Hari berikutnya,
'Aku hanya ingin memberi tahumu bahwa aku sudah merasa lebih baik, kau tidak perlu membawakanku makanan lagi.'
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat akhirnya Greta mengirimkan pesan tersebut ke nomor Ryan. Dari ekspresi wajah Ryan setiap kali ia mengantarkan makanan, sepertinya ia tidak suka melakukan hal semacam itu untuknya dan Greta tidak ingin terlihat seperti orang yang tidak peka.
Ia mengetukkan jarinya di atas meja, menunggu jawaban Ryan. Ia tidak tahu mengapa ia sangat mengharapkan Ryan mengatakan sesuatu seperti, 'Apa kau yakin? Aku tetap akan datang ke sana untuk memastikan kau baik-baik saja.'
Namun hingga ia menghabiskan kopinya, tidak ada balasan sama sekali dari Ryan. Dia menghela nafas panjang, lalu memukul kepalanya dengan pelan beberapa kali. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba perasaan aneh dan konyol seperti itu datang padanya.
'Ayolah Greta! Bersihkan kepalamu! Jangan mudah jatuh cinta! Lihat apa yang telah dilakukan Mike padamu! Apakah kau ingin mengulangi pengalaman buruk itu sekali lagi?' Tak tahan dengan perdebatan di kepalanya, Greta berjalan tertatih ke wastafel dan membasuh wajahnya dengan cepat sampai baju yang dikenakannya basah.
Dengan wajah dan baju yang masih basah, ia berjalan lemas mengitari dapurnya yang luas, mencari tisu untuk menyeka wajahnya. Sebelum ia sempat menemukannya, bel pintu berbunyi dengan nyaringnya.
Greta mengerutkan kening, ia sama sekali sedang menunggu seseorang. Penasaran, ia berjalan perlahan menuju pintu dan mengintip melalui lubang kecil di sana.
"Tidak mungkin!" Greta menutup mulutnya dengan wajah terkejut saat melihat seseorang yang berdiri di depan pintu apartemennya. Tanpa ragu, ia membuka pintu, mengikuti insting berburunya hingga ia lupa akan wajah dan pakaiannya yang basah.
Ryan mendelik terkejut, ia menatap Greta cukup lama. "Apa yang kau lakukan? Mengapa kau terlihat sangat basah?" tanyanya dengan kaku. Greta menunduk menatap kausnya dengan wajah memerah malu. "Bukan urusanmu, lagipula apa yang kau lakukan di sini? Bukankah aku sudah mengirimimu pesan?"
Ryan mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu membuka pesan dari Greta dengan kening berkerut.
"Aku baru saja membaca pesanmu," gumamnya sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
Greta terdiam, ia merasa malu pada dirinya sendiri karena mengira Ryan datang setelah membaca pesannya. "Nah, karena aku sudah di sini, jadi ini makanan untukmu," Ryan mengulurkan kantong kertas hitam dengan tulisan 'The Food Theory' di atasnya.
"Food Theory? Kau beli makanan ini di sana? Kudengar makanan mereka enak? Tapi aku belum pernah mencobanya," oceh Greta tiba-tiba merasa senang, lidahnya sudah mendamba untuk mencoba makanan yang lezat.
Bukannya menjawab, Ryan menatap Greta dari ujung kepala hingga ujung kaki membuat Greta menatapnya dengan kesal.
"Apa yang sedang kau lakukan! Kau benar-benar mesum!" bentak Greta sambil menutupi payudaranya dengan tangannya yang bebas, ia belum sempat memakai bra sejak bangun tidur tadi.
Ryan tidak bereaksi, beberapa saat kemudian ia menghela nafas panjang dan mengangguk. "Kau benar-benar terlihat baik-baik saja, kalau begitu aku akan pergi," katanya lalu berbalik badan dan bersiap untuk pergi, tetapi Greta menahannya.
Ryan menoleh, menatap tangan Greta yang mencengkeram lengannya. Greta yang tidak sadar dengan apa yang dilakukannya langsung melepaskan tangan Ryan dan menggaruk tengkuknya dengan gugup. "Um, tadi ada semut di lenganmu," ujar Greta dengan singkat lalu dengan cepat memasuki apartemen dan menutup pintu dengan rapat.
