang tetap memasang wajah cemberutnya meski Archie di sebelahnya berusaha menghiburnya. Gina dengan ringan memukul gelas anggurnya dua kali, menandakan bahwa dia ingin berbicara. Dia berdiri tepat di sebelah Shawn, terlihat cantik dan anggun dalam balutan gaun putihnya. "Selamat malam, terima kasih semua sudah datang, terutama Amanda yang datang jauh-jauh dari Melbourne dan Archie dari Adelaide. Um, untuk Tuan dan Nyonya Jefferson, saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya karena mungkin telah mempermalukan Anda dengan apa yang terjadi di antara kita baru-baru ini. Hubungan yang sudah sepert
"Oh, dasar gadis bodoh," kata Gina, memalingkan wajahnya, tapi dia tidak mengatakan kata penolakan lagi.Shawn dan Summer saling menatap, diam-diam berusaha menahan senyum."Aku akan membawa kopermu ke kamar, kau ingin menunggu di sini?" Shawn bertanya, menunjuk ke kursi yang juga diduduki ibunya."Yeah, aku akan menunggu di sini!" serunya riang. Di tempatnya berdiri, Gina tidak bereaksi dan tetap sibuk dengan bunganya."Ini bunga untukmu, kudengar kau sangat suka bunga ini," kata Summer sambil meletakkan keranjang bunga di atas meja."Singkirkan bunga itu, sangat menyebalkan!" Bentak Gina.Summer menyeringai, meletakkan keranjang bunga di atas meja kayu lain tak jauh dari mereka."Kau benar-benar membenciku? Atau kau melakukannya karena menurutmu Shawn masih punya kesempatan dengan Amanda?" tanya Summer tanpa berani duduk di sebelah Gina."Apapun itu, aku hanya tidak suka kau disini, berusahalah sekuat tenaga karena aku tidak akan berubah," kata Gina datar.Summer menarik napas dalam
Malam itu semuanya berjalan sesuai rencana. Ibu Amanda menepati janjinya, dia mengatakan yang sebenarnya kepada Shawn, bahwa ibunya tidak benar-benar sakit dan hasil labnya palsu. Dan Shawn setuju untuk melakukan apa yang direncanakan ibu Amanda untuk menghentikan rencana gila Amanda yang mulai tidak masuk akal.Summer menunggu di sofa dengan gugup sambil terus menatap ponselnya. Beberapa menit kemudian ponselnya berdering. Summer dengan gugup menekan tombol hijau. Dari sofa di seberangnya, Archie melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada Summer untuk bersikap santai karena tidak ada yang tahu mereka berada di Brisbane kecuali ibu Amanda dan Shawn."Halo?" kata Summer, berusaha keras untuk terdengar santai."Summer! Tolong telepon Shawn sekarang juga dan suruh dia berhenti!" teriak seseorang dari seberang.Summer menelan ludah, dengan gugup, "Siapa kau?""Ini Gina Miller! Aku ibu Shawn! Tidak, tidak, kau tidak perlu meneleponnya, bicara saja di sini, berteriaklah agar dia bisa men
"Dia sudah pergi..." kata Archie canggung. Summer segera melepaskan diri dari pelukan Archie. Dia menyeka air matanya dengan cepat, lalu menggigit bibirnya, seolah-olah untuk menahan diri."Kau baik baik saja?" Archie bertanya yang mana tentu saja hanya pertanyaan klise yang tidak perlu dijawab.Summer berdehem, menyeka hidungnya dengan ujung sweter wolnya."Aku butuh bir, kau mau ikut denganku?" tanya Summer tanpa memandang Archie."Apa? Bir? Bisakah kau minta yang lain? Um, levermu..." gumam Archie sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.Summer melambaikan tangannya, "Lupakan saja, aku akan pergi sendiri," katanya sambil berbalik dan berjalan menjauh dari Archie."Tidak, tunggu! Baiklah! Aku akan ikut denganmu," teriak Archie pada akhirnya. Dia setengah berlari mengejar Summer lalu berjalan di sisinya."Ada bar beberapa blok dari sini, mau ke sana?" Archie berusaha memecahkan keheningan di antara mereka."Oke," jawab Summer singkat. Archie mengangguk, lalu terdiam lagi."Kau bis
Dua minggu kemudian."Summer! Bangun! Kamu harus melihat ini!"Dia membuka matanya dan terkejut menemukan Mrs. Jones sedang menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan wajah gembira.Dengan mata mengantuk, dia bangkit dan mengikuti Mrs. Jones, keluar dari kamarnya.Mereka berjalan melewati ruang tamu, lalu tiba-tiba Mrs. Jones berhenti di depan pintu penghubung antara ruang makan dan taman belakang."Lihat wanita itu!" teriak Mrs. Jones dengan bangga.Mata Summer tiba-tiba membelalak saat melihat nenek sedang berjalan menyirami tanaman dengan lambat.Rasa kantuknya hilang seketika, ia tersenyum lebar dan memeluk Mrs. Jones dengan hangat. "Terima kasih, Mrs Jones! Kau yang terbaik!"Sejak menjalani operasi cangkok hati, langkah Nenek selalu bergetar dan membuatnya harus selalu duduk di kursi roda. Melihat kemampuannya kembali ke aktivitas normalnya membuat Summer merasa sangat bahagia...Hari itu dia pergi ke Coffee Shop dengan lebih semangat. Dia berjanji akan melakukan apa saja untuk mendap
