"Kamu?!" Ryan mendesis, tampak kesal pada Greta. Dia masih ingat dengan jelas wajah wanita menyebalkan yang ditemuinya kemarin di bandara. Greta berusaha keras untuk terlihat normal, dia bahkan mencoba tersenyum pada Ryan yang jelas tidak akan membalas senyumnya, ia justru melengos dan memilih untuk fokus pada apa yang sedang ia lakukan.
“Oke guys, jadi hari ini kita akan memasak Beef Wellington, seperti yang kita ketahui memasak Beef Wellington membutuhkan keahlian khusus, karena kita harus memastikan steak yang ada di dalam puff pastry matang dengan baik dan kita juga harus memastikan Pastry yang kita buat dimasak dengan sempurna," ujar Chef Ryan Lewis memulai demo memasaknya.
"Jadi hari ini saya akan ditemani oleh, siapa nama kamu?" tanyanya singkat pada Greta.
"Greta, Greta Spectre," jawab Greta dengan suara yang tertahan, dia cukup terkejut dengan bagaimana Chef Ryan Lewis mampu mengintimidasinya.
Acara demo berjalan lancar, Greta sedikit membantu Ryan, tetapi dia kebanyakan berdiri dengan canggung karena Ryan terang-terangan mengabaikannya. Setelah demo selesai, Greta langsung kembali ke kursinya dengan wajah muram.
"Aku melihat sesuatu yang aneh tadi, apakah Chef Ryan sempat mengatakan 'kamu' kepadamu seolah-olah kalian pernah bertemu sebelumnya, atau itu hanya perasaanku saja?" celoteh Amy dengan kening berkerut penasaran.
Greta mengibaskan tangannya,
''Jangan membahas tentang Chef sombong itu, hanya dengan mendengar namanya bisa membuatku gila!'' kata Greta kesal. Dia mengambil tasnya dan berjalan keluar kelas dengan cepat membuat Amy menatapnya dengan wajah bingung.
Saat Greta sedang bergegas ke toilet, seorang mahasiswa yang sedang membawa bahan latihan 'baking' tidak sengaja menjatuhkan kulit pisang yang lalu diinjak olehnya. Greta langsung terpeleset dan hampir jatuh ke atas lantai, beruntung seseorang menangkap tubuhnya dengan sigap.
Greta membuka matanya dengan terkejut, ia melotot seketika saat mendapati Ryan Lewis membungkuk di atasnya dan memandanginya dari jarak yang sangat dekat. "Kau!" bentak Greta.
Dengan satu gerakan cepat, Ryan melepaskan tangannya membuat Greta terjatuh berdebam dengan keras ke atas lantai. "Ya Tuhan! Apa yang kau lakukan? Kau sengaja menjatuhkanku!" teriak Greta begitu kesal hingga rasanya ia ingin menangis.
"Aku tidak sengaja..." kata Ryan, ada sedikit rasa bersalah di nada suaranya. Namun tanpa meminta maaf ia langsung pergi meninggalkan Greta yang sedang sibuk mengatasi rasa sakit di tulang ekornya. Dengan susah payah, Greta bangkit dari lantai dan berdiri tegak. Saat ia memaksakan diri untuk berjalan, ia merasakan rasa sakit yang teramat sangat di tulang ekornya. 'Chef sialan itu! Jika sampai terjadi hal buruk kepadaku, aku tidak akan pernah memaafkannya! Benar-benar menyebalkan!' gerutunya tanpa suara.
Dengan langkah sedikit tertatih Greta berjalan keluar dari kampusnya. Biasanya, ia akan berjalan sekitar dua puluh menit untuk sampai ke apartemennya. Namun karena merasa sangat kesakitan, ia memilih berjalan ke trotoar dan menunggu taksi yang melintas. Ia tidak menyadari bahwa seseorang sedang mengawasinya dari dalam mobil.
Sesekali ia meringis saat merasakan rasa ngilu di belakang punggungnya yang menjalar hingga ke tulang ekor. Ia menoleh ke arah jalan berharap taksi segera muncul karena langit mendadak menjadi gelap dan ia yakin hujan akan segera turun.