Ia mengintip ke dalam lubang kecil di pintu, dan melihat Ryan masih berdiri disana dengan wajah agak bingung. Tetapi beberapa detik kemudian ia berbalik dan berjalan pergi dari sana.
Greta duduk di lantai sambil memukuli kepalanya beberapa kali, menyesali perbuatannya tadi. Ia seharusnya tidak memegang tangan Ryan tadi, Ryan akan berpikir buruk tentangnya setelah kejadian itu. Ia memang selalu lemah dalam urusan laki-laki. Ia bisa dengan mudah jatuh cinta dengan seseorang yang merupakan tipe idealnya. Termasuk saat pertama kali ia menjalin hubungan dengan Michael Mayer, anak presiden Amerika yang merupakan mantan tunangannya. Ia sudah memberikan semua cinta yang ia miliki hingga ia percaya saat Mike memintanya untuk menjadi istrinya, tapi ternyata ia memang terlalu bodoh hingga tidak menyadari bahwa ternyata Mike sudah mengkhianatinya sejak awal.
Greta menggelengkan kepalanya beberapa kali, berusaha menghilangkan rasa sakit yang tiba-tiba muncul lagi di dadanya. Dengan satu gerakan cepat, ia berdiri dan berjalan menuju dapur. Ia membuka kantong kertas dari Ryan dan terkejut menemukan tidak hanya sekotak ravioli tetapi juga sekotak Patches bertuliskan 'untuk meredakan nyeri sendi' di bagian depannya.
Greta memejamkan matanya rapat-rapat lalu membukanya lagi, berusaha menghilangkan perasaan aneh di kepalanya. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak jatuh cinta atau menjalin hubungan dengan pria mana pun selama setidaknya tiga tahun ke depan. Ia ingin menantang dirinya sendiri, dan menyingkirkan 'label mudah jatuh cinta' yang selama ini sangat melekat kepadanya.
*****
Sebulan kemudian,
"Lihat! Aku mendapat nilai sangat tinggi untuk tes latihan memasak foie gras! Kalian pasti ketagihan kalau mencobanya!" gerutu Greta sambil melakukan video call dengan keluarganya. Ia sangat senang karena ia baru saja menyelesaikan pendidikan kelas pendeknya setelah belajar selama hampir setahun lebih.
"Apakah kau sudah mendapatkan balasan dari The Food Theory?" tanya Amy setelah Greta selesai berbicara dengan keluarganya. Greta mengangguk riang, "Ya, mereka memintaku datang hari ini untuk wawancara," jawabnya santai.
Amy menepuk pundak Greta dengan ringan, "Kau sebaiknya melakukannya dengan baik agar kita bisa magang bersama! Aku pulang ya! Ada yang harus aku lakukan, bye!"
Greta melambaikan tangannya ke punggung Amy yang perlahan menghilang di balik pintu. Ia menarik napas dalam-dalam, gugup tentang wawancara itu. Ia telah mempersiapkan wawancara itu sejak lama. Ia sangat siap untuk terjun ke bisnis kuliner dan sangat yakin bahwa ia akan berhasil dan membanggakan orang tuanya atas pencapaiannya.
Dengan naik taksi Greta pergi ke The Food Theory yang tak jauh dari apartemennya. Ia berdandan secantik mungkin untuk mendapatkan kesan yang baik dan diterima bekerja di sana.
Setelah membayar taksi, dia memasuki gedung dan menuju ke lantai paling atas. The Food Theory merupakan restoran fine dining yang sangat mewah yang menjual pemandangan dari ketinggian sebagai daya tarik utamanya. Sesampainya di The Food Theory atau lebih sering disebut TFT, Greta disambut oleh seorang Host yang cantik berambut pirang, "Sebelah sini," ujar Host itu seraya mengarahkannya ke sebuah ruangan dengan tulisan VIP di depannya.
"Chef kami akan datang sebentar lagi, kau bisa menunggunya di sini," kata Host dengan papan nama bertuliskan Gabby yang tersemat di dadanya. "Thank you," ucap Greta dengan senyuman di wajahnya. Menit-menit berikurnya ia duduk dengan gelisah, mulutnya bergumam menghafal bahan-bahan menu unggulan di TFT, meski tak tahu apakah akan ditanya atau tidak.
