"Om Sat!" seru Ale yang langsung melompat ke pelukannya. Beruntung Satrio sudah memberikan kantong plastiknya pada Minah atau benda itu akan terjatuh karena dia memilih untuk menyambut terjangan Ale.
"Kencang banget lompatnya, Boy," kata Satrio. "Kalau Om Sat nggak bisa nangkap kamu gimana?" tanyanya sambil menggendong Ale masuk rumah.
Ale memeluk leher Satrio erat. "Paling-paling kita jatuh, nggak sakit, sih, akunya. Kan nimpa Om Sat," celoteh Ale lugu.
Seperti biasa, Satrio akan berubah seperti bocah jika bertemu dengan Ale. Keduanya terkikik ketika memasuki ruang tengah dan menemukan Raphael beserta istrinya.
"Mas Sat, ke sini nggak ngajak istrinya. Nggak mau ngenalin ke kita, ya? Kamu umpetin terus biar apa?" Athena memberondongnya dengan pertanyaan.
Satrio menurunkan Ale dan mebuat bocah itu duduk di sampingnya. "Hei Bayiku, ngomong-ngomong sudah gol belum?" Satrio mengerling ke arah Athena.
"Main sepak bola, Om Sat?" Ale bertanya dari sebelah Satrio.
"Nah, loh ...."
"Diam, Bayi!" Satrio sedikit keki pada Athena.
"Om Sat ... kenapa tante dipanggil bayi? Kan yang bayi adek Vito?"
Melihat seringaian Athena yang semakin lebar, Satrio benar-benar merasa jengkel dan rasanya ingin menjitak kepala cantik itu saking gemasnya.
"Jangan bilang kalau kamu mau menjitak istriku." Raphael membaca pikiran Satrio dengan tepat.
Satrio tertawa kencang ketika mengingat bahwa seluruh pikiran konyolnya selalu dibaca Raphael dengan tepat. Dia sendiri heran bagaimana pria pendiam seperti Raphael bisa begitu peka pada situasi-situasi tertentu.
"Kenapa tertawa kalian keras sekali? Mau diusir gara-gara mengganggu istirahat Vito?" Alfredo datang dan langsung bertanya dengan nada menyebalkan.
"Itu Papa ... Om Sat bilang tante main bola gol," lapor Ale.
Alfredo mendelik ke arah Satrio, sementara Satrio cengengesan tidak merasa berdosa. Dia tidak peduli pada omelan yang akan Alfredo keluarkan, paling-paling temannya itu akan mengatakan tentang mengontrol kata-kata di depan anak kecil.
"Ale ayo ikut tante, tadi puding lumut buatan mama pasti sudah dingin," ajak Athena pada Ale yang langsung membuat bocah itu bangkit dari kenyamanannya bersandar pada Satrio.
"Aku mau makan puding dulu, ya, Om Sat, Om Ael, Papa," pamit Ale. Satu per satu dia memeluk papa dan para om kesayangannya sebelum meraih tangan Athena dan berlalu ke dapur.
Satrio meremas rambutnya dan berbaring di karpet setelah mendorong Raphael. Rasanya begitu damai berada di rumah sahabatnya ini, melupakan sejenak tentang pertengkarannya dengan Ocean yang sama sekali tidak ada niatan untuk melembutkan hati.
"Istrimu kenapa?" Raphael langsung bertanya tanpa sungkan.
Satrio menarik bantal yang sedang disandari Alfredo, menutupkannya ke wajah tanpa mengindahkan pertanyaan Raphael. Tak seberapa lama, bantal itu ditarik dari wajahnya dan tampaklah muka menyebalkan Alfredo dekat dengan matanya.
"Pasti kamu nggak memuaskan," ejek Alfredo.
Satrio meninju lengan Alfredo. "Dasar menyebalkan," umpatnya. "Bisa nggak kalau ngomong itu yang menyenangkan dikit?"
Alfredo terkekeh. "Ya nggak bisa. Aku kan nggak pernah menyenangkan dari dulu."
"Lagian, ya, Sat ... ajak istrimu kemari. Kenalin sama Bee-nya Ael. Siapa tau nanti bisa nemu solusi."
