"Pernikahan bukan hanya wadah untuk mempersatukan dua jiwa. Namun juga tempat belajar untuk saling mengenal, mengerti dan merajut cinta dalam kebersamaan."***"Saya enggak suka cumi, karena alergi. Selain cumi, saya makan apa pun. Saya enggak punya satu pun makanan favorit. Begitu juga dengan minuman. Kamu bisa memasak apa pun, dan saya akan memakannya."Sebenarnya paparan Biru tentang hal yang ia suka, dan tidak terdengar biasa saja di telinga siapapun. Namun tidak di telinga Ava. Entah ia yang aneh, atau telinganya yang bermasalah, tapi Ava menangkap sebuah gombalan di sana. Ava merutuki jantungnya, agar diam dan tak bergemuruh tiap Biru berbicara.Setelah pulang dari apartemennya, Biru kembali ke mode santai. Tidak ada Biru yang pemarah dan mengakui dirinya seorang pencemburu. Tidak ada Biru yang dingin, dan bersikap berjarak lagi. Biru kembali ke sosok hangat yang siap menyambutnya dan sigap melindunginya."Ava," panggil Biru pelan. Gadis itu langsung tersadar. Ia tersenyum salah
"Setiap manusia dalam hidup sebenarnya hanya butuh kepastian. Namun terkadang Tuhan memberi jeda untuk berpikir. Untuk menentukan bahwa apa yang dijalani kedepannya adalah hal terbaik yang bisa terjadi dalam hidup manusia itu sendiri. *** "Biru, kamu di kamar mandi?" Pertanyaan itu tak ada sahutan, tak ada pula gerakan yang menunjukkan sebuah jawaban. Ava sudah mengira bahwa Biru sudah pergi sejak lama. Kasurnya terasa sangat dingin. Ava mengambil ponselnya, dan melihat bahwa jam masih tertuju di angka empat lewat empat puluh delapan pagi. Ava bergegas bangun untuk melaksanakan kewajibannya sebagai umat Muslim. Ponselnya berdering, saat Ava selesai beribadah, dan mandi. Ia melihat ke ponselnya, dan melihat nomor yang tak dikenal tertera di layar. Ava awalnya ragu untuk menjawab, namun karena takut itu adalah panggilan yang penting, maka ia pun mengangkatnya. "Ya, siapa ya?" tanya Ava begitu panggilan telepon diangkat. Seorang laki-laki di ujung telepon menyahut. Lalu menjelaskan a
"Tak ada kejahatan yang terus menang. Ada ujung yang membahagiakan bagi yang tersakiti. Seperti roda, selalu berputar. Meskipun tiap gerakannya selalu berbeda hambatannya."***"Saya rasa ada yang aneh sama diri saya, Ava. Padahal cuma beberapa jam, tetapi saya merasa ada belasan hari yang terbuang. Ternyata saya serindu itu sama kamu."Ava yang tengah mengupas apel untuk Biru langsung mendelik kesal. Sejak tadi yang dilakukan pria itu hanya berbicara gombal. Ava sampai bingung sendiri dibuatnya. Biru yang lebih banyak serius, berubah jadi lawak sehabis ditembak. Apel yang sudah Ava kupas dan potong, lalu ia berikan pada Biru yang langsung menerimanya. Pria itu tadi mengeluh lapar, dan Ava pun menawari buah sebagai cemilan. Jam makan yang ditentukan masih tiga puluh menit lagi, dan tidak ada makanan lain selain buah yang boleh dikonsumsi oleh orang sakit. "Saya rasa bukan bahu kamu deh, yang kena tembak. Tapi, kepala kamu," cibir Ava yang dibalas tawa oleh Biru. "Kamu enggak capek m
"Seseorang yang memegang tanganmu, dan berjanji membahagiakanmu, belum tentu menjadi yang paling akhir. Namun, seseorang yang menawarkanmu hidup bersama, bisa jadi adalah pilihan terakhir."***"Penjualan kayu kita mengalami peningkatan yang signifikan, Bang."Grafik mungkin tak bisa berbicara, namun mampu menjelaskan sebuah kerja keras. Senyum yang tak penuh, tetapi puas adalah gambaran nyata sebuah bahagia yang tak berkoar-koar. Djati menatap, menghembus sorak sorai dalam hatinya yang kini ramai oleh sebuah hasil yang Bernardio tampakkan padanya. Ia yakin, usahanya akan besar, meskipun terjal menghadang.Djati menaruh kembali grafik itu di atas meja. Ia menatap tangan kanannya dengan bangga. Ada sebuah rasa tak terjelaskan, namun Dio tahu bosnya sedang berterima kasih. Ini adalah salah satu kehebatan pria itu, mengerti balas budi, tanpa lihat posisi."Kamu yang paling luar biasa dalam membesarkan perusahaan ini. Tanpa kamu saya enggak bisa apa-apa. Terima kasih, Dio," ucap Djati sam