Setelah menunggu selama hampir sepuluh menit, tiba-tiba pintu ruang VIP didorong terbuka dan seseorang dengan sepatu koki hitam memasuki ruangan. Greta terlalu gugup untuk menatap wajahnya, dia hanya menunduk saat melihat sepasang sepatu itu mendekatinya. Hingga tiba-tiba, "Greta?"
Suara yang sangat dikenalnya itu membuatnya mau tidak mau mendongak, suara yang telah ia lupakan selama sebulan belakangan.
"Ryan?! Apa yang kau lakukan di sini?"
*****
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Greta mengulangi pertanyaannya dengan wajah panik."Apa maksudmu? Ini restoranku, tentu saja, aku ada di sini, bukannya pertanyaannya terbalik? Harusnya aku yang menanyakan hal itu kepadamu," jawab Ryan santai. Ia menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya.Greta menutup mulut dengan tangannya. "Apa katamu? Restoranmu? Kamu tidak bercanda, kan?" suaranya terdengar lebih keras dari yang ia maksudkan."Jika kamu masih ingin bekerja magang di sini, sebaiknya kamu mulai menurunkan nada suaramu saat berbicara denganku, kamu tau kan kita tidak berada di level yang sama," kata Ryan tegas dan datar.Greta menelan ludah, matanya tertuju pada Jaket chef berwarna hitam dengan tulisan The Food Theory terukir di atasnya. "Ya Tuhan! Harusnya aku sudah sadar dari awal! Kamu memakai jaket ini saat demo masak di kampusku, iya kan?" pekik Greta dengan mata terbelalak."Aku akan menghitung sampai tiga, jika kamu masih tidak bisa mengendalikan nada bicaramu, aku akan menca
"Greta? Kenapa kamu terlihat sangat terkejut? Aku tahu kamu pasti kesal karena dia melukai tulang ekormu, tapi dia sangat tampan sehingga aku tidak bisa berhenti memikirkannya..." Amy bergumam sambil berganti pakaian menjadi seragam dapur. Greta meringis, "Apakah kamu benar-benar menyukainya? Maksudku, apakah kau jatuh cinta padanya?" tanyanya sambil membuka lokernya dan meletakkan semua barangnya di sana. Amy tersenyum malu-malu, lalu dia menganggukkan kepalanya dengan rona merah di pipinya. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi jantungku berdetak sangat kencang setiap kali dia berada di dekatku!" Greta mengangkat alis, "Setiap kali dia berada di dekatmu? Sudah berapa kali kamu bertemu dengannya?" tanyanya dengan sangat penasaran. "Um..." Amy mengangkat dua jari, meringis. Greta melotot, "Dua kali? Kamu hanya melihat Ryan Lewis dua kali dan kamu tahu jantungmu berdebar setiap kali berada di dekatnya?" serunya, dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ami merengut
Ponsel Greta berdering tepat setelah dia tiba di apartemennya, sebuah dari ibunya. Dia mengklik tombol hijau dan meletakkan telepon dalam mode pengeras suara. "Hai, Bu!" sapa Greta ringan, berusaha keras menyembunyikan kelelahannya. "Greta, kamu sudah pulang?" “Ya, aku baru saja sampai rumah , ibu sedang apa? Apakah ayah bersamamu?” tanya Greta sambil melepas sepatu Chef-nya. Dia meringis saat melihat kemerahan di kedua kakinya. "Aku di sini sayang, bagaimana hari pertamamu?" Itu adalah suara ayahnya. "Hi Ayah! Um, bagus, aku mendapatkan partner kerja yang sangat baik dan restorannya sangat ramai, sama sekali tidak membosankan!” oceh Greta, ia berdiri dan berjalan ke lemari es untuk mengeluarkan sekaleng bir lalu duduk di atas sofa. "Terdengar menyenangkan! Jadi siapa Koki Eksekutifnya? Apakah kami mengenalnya? Maksudku biasanya, aku dan ayahmu mengenali beberapa Koki Michelin Star," gumam Gabriel Spectre, ayah Greta. Greta bisa membayangkan pasti ibunya sedang menganggukkan ke
