"Aku sudah bicara panjang lebar. Kalian disini harus terus berlatih agar bisa mencapai tahap moksa. Perjalanan kalian masih panjang, dunia sangat luas, entah rintangan apa yang nanti akan kalian alami."
"Sekarang kalian semua sudah mencapai tingkat penguatan energi tahap pondasi. Kalian juga sudah menjadi murid inti perguruan ini. Saatnya sekarang kalian mencari bahan senjata mistis masing masing."
"Baik mpu!"
Keempatnya lantas mengundurkan diri.
Disini Janu benar benar memikirkan apa yang diucapkan oleh Mpu Sadhana. Perkataan Mpu Sadhana terngiang di otaknya. Kalau benar Mbah Bogel sudah mencapai tingkat moksa, apa mungkin yang dilakukannya karena karma, atau ada hal lain lagi. Janu pusing.
Sebulan berlalu di Perguruan Pinus Angin. Selama kurun waktu itu dipergunakan Janu untuk memulihkan diri. Mereka kini sudah benar benar sembuh, tangan Wulung yang patah pun kini sudah bisa digerakkan kembali.
Setelah satu bulan berlalu, keempatnya sudah
Empat sosok tiba di wilayah Bagaluhan. Disana keempatnya mendengar ada sekelompok penduduk yang sering mendulang emas dan bebatuan berharga di sekitar rawa di Kademangan Rukmalaya. Segera saja mereka menuju ke lokasi yang dimaksud.Hutan rawa yang dimaksud berada di dekat sebuah desa bernama Desa Caling. Desa ini terkenal akan penduduknya yang menjadi pendulang bebatuan berharga. Disana ada sebuah sungai besar yang mengalir dari pegunungan di utara, membelah rawa menjadi dua bagian. Lokasi penambangan ada di rawa bagian selatan, berseberangan sungai dengan desa.Sampai di Desa Caling, keempatnya tidak mau menyianyiakan waktu lagi. Mereka langsung menanyakan tentang batu wesi ireng kepada salah satu warga penambang.Warga tersebut mengiyakan kalau di rawa bagian selatan masih banyak dijumpai bebatuan wesi ireng tersebut. Mereka pun langsung membujuk warga tersebut untuk disewa menjadi penambang batu itu."Kenapa tidak mau ki? Nanti kuberi lima, eh... sepul
"Awal muncul tulah seperti ini. Beberapa minggu yang lalu, kami pulang dari penambangan seperti biasa. Nah saat penambang terakhir menyeberang melintasi sungai besar, dia tewas disana.""Tewas? Kenapa?""Dia tewas dimakan oleh raja sungai. Beberapa hari setelahnya, kejadian serupa pun muncul kembali. Hingga korban mencapai tujuh orang, kami akhirnya tidak berani lagi ke rawa bagian selatan. Tulah itu baru terjadi sekarang ini, padahal dahulu tidak pernah ada.""Kenapa kalian tidak meminta bantuan ke kademangan atau kadipaten?""Kami sudah mminta bantuan. Beberapa prajurit kadipaten bahkan sempat datang kemari. Semuanya gagal, para prajurit itu beberapa ada tewas oleh serangan raja sungai. Yang saya tahu, mereka tidak kembali lagi kemari karena sedang sibuk menangani masalah perampok yang sedang merajalela.""Hmm... Raja sungai ya. Apakah dia siluman?""Setahu saya, wujud dari raja sungai itu adalah seekor buaya putih raksasa yang sangat besa