"Kelihatan, ya?" Satrio lesu.
"Jelas banget!" seru Alfredo dan Raphael bersamaan.
Satrio menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Dia tahu teman-temannya itu baik meski mulut mereka kadang susah untuk dikondisikan. Mengingat suka duka mereka dari jaman sekolah, kuliah, hingga bekerja dan menikah ... rasanya tidak perlu ada yang dia sembunyikan. Mereka juga selalu bersama melalui masa-masa sulit walaupun saling ejek dan mengumpat saat kejengkelan lebih menguasai pikiran mereka.
"Kalau nggak bisa cerita yang gak papa. Berat banget kelihatannya." Raphael berujar sementara matanya tidak pernah lepas dari bacaannya di ponsel.
Itu juga hal yang dia sukai dari temannya. Meski tahu dia sedang ada masalah dan belum siap bercerita, mereka tidak memaksa dan biasanya memilih untuk mengalihkan perhatian pada suatu kegiatan yang bisa mereka lakukan bertiga. Ada kalanya mereka hanya akan duduk dan ngemil makanan yang mereka buat sendiri dengan rasa yang pasti tidak karuan. Disitulah lagi-lagi keakraban mereka terlihat. Dengan hasil makanan yang rasanya tidak karuan itu, mereka akan mulai saling mencela dan pada akhirnya tertawa atau mendapat pelototan dari Aegea yang memang sering berada di antara mereka.
"Ocean ingin bercerai dariku segera setelah bapaknya sembuh."
Hening. Alfredo melihat ke arah Satrio seketika. Raphael meletakkan ponselnya dan berpaling memberikan perhatian penuh seperti halnya Alfredo. Tidak ada yang mendesak untuk mengetahui permasalahan itu lebih lanjut. Keduanya menunggu Satrio bercerita.
"Hampir enam tahun lalu dia adalah calon istriku. Aku berniat mengajak kalian untuk melamarnya ketika tiba-tiba dia datang ke rumah sakit dan meninggalkanku. Aku nggak tahu salahku, tapi Ocean memang tidak pernah berusaha untuk kembali padaku."
"Masa pergi tanpa alasan. Pasti ada kata-kata yang menyiratkan kekecewaannya." Rahael berkomentar, menuang es teh yang sudah ada di meja dan meletakkannya di depan Satrio.
Satrio mengingat-ingat apa yang dikatakan Ocean saat terakhir kali mereka bertemu. Mengingat kata per kata yang sekiranya menjadi alasan Ocean meninggalkannya.
"Aku tidak menemukan alasan yang masuk akal, kecuali ... tunggu ... Ocean bilang dia tidak suka pada calon suami yang terlalu ramah pada wanita."
Raphael menaikkan satu alis dan dengan gaya menyebalkan melirik ke arah Satrio. "Cemburu itu," ujarnya santai.
Satrio berdecak. "Apa yang dia cemburui? Aku nggak dekat dengan siapa pun waktu pacaran sama dia."
"Heh, Sat," panggil Alfredo. "Mungkin menurutmu begitu, tapi mendengar alasan yang dia katakan ... Raphael benar, dia cemburu. Dasar nggak peka."
Satrio mengingat-ingat semua kejadian yang mungkin menjadi alasan kecemburuan Ocean. semakin dipikir, semakin dia kesal karena tidak satu pun dia merasa membuat kesalahan. Mungkin Ocean mengada-ada, tetapi ibu mertuanya bilang bahwa sejak putus dengannya, istrinya itu tidak pernah menjalin hubungan cinta. Bisa dikatakan Ocean menghindari pria seperti wabah.
"Aku nggak ingat." Satrio menyerah untuk mengingat. "Sepanjang ingatanku, aku memang tidak pernah membuat komitmen selain dengan dia."
"Kau bawalah dia main-main ke sini. Jangan memancing pertengkaran yang nggak perlu. Kenalin sama Gea dan senorita, biar dia ada temannya," usul Alfredo.
