"Sendirian? Boleh, kan, saya duduk di sini?" tanya pria itu.
Ocean menyapu suasana kantin yang menang sedang penuh di jam makan siang seperti itu. Tidak ada tempat duduk kosong yang tersisa selain di depannya. Ocean mengangguk mengiyakan izin pria asing itu.
Si pria duduk dan mulai menyuap makanannya. Ocean mengamati pria yang duduk di hadapannya dengan berbagai pikiran yang singgah di benaknya. Dia tahu kalau pria itu tinggi, hidungnya mancung, sekilas Ocean lihat matanya tadi menyorot tajam. Jantung Ocean berdegup lebih cepat, tetapi memandang pria itu sangat menyenangkan hatinya. Sepertinya dia merasa sayang jika melewatkan momen saat dia merasa darahnya mulai berdesir menyenangkan.
Ocean menyukainya, bibir pria itu cukup penuh di matanya. Kumis dan cambang tipis yang mulai tumbuh itu ... rasanya Ocean ingin menggerakkan jarinya di sana. Ocean penasaran bagaimana rasanya mengelus rahang itu.
"Namaku Satria." Pria itu berbicara. "Tapi teman-teman memanggilku Satrio karena aku suka begitu."
Jadi namanya Satria. Namanya bagus, Ocean menyukainya. "Namaku Ocean," kata Ocean langsung tanpa pura-pura tidak mengerti untuk mendramatisir keadaan atau jual mahal.
Satrio mengangkat sebelah alisnya. "Wah ... sepertinya kita jodoh." Dia menyingkirkan piring ke samping dan membersihkan bibirnya dengan tisu. "Namaku Satria Samudera. Semakna, kan, dengan namamu?"
Ocean tersenyum lebar, mengangguk mengiyakan ucapan Satrio. "Benar sekali ... jangan-jangan kita memang jodoh," sambut Ocean.
Senyum Ocean menular, Satrio pun ikut tersenyum dan sebentar saja mereka sudah akrab. Membicarakan segala sesuatu yang akhirnya habislah siang itu dengan saling bercerita dan berujung pertukaran nomor ponsel. Ocean menceritakan segalanya, tetapi Satrio hanya mengatakan kalau dia bekerja sebagai staf di rumah sakit tersebut.
Perkenalan yang akhirnya berlanjut pada pertemuan demi pertemuan, kencan demi kencan pun mereka lalui dan berujung pada lamaran Satrio pada orang tua Ocean. Sebagai orang tua, bapak dan ibu Ocean hanya bisa merestui hubungan keduanya. Mereka hanya meminta kedatangan orang tua Satrio untuk melamar secara resmi dan membicarakan hubungan kedua keluarga di masa depan.
Satrio menyanggupi dan dengan penuh keyakinan dia mengatakan pada Ocean bahwa mereka akan menikah secepatnya. Ocean yang sedang jatuh cinta menyambut janji Satrio dengan kebahagiaan sempurna karena akan segera bersanding dengan kekasih hatinya. Mimpi-mimpi akan kebahagiaan berdua telah dijalin Ocean, tidak ada sehari pun Ocean lewatkan tanpa senyum seolah hari esok akan selalu menjanjikan kebahagiaan selamanya.
Seperti perkataan nenek moyang pada zaman dahulu, jangan berlebihan menghadapi segala sesuatu karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Begitu juga dengan Ocean, tidak ada kebahagiaan sesempurna angan dan harapannya ketika pada akhirnya dia melihat Satrio di bandara. Ocean sedang menjemput kakak iparnya sedangkan kedatangan pesawatnya terlambat. Mengusir kejenuhannya, Ocean jalan-jalan dan di sanalah dia melihat Satrio. Pacarnya itu sedang melakukan adegan perpisahan dengan seorang gadis cantik, berambut hitam dengan tinggi badan di atas rata-rata wanita pada umumnya.
Tidak Ada yang aneh dengan hal itu. Mereka hanya saling melambaikan tangan dengan rentetan pesan yang mungkin disampaikan oleh Satrio karena Ocean melihat anggukan beruntun dari gadis cantik di depan Satrio. Baiklah ... Ocean berpikir bahwa gadis itu kemungkinan adalah teman karena pada akhirnya perempuan itu berlalu tanpa adegan mesra sedikitpun.