Para warga dan sang kepala desa yang menonton hal itu pun terkejut dan sedikit panik. Walaupun mereka pernah sekali melihat buaya itu saat melawan para prajurit Mataram, namun kali ini berbeda. Buaya itu tampak lebih besar dan mengerikan dari sebelumnya.Mereka kini khawatir dengan kondisi keempat pendekar muda itu. Para warga semakin tidak yakin kalau mereka bisa melawan sang raja sungai. Mereka juga takut kalau saja si raja sungai akan semakin murka dan menyerang desa.Janu sudah bersiaga penuh sedari tadi. Saat sang buaya menyerangnya, dia segera menghindar ke belakang. Bangkai ayam yang digenggamnya dilemparkan masuk ke dalam mulut si buaya.Ketiga rekannya juga meletakkan daging yang mereka bawa dan segera menempatkan diri di sisi sang buaya, berusaha mengepungnya. Hal itu untuk mencegah si buaya kembali masuk ke dalam sungai.Saat sang buaya tengah sibuk dengan Janu yang sangat lincah menghindarinya, ketiga sahabatnya berusaha menyerang dari samping
Mendengar aba aba dari Janu, seketika, Rangin yang tadinya hanya menghindar kini melemparkan goloknya. Dengan cepat dia menangkap kedua sisi mulut sang buaya. Sambil mengatupkan mulut dan gigi yang gemerutuk, dia berusaha membuat agar buaya itu terbalik. Seluruh tenaga dikerahkan, Rangin yang sudah mencapai tingkat penguatan energi melawan buaya putih yang kekuatannya sangat luar biasa dan ganas. Ilmu tubuh sutra yang dipelajarinya dikeluarkan, membuat tubuhnya berubah menjadi kuning keemasan. Kedua lengannya nampak padat memperlihatkan otot dan sendi yang keras bekerja. Kelihatan sekali dia mempertaruhkan sebagian besar tenaganya untuk membalik tubuh sang buaya. Buaya itu juga tidak mau kalah. Dia terus berusaha mengatupkan rahangnya, mencoba menggigit tangan Rangin yang menggenggam kedua sisi moncong mulutnya. Sambil bergerak ke depan, dia mencoba mendorong Rangin. "Aaarrrggghhh...!" Satu teriakan nyaring terdengar. Rangin berteriak kencang
Buaya yang sudah tewas digotong oleh para warga ke tengah lapang. Seperti sebuah pawai para warga mengarak bangkai si buaya itu.Butuh puluhan warga untuk mengangkat tubuh si buaya. Mereka semua melirik ke arah Rangin, seakan tidak percaya kalau remaja itu mampu seorang diri mengangkat dan membalikkan tubuh si buaya.Keempat remaja itu berjalan pelan mengikuti para penduduk yang sedang berpawai. Ditemani sang kepala desa, mereka lantas berjalan ke tengah para warga yang sedang berkumpul."Wargaku sekalian! Mohon perhatiannya sebentar!" Teriak Mbah Bawul menenangkan warga yang masih ribut."Teror sang raja sungai telah usai, kita sekarang bebas menambang lagi! Semua ini berkat empat pendekar muda ini! Selamanya Desa Cening akan berterimakasih kepada para pendekar yang telah menyelamatkan kami dari tulah ini!"Setelah mengucap terimakasih dan sedikit pesan, si kepala desa membawa keempat remaja itu ke rumahnya. Disana mereka dijamu berbagai macam hid
Di sebuah bukit, empat orang remaja tengah berkumpul membakar daging kelinci. Aroma sedap dari daging bakar merebak menyebar ke segala penjuru. Beberapa hewan liar pun tertarik dengan aroma itu, namun tidak berani mendekat.Dengan lahap keempat orang itu kemudian memakan daging tersebut. Mereka makan seakan tidak memerdulikan sekitar yang berusaha untuk mencuri sisa daging di atas daun."Rangin, bebatuan wesi ireng yang kita dapat ternyata tidak seperti apa yang kita bayangkan. Aku kira besar, ternyata hanya sebesar itu." Ujar Janu sambil mengunyah makanan."Huft, kita salah kira. Sebenarnya aku ingin membuat sebuah golok dari batu ini. Tapi kalau bebatuan itu kecil kecil seperti ini ya tidak jadi." Desah Rangin."Lalu, kau mau membuat apa?""Mungkin kau bisa membuat semacam senjata kecil seperti Vajra Lothi milik kak Rakawan!" Ledek Malya."Tidak mau! Pantang bagiku membuat senjata semacam itu." Tolak Rangin mentah mentah."Ahahaha..