Satrio mengangguk, menyetujui usul Alfredo sepenuhnya. Bisa jadi temannya itu benar, jika kenal dengan Aegea dan Athena siapa tahu Ocean bisa lebih terbuka. Biasanya perempuan-perempuan itu akan lebih terbuka terhadap sesamanya dan yang pasti dia percaya Athena akan mampu membantu untuk menyelesaikan masalah ini.
"Jaga mulutmu saat di rumah." Raphael memperingatkan.
"Aku tidak ngomong apa-apa," ujar Satrio.
"Kalau aku mengenalmu 2 hari maka aku percaya sama omonganmu. Masalahnya aku kenal kamu tahunan dan mulutmu itu paling lemas kalau ngomong. Nggak ada saringannya sama sekali." Raphael membeberkan keburukan Satrio tanpa rasa berdosa.
"Dasar fitnah."
"Sesat. Minum aja tehmu sebelum mulutmu makin panas," omel Alfredo.
Ocean membuka pintu depan ketika mendengar deru mobil Satrio di luar. Sejak sedikit cekcok yang terjadi di antara mereka berdua tadi, suaminya itu keluar entah kemana dan baru kembali saat jam menunjukkan pukul 10. Ocean tidak menanyakan apa pun selain mengekor Satrio masuk ke kamar mereka. Sementara Satrio mandi, Ocean menyiapkan baju untuk Satrio. Dia menunggu sambil mengerjakan laporan pekerjaannya melalui ponsel.Terlalu asyik dengan pekerjaannya, Ocean sampai tidak sadar kalau satrio sudah keluar dari kamar mandi dan selesai mengenakan pakaian yang dia siapkan."Ada makanan tidak?" tanya Satrio."Ada," jawab Ocean. "Aku panaskan dulu." Ocean meletakkan ponselnya di ranjang dan melangkah keluar terlebih dulu. Satrio mengikutinya dari belakang sambil bersiul riang.Ocean memanaskan sop yang dibuatnya, hanya sekedar hangat supaya Satrio tidak sibuk meniupnya. Sementara menunggu sop hangat, dia menggoreng aya
Ocean menikmati makan siang dadakannya bersama Aegea dan Athena. Dia menilai bahwa 2 wanita yang bersamanya itu adalah orang yang baik. Selama makan siang, mereka membahas hal-hal ringan tentang kegiatan sehari-hari. Tidak ada yang bisa Ocean ceritakan karena dia merasa tidak ada yang menarik dari hidupnya.Hidupnya terlalu biasa, tidak ada hal menyolok atau terlalu istimewa untuk diceritakan. Lahir dari keluarga biasa, Ocean adalah putri dari seorang pria yang bekerja sebagai penghulu di KUA. Ibunya seorang ibu rumah tangga biasa yang telah mendidiknya dengan baik. Ocean menyayangi kedua orang tuanya yang mesti sederhana, tetapi tetap utuh memperhatikan dia dan adiknya."Ocean ... mikirin apa dari tadi kayak ngelamun gitu?" tanya Athena."Nggak apa-apa, Mbak Athena," jawab Ocean. "Hanya ingat adikku yang sedang sekolah di luar kota.""Ngomong-ngomong, kenapa kamu nggak dateng ke pernikahanku?" kembali Athena
Satrio pulang lebih sore pada hari Sabtu. Dia memasuki rumahnya dengan langkah ringan. Tidak ada lelah yang dia rasakan mengingat biasanya dia masih harus bekerja hingga malam. Satrio duduk di sofa dan melepas sepatu beserta kaos kakinya. Setelah itu bangkit dan pergi ke kamar mandi dekat dapur untuk cuci kaki.Satrio memasuki kamarnya dan menemukan Ocean tidur di ranjang mereka yang tertutup seprai berwarna merah tua dengan motif garis-garis berwarna perak. Gorden yang tidak tertutup sempurna mengantarkan sinar matahari sore menembus kaca dan jatuh tak jauh di atas kepala Ocean. Satrio melangkah ke jendela dan menutup gordennya. Selesai dengan itu, Satrio menoleh ke arah Ocean, istrinya bergerak sedikit lalu kembali nyenyak dengan memeluk guling.Satrio berpikir mungkin dia keterlaluan menyuruh istrinya memasak dan mengantarkan makan siang. Perempuan ini jadi tidak punya banyak waktu untuk bekerja dan mengurus dirinya. Mungkin dia harus mempekerjakan seorang pengurus ru