“Apakah kau marah padaku hanya karena aku mengatakan kepada Chef Ryan bahwa kita berkencan?” Liam mengejek sambil mendekatkan wajahnya kepada Greta yang sibuk menguleni adonan. Greta mengambil napas dalam-dalam, ini adalah kali keempat Liam bertanya hal yang sama."Berapa kali aku harus menjawab bahwa aku sama sekali tidak marah, jika kau bertanya padaku sekali lagi, aku mungkin akan benar-benar marah!" sahut Greta seraya melemparkan cangkang telur ke tangannya dengan marah.“Whoa, lihatlah dirimu! Jadi kau berani bersikap kasar padaku sekarang? Greta, aku seniormu di sini, nilai magangmu tergantung padaku, jadi sebaiknya menjaga sikapmu, atau aku tidak akan ragu-ragu untuk memberi nilai yang buruk untukmu!” oceh Liam, wajahnya terlihat sangat menjengkelkan. Bagaimana mungkin Greta sempat berpikir bahwa Liam adalah teman kerja yang baik? Ia benar-benar tidak bisa membaca karakter orang!Ia menatap Liam untuk waktu yang lama, kemudian mengangguk, "Okay kalau begitu," ia menjawab kemudi
Greta menggigit bibirnya dengan keras, dengan putus asa mencoba untuk mencegah air mata agar tidak jatuh. "Jangan coba-cona menangis, aku tidak akan melembut hanya karena kau seorang wanita, air mata itu tidak akan berguna!" Ryan berteriak dengan lengan terlipat di depan dada. Greta menelan ludah, matanya menatap Ryan dengan tajam, dia bersumpah dalam hatinya bahwa dia tidak akan pernah menumpahkan air mata di depan pria yang arogan itu. Meskipun Greta tidak memalingkan wajahnya ke arah Liam, ia tahu Liam sedang tersenyum puas mengejeknya. “Liam, kau bertanggung jawab atas semua ini, kau tahu itu bukan?” desis Ryan, menatap dingin ke arah Liam. “Ya Chef, saya akan mengambil tanggung jawab penuh atas kejadian hari ini!” sahut Liam, menegakkan punggungnya. Greta merasakan perutnya seperti di pelintir, tiba-tiba ia merasa aneh dengan situasi yang sedang ia hadapi itu, apakah seseorang sengaja melakukan hal itu kepadanya? "Dan kau," Ryan memandang kembali ke arah Greta, "Jika aku menda
“Di mana Liam?” Ryan tiba-tiba muncul di ujung Pastry Section, dia sudah mengenakan jaket Chefnya dan terlihat tampan seperti biasanya. Greta bangkit berdiri, "Dia baru saja mengirim pesan bahwa dia demam dan tidak bisa datang bekerja hari ini," jawab Greta muram.“Apakah kau sudah menyiapkan kue untuk brunch hari ini?” tanya Ryan sambil berjalan mendekat ke arah Greta."Yeah, sedang aku siapkan," jawab Greta sambil membungkuk untuk mengeluarkan tepung dari dalam lemari. Tepat saat itu dari tempatnya berdiri Ryan tidak sengaja melihat deretan Crème Brule berbaris di dalam sana. Dia mengerutkan keningnya, "Apa itu?" tanyanya, menunjuk ke sepuluh Crème Brule yang telah menjadi penyebab masalah tadi malam.“Sepuluh Crème Brule yang hilang tadi malam,” jawab Greta dengan tenang.“Aku tidak mengerti apa yang kau maksud?” Ryan bertanya dengan tidak sadar. “Mengapa kau meletakkan dessert itu di sana? Ah aku mengerti sekarang! Jadi kau meletakkan semua dessert itu di sana lalu kau lupa, iya k
Satu jam kemudian,Greta sedang sibuk mengatur kue di piring pajangan ketika Amy masuk ke dapur dengan wajah muram yang sama sekali berbeda dari yang dia tunjukkan tadi pagi. Tidak ada lagi senyum lebar di wajahnya. Greta bisa saja pura-pura bertanya, tapi dia memilih untuk tidak melakukannya dan menyibukkan diri dengan apa yang sedang dia lakukan.Tidak lama kemudian, dia melihat Amy melepas celemeknya, ia juga mengeluarkan ponselnya dari laci lalu berjalan menuju loker tanpa mengatakan apapun kepada siapapun. "Amy! Kau mau kemana?!" Greta mendengar Terry berteriak pada Amy, tetapi Amy terus berjalan pergi tanpa menjawabnya.Greta menghela nafas panjang, dia tahu Ryan tidak akan memberi kesempatan pada Amy, apa yang dilakukan Amy adalah sesuatu yang sangat kekanak-kanakan dan merupakan kesalahan yang disengaja.“Alex, bisakah kau membawa ini ke meja prasmanan? Aku harus ke toilet sebentar,” kata Greta kepada seorang pelayan yang kebetulan memasuki area dapur. "Oke tidak masalah!" kat