"Masa lalu bukanlah sebuah cerminan hidup seseorang. Masa lalu hanya sebuah garis waktu yang pernah terjadi, dan dilupakan saat tidak butuh untuk dikenang."***Petir menggelegar memekakkan telinga. Rintikan hujan disertai angin saling bertabrakan membuat suasana begitu mencekam. Ava hendak pergi, namun segala keadaan yang terpampang membuatnya takut. Ava tak pernah suka badai, selalu ribut dan membuatnya merinding setengah mati.Yeni membawa Ava kembali ke kamar, dan mempersilahkan dirinya untuk istirahat sampai hujan benar-benar reda. Yeni tahu kalau atasannya itu ketakutan. Jadi, Yeni tak pergi ke mana pun, dan tetap menjaga Ava di luar kamar."Ada apa Mbak?"Pertanyaan itu langsung terdengar, saat Yeni menelpon Dhani. "Dhan, maaf ya, bilang sama Mas Biru kalau Mbak Ava enggak bisa pergi. Mbak Ava sepertinya takut akan badai," ungkap Yeni dengan gamblang.Dhani melihat ke jendela. Di luar rumah sakit, hujan juga sangat deras. Sepertinya malam itu seluruh kota diserang badai yang sa
"Bersama orang yang kamu cintai, kamu bahagia. Bersama orang yang mencintaimu, kamu tidak hanya bahagia, tapi juga beruntung."***"Perkenalkan Ibu, nama saya Olivia Marwa. Saya ditugaskan oleh Ibu Tarissa untuk menjelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan Ibu Pertiwi Foundation. Saya nantinya akan bertugas sebagai sekretaris Ibu Ava. Mohon maaf sebelumnya, saya menemui Ibu di waktu yang tidak tepat, ya?"Pertanyaan dari seorang gadis bernama Olivia Marwa ini membuat Ava mengernyit. Ava menoleh pada Biru, saat Olivia meminta maaf atas kehadirannya. Ava memberi kode agar Biru tersenyum atau melakukan sesuatu yang membuat perasaan Olivia lebih baik. Pria itu memilih mengedikkan bahu, dan kembali menyantap buburnya yang hambar.Ava mendelik, Biru memang selalu payah kalau harus beramah tamah pada orang lain. Ava lalu mengalihkan tatapannya, dan tersenyum sungkan pada Olivia. Olivia pun balas tersenyum, dan kemudian mengedipkan matanya sekali pertanda bahwa ia sudah terbiasa dengan si
"Bahkan yang jahat saja bisa luluh dengan cinta. Bahkan yang kesepian saja masih butuh sebuah ketulusan. Lalu mengapa kamu tetap bertahan di tengah gempuran kebencian?"***"Pak, saya meminta maaf. Tetapi Ini sudah hari kesepuluh, dan kami belum bisa menemukan keluarga Purwanto. Setelah surat panggilan untuk Bu Ava dilayangkan, maka dalam waktu tiga puluh hari, kasus ini akan dilimpahkan ke pengadilan. Pak Praba sendiri statusnya masih saksi hingga hari ini."Biru murka. Ia hampir membanting ponselnya, kalau tidak ingat begitu banyak data penting di sana. Setelah kembali bekerja, banyak kasus terbengkalai, dan yang paling parah mereka hanya menemukan kasus-kasus kecil di klub malam. Hal yang paling gila lainnya, dia kehilangan Praba sebagai tersangka.Ia tahu akan begini jadinya. Namun ia sudah berusaha, tapi tetap kalah juga dengan orang dalam. Rasanya begitu menyiksa. Kekalahan berkali-kali bukanlah satu hal yang membanggakan."Bagaimana sekarang, Pak?" Pertanyaan Althaf membuat Bir
"Usaha tidak akan mengkhinati hasil. Saat kamu berusaha sekuat apa pun, dan masih belum berhasil, berarti memang bukan rezekimu di sana. Rezekimu mungkin di tempat lain, dan sedang menantimu untuk meraihnya."***"Mengapa Anda ingin bertemu Purwanto? Mengapa Anda menyuruh kami untuk mengawasi Purwanto? Ada apa, Pak?"Althaf masih bingung. Pria muda itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi namun kemarin pagi tiba-tiba saja Biru menyuruhnya mengubah rencana. Ia ingin menyelidiki Purwanto di penjara, bahkan dengan lugas berkata ingin menemuinya juga. Padahal di hari sebelumnya Biru ingin berhenti.Karena pertanyaannya tidak dijawab, Althaf pun pada akhirnya menyerah. Ia memberikan video CCTV yang telah Biru minta. Ia tidak paham, di dalamnya tak ada yang mencurigakan. Untuk apa atasannya itu capek-capek menyelidiki sebuah CCTV yang tak punya hasil?"Saya sudah memeriksa. Di sana tidak ada apa-apa, Pak." Biru tidak menanggapi. Ia colok flashdisk yang Althaf berikan, dan mulai menelisik