Bu Romlah, mendapati rumahnya berantakan saat ia baru saja pulang arisan. Hatinya geram dan diliputi kemarahan. Bagaimana tidak, semenjak Aldi dan keluarga nya tinggal dirumahnya, kediamannya itu selalu berantakan. "Aldi!""Aldi!"Bu Romlah terus berteriak memanggil anaknya. Melin yang sedang tiduran dikamar mendengar suara calon mertua-nya itu berteriak-teriak mengambil bantal dan menutup telinganya. Namun, teriakan Bu Romlah memang tiada duanya. Suaranya bahkan sampai tembus walau Melin sudah menyumpal dengan bantal. Dengan jengkel, Melin melempar bantalnya di kasur. Ia dengan terpaksa bangkit dan keluar kamar. Tak lupa dengan mulut yang cemberut."Aldi!""Aldi!""Apalah Mak lampir ini, siang-siang mau istirahat juga, malah ngganggu." gerutu Melin melihat Bu Romlah yang berdiri dengan tak tenang di ruang depan. Melin merubah mimik mukanya, di buat seramah mungkin. Padahal aslinya ogah juga."Ada apa sih Ma?" tanya Melin lembut dengan langkah
Noah berjalan keluar dari ruangannya denga terburu-buru. Di kejauhan, Robin yang melihat Noah kelaur dari ruang nya dengan terburu, langsung menahan bosnya itu."kau mau kemana?""Langit....""kau masih ada meeting,Noah.""Tapi...""Kau tak bisa meninggalkan begitu saja. Ingatlah, ini klien kita yang paling penting. apa kau mau kehilangan bermiliar-miliar demi Bocah itu?"Noah menatap Robin dengan memohon. Ia tak bisa membiarkan Langit yang sudah penuh luka itu menunggunya lebih lama. Tapi, jika kesepakatan dengan klien ini sampai gagal, mungkin Noah akan mengalami kerugian yang sangat besar. Ia sangat dilema."Aku harus menjemput Langit.""Katakan itu pada ibunya. Dia bukan tanggung jawabmu."kedua pria itu saling menatap dengan mata yang sama tegas dan tajam."Kau benar-benar akan melepaskan kesempatan ini? Apa kau siap dengan konsekuensi nya?"Tanpa menjawab Noah hanya menatap tajam Robin. Bisa Robin lihat seberapa tekat didalam di
"Apa?"Alin tercengang mendengar penuturan Noah. Mulutnya terbuka dan netranya melebar. Tangan Alin perlahan bergerak menutup mulutnya. Ia sangat tak percaya Mertuanya bisa begitu tega memukul cucunya sendiri. Ia tau jika Bu Romlah tak menyukainya, tapi, sampai memukul Langit?Dengan reflek, Alin melangkah. Namun dengan cepat Noah menahan lengannya."Kau mau kemana?""Menemui wanita itu.""Lalu? Apa yang akan kau lakukan? Melabraknya? Atau membalas memukulnya? Heemm??""Lalu? Apa aku harus diam saja? Mereka membuat langit seperti itu? Kau mau aku diam saja?" tangis Alin dengan penekanan dan emosi yang meluap."Tidak. Kami sudah melakukan visum. Tinggal membuat laporan. Kau yang membuat laporan, kau ibunya."Alin tertawa pahit, "Apa kau pikir mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal? Bagaimana jika mereka justru menggunakan uang jaminan?""Itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan membiarkannya.""Kita buat laporan, dan tuntut mereka seb
Pagi ini, Langit muntah lagi. Alin yang merasa cemas anak lelakinya berulang kali muntah sejak kejadian penganiyayaan oleh neneknya itu. Cemas, dan membawa Langit ke rumah sakit. Tentu saja Noah menyertai, sejak Noah membawa Langit, ia sudah mengatur agar Alin dan Langit tinggal di rumahnya saja. Walau awalnya Alin menolak. Namun begitu Noah memberi tahu rencana dan segala kemungkinan, mereka akan mendapat perlakuan buruk dari Aldi dan keluarganya. Akhirnya, Alin pun menyetujui nya.Noah juga menyarankan agar Langit pindah sekolah. Alin yang sudah buntu itu, menurut saja apa yang Noah lakukan dan sarankan. Ia hanya memikirkan Langit yang kini berada dirumah sakit.Selama hampir dua hari lamanya Alin menunggui Langit yang keadaannya makin memburuk. Akibat pukulan benda tumpul yang bertubi-tubi ditubuhnya, organ dalam Langit tidak bekerja sebagai mana mestinya. Meski dirawat, namun kecil kemungkinan untuk Langit sembuh. Alin hanya meratap dan menangisi anaknya.###
"Apa yang terjadi?" tanya Noah yang sudah sampai di lorong rumah sakit. Di hadapannya Robin sedang menunggu. ia menatap Alin yang sudah berderai."Bersabarlah. Dokter sedang menangani nya." ucap Robin mencoba menenangkan, walau ia sendiri tak yakin akan keselamatan bocah kecil itu."Langit anakku, apa yang terjadi?" gumam Alin tersedu.Noah memandang Robin, ia tau sesuatu terjadi dan mungkin pria itu enggan untuk mengungkapkan nya pada Alin yang terlihat sangat sedih itu."apa yang sebenarnya terjadi?" bisik Noah membawa Robin sedikit menjauh dari Alin."sebenarnya," bisik Robin ragu. ia melirik Alin tang masih terlihat gelisah di depan ruang khusus."Langit drop, dokter bilang, kemungkinan jika malam ini lewat, Langit selamat, tapi, jika tidak.....""Apa itu artinya?""Kita berdoa saja. Semoga Langit bisa melalui mal ini."Noah melemas, ia menatap Alin yang terus gelisah itu. Entah bagaimana reaksi nya jika mendengar ini semua."Kita sudah lakukan yang harus di lakukan Noah,jangan me