Tapi tiba-tiba saja yang berhenti di depannya bukanlah sebuah taksi, melainkan sebuah SUV hitam metalik yang sangat mengkilap, seolah mobil itu di gosok setiap hari. "Masuklah, aku akan mengantarmu pulang," ujar sebuah suara bersamaan dengan jendela mobil yang perlahan terbuka.
Greta mendelik seketika saat mendapati Ryan Lewis yang berada di belakang kemudi, tampak tampan dan angkuh seperti yang ia lihat sebelumnya.
"Kau lagi!" Greta mendesis kesal, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Cepat naik! Kau ingin aku mengantarmu atau tidak? Kau sepertinya kesulitan berjalan?" kata Ryan Lewis tanpa melepas kacamatanya.
Greta mendengus keras,
"Haha, kau benar-benar konyol! Pergilah! Aku tidak butuh tumpanganmu! Dasar pengecut! Bagaimana bisa seorang pria menjatuhkan wanita cantik sepertiku ke atas lantai begitu saja! Menjijikkan!" Gerutu Greta masih belum mau masuk ke mobil Ryan.
"Baiklah kalau itu yang kamu mau," kata Ryan, dia menutup jendela lalu menginjak pedal gas perlahan meninggalkan Greta yang mulai panik membuka ponselnya untuk memesan taksi online. Namun nasib baik benar-benar enggan berpihak kepadanya, ponselnya mati total tiba-tiba karena tadi malam dia lupa mengisi baterainya.
Seolah itu semua belum cukup, tiba-tiba hujan mulai turun dengan derasnya, membuat tubuh Greta mulai basah kuyup. Saat ia sedang sibuk menutupi kepalanya dengan tas tangannya, tiba-tiba sebuah mobil SUV mundur dan berhenti tepat di depannya.
"Cepat! Kamu tidak punya pilihan sekarang, suhu akan turun sebentar lagi, kau bahkan tidak memakai mantel dinginmu! Kau ingin mati beku?" kata Ryan sambil memaksa Greta masuk ke mobilnya.
Tak punya pilihan lain, Greta akhirnya setuju untuk masuk ke dalam mobil. Ia duduk di sebelah Ryan dengan perasaan campur aduk. Mobil melaju melewati jalan yang kosong. Mereka hanya saling menatap beberapa saat sampai Ryan akhirnya membuka mulutnya.
"Aku minta maaf soal tadi, aku tidak bermaksud menjatuhkanmu ke atas lantai, aku hanya reflek melepaskan tangaku, apa kau ingin aku membawamu ke fisioterapi? Kelihatannya tulang ekormu terkilir," ujar Ryan dengan nada datar.
Greta ingin menolak, tapi rasa berdenyut di tulang ekornya membuatnya tidak punya pilihan.
"Oke, dengar! Aku menerima tawaranmu karena kau memang bersalah membuat tulang ekorku sakit! Jadi jangan berpikir yang tidak-tidak!" sahut Greta dengan kesal. Ryan hanya mengedikan bahunya, tidak mengatakan apapun lagi.
Dalam perjalanan, diam-diam Greta mengamati interior mobil Ryan yang terlihat sangat rapi dan harum. Hanya dengan melihat hal sepele itu, ia bisa menyimpulkan orang seperti apa Ryan Lewis. Ia pasti orang yang sangat perfeksionis dan detail, sama sekali bukan tipe Greta. 'Astaga! Mengapa aku berpikir ke arah sana!' ia menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran konyol itu dari kepalanya.
Beberapa menit kemudian mobil berhenti tepat di depan sebuah klinik fisioterapi. Dengan susah payah, Greta keluar dari mobil, ia berjalan dengan satu tangan memegang bokongnya. Setiap kali ia melangkah, denyut nyeri di tulang ekornya menjadi semakin terasa.
Ia melirik kesal ke arah Ryan yang sedang berjalan santai di sampingnya. "Jika sesuatu yang buruk terjadi padaku, kau harus bertanggung jawab!" Greta mengumpat lalu mengernyit lagi, merasakan sakit yang menjalar.
Ryan bergeming, ia melirik balik Greta dan diam-diam merasa kasihan saat melihatnya kesulitan berjalan. Alih-alih meminta kursi roda pada staf klinik, ia malah berdiri di depan Greta, menghalangi jalannya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" bentak Greta bingung melihat Ryan berdiri di depannya.