Masalahnya adalah wanita yang ditemui Satrio setelahnya. Ocean mengikuti Satrio ke sebuah kedai kopi yang memang sedang menjamur di mana-mana. Perempuan lain menyambutnya bahkan sebelum dia masuk ke kedai itu. Mereka akhirnya berjalan menuju parkiran dengan si gadis yang memeluk erat lengan Satrio.
"Mas Dokter lama banget, sih, nganter mbak yang tadi," keluh perempuan itu.
Ocean melihat Satrio menoleh dan memencet lembut hidung perempuan di sampingnya. "Nggak usah cemburu gitu," ujarnya.
Cemburu? Batin Ocean. Pikiran Ocean berhenti di sana. Buat apa ada kata cemburu jika bukan seseorang yang istimewa. Bukan seseorang yang menghuni hati dan ditambah dengan pelukan di lengan yang baginya cukup menjelaskan apa yang dia pikirkan. Lebih baik mengakhiri segalanya sebelum semuanya telanjur dan dia akan merana dalam pernikahannya.
Ocean tidak mungkin salah. Kontak fisik seperti itu hanya dilakukan jika dua orang dekat satu sama lain. Bagi Ocean tidak akan mungkin berdekatan begitu jika tidak ada sesuatu yang istimewa. Dia tidak bisa bersama pria yang seperti itu, membagi hati dengan orang lain sementara padanya bertingkah seolah sedang jatuh cinta.
Tunggu ... Ocean mengingat sesuatu. Gadis tadi bilang Mas Dokter? Jadi Satrio itu dokter dan bukan staf seperti yang dia katakan pada Ocean. Ocean merasa ditipu mentah-mentah, bukan seperti itu hubungan yang dia inginkan. Belum apa-apa saja Satrio sudah membohonginya bagaimana jika nanti mereka bersama? Ocean tidak siap jika harus berpisah dengan Satrio, tetapi dia lebih tidak siap jika harus tertipu di sepanjang pernikahannya.
***
Ocean mengabarkan akan menemui Satrio di kantin rumah sakit siang itu, tetapi Satrio mengatakan agak sore saja karena ada pekerjaan yang tidak bisa dia tinggal. Ocean menyetujui dan datang tepat waktu saat Satrio juga masuk kantin. Ocean mengikuti Satrio duduk di pojok dan dengan sabar menunggu pelayan mengantarkan minum yang telah dia pesan. Ocean menolak ketika Satrio menawarkan makan dan jadilah Satrio makan sementara Ocean menunggunya. Ocean mengedarkan pandangannya ke kantin yang tidak begitu ramai. Di beberapa meja tampak beberapa dokter muda lengkap dengan snelli yang mereka kenakan.
Satrio menyingkirkan piringnya setelah selesai makan. "Jadi ada apa hingga kamu nggak sabar nunggu aku ke rumahmu, Sweetie?" Satrio menggenggam tangan Ocean di meja.
Ocean menarik tangannya dan memilih untuk bersandar di kursi. Ditatapnya wajah Satrio dengan seksama, dia melihat kelelahan di sana. Mungkin kurang tidur dan terlalu banyak bekerja atau ... kencan.
"Maaf, Sam, sebaiknya kamu nggak usah ke rumahku lagi." Ocean menguatkan hati saat mengatakan itu.
Hening, Satrio hanya menatapnya beberapa saat. "Bisa jelaskan ada apa?" Satrio ingin tahu.
Ocean menggeleng. "Nggak ada apa-apa, hanya aku yang nggak siap," cetus Ocean.
"Sweetie," panggil Satrio lembut. "Kalau aku ada salah, bilang ke aku dan akan aku perbaiki."
"Kamu nggak salah, semuanya salahku yang terlalu gegabah menerima kamu. Ternyata aku nggak sesiap itu, Sam."
"Jangan begini, Sweetie. Kalau ada masalah kita bisa bicarakan dan cari jalan keluarnya. Kita udah serius, loh. Bahkan minggu depan udah lamaran."
