Rombongan kembali melanjutkan perjalanan melewati hutan pinus. Sesaat di depan mereka tampak sebuah lapangan kecil yang dikelilingi pepohonan pinus berjejer rapi. Di tengah tengah lapangan ada sebuah batu besar pipih, disekelilingnya tumbuh bunga bunga beraneka warna, semakin mempercantik suasana.
"Nah, ini adalah taman asoka, salah satu tempat bagi para guru dan sesepuh memberi wejangan kepada para murid. Apabila para sesepuh dan guru tidak sedang bermeditasi atau melakukan urusan, mereka akan bergantian memberikan ilmu disini."
"Kak, apakah ada waktu waktu tertentu para guru datang kemari? Bagaimana kita tahu kapan para sesepuh dan guru datang kemari?" Tanya salah satu anak.
"Biasanya para sesepuh dan guru datang kemari setiap dua malam purnama. Namun apabila sang guru tidak datang karena suatu hal mendadak, maka murid inti yang dituakan akan menggantikan mereka disini." Jelasnya.
"Nah, tadi siapa yang bertanya tentang tingkat penyerapan energi? Begini,
"Kak Atraman, aku mau bertanya. Apabila ada dua orang di tahap berbeda bertarung, apakah orang di tahap lebih rendah bisa mengalahkan orang di tahap lebih tinggi?" Seorang anak bertanya."Mana mungkin bisa!" Sahut anak yang lain."Hmm... Itu bisa saja terjadi. Menurutku ada beberapa hal yang membuatnya mungkin. Yang pertama adalah karena pengalaman bertarung yang lebih banyak. Yang kedua adalah karena adanya suatu kondisi tertentu, seperti keracunan, kutukan, atau apapun yang melemahkan musuh. Dan yang ketiga adalah karena bakat.""Disini kalian jangan pernah sekalipun meremehkan bakat. Bisa saja seseorang yang kalian anggap lemah mengalahkan mereka yang tampak lebih kuat. Biasanya mereka memiliki suatu bakat yang unggul seperti kecerdikan, taktik, kesabaran, reflek serang, dan lainnya."Beberapa anak melanjutkan bertanya, dari yang ilmu bela diri hingga pertanyaan lain seputar peningkatan kekuatan. Disini Atraman menjawab dengan sabar semua pertanyaan pa
"Dengar kalian semua! Disini kalian hanya diperbolehkan meminjam satu buku kitab meditasi dasar, satu teknik pergerakan, dan satu kitab jurus pertarungan setiap satu tahun. Kembalikan lagi kitab yang kalian pinjam satu minggu ke depan. Selama kalian berada disini, tidak diperbolehkan untuk berkelahi atau membuat kegaduhan.""Kitab meditasi ada di lantai empat, kitab teknik pergerakan ada di lantai tiga, dan kitab jurus pertarungan ada di lantai dua. Untuk lantai satu ini berisi kitab kitab duniawi, disini wawasan tentang dunia dan pengetahuan lainnya tersedia. Untuk lantai satu ini kalian bebas masuk kapanpun. Larangan bagi kalian adalah memasuki lantai kelima dan seterusnya. Itu khusus bagi guru dan murid yang sudah mencapai tingkat konsep kebenaran."Setelah diberi penjelasan panjang lebar oleh Ki Ekadanta, semua anak langsung bergegas naik ke lantai dua dan menyebar ke segala arah.Di setiap lantai terdapat ratusan kitab dan gulungan yang disusun rapi diatas
Disini akhirnya Janu memilih kitab seni permulaan hampa yang misterius. Saat dia menoleh mencari keberadaan Wulung, yang dicarinya sudah tidak ada disana. Malya pun juga sudah tidak nampak lagi, hanya Rangin yang masih berdiri membaca penjelasan beberapa kitab. Beberapa anak mulai berdatangan naik ke lantai tersebut. Janu pun memutuskan untuk turun ke lantai tiga. Suasana disana sudah berkurang keramaiannya. Janu masih belum menemukan Wulung disana. 'Ah, mungkin Wulung sudah ada di lantai dua.' Pikirnya. Dia pun bergerak menuju ke salah satu rak yang ada disana. Dibukanya satu per satu gulungan kitab pergerakan. Dia pun mulai sibuk kembali mencari jurus pergerakan. Beberapa kali Janu berkeliling, akhirnya dia menemukan sebuah kitab yang tulisannya diukir pada sebuah batu pipih. Janu melihat nama jurus tersebut, biasa saja, tidak ada yang menakjubkan. Kitab teknik bergerak bebas, itu nama yang terukir di batu pipih. Dia lantas melihat isi di ba