Selama berada di Mamrati, Janu dan kawan kawan banyak sekali mendapat pengalaman. Janu yang getol mencari ilmu berusaha giat mempelajari ilmu pengobatan dari Tiongkok. Rangin yang gemar sekali beradu kekuatan. Malya yang gila makan, memaksa Wulung untuk mengikutinya ke setiap rumah makan yang ada.Suatu ketika, Wulung berhasil kabur dari Malya. Dia berjalan dan menemui sebuah pasar yang sangat ramai di pinggiran kadipaten. Disana dia tertarik dengan sebuah lapak yang menjual sejenis kayu. Kayu itu berwarna coklat kemerahan dan kelihatan padat dan keras."Ki, ini kayu apa?" Tanya Wulung sopan."Ini kayu walikukun tuan, kalau orang orang bilang, ini kayu sakti. Kayu ini bisa menangkal serangan makhluk halus. Para pendekar sakti biasanya memakai kayu ini untuk dijadikan gagang keris, parang, dan semacamnya. Tuan ini sepertinya seorang pendekar yang kuat, kayu ini cocok untuk tuan. Mari dibeli tuan?" Bujuk si pedagang."Err... Kalau boleh tahu, tuan mendapat
Satu hari berselang, kondisi Desa Telang malah semakin tegang. Sekelompok prajurit dari Bhumi Mataram tiba di desa. Mereka dipimpin oleh Tumenggung Amuk Kumbara.Setibanya di Desa Telang, dia langsung memerintahkan para prajurit untuk berjaga di perbatasan desa. Dia pun segera bertemu dengan sang kepala desa dan memulai pemeriksaan di dalam desa.Siang hari, Janu dan kawan kawan dikejutkan dengan kedatangan sekelompok prajurit yang sedang melaksanakan patroli. Keempatnya lantas ditangkap dan digiring menghadap Tumenggung Arya Kumbara.Mereka tidak melawan sama sekali saat dibawa oleh para prajurit.Bersama dengan beberapa pendatang lain, keempatnya dikumpulkan di dalam sebuah ruangan kosong. Disana sudah berkumpul beberapa prajurit kuat yang menatap dengan tatapan curiga.Seorang lelaki tengah diperiksa dan ditanyai oleh sang tumenggung di ruangan sebelah. Beberapa saat dia keluar didampingi oleh dua orang prajurit, wajahnya tegang dan ketaku
Para pendekar sakti mandraguna bertempur dengan si raksasa Kurupa. Mereka melakukan pertempuran dengan berbagai serangan yang luar biasa kuat dan dalam jangkauan yang luas. Beberapa hari mereka bertempur, menyebabkan wilayah itu menjadi hancur. Badai angin, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sungai pun meluap menyebabkan banjir bandang ke segala penjuru. Tanah di hutan Trangil sudah tidak berbentuk, rusak dan gersang, tidak ada tanda kehidupan di atasnya.Selama lima hari bertempur, Kurupa mulai terdesak. Dia yang hanya seorang diri akhirnya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pendekar yang bersatu. Kurupa kemudian melarikan diri dengan menghilang dibalik udara hampa. Para pendekar tidak mampu melacak keberadaannya, aura dan jejaknya semua hilang seketika."Aaarrgghh! Kurang ajar si Kurupa itu! Kita tidak boleh membiarkannya lolos begitu saja, kuta harus mencarinya sampai ketemu!" Ki Ekadanta marah mengetahui Kurupa hilang di depan mata."Kalian semua tidak us
"Hei, babi dari Pinus Angin! Hadapi aku kalau kau sanggup!" Tantang si wanita penghadang."Huh! Nyi Kupita, suamimu sudah mati di tangan kami! Kini saatnya giliranmu ikut suamimu ke alam kematian!""Heh! Kejar aku kalau kau sanggup!"Nyi Kupita bergerak bagai angin, dia berlalu menghindari keramaian, diikuti oleh Suli yang mengejarnya. Mereka berdua bergerak menembus kobaran api, menuju ke suatu tempat yang lain.Di sebuah bukit sang wanita berhenti, punggungnya membelakangi Suli."Kena kau sekarang! Beraninya kau mengacaukan rencanaku yang sudah aku buat selama bertahun tahun." Ucap wanita itu.Suli berhenti, dia waspada. Apa maksud dari ucapan Nyi Kupita itu."Apa kau tahu siapa aku?" Tanya Nyi Kupita. Suaranya perlahan mulai berubah agak berat."Apa kau tahu? Ha?!""Aku adalah Gendri Kupita! Penguasa gunung dan lembah! Kau tak akan sanggup melawanku! Hahaha..." Wanita itu berteriak dan tertawa terbahak bahak. Dia kemu