Ocean duduk tegak, menggenggam jemari Satrio di atas meja. "Aku hanya mau ngomong ini sekali, jadi dengarkan ... aku nggak suka berbagi priaku dengan orang lain. Tapi sepertinya kamu nggak begitu hingga bagimu nggak cukup hanya aku. Jadi hubungan kita berakhir sampai di sini saja. Aku tidak suka calon suami yang terlalu ramah pada wanita." Ocean beranjak, tetapi Satrio menarik tangannya.
"Sweetie, tunggu. Apa salahku, dengar aku sebentar ...."
Ocean menarik kedua tangannya dan itu cukup untuk membungkam Satrio. Ocean membungkuk supaya tidak perlu berkata dengan suara keras. "Nggak usah buang-buang energi buat kasih penjelasan ke aku karena bagiku semuanya sudah jelas. Apa yang kulihat sudah pasti bukan tipuan mata. Jaga dirimu, Sam, semoga bahagia dengan pilihanmu." Ocean berlalu dan tidak menoleh lagi.
Ocean meninggalkan kantin dan berjalan menunduk untuk menyembunyikan air mata yang sudah menetes di pipinya. Lebih baik sakit di awal lalu bangkit dari pada memaksakan keadaan, hanya itu yang dipikirkan oleh Ocean.
Satrio menekan klakson dan tak lama kemudian gerbang tinggi di depannya terbuka. Segera dia mengemudikan mobilnya masuk dan berhenti di belakang mobil kecil berwarna hitam. Keluar dari mobil dengan membawa kantong plastik berisi buah-buahan, dia berjalan menaiki teras. Belum sempat menekan bel, pintu terbuka dan muncullah Minah, ART yang bekerja di rumah Alfredo dengan Ale mengekorinya."Om Sat!" seru Ale yang langsung melompat ke pelukannya. Beruntung Satrio sudah memberikan kantong plastiknya pada Minah atau benda itu akan terjatuh karena dia memilih untuk menyambut terjangan Ale."Kencang banget lompatnya, Boy," kata Satrio. "Kalau Om Sat nggak bisa nangkap kamu gimana?" tanyanya sambil menggendong Ale masuk rumah.Ale memeluk leher Satrio erat. "Paling-paling kita jatuh, nggak sakit, sih, akunya. Kan nimpa Om Sat," celoteh Ale lugu.Seperti biasa, Satrio akan berubah seperti bocah jika bertemu dengan A
Ocean membuka pintu depan ketika mendengar deru mobil Satrio di luar. Sejak sedikit cekcok yang terjadi di antara mereka berdua tadi, suaminya itu keluar entah kemana dan baru kembali saat jam menunjukkan pukul 10. Ocean tidak menanyakan apa pun selain mengekor Satrio masuk ke kamar mereka. Sementara Satrio mandi, Ocean menyiapkan baju untuk Satrio. Dia menunggu sambil mengerjakan laporan pekerjaannya melalui ponsel.Terlalu asyik dengan pekerjaannya, Ocean sampai tidak sadar kalau satrio sudah keluar dari kamar mandi dan selesai mengenakan pakaian yang dia siapkan."Ada makanan tidak?" tanya Satrio."Ada," jawab Ocean. "Aku panaskan dulu." Ocean meletakkan ponselnya di ranjang dan melangkah keluar terlebih dulu. Satrio mengikutinya dari belakang sambil bersiul riang.Ocean memanaskan sop yang dibuatnya, hanya sekedar hangat supaya Satrio tidak sibuk meniupnya. Sementara menunggu sop hangat, dia menggoreng aya
Ocean menikmati makan siang dadakannya bersama Aegea dan Athena. Dia menilai bahwa 2 wanita yang bersamanya itu adalah orang yang baik. Selama makan siang, mereka membahas hal-hal ringan tentang kegiatan sehari-hari. Tidak ada yang bisa Ocean ceritakan karena dia merasa tidak ada yang menarik dari hidupnya.Hidupnya terlalu biasa, tidak ada hal menyolok atau terlalu istimewa untuk diceritakan. Lahir dari keluarga biasa, Ocean adalah putri dari seorang pria yang bekerja sebagai penghulu di KUA. Ibunya seorang ibu rumah tangga biasa yang telah mendidiknya dengan baik. Ocean menyayangi kedua orang tuanya yang mesti sederhana, tetapi tetap utuh memperhatikan dia dan adiknya."Ocean ... mikirin apa dari tadi kayak ngelamun gitu?" tanya Athena."Nggak apa-apa, Mbak Athena," jawab Ocean. "Hanya ingat adikku yang sedang sekolah di luar kota.""Ngomong-ngomong, kenapa kamu nggak dateng ke pernikahanku?" kembali Athena