Tanpa menjawab, Ryan menurunkan tubuhnya, menawarkan punggungnya untuk dinaiki Greta. Greta memelototinya dengan heran. "Apa sih?"
"Cepat sebelum aku berubah pikiran!" bentak Ryan, sedikit pegal karena terlalu lama membungkuk. Greta menggigit bibirnya ragu. Haruskah ia melompat naik ke atas punggung tegap yang sedang membungkuk di hadapannya? Tapi bagaimana dengan harga dirinya?
*****
Akhirnya, Greta memutuskan untuk melompat ke punggung Ryan dan membiarkan Ryan membawanya ke ruang terapi. Meskipun ia digendong, itu sama sekali tidak mengurangi rasa sakit yang ia rasakan. Dengan canggung ia menempelkan wajahnya ke punggung Ryan yang harum. Aneh rasanya bersandar pada seseorang yang membuatnya terluka...Ada dorongan dalam benak Greta untuk mengajukan pertanyaan kepada Ryan, tentang apa saja. Tapi sekali lagi harga dirinya menolaknya untuk melakukan hal seperti itu.Di lobi klinik, mereka disambut oleh petugas yang langsung memberikan kursi roda kepada Greta dengan sigap. "Aku akan menurunkanmu," ujar Ryan sambil dengan perlahan menurunkan Greta ke atas kursi roda. "Aduh!" Greta memekik setengah menangis saat merasakan tulang ekornya membentur jok kursi roda. Dia sengaja duduk dengan posisi miring untuk mengurangi rasa sakitnya. Di belakangnya, Ryan terlihat sangat bersalah, sesuatu yang tidak dia tunjukkan di depan Greta karena gengsinya yang terlalu tinggi."Anda
Saat Greta mendongak untuk mencari tissue, ia menjadi terkejut seketika karena mendapati Ryan berdiri diam di dekat tempat tidurnya. "Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah seharusnya kau sudah pergi?" gerutu Greta, menyembunyikan wajahnya yang sembab di balik selimut, ia merasa sangat malu. Bagaimana mungkin wanita dewasa sepertinya menangis hanya karena hal sepele seperti itu."Cobalah berbaring miring, aku akan membantumu," kata Ryan dengan suara yang lebih lembut, ia menjadi sedikit iba setelah mendengar Greta menangis tersedu-sedu. Tadinya ia ingin mengabaikan tangisan itu, tapi karena tangisan Greta yang semakin keras, naluri melindunginya tergelitik.Greta tidak menolak, ia membiarkan Ryan membantunya agar ia bisa berbaring miring. Setelah memastikan Greta berbaring dengan nyaman, Ryan duduk di tepi tempat tidur, lalu mengambil piring pasta dan mulai menyuapi Greta tanpa suara. Matanya terus menunduk menatap piring, ia bahkan enggan menatap mata sembab wanita yang baru dikenaln
Hari berikutnya,'Aku hanya ingin memberi tahumu bahwa aku sudah merasa lebih baik, kau tidak perlu membawakanku makanan lagi.'Setelah menimbang-nimbang beberapa saat akhirnya Greta mengirimkan pesan tersebut ke nomor Ryan. Dari ekspresi wajah Ryan setiap kali ia mengantarkan makanan, sepertinya ia tidak suka melakukan hal semacam itu untuknya dan Greta tidak ingin terlihat seperti orang yang tidak peka.Ia mengetukkan jarinya di atas meja, menunggu jawaban Ryan. Ia tidak tahu mengapa ia sangat mengharapkan Ryan mengatakan sesuatu seperti, 'Apa kau yakin? Aku tetap akan datang ke sana untuk memastikan kau baik-baik saja.'Namun hingga ia menghabiskan kopinya, tidak ada balasan sama sekali dari Ryan. Dia menghela nafas panjang, lalu memukul kepalanya dengan pelan beberapa kali. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba perasaan aneh dan konyol seperti itu datang padanya.'Ayolah Greta! Bersihkan kepalamu! Jangan mudah jatuh cinta! Lihat apa yang telah dilakukan Mike padamu! Apakah kau ingin