Greta sedang mengaduk kopi hitamnya ketika ponselnya berdering keras, panggilan video dari kakak iparnya, Rachel. Ia menekan tombol hijau lalu menempelkan ponselnya ke pintu kulkas agar ia bisa berbicara sambil membuat roti panggang."Hei, kau belum berangkat kerja?" Rachel bertanya dengan riang."Aku mendapat shift sore, apa yang kau lakukan? Apakah kau sedang bersama Noah?" tanya Greta, Noah adalah kakak Greta, suami Rachel."Tidak, dia ada di kantor, aku sedang istirahat untuk pemotretan, ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu!" Suara Rachel terdengar begitu bersemangat hingga membuat Greta menghentikan tangannya yang sedang mengoleskan selai kacang di atas roti panggangnya. Ia menatap ke arah kamera dengan wajah ingin tahu, "Ada apa?"Rachel tampak mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya lalu menunjukkannya kepada Greta."Apa itu?" tanya Greta dengan kening berkerut."Kau benar-benar tidak tahu apa ini ?!" Rachel menggeleng tak percaya. Greta hanya meringis sambil menggaruk k
"Hai," sapa Amanda kaku saat melihat Summer dan Shawn. Summer tersenyum lebar, "Hai, apa kabar? Kalian datang bersama?" Archie mengangguk, "Ya," katanya sambil menoleh ke arah Amanda dan tersenyum. Summer dan Shawn saling memandang, sedikit bingung dengan keterkejutannya. Setelah itu, mereka semua duduk di kursi masing-masing, dan kebetulan, Summer mendapat tempat duduk tepat di seberang Amanda yang tetap memasang wajah cemberutnya meski Archie di sebelahnya berusaha menghiburnya. Gina dengan ringan memukul gelas anggurnya dua kali, menandakan bahwa dia ingin berbicara. Dia berdiri tepat di sebelah Shawn, terlihat cantik dan anggun dalam balutan gaun putihnya. "Selamat malam, terima kasih semua sudah datang, terutama Amanda yang datang jauh-jauh dari Melbourne dan Archie dari Adelaide. Um, untuk Tuan dan Nyonya Jefferson, saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya karena mungkin telah mempermalukan Anda dengan apa yang terjadi di antara kita baru-baru ini. Hubungan yang sudah sepert
"Oh, dasar gadis bodoh," kata Gina, memalingkan wajahnya, tapi dia tidak mengatakan kata penolakan lagi.Shawn dan Summer saling menatap, diam-diam berusaha menahan senyum."Aku akan membawa kopermu ke kamar, kau ingin menunggu di sini?" Shawn bertanya, menunjuk ke kursi yang juga diduduki ibunya."Yeah, aku akan menunggu di sini!" serunya riang. Di tempatnya berdiri, Gina tidak bereaksi dan tetap sibuk dengan bunganya."Ini bunga untukmu, kudengar kau sangat suka bunga ini," kata Summer sambil meletakkan keranjang bunga di atas meja."Singkirkan bunga itu, sangat menyebalkan!" Bentak Gina.Summer menyeringai, meletakkan keranjang bunga di atas meja kayu lain tak jauh dari mereka."Kau benar-benar membenciku? Atau kau melakukannya karena menurutmu Shawn masih punya kesempatan dengan Amanda?" tanya Summer tanpa berani duduk di sebelah Gina."Apapun itu, aku hanya tidak suka kau disini, berusahalah sekuat tenaga karena aku tidak akan berubah," kata Gina datar.Summer menarik napas dalam