Sudah berminggu-minggu sejak pengusiran Delta dari rumah sakit. Hubungan Ocean dan Satrio memburuk karena hal itu. Ocean menuduh Satrio semena-mena sementara Satrio tidak mau mengalah dan tetap bersikeras bahwa Delta adalah tamu yang tidak dia inginkan dan tak seharusnya datang beberapa kali untuk menengok bapak Ocean.Ocean yang tidak sependapat dengan Satrio secara otomatis mengemukaan pendapat bahwa Delta datang hanya sebagai teman dan tidak pantas jika Satrio mengusirnya. Namun, Satrio tetaplah Satrio yang tidak akan mendengarkan orang lain jika sudah berpendapat. Semua ucapan Ocean dianggap angin lalu hingga segala sesuatunya memburuk untuk mereka berdua.Ocean yang awalnya mendiamkan tingkah suaminya menjadi makin serba salah ketika suaminya itu tidak merespon keterdiamannya. Semua seolah menjadi bumerang untuknya. Satrio bersikap masa bodoh dan tidak mau tahu dengan semua alasan yang diucapkan Ocean dan berujung yang perang dingin di
Satrio mengikuti kegiatan bakti sosial ke daerah terpencil. Sedikit banyak dia merasa terhibur dan melupakan rumah tangganya yang sedang tidak baik-baik saja. Kesibukan luar biasa yang dilakukannya bersama dengan rekan-rekan kerjanya terbukti ampuh untuk melalui hari dengan bahagia.Perubahan musim dengan cuaca yang cukup ekstrim membuat pengobatan gratis disambut warga setempat dengan antusias. Rata-rata dari mereka sakit flu, kulit, dan diare. Kedatangan para dokter ini dinilai cukup membantu warga masyarakat yang menganggap bahwa flu akan sembuh dengan sendirinya.Masyarakat juga antusias pada penyuluhan tentang keluarga berencana dan pentingnya mengatur jarak kelahiran demi kesehatan ibu dan anak. Imunisasi gratis juga diberikan kepada balita yang membuat para ibu senang. Ada juga yang mengkonsultasikan beberapa anak pilek dan tidak kunjung sembuh setelah beberapa minggu."Sat, ayo pulang," ajak Raphael yang tampaknya sudah selesai dengan pekerjaannya.Sa
Ocean sedang duduk sendirian di taman belakang rumah. Biasanya hari Sabtu dia masuk kerja hanya setengah hari. Kebiasaannya saat akhir pekan setelah menikah adalah mengunjungi rumah orang tuanya, tetapi hari ini adalah pengecualian. Ocean memilih untuk berada di rumah, berniat menunggu Satrio pulang kerja.Semalam Satrio pulang larut dan tampak sedang marah. Ocean tidak mengerti apa yang diributkan oleh Satrio hingga berkata tajam seperti itu. Untuk pertama kali dalam pernikahannya, Ocean merasa sangat terasing. Meskipun suka menyindir, biasanya Satrio masih ramah dan berusaha membuatnya nyaman dan itu tidak terjadi akhir-akhir ini.Ocean menyandarkan punggungnya di kursi taman yang terbuat dari rotan. Bentuk bundar kursi yang sedang dia duduki membuat Ocean merasa nyaman menikmati angin sepoi-sepoi yang menyapanya. Di sampingnya ada es tebu yang semalam dibawakan oleh Satrio serta bolu kukus dengan taburan keju dan diletakan di atas meja.