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Greta mengulangi pertanyaannya dengan wajah panik."Apa maksudmu? Ini restoranku, tentu saja, aku ada di sini, bukannya pertanyaannya terbalik? Harusnya aku yang menanyakan hal itu kepadamu," jawab Ryan santai. Ia menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya.Greta menutup mulut dengan tangannya. "Apa katamu? Restoranmu? Kamu tidak bercanda, kan?" suaranya terdengar lebih keras dari yang ia maksudkan."Jika kamu masih ingin bekerja magang di sini, sebaiknya kamu mulai menurunkan nada suaramu saat berbicara denganku, kamu tau kan kita tidak berada di level yang sama," kata Ryan tegas dan datar.Greta menelan ludah, matanya tertuju pada Jaket chef berwarna hitam dengan tulisan The Food Theory terukir di atasnya. "Ya Tuhan! Harusnya aku sudah sadar dari awal! Kamu memakai jaket ini saat demo masak di kampusku, iya kan?" pekik Greta dengan mata terbelalak."Aku akan menghitung sampai tiga, jika kamu masih tidak bisa mengendalikan nada bicaramu, aku akan menca
"Greta? Kenapa kamu terlihat sangat terkejut? Aku tahu kamu pasti kesal karena dia melukai tulang ekormu, tapi dia sangat tampan sehingga aku tidak bisa berhenti memikirkannya..." Amy bergumam sambil berganti pakaian menjadi seragam dapur. Greta meringis, "Apakah kamu benar-benar menyukainya? Maksudku, apakah kau jatuh cinta padanya?" tanyanya sambil membuka lokernya dan meletakkan semua barangnya di sana. Amy tersenyum malu-malu, lalu dia menganggukkan kepalanya dengan rona merah di pipinya. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi jantungku berdetak sangat kencang setiap kali dia berada di dekatku!" Greta mengangkat alis, "Setiap kali dia berada di dekatmu? Sudah berapa kali kamu bertemu dengannya?" tanyanya dengan sangat penasaran. "Um..." Amy mengangkat dua jari, meringis. Greta melotot, "Dua kali? Kamu hanya melihat Ryan Lewis dua kali dan kamu tahu jantungmu berdebar setiap kali berada di dekatnya?" serunya, dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ami merengut
Ponsel Greta berdering tepat setelah dia tiba di apartemennya, sebuah dari ibunya. Dia mengklik tombol hijau dan meletakkan telepon dalam mode pengeras suara. "Hai, Bu!" sapa Greta ringan, berusaha keras menyembunyikan kelelahannya. "Greta, kamu sudah pulang?" “Ya, aku baru saja sampai rumah , ibu sedang apa? Apakah ayah bersamamu?” tanya Greta sambil melepas sepatu Chef-nya. Dia meringis saat melihat kemerahan di kedua kakinya. "Aku di sini sayang, bagaimana hari pertamamu?" Itu adalah suara ayahnya. "Hi Ayah! Um, bagus, aku mendapatkan partner kerja yang sangat baik dan restorannya sangat ramai, sama sekali tidak membosankan!” oceh Greta, ia berdiri dan berjalan ke lemari es untuk mengeluarkan sekaleng bir lalu duduk di atas sofa. "Terdengar menyenangkan! Jadi siapa Koki Eksekutifnya? Apakah kami mengenalnya? Maksudku biasanya, aku dan ayahmu mengenali beberapa Koki Michelin Star," gumam Gabriel Spectre, ayah Greta. Greta bisa membayangkan pasti ibunya sedang menganggukkan ke
“Apakah kau marah padaku hanya karena aku mengatakan kepada Chef Ryan bahwa kita berkencan?” Liam mengejek sambil mendekatkan wajahnya kepada Greta yang sibuk menguleni adonan. Greta mengambil napas dalam-dalam, ini adalah kali keempat Liam bertanya hal yang sama."Berapa kali aku harus menjawab bahwa aku sama sekali tidak marah, jika kau bertanya padaku sekali lagi, aku mungkin akan benar-benar marah!" sahut Greta seraya melemparkan cangkang telur ke tangannya dengan marah.“Whoa, lihatlah dirimu! Jadi kau berani bersikap kasar padaku sekarang? Greta, aku seniormu di sini, nilai magangmu tergantung padaku, jadi sebaiknya menjaga sikapmu, atau aku tidak akan ragu-ragu untuk memberi nilai yang buruk untukmu!” oceh Liam, wajahnya terlihat sangat menjengkelkan. Bagaimana mungkin Greta sempat berpikir bahwa Liam adalah teman kerja yang baik? Ia benar-benar tidak bisa membaca karakter orang!Ia menatap Liam untuk waktu yang lama, kemudian mengangguk, "Okay kalau begitu," ia menjawab kemudi