Malam itu semuanya berjalan sesuai rencana. Ibu Amanda menepati janjinya, dia mengatakan yang sebenarnya kepada Shawn, bahwa ibunya tidak benar-benar sakit dan hasil labnya palsu. Dan Shawn setuju untuk melakukan apa yang direncanakan ibu Amanda untuk menghentikan rencana gila Amanda yang mulai tidak masuk akal.Summer menunggu di sofa dengan gugup sambil terus menatap ponselnya. Beberapa menit kemudian ponselnya berdering. Summer dengan gugup menekan tombol hijau. Dari sofa di seberangnya, Archie melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada Summer untuk bersikap santai karena tidak ada yang tahu mereka berada di Brisbane kecuali ibu Amanda dan Shawn."Halo?" kata Summer, berusaha keras untuk terdengar santai."Summer! Tolong telepon Shawn sekarang juga dan suruh dia berhenti!" teriak seseorang dari seberang.Summer menelan ludah, dengan gugup, "Siapa kau?""Ini Gina Miller! Aku ibu Shawn! Tidak, tidak, kau tidak perlu meneleponnya, bicara saja di sini, berteriaklah agar dia bisa men
"Dia sudah pergi..." kata Archie canggung. Summer segera melepaskan diri dari pelukan Archie. Dia menyeka air matanya dengan cepat, lalu menggigit bibirnya, seolah-olah untuk menahan diri."Kau baik baik saja?" Archie bertanya yang mana tentu saja hanya pertanyaan klise yang tidak perlu dijawab.Summer berdehem, menyeka hidungnya dengan ujung sweter wolnya."Aku butuh bir, kau mau ikut denganku?" tanya Summer tanpa memandang Archie."Apa? Bir? Bisakah kau minta yang lain? Um, levermu..." gumam Archie sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.Summer melambaikan tangannya, "Lupakan saja, aku akan pergi sendiri," katanya sambil berbalik dan berjalan menjauh dari Archie."Tidak, tunggu! Baiklah! Aku akan ikut denganmu," teriak Archie pada akhirnya. Dia setengah berlari mengejar Summer lalu berjalan di sisinya."Ada bar beberapa blok dari sini, mau ke sana?" Archie berusaha memecahkan keheningan di antara mereka."Oke," jawab Summer singkat. Archie mengangguk, lalu terdiam lagi."Kau bis
Dua minggu kemudian."Summer! Bangun! Kamu harus melihat ini!"Dia membuka matanya dan terkejut menemukan Mrs. Jones sedang menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan wajah gembira.Dengan mata mengantuk, dia bangkit dan mengikuti Mrs. Jones, keluar dari kamarnya.Mereka berjalan melewati ruang tamu, lalu tiba-tiba Mrs. Jones berhenti di depan pintu penghubung antara ruang makan dan taman belakang."Lihat wanita itu!" teriak Mrs. Jones dengan bangga.Mata Summer tiba-tiba membelalak saat melihat nenek sedang berjalan menyirami tanaman dengan lambat.Rasa kantuknya hilang seketika, ia tersenyum lebar dan memeluk Mrs. Jones dengan hangat. "Terima kasih, Mrs Jones! Kau yang terbaik!"Sejak menjalani operasi cangkok hati, langkah Nenek selalu bergetar dan membuatnya harus selalu duduk di kursi roda. Melihat kemampuannya kembali ke aktivitas normalnya membuat Summer merasa sangat bahagia...Hari itu dia pergi ke Coffee Shop dengan lebih semangat. Dia berjanji akan melakukan apa saja untuk mendap
Summer sedang duduk di sofa, memperhatikan Archie diukur oleh staf penjahit.Kepalanya dipenuhi dengan bayangan Shawn, apakah dia bahagia tanpa dia ataukah dia menderita karena dipaksa melakukan apa yang diinginkan ibunya?Dia menarik napas dalam-dalam untuk kesekian kalinya, dadanya terasa sangat sesak seolah ada beban berat yang disandarkan disana. Sekali lagi air mata menggenang di matanya, dia buru-buru mengeluarkan tisu dari tasnya dan menyekanya sampai kering."Aku sudah selesai, apakah kau ingin mampir untuk minum? Kau terlihat sangat tertekan," gumam Archie sambil mengenakan kembali bombernya."Aku tidak minum alkohol lagi," kata Summer sambil berdiri.Archie terlihat sedikit terkejut, "Keren! Apakah kau hidup sehat atau apa?"Summer mendengus sambil tertawa, “Aku mendonorkan liverku beberapa waktu lalu, jadi aku harus merawat tubuhku lebih dari orang lain yang kondisinya normal,” ujarnya enteng."Oke, bagaimana dengan es krim? Kau harus mencoba gelato terbaik di kota!" Teriak