Satrio mematikan AC di ruang kerjanya. Dia membuka jendela lalu menyulut sebatang rokok. Embusan asap rokoknya langsung meliuk keluar dari jendela. Beberapa hari ini perasaannya sedang gundah memikirkan rumah tangganya yang bisa dibilang bermasalah. Entah serius atau tidak yang jelas keterdiaman Ocean membuatnya merasa sedikit tidak nyaman.Suatu sore Satrio pulang ke rumah orang tuanya tanpa memberitahu Ocean. Dipikirannya hanya ada reaksi orang tuanya saat mengetahui kalau dia sudah menikah. Sepanjang perjalanan Satrio memikirkan bagaimana memulai percakapan dengan mamanya yang memang selalu cerewet.Apa yang terjadi di rumah mamanya tidak seburuk yang dia kira karena ternyata orang tuanya tahu terlebih dulu dari desas-desus ketika mereka berdua datang ke rumah sakit. Mereka sengaja tidak bertanya kepada Satrio dan menunggu hingga dia siap bercerita."Kamu nikah aja, mama sudah seneng. Terserah kamu mau nikah sama siapa, ma
Ocean berusaha menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat karena merasa sangat lapar. Entah sudah waktunya makan siang atau belum karena dia tidak sempat mengecek waktu jika sudah asyik bekerja. Dia berniat turun ke area minimarket dan memeriksa kehadiran SPG guna membantu perhitungan stok tersisa untuk menentukan jumlah permintaan pada distributor.Begitu turun ke lantai dasar, beberapa SPG dari produk berbeda langsung mendatangi Ocean dan memberikan kertas berisi persetujuan order. Satu per satu Ocean memeriksa edaran dari para SPG itu dan mendatangi rak display produk mereka. Ocean menandatangani setelah mencoret atau menambahkan jumlah permintaan lalu mengembalikan kertas yang disambut senyum perempuan-perempuan yang menjadi ujung tombak perusahaan mereka."Bu Ocean, produk saya ordernya ditambahin, dong," pinta salah seorang SPG.Ocean menoleh dan menarik kertas yang disodorkan padanya. "Stok yang ada sekarang itu
Saat kehamilan Ocean semakin besar, Satrio benar-benar mengurangi jam praktiknya. Di sore hari dia praktik hanya satu jam, itu pun dengan perjanjian tepat waktu. Pasien lainnya dia tangani pada praktik pagi. Beberapa pasien mengatakan kalau dokter mereka sedang menjadi suami siaga. Satrio menanggapinya dengan senyum ramah dan meminta maaf jika perubahan yang dia lakukan membuat tidak nyaman, tetapi pasiennya mengerti dan tidak keberatan dengan jadwal baru Satrio.Selepas praktik sore, waktu menunjukkan pukul lima lewat sepuluh. Satrio sudah keluar dari ruang kerjanya dan sudah pasti dia akan pergi menemui istrinya. Dia disapa beberapa pasien yang memilih untuk pindah periksa ke rekannya. Satrio tetap membalas sapaan itu dengan ramah.Ketika hampir sampai di pintu masuk apoteknya, Satrio melihat Ocean yang sedang berjalan keluar. Dengan perut membuncit seperti itu, istrinya terlihat begitu seksi. Setidaknya begitulah di mata Satrio. Tidak ada sedetik pun waktu terlewat
Ocean tidak menyangka bahwa kehamilan itu akhirnya datang setelah dia memutuskan untuk menghentikan seluruh program yang ditawarkan oleh Satrio. Dia memegang janji Satrio bahwa mereka akan tetap bersama meski kehamilan itu akan terjadi lima atau bahkan sepuluh tahun lagi. Dalam gurauannya, Satrio juga mengatakan kalau tidak keberatan saat Ocean mengandung di masa menjelang menopause sekalipun. Satrio hanya ingin Ocean bahagia hidup bersamanya dan itulah yang sudah dilakukan oleh Ocean.Mengingat semua itu membuat Ocean terharu. Kadang-kadang dia bangun tengah malam dan menyalakan lampu di sampingnya hanya untuk memandangi wajah Satrio. Suaminya itu diam-diam telah memberikan perawatan untuknya. Sejak keputusannya untuk berhenti program kehamilan, sejujurnya Ocean sudah tidak peduli dengan asupan yang masuk ke tubuhnya. Cukup baginya apa yang disediakan oleh Simbok dan dia selalu memakannya tanpa mengeluh.Dalam hari-hari yang dijalani Ocean, tak sedikit pun perempuan i
Satrio tersenyum sendiri begitu keluar dari ruang kerja pribadinya di rumah sakit. Dia berjalan menyusuri lorong panjang seperti biasa sebelum mencapai area parkir. Beberapa perawat dan staf menyapanya dan dibalas dengan anggukan serta sedikit senyum. Pikirannya hanya tertuju pada Ocean yang sudah pasti sedang duduk mengamati komputer sambil mengunyah emping belinjo.“Tingkahmu sudah seperti orang gila yang perlu rawat inap.”Satrio tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang tengah berbicara padanya. Orang yang berani berbicara dengan kalimat mengejek hanyalah dua orang. Pertama adalah Alfredo yang saat ini pasti sedang sibuk di meja operasi dan yang lainnya adalah Raphael. Keduanya sama-sama mempunyai mulut dengan kadar ketajaman melebihi pisau. Meskipun begitu, dia menyukai para sahabatnya yang super royal terhadap satu sama lain.“Memang repot kalau punya teman yang nggak pernah tahu rasanya bahagia,” komentar Satrio tak kalah pedas.