Beberapa waktu para panglima Mataram dan pendekar dari berbagai perguruan melanjutkan pembicaraan. Mereka membahas teknis pergerakan mereka. Suli dan para murid Perguruan Pinus Angin bergerak dari arah barat. Mereka mengepung ke timur dan langsung menuju ke sumber ritual berlangsung.Selesai pembahasan, mereka pun segera bertindak. Selesai persiapan, Suli menuju ke bagian barat hutan Trangil, lantas bersembunyi di balik pepohonan.Tidak lama, sebuah asap hitam membubung tinggi dari berbagai arah. Api menggelora tinggi melebihi pohon, membakar sisi sisi hutan. Api itu menjalar dari satu pohon ke pohon yang lain, menutup bagian luar hutan, terus merasuk semakin jauh ke dalam.Para prajurit dan pendekar yang bersembunyi di luar hutan juga mulai merangsek masuk dari celah kobaran api. Mereka bergerak sesuai rencana, menutup seluruh pergerakan para penganut ilmu hitam.Melihat api yang berkobar sangat besar dari segala arah, para penganut ilmu hitam tetap tena
Beberapa hari setelah penyerangan ke sarang perampok Tanduk Api, Janu dan kawan kawan berpisah dengan Suli. Mereka kembali ke Perguruan Pinus Angin, sementara Suli masih melanjutkan tugasnya. Sebelumnya, para tawanan sudah dikembalikan ke desa masing masing oleh para prajurit Lasem."Kalau kalian mendapat tugas semacam ini lagi, butuh dua kali lagi agar nilainya bisa ditukar dengan ramuan mantra ilusi. Aku jamin ramuan itu akan sangat berguna bagi kalian." Saran Suli saat mereka hendak balik ke perguruan."Ramuan mantra ilusi? Apa itu kak?" Tanya Malya penasaran."Itu adalah semacam ramuan mujarab untuk melancarkan kemampuan berpikir kita. Ramuan itu sangat penting apabila kalian menginginkan sebuah pencerahan. Tapi ingat! Ramuan itu hanya boleh diminum sekali saja.""Hmm, baik kak! Sekarang kami balik dulu, selamat tinggal kak Suli! Sampia jumpa nanti di perguruan."Tujuh orang lelaki dan dua perempuan berjalan kembali menuju ke perguruan. Mereka
"Kak Suli! Semua kawanan perampok sudah kami tumbangkan. Jalada, Andaka, dan Kijan sudah tewas semua, sisa Nyi Kupita yang berhasil melarikan diri ke hutan." Lapor Wulung."Coba kalian periksa sekali lagi, siapa tahu masih ada yang bersembunyi di dalam pondok tau di pinggir bukit.""Baik kak!"Wulung lantas mengajak beberapa murid lain untuk berkeliling. Sementara itu Malya berdiri terpaku menatap Janu yang tengah bermeditasi menyembuhkan diri."Kak, apa dia baik baik saja?" Tanya Malya kepada Suli."Dia baik baik saja, serangan tadi hanya melukai bagian dalam sedikit saja, tidak berpengaruh besar. Dengan ramuan buatanku ini, semua luka dalam akan sembuh seketika, bahkan mungkin bisa memicu peningkatan kekebalan tubuh menjadi lebih baik lagi." Jawab Suli santai."Ramuan macam apa itu kak?" Gumam Malya."Hehehe, kau tidak perlu tahu. Ini rahasia!" Suli tersenyum tipis."Aish! Dasar kakak gendut!" Umpat Malya sedikit kecewa. Dia
