Wulung lengah, dia terlambat menyadari tombak yang diayunkan ke kepalanya. Dia yang sudah kelelahan kaget dengan serangan itu. Reflek tangannya ke atas, berusaha menahan serangan itu.
'Prakk!'
Benturan pun tidak terelakkan. Tangan Wulung sedikit bengkok akibat hantaman tombak, mungkin saja tulangnya patah. Lunglai tangan kanan Wulung terjuntai tidak bisa digerakkan. Dia menjerit kesakitan.
Para remaja itu sudah terdesak, kelelahan membuat mereka kehilangan jalan keluar. Serangan putus asa dilancarkan keempatnya, namun dengan cepat dapat dipatahkan musuh.
Janu dan kawan kawan terluka cukup parah. Mereka menderita luka tusukan dan sabetan di sana sini. Bahkan tangan kanan Wulung patah terkena serangan musuh.
'Woosh!'
Bola api muncul dari segala arah, mengarah kearah para perampok Tanduk Api. Seorang perampok yang terlambat menghindar terbakar hidup hidup.
Para perampok yang lain kaget bukan main dengan serangan tiba tiba itu. Salw
Janu siuman saat hari sudah gelap. Dia terbangun di dalam sebuah gubuk kecil di tengah hutan. Di sebelahnya, Wulung dan Malya masih tergeletak tak sadarkan diri. Rangin tak tampak sama sekali di dalam sana.Di dalam gubuk tidak ada barang apapun terisi, hanya selembar tikar bambu lebar untuk alas berbaring.Dia lantas mencoba untuk duduk. Badannya masih sedikit lemas akibat mengeluarkan kekuatan dan energi yang berlebihan. Duduk sebentar, lalu dengan berat dan sedikit pusing, dia berdiri dan berjalan pelan menuju keluar gubuk.Di luar, di dekat pohon rambutan, Rangin baru nampak tengah bermeditasi. Terlihat bekas luka dan gurat merah hasil lecutan cambuk menggurat di badannya. Dia yang paling awal siuman.Janu mendekati Rangin, perlahan."Rangin, kita ada dimana?" Tanya Janu pelan.Rangin menjawab tanpa membuka mata, "Kau sudah sadar rupanya. Kita ada di kediaman Mbah Bogel.""Mbah Bogel? Apa dia yang menyelamatkan kita?""Bena
Mentari pagi bersinar dengan gemilang. Cicit burung terdengar bersahutan di atas pepohonan. Rangin keluar dari dalam gubuk, diikuti oleh Janu yang masih sedikit mengantuk.'Aneh sekali, padahal semalam tubuhku masih sangat sakit. Kenapa sekarang rasanya ringan sekali?' Pikir Janu.Disini Janu hanya membatin, dia masih mengikuti Rangin keluar gubuk. Diluar, keduanya lantas melakukan rutinitas pemanasan seperti biasa, merenggangkan kaki melakukan kuda kuda.Waktu berjalan, hari telah siang saat Janu dan Rangin muncul dari tengah hutan membawa buah buahan untuk dimakan. Keduanya masuk ke dalam gubuk. Disana mereka baru menyadari ada sebuah pesan yang diukir di atas potongan bambu."Anak muda, aku tahu kalian sudah mencapai tingkat penguatan energi. Aku tahu juga kalau kalian mengetahui energi itu hanyalah sebatas tenaga dalam saja. Energi itu lebih dari itu. Energi yang kalian pakai bukan hanya apa yang diserap dari dalam tubuh, namun energi yang tak terbata
"Aku sudah bicara panjang lebar. Kalian disini harus terus berlatih agar bisa mencapai tahap moksa. Perjalanan kalian masih panjang, dunia sangat luas, entah rintangan apa yang nanti akan kalian alami.""Sekarang kalian semua sudah mencapai tingkat penguatan energi tahap pondasi. Kalian juga sudah menjadi murid inti perguruan ini. Saatnya sekarang kalian mencari bahan senjata mistis masing masing.""Baik mpu!"Keempatnya lantas mengundurkan diri.Disini Janu benar benar memikirkan apa yang diucapkan oleh Mpu Sadhana. Perkataan Mpu Sadhana terngiang di otaknya. Kalau benar Mbah Bogel sudah mencapai tingkat moksa, apa mungkin yang dilakukannya karena karma, atau ada hal lain lagi. Janu pusing.Sebulan berlalu di Perguruan Pinus Angin. Selama kurun waktu itu dipergunakan Janu untuk memulihkan diri. Mereka kini sudah benar benar sembuh, tangan Wulung yang patah pun kini sudah bisa digerakkan kembali.Setelah satu bulan berlalu, keempatnya sudah
Empat sosok tiba di wilayah Bagaluhan. Disana keempatnya mendengar ada sekelompok penduduk yang sering mendulang emas dan bebatuan berharga di sekitar rawa di Kademangan Rukmalaya. Segera saja mereka menuju ke lokasi yang dimaksud.Hutan rawa yang dimaksud berada di dekat sebuah desa bernama Desa Caling. Desa ini terkenal akan penduduknya yang menjadi pendulang bebatuan berharga. Disana ada sebuah sungai besar yang mengalir dari pegunungan di utara, membelah rawa menjadi dua bagian. Lokasi penambangan ada di rawa bagian selatan, berseberangan sungai dengan desa.Sampai di Desa Caling, keempatnya tidak mau menyianyiakan waktu lagi. Mereka langsung menanyakan tentang batu wesi ireng kepada salah satu warga penambang.Warga tersebut mengiyakan kalau di rawa bagian selatan masih banyak dijumpai bebatuan wesi ireng tersebut. Mereka pun langsung membujuk warga tersebut untuk disewa menjadi penambang batu itu."Kenapa tidak mau ki? Nanti kuberi lima, eh... sepul