Hal yang membuat Ocean bersemangat adalah mengisi rumah barunya dengan perabotan yang dia sukai. Satrio memercayakan urusan itu padanya dan Ocean menerima pekerjaan dengan senang hati. Untuk hal-hal yang sekiranya akan digunakan oleh Satrio, Ocean bertanya satu atau dua kali untuk meminta pendapat. Selebihnya dia memilih sendiri segala sesuatunya dan langsung disetujui oleh Satrio.Hanya dalam seminggu rumah itu telah rapi dengan seluruh perabot pilihan Ocean mengisi seluruh ruangannya. Ocean memilih perabot fungsional dan dengan bijaksana membuat rumah itu menjadi terkesan hangat, elegan, dan menyenangkan. Tinggal menanyakan kepada Satrio kapan mereka bisa pindah secara resmi.Sejak Ocean meminta liburan ke vila, mereka memang tidak pernah kembali lagi ke rumah lama Satrio. Entah mengapa, Ocean begitu malas melihat rumah itu. Bukannya tidak indah, justru rumah lama Satrio bisa dikatakan mewah. Semua yang ada di sana meneriakkan rupiah yang tak bisa dibayangkan oleh Oc
Satrio merasa harinya semakin menyenangkan. Ocean menjadi sangat manis dan manja serta tidak mau berpisah darinya untuk waktu yang lama. Pekerjaannya lancar dan apoteknya semakin besar. Entah apa yang sudah dilakukan Ocean hingga semuanya berkembang sepesat itu. Klinik bersalinnya juga tak luput dari campur tangan istrinya. Kebijakan baru yang diterapkan oleh Ocean terbukti mudah untuk dilakukan. Ocean juga menambahkan beberapa dokter praktik di sana dengan jadwal yang sudah dia tetapkan.Saat jam praktiknya telah selesai, Satrio masih duduk dalam ruang kerjanya untuk beristirahat sejenak sebelum menjemput Ocean dan pulang ke vila. Sudah hampir sebulan mereka tinggal di sana sementara Ocean membuat jadwal Satrio menjadi satu jam lebih awal. Satrio tersenyum sendiri menyadari kecerdasan istrinya. Ada saja caranya untuk memperoleh apa yang dia mau dan sejujurnya hal itu membuat Satrio senang.Menyelesaikan pekerjaan pada pukul delapan adalah hal yang sangat menyenangkan.