Greta menggigit bibirnya dengan keras, dengan putus asa mencoba untuk mencegah air mata agar tidak jatuh. "Jangan coba-cona menangis, aku tidak akan melembut hanya karena kau seorang wanita, air mata itu tidak akan berguna!" Ryan berteriak dengan lengan terlipat di depan dada. Greta menelan ludah, matanya menatap Ryan dengan tajam, dia bersumpah dalam hatinya bahwa dia tidak akan pernah menumpahkan air mata di depan pria yang arogan itu. Meskipun Greta tidak memalingkan wajahnya ke arah Liam, ia tahu Liam sedang tersenyum puas mengejeknya. “Liam, kau bertanggung jawab atas semua ini, kau tahu itu bukan?” desis Ryan, menatap dingin ke arah Liam. “Ya Chef, saya akan mengambil tanggung jawab penuh atas kejadian hari ini!” sahut Liam, menegakkan punggungnya. Greta merasakan perutnya seperti di pelintir, tiba-tiba ia merasa aneh dengan situasi yang sedang ia hadapi itu, apakah seseorang sengaja melakukan hal itu kepadanya? "Dan kau," Ryan memandang kembali ke arah Greta, "Jika aku menda
"Hai," sapa Amanda kaku saat melihat Summer dan Shawn. Summer tersenyum lebar, "Hai, apa kabar? Kalian datang bersama?" Archie mengangguk, "Ya," katanya sambil menoleh ke arah Amanda dan tersenyum. Summer dan Shawn saling memandang, sedikit bingung dengan keterkejutannya. Setelah itu, mereka semua duduk di kursi masing-masing, dan kebetulan, Summer mendapat tempat duduk tepat di seberang Amanda yang tetap memasang wajah cemberutnya meski Archie di sebelahnya berusaha menghiburnya. Gina dengan ringan memukul gelas anggurnya dua kali, menandakan bahwa dia ingin berbicara. Dia berdiri tepat di sebelah Shawn, terlihat cantik dan anggun dalam balutan gaun putihnya. "Selamat malam, terima kasih semua sudah datang, terutama Amanda yang datang jauh-jauh dari Melbourne dan Archie dari Adelaide. Um, untuk Tuan dan Nyonya Jefferson, saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya karena mungkin telah mempermalukan Anda dengan apa yang terjadi di antara kita baru-baru ini. Hubungan yang sudah sepert
"Oh, dasar gadis bodoh," kata Gina, memalingkan wajahnya, tapi dia tidak mengatakan kata penolakan lagi.Shawn dan Summer saling menatap, diam-diam berusaha menahan senyum."Aku akan membawa kopermu ke kamar, kau ingin menunggu di sini?" Shawn bertanya, menunjuk ke kursi yang juga diduduki ibunya."Yeah, aku akan menunggu di sini!" serunya riang. Di tempatnya berdiri, Gina tidak bereaksi dan tetap sibuk dengan bunganya."Ini bunga untukmu, kudengar kau sangat suka bunga ini," kata Summer sambil meletakkan keranjang bunga di atas meja."Singkirkan bunga itu, sangat menyebalkan!" Bentak Gina.Summer menyeringai, meletakkan keranjang bunga di atas meja kayu lain tak jauh dari mereka."Kau benar-benar membenciku? Atau kau melakukannya karena menurutmu Shawn masih punya kesempatan dengan Amanda?" tanya Summer tanpa berani duduk di sebelah Gina."Apapun itu, aku hanya tidak suka kau disini, berusahalah sekuat tenaga karena aku tidak akan berubah," kata Gina datar.Summer menarik napas dalam