Hari itu adalah hari yang sangat menyenangkan untuk Summer, bukan hanya karena dia mendapat pekerjaan tetapi juga karena ternyata pemilik Airbnb tempat dia menginap adalah seorang fisioterapis. Saat dia sedang melatih nenek berjalan di taman belakang, pemilik rumah bernama Mrs. Jones berjalan ke arah mereka dan mengobrol sebentar dengan mereka. Nyonya Jones menawarkan diri untuk menjadi terapis nenek dengan bayaran yang sangat rendah karena dia sangat senang melakukannya. Dia pun menawarkan Summer dan neneknya untuk tinggal di sana dengan harga lebih murah selama sesi terapi, mungkin butuh waktu berbulan-bulan, tapi demi kesehatan neneknya tentu saja Summer tidak keberatan. "Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya nenek ketika mereka berada di kamar tidur. Summer mengangguk, "Aku senang nenek punya teman untuk diajak ngobrol, bayangkan jika kita tinggal di apartemen, nenek akan kesepian setiap kali aku pergi bekerja, seperti hari-hari lainnya," katanya, tangannya sibuk memijat. kak
Summer mengesampingkan urusan asmaranya dan mencoba menghubungi Shawn karena dia tidak tahu harus berbicara dengan siapa tentang berita tragis itu, namun panggilannya tidak dijawab, bahkan beberapa saat kemudian ponselnya menjadi tidak aktif.Ketakutan mencengkeram jiwanya, dia takut dia telah terlibat dalam sesuatu yang dia tidak benar-benar tahu. Dia mondar-mandir di kamarnya dengan gelisah, lalu sebuah ide muncul di kepalanya. Jika dia sangat curiga pada Vivian, mengapa dia tidak langsung bertanya padanya? Alih-alih berasumsi di kepalanya. Kemudian dia mengambil ponselnya dan mulai meneleponnya. Tidak ada jawaban juga, bahkan setelah dia mencoba untuk kesekian kali, panggilannya masih diabaikan. Pasti ada sesuatu, dia bisa merasakannya, dia tahu itu, tapi apa?Dengan putus asa, dia mencoba menelepon Grace Park yang menerima teleponnya di dering pertama."Grace, apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara gemetar."Aku tidak tahu, ini sangat kacau, kau dimana? Kita perlu bicara!""Byro
"Hei Janice, apa yang sedang kau masak?" tanya Summer saat memasuki dapur dan mendapati Janice sedang mengaduk panci."Sup ayam dan kacang polong, kau pasti lelah, mandi saja, aku sudah hampir selesai," kata Janice, dia tahu Summer akan membantunya menyiapkan makan malam.Summer menggelengkan kepalanya, "Aku masih punya cukup kekuatan untuk melakukan apapun!" katanya riang, tangannya sibuk mengupas kentang segar yang tergeletak di atas meja.Janice tersenyum, "Kau benar-benar gadis muda yang penuh semangat, aku senang mengetahui bahwa kita akan bekerja sama untuk mengembangkan rumah pertanian ini," katanya dengan sungguh-sungguh.Summer meringis, sepertinya semua orang kecuali dirinya tahu tentang rencana Vivian untuk memberikan rumah pertanian itu padanya."Apakah kau dan Mike punya anak?" Summer bertanya untuk mengganti topik pembicaraan karena dia belum siap membicarakan bisnis pertanian mereka.Janice menggelengkan kepalanya, "Tidak satu pun dari kami yang dapat memiliki anak, tet