Jalada menyerang dengan membabi buta, tidak sadar bahwa senjatanya rusak parah melawan pisau Dwitungga Baruna. Sampai akhirnya goloknya patah, barulah dia mampu dibekuk oleh Janu. Dengan mengorbankan dada kanannya, Janu berhasil menghujamkan pisaunya ke perut Jalada. Ditambah dengan luka yang cukup lebar di leher, membuat lelaki itu pun terjatuh kehilangan nyawa.Para pengikut Jalada kaget melihat pimpinan mereka tewas di tangan Janu. Mereka serasa tidak percaya melihat junjungannya yang selama ini dianggap paling kuat dan brutal bisa sampai meregang nyawa dikalahkan oleh Janu.Kijan, Andaka, dan para wakil perampok yang lain pun juga ikut kaget. Keringat dingin mengucur deras, kini tidak ada lagi yang mampu menahan serangan para murid Perguruan Pinus Angin. Beberapa langsung berlari melarikan diri, sebagian besar masih terdiam di tempat.Melihat Jalada tewas, Nyi Kupita langsung ambil langkah seribu. Dia pergi begitu saja dari hadapan Suli yang tadi sempat mela
Janu dan Wulung juga telah selesai dengan pondok terakhir di wilayahnya. Mereka mendengar keributan di sudut bukit, mereka pun lantas segera menghampirinya.Di satu titik, mereka melihat dari kejauhan beberapa murid tengah bertahan dari serangan para perampok. Di sisi lain, mereka juga melihat lawannya, Jalada, dengan amarahnya menyerang membabi buta.Malya pun terlihat tengah menghadapi Andaka yang sedang mengamuk seperti banteng kesetanan. Sementara itu Rangin yang sedari tadi sudah memisahkan diri tengah mengahadapi lima perampok sekaligus. Nyi Kupita yang hendak membantu Jalada juga tengah ditahan oleh Suli."Wulung, aku akan menghadapi Jalada! Kau urus anak buahnya." Tegas Janu."Tapi kak..." Ujar Wulung sedikit emosi. Dia juga ingin menghadapi Jalada.Janu menatap Wulung, matanya memancarkan keinginan yang sangat kuat. Beberapa saat Wulung mendesah. Dia pun mengangguk."Baik lah kak. Hati hati!" Ucap Wulung pelan. Dia kemudian berlari
"Kita bagi kelompok dalam empat penjuru! Aku ke utara, sisanya kalian bagi saja sendiri, siapa yang akan mengikutiku." Tegas Suli.Para murid pun langsung membagi menjadi empat kelompok, masing masing mengepung dari empat sudut bukit. Janu, Rangin, dan Wulung bergerak ke sisi timur. Sedangkan Malya, bersama murid murid yang lain mengepung dari arah selatan.Disini belum ada yang menyadari pergerakan para murid Perguruan Pinus Angin. Mereka melakukan penyergapan dengan sangat senyap dan tanpa suara, aura mereka pun bahkan dihilangkan. Dengan gesit mereka berjalan mengendap endap dari semak ke semak, pohon ke pohon.Setelah merasa cukup dekat dengan target, mereka langsung menghabisi para penjaga itu dengan senyap. Di luar, para penjaga yang berada di setiap sudut dihabisi tanpa sisa. Tidak ada suara apapun terdengar selain kematian.Para murid berhasil menyusup ke dalam menerobos pagar bambu. Mereka pun bergerak menuju ke pondok pondok yang tersebar disana
Melihat pemimpinnya kalah, para kera yang lain berhamburan ke segala arah. Bagai tubuh tak berkepala, kera kera itu seakan kembali ke sifatnya yang biasa, yang biasanya takut apabila melihat manusia. Dengan tewasnya Lutung Kasyapa, selesai pula tugas Janu dan kawan kawan di Masin. Para prajurit dan murid Perguruan Pinus Angin bisa bernafas lega, kewaspadaan mereka mengendor melihat para kera bergelantungan kabur dari lokasi itu. Para murid perguruan, termasuk Rakawan, terlihat kelelahan setelah bertempur dengan hebat dengan sang siluman. Murid murid dan prajurit yang terluka langsung diberikan pertolongan oleh para prajurit yang sehat. Dua minggu berlalu sejak penyerangan ke hutan Segorokayu, Janu dan ketiga rekannya kini sudah tiba di Lasem. Mereka tidak mau berlama lama di Masin, karena masih ada tugas yang harus dikerjakan di Lasem. Mereka harus membasmi komplotan perampok Tanduk Api yang bertahun tahun meresahkan warga. Di pusat kadipaten, mereka