Malam itu semuanya berjalan sesuai rencana. Ibu Amanda menepati janjinya, dia mengatakan yang sebenarnya kepada Shawn, bahwa ibunya tidak benar-benar sakit dan hasil labnya palsu. Dan Shawn setuju untuk melakukan apa yang direncanakan ibu Amanda untuk menghentikan rencana gila Amanda yang mulai tidak masuk akal.Summer menunggu di sofa dengan gugup sambil terus menatap ponselnya. Beberapa menit kemudian ponselnya berdering. Summer dengan gugup menekan tombol hijau. Dari sofa di seberangnya, Archie melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada Summer untuk bersikap santai karena tidak ada yang tahu mereka berada di Brisbane kecuali ibu Amanda dan Shawn."Halo?" kata Summer, berusaha keras untuk terdengar santai."Summer! Tolong telepon Shawn sekarang juga dan suruh dia berhenti!" teriak seseorang dari seberang.Summer menelan ludah, dengan gugup, "Siapa kau?""Ini Gina Miller! Aku ibu Shawn! Tidak, tidak, kau tidak perlu meneleponnya, bicara saja di sini, berteriaklah agar dia bisa men
"Dia sudah pergi..." kata Archie canggung. Summer segera melepaskan diri dari pelukan Archie. Dia menyeka air matanya dengan cepat, lalu menggigit bibirnya, seolah-olah untuk menahan diri."Kau baik baik saja?" Archie bertanya yang mana tentu saja hanya pertanyaan klise yang tidak perlu dijawab.Summer berdehem, menyeka hidungnya dengan ujung sweter wolnya."Aku butuh bir, kau mau ikut denganku?" tanya Summer tanpa memandang Archie."Apa? Bir? Bisakah kau minta yang lain? Um, levermu..." gumam Archie sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.Summer melambaikan tangannya, "Lupakan saja, aku akan pergi sendiri," katanya sambil berbalik dan berjalan menjauh dari Archie."Tidak, tunggu! Baiklah! Aku akan ikut denganmu," teriak Archie pada akhirnya. Dia setengah berlari mengejar Summer lalu berjalan di sisinya."Ada bar beberapa blok dari sini, mau ke sana?" Archie berusaha memecahkan keheningan di antara mereka."Oke," jawab Summer singkat. Archie mengangguk, lalu terdiam lagi."Kau bis
Dua minggu kemudian."Summer! Bangun! Kamu harus melihat ini!"Dia membuka matanya dan terkejut menemukan Mrs. Jones sedang menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan wajah gembira.Dengan mata mengantuk, dia bangkit dan mengikuti Mrs. Jones, keluar dari kamarnya.Mereka berjalan melewati ruang tamu, lalu tiba-tiba Mrs. Jones berhenti di depan pintu penghubung antara ruang makan dan taman belakang."Lihat wanita itu!" teriak Mrs. Jones dengan bangga.Mata Summer tiba-tiba membelalak saat melihat nenek sedang berjalan menyirami tanaman dengan lambat.Rasa kantuknya hilang seketika, ia tersenyum lebar dan memeluk Mrs. Jones dengan hangat. "Terima kasih, Mrs Jones! Kau yang terbaik!"Sejak menjalani operasi cangkok hati, langkah Nenek selalu bergetar dan membuatnya harus selalu duduk di kursi roda. Melihat kemampuannya kembali ke aktivitas normalnya membuat Summer merasa sangat bahagia...Hari itu dia pergi ke Coffee Shop dengan lebih semangat. Dia berjanji akan melakukan apa saja untuk mendap
Summer sedang duduk di sofa, memperhatikan Archie diukur oleh staf penjahit.Kepalanya dipenuhi dengan bayangan Shawn, apakah dia bahagia tanpa dia ataukah dia menderita karena dipaksa melakukan apa yang diinginkan ibunya?Dia menarik napas dalam-dalam untuk kesekian kalinya, dadanya terasa sangat sesak seolah ada beban berat yang disandarkan disana. Sekali lagi air mata menggenang di matanya, dia buru-buru mengeluarkan tisu dari tasnya dan menyekanya sampai kering."Aku sudah selesai, apakah kau ingin mampir untuk minum? Kau terlihat sangat tertekan," gumam Archie sambil mengenakan kembali bombernya."Aku tidak minum alkohol lagi," kata Summer sambil berdiri.Archie terlihat sedikit terkejut, "Keren! Apakah kau hidup sehat atau apa?"Summer mendengus sambil tertawa, “Aku mendonorkan liverku beberapa waktu lalu, jadi aku harus merawat tubuhku lebih dari orang lain yang kondisinya normal,” ujarnya enteng."Oke, bagaimana dengan es krim? Kau harus mencoba gelato terbaik di kota!" Teriak