Ketika waktu pemeriksaan tiba dan Dokter Suroso berhalangan hadir karena sakit, Ocean memeriksakan dirinya pada Dokter Ayu tanpa sepengetahuan Satrio. Hanya untuk mengetahui tentang dirinya sendiri, begitu yang dia pikirkan. Dokter Ayu pun tak keberatan membantunya untuk sekadar memeriksa. Saat itulah Ocean mengetahui bahwa dia memiliki tiga sel telur matang dan mestinya dia siap untuk proses kehamilan.Setelah mengucapkan terima kasih pada Dokter Ayu, Ocean keluar dari ruang praktiknya. Dia bergegas kembali ke apotek dan menunggu suaminya selesai bekerja. Kali ini perasaannya begitu ringan. Ocean tidak lagi memikirkan tentang kehamilan dan prosesnya yang selain membutuhkan waktu ekstra serta segala sesuatu yang serba lebih. Lebih di sini adalah waktu dan tenaga. Dia berpikir untuk menikmati banyak waktu dengan Satrio saja.Memasuki ruang kerjanya, Ocean melihat Satrio sudah berada di sana. Dia heran dan melirik jam di pergelangan tangannya. Baru pukul delapan dan Ocea
Ocean memasuki minimarket miliknya setelah sekian bulan tidak pernah datang meski hanya untuk memeriksa. Delta memastikan semuanya lancar bersama satu orang teman lainnya. Belakangan Delta juga membayar tunai semua produk yang dikirimnya, tidak peduli berapa pun banyaknya tagihan. Melangkah lagi di tempat yang pernah begitu akrab dengannya di masa lalu seperti memanggil semua ingatan kelam yang pernah dilewatinya sendirian.Pikirannya kembali melayang pada beberapa tahun silam, ketika dirinya masih begitu bodoh dan memercayai segala yang pernah didengarnya tanpa memedulikan perasaan Satrio. Dia begitu cepat menghakimi lalu mengasingkan diri dalam kesakitan panjang hingga bertahun-tahun. Syukurlah Satrio memang jodohnya hingga dengan cara apa pun mereka kembali bersama.“Sam, aku ke minimarket untuk menyelesaikan sesuatu. Jemput aku setelah kamu selesai bekerja.”Ocean mengirimkan pesan itu sebelum masuk ke tempat kerja lamanya. Dia membuka pintunya dan
Beberapa hari belakangan Ocean merasa jauh lebih baik. Kesabaran Satrio menghadapinya benar-benar bisa diacungi jempol. Dia tidak menyangka, mengingat cara pernikahan mereka yang tidak biasa semuanya bisa menjadi sebaik saat ini. Apa pun yang terjadi di masa lalu mereka, Ocean sudah tidak mau mengingatnya lagi. Belakangan dia banyak merenung bahwa semua yang terjadi adalah kesalahannya. Seandainya dia tidak langsung percaya pada ucapan orang lain maka dia dan Satrio pasti sudah bahagia sejak lama.Beruntung Satrio tetap memilih Ocean dan masih memiliki perasaan yang sama. Pria itu juga dengan sabar membimbingnya dan berusaha untuk menyembuhkan semua ketakutannya. Ocean merasa beruntung bisa dicintai begitu besar oleh Satrio. Dia bertekad untuk mempertahankan pernikahan mereka dan mengusir semua halangan yang ada. Berdua dengan Satrio semuanya tampak begitu mudah. Rasanya memang belum ada kesulitan berarti jika suaminya itu turun tangan. Ditambah dukungan te
Satrio mengurangi jam praktiknya dan memilih fokus pada Ocean. Istrinya sedang membutuhkan dirinya lebih dari yang sudah-sudah. Hatinya begitu tidak senang ketika tahu Ocean lebih banyak menyendiri dan meratapi inseminasi yang tak kunjung terlaksana karena standar yang ditetapkan oleh Dokter Suroso.Satrio bukannya tidak tahu kalau Ocean diam-diam menangis setelah mengira kalau dia terlelap. Satrio juga tahu Ocean menangis dalam perjalanan pulang dari tempat praktik Dokter Suroso dengan berpura-pura melihat keluar jendela. Semua tingkah laku Ocean tidak ada yang luput dari mata Satrio.Seperti hari itu. Setelah pemeriksaan semalam, Ocean terdiam dan tidak banyak bicara. Istrinya hanya mengeluarkan kata-kata seperlunya. Itu pun harus ditanya terlebih dahulu. Ocean tidak punya inisiatif untuk memulai sesuatu. Kabarnya, orang-orang gudang juga tidak bisa menemuinya. Semua pekerjaan disampaikan Ocean melalui aplikasi percakapan sementara dia men