Satrio pulang lebih sore pada hari Sabtu. Dia memasuki rumahnya dengan langkah ringan. Tidak ada lelah yang dia rasakan mengingat biasanya dia masih harus bekerja hingga malam. Satrio duduk di sofa dan melepas sepatu beserta kaos kakinya. Setelah itu bangkit dan pergi ke kamar mandi dekat dapur untuk cuci kaki.Satrio memasuki kamarnya dan menemukan Ocean tidur di ranjang mereka yang tertutup seprai berwarna merah tua dengan motif garis-garis berwarna perak. Gorden yang tidak tertutup sempurna mengantarkan sinar matahari sore menembus kaca dan jatuh tak jauh di atas kepala Ocean. Satrio melangkah ke jendela dan menutup gordennya. Selesai dengan itu, Satrio menoleh ke arah Ocean, istrinya bergerak sedikit lalu kembali nyenyak dengan memeluk guling.Satrio berpikir mungkin dia keterlaluan menyuruh istrinya memasak dan mengantarkan makan siang. Perempuan ini jadi tidak punya banyak waktu untuk bekerja dan mengurus dirinya. Mungkin dia harus mempekerjakan seorang pengurus ru
Sudah berminggu-minggu sejak pengusiran Delta dari rumah sakit. Hubungan Ocean dan Satrio memburuk karena hal itu. Ocean menuduh Satrio semena-mena sementara Satrio tidak mau mengalah dan tetap bersikeras bahwa Delta adalah tamu yang tidak dia inginkan dan tak seharusnya datang beberapa kali untuk menengok bapak Ocean.Ocean yang tidak sependapat dengan Satrio secara otomatis mengemukaan pendapat bahwa Delta datang hanya sebagai teman dan tidak pantas jika Satrio mengusirnya. Namun, Satrio tetaplah Satrio yang tidak akan mendengarkan orang lain jika sudah berpendapat. Semua ucapan Ocean dianggap angin lalu hingga segala sesuatunya memburuk untuk mereka berdua.Ocean yang awalnya mendiamkan tingkah suaminya menjadi makin serba salah ketika suaminya itu tidak merespon keterdiamannya. Semua seolah menjadi bumerang untuknya. Satrio bersikap masa bodoh dan tidak mau tahu dengan semua alasan yang diucapkan Ocean dan berujung yang perang dingin di
Satrio mengikuti kegiatan bakti sosial ke daerah terpencil. Sedikit banyak dia merasa terhibur dan melupakan rumah tangganya yang sedang tidak baik-baik saja. Kesibukan luar biasa yang dilakukannya bersama dengan rekan-rekan kerjanya terbukti ampuh untuk melalui hari dengan bahagia.Perubahan musim dengan cuaca yang cukup ekstrim membuat pengobatan gratis disambut warga setempat dengan antusias. Rata-rata dari mereka sakit flu, kulit, dan diare. Kedatangan para dokter ini dinilai cukup membantu warga masyarakat yang menganggap bahwa flu akan sembuh dengan sendirinya.Masyarakat juga antusias pada penyuluhan tentang keluarga berencana dan pentingnya mengatur jarak kelahiran demi kesehatan ibu dan anak. Imunisasi gratis juga diberikan kepada balita yang membuat para ibu senang. Ada juga yang mengkonsultasikan beberapa anak pilek dan tidak kunjung sembuh setelah beberapa minggu."Sat, ayo pulang," ajak Raphael yang tampaknya sudah selesai dengan pekerjaannya.Sa
Ocean sedang duduk sendirian di taman belakang rumah. Biasanya hari Sabtu dia masuk kerja hanya setengah hari. Kebiasaannya saat akhir pekan setelah menikah adalah mengunjungi rumah orang tuanya, tetapi hari ini adalah pengecualian. Ocean memilih untuk berada di rumah, berniat menunggu Satrio pulang kerja.Semalam Satrio pulang larut dan tampak sedang marah. Ocean tidak mengerti apa yang diributkan oleh Satrio hingga berkata tajam seperti itu. Untuk pertama kali dalam pernikahannya, Ocean merasa sangat terasing. Meskipun suka menyindir, biasanya Satrio masih ramah dan berusaha membuatnya nyaman dan itu tidak terjadi akhir-akhir ini.Ocean menyandarkan punggungnya di kursi taman yang terbuat dari rotan. Bentuk bundar kursi yang sedang dia duduki membuat Ocean merasa nyaman menikmati angin sepoi-sepoi yang menyapanya. Di sampingnya ada es tebu yang semalam dibawakan oleh Satrio serta bolu kukus dengan taburan keju dan diletakan di atas meja.