"Awal muncul tulah seperti ini. Beberapa minggu yang lalu, kami pulang dari penambangan seperti biasa. Nah saat penambang terakhir menyeberang melintasi sungai besar, dia tewas disana.""Tewas? Kenapa?""Dia tewas dimakan oleh raja sungai. Beberapa hari setelahnya, kejadian serupa pun muncul kembali. Hingga korban mencapai tujuh orang, kami akhirnya tidak berani lagi ke rawa bagian selatan. Tulah itu baru terjadi sekarang ini, padahal dahulu tidak pernah ada.""Kenapa kalian tidak meminta bantuan ke kademangan atau kadipaten?""Kami sudah mminta bantuan. Beberapa prajurit kadipaten bahkan sempat datang kemari. Semuanya gagal, para prajurit itu beberapa ada tewas oleh serangan raja sungai. Yang saya tahu, mereka tidak kembali lagi kemari karena sedang sibuk menangani masalah perampok yang sedang merajalela.""Hmm... Raja sungai ya. Apakah dia siluman?""Setahu saya, wujud dari raja sungai itu adalah seekor buaya putih raksasa yang sangat besa
Para warga dan sang kepala desa yang menonton hal itu pun terkejut dan sedikit panik. Walaupun mereka pernah sekali melihat buaya itu saat melawan para prajurit Mataram, namun kali ini berbeda. Buaya itu tampak lebih besar dan mengerikan dari sebelumnya.Mereka kini khawatir dengan kondisi keempat pendekar muda itu. Para warga semakin tidak yakin kalau mereka bisa melawan sang raja sungai. Mereka juga takut kalau saja si raja sungai akan semakin murka dan menyerang desa.Janu sudah bersiaga penuh sedari tadi. Saat sang buaya menyerangnya, dia segera menghindar ke belakang. Bangkai ayam yang digenggamnya dilemparkan masuk ke dalam mulut si buaya.Ketiga rekannya juga meletakkan daging yang mereka bawa dan segera menempatkan diri di sisi sang buaya, berusaha mengepungnya. Hal itu untuk mencegah si buaya kembali masuk ke dalam sungai.Saat sang buaya tengah sibuk dengan Janu yang sangat lincah menghindarinya, ketiga sahabatnya berusaha menyerang dari samping
Mendengar aba aba dari Janu, seketika, Rangin yang tadinya hanya menghindar kini melemparkan goloknya. Dengan cepat dia menangkap kedua sisi mulut sang buaya. Sambil mengatupkan mulut dan gigi yang gemerutuk, dia berusaha membuat agar buaya itu terbalik. Seluruh tenaga dikerahkan, Rangin yang sudah mencapai tingkat penguatan energi melawan buaya putih yang kekuatannya sangat luar biasa dan ganas. Ilmu tubuh sutra yang dipelajarinya dikeluarkan, membuat tubuhnya berubah menjadi kuning keemasan. Kedua lengannya nampak padat memperlihatkan otot dan sendi yang keras bekerja. Kelihatan sekali dia mempertaruhkan sebagian besar tenaganya untuk membalik tubuh sang buaya. Buaya itu juga tidak mau kalah. Dia terus berusaha mengatupkan rahangnya, mencoba menggigit tangan Rangin yang menggenggam kedua sisi moncong mulutnya. Sambil bergerak ke depan, dia mencoba mendorong Rangin. "Aaarrrggghhh...!" Satu teriakan nyaring terdengar. Rangin berteriak kencang
Buaya yang sudah tewas digotong oleh para warga ke tengah lapang. Seperti sebuah pawai para warga mengarak bangkai si buaya itu.Butuh puluhan warga untuk mengangkat tubuh si buaya. Mereka semua melirik ke arah Rangin, seakan tidak percaya kalau remaja itu mampu seorang diri mengangkat dan membalikkan tubuh si buaya.Keempat remaja itu berjalan pelan mengikuti para penduduk yang sedang berpawai. Ditemani sang kepala desa, mereka lantas berjalan ke tengah para warga yang sedang berkumpul."Wargaku sekalian! Mohon perhatiannya sebentar!" Teriak Mbah Bawul menenangkan warga yang masih ribut."Teror sang raja sungai telah usai, kita sekarang bebas menambang lagi! Semua ini berkat empat pendekar muda ini! Selamanya Desa Cening akan berterimakasih kepada para pendekar yang telah menyelamatkan kami dari tulah ini!"Setelah mengucap terimakasih dan sedikit pesan, si kepala desa membawa keempat remaja itu ke rumahnya. Disana mereka dijamu berbagai macam hid