Hari itu adalah hari yang sangat menyenangkan untuk Summer, bukan hanya karena dia mendapat pekerjaan tetapi juga karena ternyata pemilik Airbnb tempat dia menginap adalah seorang fisioterapis. Saat dia sedang melatih nenek berjalan di taman belakang, pemilik rumah bernama Mrs. Jones berjalan ke arah mereka dan mengobrol sebentar dengan mereka. Nyonya Jones menawarkan diri untuk menjadi terapis nenek dengan bayaran yang sangat rendah karena dia sangat senang melakukannya. Dia pun menawarkan Summer dan neneknya untuk tinggal di sana dengan harga lebih murah selama sesi terapi, mungkin butuh waktu berbulan-bulan, tapi demi kesehatan neneknya tentu saja Summer tidak keberatan. "Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya nenek ketika mereka berada di kamar tidur. Summer mengangguk, "Aku senang nenek punya teman untuk diajak ngobrol, bayangkan jika kita tinggal di apartemen, nenek akan kesepian setiap kali aku pergi bekerja, seperti hari-hari lainnya," katanya, tangannya sibuk memijat. kak
Summer mengesampingkan urusan asmaranya dan mencoba menghubungi Shawn karena dia tidak tahu harus berbicara dengan siapa tentang berita tragis itu, namun panggilannya tidak dijawab, bahkan beberapa saat kemudian ponselnya menjadi tidak aktif.Ketakutan mencengkeram jiwanya, dia takut dia telah terlibat dalam sesuatu yang dia tidak benar-benar tahu. Dia mondar-mandir di kamarnya dengan gelisah, lalu sebuah ide muncul di kepalanya. Jika dia sangat curiga pada Vivian, mengapa dia tidak langsung bertanya padanya? Alih-alih berasumsi di kepalanya. Kemudian dia mengambil ponselnya dan mulai meneleponnya. Tidak ada jawaban juga, bahkan setelah dia mencoba untuk kesekian kali, panggilannya masih diabaikan. Pasti ada sesuatu, dia bisa merasakannya, dia tahu itu, tapi apa?Dengan putus asa, dia mencoba menelepon Grace Park yang menerima teleponnya di dering pertama."Grace, apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara gemetar."Aku tidak tahu, ini sangat kacau, kau dimana? Kita perlu bicara!""Byro
"Hei Janice, apa yang sedang kau masak?" tanya Summer saat memasuki dapur dan mendapati Janice sedang mengaduk panci."Sup ayam dan kacang polong, kau pasti lelah, mandi saja, aku sudah hampir selesai," kata Janice, dia tahu Summer akan membantunya menyiapkan makan malam.Summer menggelengkan kepalanya, "Aku masih punya cukup kekuatan untuk melakukan apapun!" katanya riang, tangannya sibuk mengupas kentang segar yang tergeletak di atas meja.Janice tersenyum, "Kau benar-benar gadis muda yang penuh semangat, aku senang mengetahui bahwa kita akan bekerja sama untuk mengembangkan rumah pertanian ini," katanya dengan sungguh-sungguh.Summer meringis, sepertinya semua orang kecuali dirinya tahu tentang rencana Vivian untuk memberikan rumah pertanian itu padanya."Apakah kau dan Mike punya anak?" Summer bertanya untuk mengganti topik pembicaraan karena dia belum siap membicarakan bisnis pertanian mereka.Janice menggelengkan kepalanya, "Tidak satu pun dari kami yang dapat memiliki anak, tet