Satrio mematikan AC di ruang kerjanya. Dia membuka jendela lalu menyulut sebatang rokok. Embusan asap rokoknya langsung meliuk keluar dari jendela. Beberapa hari ini perasaannya sedang gundah memikirkan rumah tangganya yang bisa dibilang bermasalah. Entah serius atau tidak yang jelas keterdiaman Ocean membuatnya merasa sedikit tidak nyaman.Suatu sore Satrio pulang ke rumah orang tuanya tanpa memberitahu Ocean. Dipikirannya hanya ada reaksi orang tuanya saat mengetahui kalau dia sudah menikah. Sepanjang perjalanan Satrio memikirkan bagaimana memulai percakapan dengan mamanya yang memang selalu cerewet.Apa yang terjadi di rumah mamanya tidak seburuk yang dia kira karena ternyata orang tuanya tahu terlebih dulu dari desas-desus ketika mereka berdua datang ke rumah sakit. Mereka sengaja tidak bertanya kepada Satrio dan menunggu hingga dia siap bercerita."Kamu nikah aja, mama sudah seneng. Terserah kamu mau nikah sama siapa, ma
Saat kehamilan Ocean semakin besar, Satrio benar-benar mengurangi jam praktiknya. Di sore hari dia praktik hanya satu jam, itu pun dengan perjanjian tepat waktu. Pasien lainnya dia tangani pada praktik pagi. Beberapa pasien mengatakan kalau dokter mereka sedang menjadi suami siaga. Satrio menanggapinya dengan senyum ramah dan meminta maaf jika perubahan yang dia lakukan membuat tidak nyaman, tetapi pasiennya mengerti dan tidak keberatan dengan jadwal baru Satrio.Selepas praktik sore, waktu menunjukkan pukul lima lewat sepuluh. Satrio sudah keluar dari ruang kerjanya dan sudah pasti dia akan pergi menemui istrinya. Dia disapa beberapa pasien yang memilih untuk pindah periksa ke rekannya. Satrio tetap membalas sapaan itu dengan ramah.Ketika hampir sampai di pintu masuk apoteknya, Satrio melihat Ocean yang sedang berjalan keluar. Dengan perut membuncit seperti itu, istrinya terlihat begitu seksi. Setidaknya begitulah di mata Satrio. Tidak ada sedetik pun waktu terlewat
Ocean tidak menyangka bahwa kehamilan itu akhirnya datang setelah dia memutuskan untuk menghentikan seluruh program yang ditawarkan oleh Satrio. Dia memegang janji Satrio bahwa mereka akan tetap bersama meski kehamilan itu akan terjadi lima atau bahkan sepuluh tahun lagi. Dalam gurauannya, Satrio juga mengatakan kalau tidak keberatan saat Ocean mengandung di masa menjelang menopause sekalipun. Satrio hanya ingin Ocean bahagia hidup bersamanya dan itulah yang sudah dilakukan oleh Ocean.Mengingat semua itu membuat Ocean terharu. Kadang-kadang dia bangun tengah malam dan menyalakan lampu di sampingnya hanya untuk memandangi wajah Satrio. Suaminya itu diam-diam telah memberikan perawatan untuknya. Sejak keputusannya untuk berhenti program kehamilan, sejujurnya Ocean sudah tidak peduli dengan asupan yang masuk ke tubuhnya. Cukup baginya apa yang disediakan oleh Simbok dan dia selalu memakannya tanpa mengeluh.Dalam hari-hari yang dijalani Ocean, tak sedikit pun perempuan i