Summer sedang duduk di sofa, memperhatikan Archie diukur oleh staf penjahit.Kepalanya dipenuhi dengan bayangan Shawn, apakah dia bahagia tanpa dia ataukah dia menderita karena dipaksa melakukan apa yang diinginkan ibunya?Dia menarik napas dalam-dalam untuk kesekian kalinya, dadanya terasa sangat sesak seolah ada beban berat yang disandarkan disana. Sekali lagi air mata menggenang di matanya, dia buru-buru mengeluarkan tisu dari tasnya dan menyekanya sampai kering."Aku sudah selesai, apakah kau ingin mampir untuk minum? Kau terlihat sangat tertekan," gumam Archie sambil mengenakan kembali bombernya."Aku tidak minum alkohol lagi," kata Summer sambil berdiri.Archie terlihat sedikit terkejut, "Keren! Apakah kau hidup sehat atau apa?"Summer mendengus sambil tertawa, “Aku mendonorkan liverku beberapa waktu lalu, jadi aku harus merawat tubuhku lebih dari orang lain yang kondisinya normal,” ujarnya enteng."Oke, bagaimana dengan es krim? Kau harus mencoba gelato terbaik di kota!" Teriak
Hari itu adalah hari yang sangat menyenangkan untuk Summer, bukan hanya karena dia mendapat pekerjaan tetapi juga karena ternyata pemilik Airbnb tempat dia menginap adalah seorang fisioterapis. Saat dia sedang melatih nenek berjalan di taman belakang, pemilik rumah bernama Mrs. Jones berjalan ke arah mereka dan mengobrol sebentar dengan mereka. Nyonya Jones menawarkan diri untuk menjadi terapis nenek dengan bayaran yang sangat rendah karena dia sangat senang melakukannya. Dia pun menawarkan Summer dan neneknya untuk tinggal di sana dengan harga lebih murah selama sesi terapi, mungkin butuh waktu berbulan-bulan, tapi demi kesehatan neneknya tentu saja Summer tidak keberatan. "Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya nenek ketika mereka berada di kamar tidur. Summer mengangguk, "Aku senang nenek punya teman untuk diajak ngobrol, bayangkan jika kita tinggal di apartemen, nenek akan kesepian setiap kali aku pergi bekerja, seperti hari-hari lainnya," katanya, tangannya sibuk memijat. kak
Summer mengesampingkan urusan asmaranya dan mencoba menghubungi Shawn karena dia tidak tahu harus berbicara dengan siapa tentang berita tragis itu, namun panggilannya tidak dijawab, bahkan beberapa saat kemudian ponselnya menjadi tidak aktif.Ketakutan mencengkeram jiwanya, dia takut dia telah terlibat dalam sesuatu yang dia tidak benar-benar tahu. Dia mondar-mandir di kamarnya dengan gelisah, lalu sebuah ide muncul di kepalanya. Jika dia sangat curiga pada Vivian, mengapa dia tidak langsung bertanya padanya? Alih-alih berasumsi di kepalanya. Kemudian dia mengambil ponselnya dan mulai meneleponnya. Tidak ada jawaban juga, bahkan setelah dia mencoba untuk kesekian kali, panggilannya masih diabaikan. Pasti ada sesuatu, dia bisa merasakannya, dia tahu itu, tapi apa?Dengan putus asa, dia mencoba menelepon Grace Park yang menerima teleponnya di dering pertama."Grace, apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara gemetar."Aku tidak tahu, ini sangat kacau, kau dimana? Kita perlu bicara!""Byro
"Hei Janice, apa yang sedang kau masak?" tanya Summer saat memasuki dapur dan mendapati Janice sedang mengaduk panci."Sup ayam dan kacang polong, kau pasti lelah, mandi saja, aku sudah hampir selesai," kata Janice, dia tahu Summer akan membantunya menyiapkan makan malam.Summer menggelengkan kepalanya, "Aku masih punya cukup kekuatan untuk melakukan apapun!" katanya riang, tangannya sibuk mengupas kentang segar yang tergeletak di atas meja.Janice tersenyum, "Kau benar-benar gadis muda yang penuh semangat, aku senang mengetahui bahwa kita akan bekerja sama untuk mengembangkan rumah pertanian ini," katanya dengan sungguh-sungguh.Summer meringis, sepertinya semua orang kecuali dirinya tahu tentang rencana Vivian untuk memberikan rumah pertanian itu padanya."Apakah kau dan Mike punya anak?" Summer bertanya untuk mengganti topik pembicaraan karena dia belum siap membicarakan bisnis pertanian mereka.Janice menggelengkan kepalanya, "Tidak satu pun dari kami yang dapat memiliki anak, tet