"Ki, disini apakah ada catatan tentang gambaran wilayah kerajaan Mataram? Atau kerajaan lain disekitarnya?" Tanya Janu sedikit ragu."Ada! Catatan itu ada di rak sebelah sana. Catatan itu tidak hanya berisi tentang gambar kerajaan Mataram saja, namun berisi tentang gambaran seisi pulau Jawa dan beberapa pulau di sekitarnya.""Setahuku, catatan itu berasal dari empat ratus tahun yang lalu. Mataram masih belum ada, hanya kerajaan Galuh yang berkuasa di barat. Sementara di timur jauh kerajaan kerajaan kecil saling berperang dengan kerajaan kerajaan siluman. Bisa jadi sekarang nama daerah di dalam catatan itu sudah berganti atau malah bisa jadi juga sudah hilang.""Saranku, kau tidak usah mengambil mentah mentah isi dari catatan tersebut. Cari tahu sendiri akan lebih baik daripada mempercayai catatan yang sudah lama itu.""Terimakasih Ki atas sarannya." Sambil memberi hormat, Janu berlalu menuju ke tempat yang ditunjuk Ki Ekadanta.Lama Janu berada di
Janu dan Wulung masih mengobrol di bawah pohon saat dua sosok mendekati mereka. Dua sosok tersebut tanpa malu menghampirinya dan menyapa keduanya."Halo kalian berdua. Perkenalkan, aku Rangin. Maaf waktu itu aku memukulmu agak keras."Sosok anak bertelanjang dada berdiri dihadapan keduanya. Tubuhnya cukup berisi dengan kulit kecokelatan terkena terik matahari. Beberapa gelang emas terpasang di lengan, pertanda kalau dia anak bangsawan. Rangin berdiri sambil melirik kearah Wulung."Halo, Aku Malya, cucu dari Ki Ekadanta. Kamu anak yang ikut bertarung sampai akhir pertandingan kan?" Ucap Malya sambil menunjuk ke arah Janu."Iya, salam kenal semuanya. Aku Janu dan ini Wulung, kamu berdua dari Kademangan Janti." Jawab Janu sopan."Kalian sudah selesai mengambil kitab? Kitab apa saja yang kalian ambil?" Tanya Malya penasaran."Aku mengambil kitab seni permulaan hampa untuk meditasi, lalu kitab teknik bergerak bebas untuk pergerakan, dan kitab ped
Seorang remaja tanggung sedang berusaha membakar kayu yang tersusun di bawah tungku. Asap tebal mengepul saat remaja itu berhasil menyalakan api, berusaha keluar mencari celah diantara pintu, jendela, atau atap rumah. Di luar rumah, seorang remaja lain tengah memotong kayu kecil kecil dan menumpuknya di dinding luar rumah."Kak Janu, apinya sudah nyala!" Teriak anak di dalam."Oh, aku ambil dulu ini berasnya. Kau jaga apinya biar tetap menyala!" Remaja diluar ikut berteriak."Baik kak!"Sementara remaja yang diluar berlari mengumpulkan beras yang dijemur di pinggir rumah, remaja yang didalam duduk menunggu sambil mengamati kayu yang sedang terbakar. Dia tengah membayangkan masa lalunya hingga sekarang.Kegiatan mereka berlangsung cukup lama. Hingga bubur nasi sudah tanak, seorang remaja lain datang membawa daging ayam yang sudah terpotong."Rangin, lama sekali kau!" Protes Janu."Mau bagaimana lagi, tugas dari Mpu Tirtamaya cukup lama
Diatas meja, tumpukan gulungan menggunung. Ada beberapa meja di sudut sudut aula.Ketiga remaja itu sudah tahu, dua meja di ujung aula adalah ditujukan bagi para pemula yang belum mencapai tahap keempat. Lalu lima meja berjejer di dekatnya adalah kelompok tugas bagi murid yang sudah mencapai tahap keempat hingga ke delapan. Dan sepuluh meja berjejer di seberang aula adalah dikhususkan bagi para murid yang sudah mencapai tingkat penguatan energi. Untuk mereka yang sudah mencapai tingkat konsep kebenaran, tugasnya diserahkan langsung oleh Mpu Kalya.Beberapa anak tampak sudah mengerumuni meja untuk tahap keempat dan seterusnya. Saatnya ketiganya berpencar mencari tugas yang cocok untuk mereka. Disini ketiganya segera membolak balikkan dan membuka tiap gulungan tugas."Janu, Wulung kemari!" Undang Rangin di salah satu meja."Ada apa?""Lihat ini!"Kedua remaja itu mendekati Rangin."Ini, ada tugas gampang. Melatih beladiri putra putra Tu
Hari ke tujuh sejak Janu dan kawan kawannya berangkat dari Perguruan Pinus Angin, ahirnya mereka pun tiba di perbatasan Kadipaten Masin."Akhirnya sampai juga! Hahaha, ayo kita ke rumahku!" Ajak Rangin tidak sabar."Kak Rangin, nanti saja. Kita ke desa terdekat dulu, cari makan. Aku masih lapar!" Rengek Wulung."Aku juga masih lelah, kita istirahat saja di desa terdekat." Saran Janu."Huft! Baiklah kalau begitu." Sedikit berat, Rangin mengiyakan.Sejenak mereka beristirahat di desa terdekat. Disana mereka hanya makan sebentar, lalu berjalan kaki lagi karena Rangin sudah tidak sabaran ingin segera sampai di pusat kadipaten.Malam hari pun tiba, ketiganya sampai di depan kediaman Rangin. Disana empat orang prajurit berjaga dengan ketat. Melihat Rangin yang tiba tiba mendatanginya, keempat penjaga itu pangling."Berhenti! Siapa kalian dan ada tujuan apa kemari?" Tanya salah satu penjaga."Paman Trucita, ini aku Rangin! Apa kau lup