Satrio tersenyum sendiri begitu keluar dari ruang kerja pribadinya di rumah sakit. Dia berjalan menyusuri lorong panjang seperti biasa sebelum mencapai area parkir. Beberapa perawat dan staf menyapanya dan dibalas dengan anggukan serta sedikit senyum. Pikirannya hanya tertuju pada Ocean yang sudah pasti sedang duduk mengamati komputer sambil mengunyah emping belinjo.“Tingkahmu sudah seperti orang gila yang perlu rawat inap.”Satrio tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang tengah berbicara padanya. Orang yang berani berbicara dengan kalimat mengejek hanyalah dua orang. Pertama adalah Alfredo yang saat ini pasti sedang sibuk di meja operasi dan yang lainnya adalah Raphael. Keduanya sama-sama mempunyai mulut dengan kadar ketajaman melebihi pisau. Meskipun begitu, dia menyukai para sahabatnya yang super royal terhadap satu sama lain.“Memang repot kalau punya teman yang nggak pernah tahu rasanya bahagia,” komentar Satrio tak kalah pedas.
Hal yang membuat Ocean bersemangat adalah mengisi rumah barunya dengan perabotan yang dia sukai. Satrio memercayakan urusan itu padanya dan Ocean menerima pekerjaan dengan senang hati. Untuk hal-hal yang sekiranya akan digunakan oleh Satrio, Ocean bertanya satu atau dua kali untuk meminta pendapat. Selebihnya dia memilih sendiri segala sesuatunya dan langsung disetujui oleh Satrio.Hanya dalam seminggu rumah itu telah rapi dengan seluruh perabot pilihan Ocean mengisi seluruh ruangannya. Ocean memilih perabot fungsional dan dengan bijaksana membuat rumah itu menjadi terkesan hangat, elegan, dan menyenangkan. Tinggal menanyakan kepada Satrio kapan mereka bisa pindah secara resmi.Sejak Ocean meminta liburan ke vila, mereka memang tidak pernah kembali lagi ke rumah lama Satrio. Entah mengapa, Ocean begitu malas melihat rumah itu. Bukannya tidak indah, justru rumah lama Satrio bisa dikatakan mewah. Semua yang ada di sana meneriakkan rupiah yang tak bisa dibayangkan oleh Oc
Satrio merasa harinya semakin menyenangkan. Ocean menjadi sangat manis dan manja serta tidak mau berpisah darinya untuk waktu yang lama. Pekerjaannya lancar dan apoteknya semakin besar. Entah apa yang sudah dilakukan Ocean hingga semuanya berkembang sepesat itu. Klinik bersalinnya juga tak luput dari campur tangan istrinya. Kebijakan baru yang diterapkan oleh Ocean terbukti mudah untuk dilakukan. Ocean juga menambahkan beberapa dokter praktik di sana dengan jadwal yang sudah dia tetapkan.Saat jam praktiknya telah selesai, Satrio masih duduk dalam ruang kerjanya untuk beristirahat sejenak sebelum menjemput Ocean dan pulang ke vila. Sudah hampir sebulan mereka tinggal di sana sementara Ocean membuat jadwal Satrio menjadi satu jam lebih awal. Satrio tersenyum sendiri menyadari kecerdasan istrinya. Ada saja caranya untuk memperoleh apa yang dia mau dan sejujurnya hal itu membuat Satrio senang.Menyelesaikan pekerjaan pada pukul delapan adalah hal yang sangat menyenangkan.
Ketika waktu pemeriksaan tiba dan Dokter Suroso berhalangan hadir karena sakit, Ocean memeriksakan dirinya pada Dokter Ayu tanpa sepengetahuan Satrio. Hanya untuk mengetahui tentang dirinya sendiri, begitu yang dia pikirkan. Dokter Ayu pun tak keberatan membantunya untuk sekadar memeriksa. Saat itulah Ocean mengetahui bahwa dia memiliki tiga sel telur matang dan mestinya dia siap untuk proses kehamilan.Setelah mengucapkan terima kasih pada Dokter Ayu, Ocean keluar dari ruang praktiknya. Dia bergegas kembali ke apotek dan menunggu suaminya selesai bekerja. Kali ini perasaannya begitu ringan. Ocean tidak lagi memikirkan tentang kehamilan dan prosesnya yang selain membutuhkan waktu ekstra serta segala sesuatu yang serba lebih. Lebih di sini adalah waktu dan tenaga. Dia berpikir untuk menikmati banyak waktu dengan Satrio saja.Memasuki ruang kerjanya, Ocean melihat Satrio sudah berada di sana. Dia heran dan melirik jam di pergelangan tangannya. Baru pukul delapan dan Ocea
Ocean memasuki minimarket miliknya setelah sekian bulan tidak pernah datang meski hanya untuk memeriksa. Delta memastikan semuanya lancar bersama satu orang teman lainnya. Belakangan Delta juga membayar tunai semua produk yang dikirimnya, tidak peduli berapa pun banyaknya tagihan. Melangkah lagi di tempat yang pernah begitu akrab dengannya di masa lalu seperti memanggil semua ingatan kelam yang pernah dilewatinya sendirian.Pikirannya kembali melayang pada beberapa tahun silam, ketika dirinya masih begitu bodoh dan memercayai segala yang pernah didengarnya tanpa memedulikan perasaan Satrio. Dia begitu cepat menghakimi lalu mengasingkan diri dalam kesakitan panjang hingga bertahun-tahun. Syukurlah Satrio memang jodohnya hingga dengan cara apa pun mereka kembali bersama.“Sam, aku ke minimarket untuk menyelesaikan sesuatu. Jemput aku setelah kamu selesai bekerja.”Ocean mengirimkan pesan itu sebelum masuk ke tempat kerja lamanya. Dia membuka pintunya dan
Beberapa hari belakangan Ocean merasa jauh lebih baik. Kesabaran Satrio menghadapinya benar-benar bisa diacungi jempol. Dia tidak menyangka, mengingat cara pernikahan mereka yang tidak biasa semuanya bisa menjadi sebaik saat ini. Apa pun yang terjadi di masa lalu mereka, Ocean sudah tidak mau mengingatnya lagi. Belakangan dia banyak merenung bahwa semua yang terjadi adalah kesalahannya. Seandainya dia tidak langsung percaya pada ucapan orang lain maka dia dan Satrio pasti sudah bahagia sejak lama.Beruntung Satrio tetap memilih Ocean dan masih memiliki perasaan yang sama. Pria itu juga dengan sabar membimbingnya dan berusaha untuk menyembuhkan semua ketakutannya. Ocean merasa beruntung bisa dicintai begitu besar oleh Satrio. Dia bertekad untuk mempertahankan pernikahan mereka dan mengusir semua halangan yang ada. Berdua dengan Satrio semuanya tampak begitu mudah. Rasanya memang belum ada kesulitan berarti jika suaminya itu turun tangan. Ditambah dukungan te
Satrio mengurangi jam praktiknya dan memilih fokus pada Ocean. Istrinya sedang membutuhkan dirinya lebih dari yang sudah-sudah. Hatinya begitu tidak senang ketika tahu Ocean lebih banyak menyendiri dan meratapi inseminasi yang tak kunjung terlaksana karena standar yang ditetapkan oleh Dokter Suroso.Satrio bukannya tidak tahu kalau Ocean diam-diam menangis setelah mengira kalau dia terlelap. Satrio juga tahu Ocean menangis dalam perjalanan pulang dari tempat praktik Dokter Suroso dengan berpura-pura melihat keluar jendela. Semua tingkah laku Ocean tidak ada yang luput dari mata Satrio.Seperti hari itu. Setelah pemeriksaan semalam, Ocean terdiam dan tidak banyak bicara. Istrinya hanya mengeluarkan kata-kata seperlunya. Itu pun harus ditanya terlebih dahulu. Ocean tidak punya inisiatif untuk memulai sesuatu. Kabarnya, orang-orang gudang juga tidak bisa menemuinya. Semua pekerjaan disampaikan Ocean melalui aplikasi percakapan sementara dia men