"Kau tidak berhak sedikitpun untuk berada di sini. Kau memang ayahnya, tapi kau lalai dalam menjaganya." sergah Alin dengan mata yang membulat dan merah."Aku bekerja, Lin! Aku juga harus memberinya nafkah. Aku tidak bisa terus menjaga Langit sepanjang waktu." sanggah Aldi dengan wajah memelas. "Ini semua diluar kendaliku.""Hahaha, sepertinya, kamu juga lupa jika pernah kehilangan Langit saat sedang berpiknik dengan istri barumu." Alin mengingatkan dengan pandangan meremehkan sambil melipat tangannya di dada."Saat itu kamu tidak sedang bekerja, kan? Apa kamu sedang mengelak, heem?"Aldi diam, apa yang Alin katakan benar. Dan ia tak bisa mengelak dari itu."Pergilah, aku tak ingin bertengkar di depan jenazah Langit?" pinta Alin, karena ia sudah sangat lelah. Dan kehadiran Aldi semakin membuatnya lelah."Alin pliss..." Aldi memohon. Bu Reni yang merasa kasihan juga pada Aldi mengusap lengan Alin. "Biarkan saja dia ikut di sini Lin." Alin langsung menatap Bu Reni."Demi Langit. biar dia
Acara pemakaman Langit berjalan dengan lancar, tanpa kehadiran Aldi tentunya. Pria itu tak punya cukup nyali karena harus berhadapan dengan orang-orang berbadan kekar suruhan Robin. Ia memilih pulang karena tak ada gunanya juga dia di sana. Apalagi, sang istri terus merengek pulang, semakin membuat Aldi pusing saja.Brak! Pintu rumah di buka dengan kasar. Aldi yang sudah terlanjur kesal itu hanya bisa meluapkannya dengan menendang pintu."Apaan sih, Mas? pake tendang-tendang pintu segala?!" protes Melin yang mengikuti dari belakang."Aarrgggg!!" Aldi berteriak frustasi. Dengan sangat kesal ia menoleh dan menatap tajam pada Melinda."Lain kali jangan menyusul Mas lagi. Bikin malu saja! Gara-gara kamu, mas jadi nggak bisa ikut memakamkan putra mas sendiri!" "Oohh, jadi mas marah sama Melin? Aku ini wanita hamil, mas! Aku khawatir jika sampai suamiku digoda lagi oleh mantan istrinya!" sungut Melin menyalang."Apa mas nggak mikirin perasaanku sama sekali?""Melin! Mas nggak mungkin balik
Mata Alin melebar tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Noah. 'Menikah? Dia ingin menikah denganku? Apa itu tidak salah? Siapa aku? Bukan wanita cantik, juga tak punya uang. Mau apa dia menikah denganku?' batin Alin.Noah tersenyum melihat wajah Alin yang berubah bingung dan heran. "Aku tidak butuh imbalan. Aku juga sangat marah pada mereka. Langit bukan hanya bocah biasa. Bagiku, Langit adalah bocah luar biasa yang sudah mencuri perhatian dan juga hatiku. Aku sangat sakit saat tau dia dilukai." Noah menatap manik mata Alin yang bergerak mencari kejujuran dan kesungguhan darinya."Karena itu, baik aku, ataupun Robin, kami langsung bergerak cepat dan membuat Bu Romlah di tahan. Dalam waktu dekat dia akan menjalani sidang. Dan akan kupastikan dia akan mendekam selamanya di jeruji besi."Alin masih membisu, menatap Noah. Tangan Noah menyentuh kedua tangan Alin dan menggenggamnya."Dan, mengenai manta
"Noah?" "Noah." Noah baru saja memasuki kamar, tertegun melihat Alin memanggil namanya. lekas ia datang mendekat. "Sayang!?" Noah menggenggam tangan istrinya. "Aku di sini," tanyanya duduk di bibir ranjang."Apa yang kamu rasakan?" "Noah, aku... aku merasa kotor." Noah menatap istrinya sendu. "Jangan katakan itu. jika kotor, kita bisa membersihkannya." "Tapi..." "ssttt!" Noah menempelkan jari di bibir Alin. "Aku akan memandikanmu nanti, tapi, aku lapar, ayo kita makan dulu, hum?" Noah menggendong Alin keluar kamar, membawanya sampai ke dapur lalu mendudukkan di kursi bar. "Kita lihat ada apa di sini," cetusnya membuka kulkas. "Hmm, cuma ada telur, keju, dan roti tawar. Apa kita buat roti bakar saja?" usulnya menoleh pada Alin. "Aku ingin mandi Noah," ucap Alin lirih. "Iya, nanti aku mandikan," balas Noah mencoba terlihat acuh walau sebenarnya hati pria ini sudah sangat remuk. "Kita makan dulu. Setelah makan, aku janji akan membersihkan mu sampai benar-benar ber
Mata Noah tajam terarah. Bahkan bola mata yang kini di selimuti amarah itu hampir keluar dari rongganya. "Serahkan padaku.""Aku harus menyelesaikannya sendiri, Bin."Robin menggeleng, "tidak, serahkan padaku.""Kau mau aku diam saja saat istriku mendapat pelecehan seperti ini?"Robin diam, memilih kata yang tepat agar sedikit mengurangi amarah di dada Noah saat ini."Tidak, tentu saja tidak. Kamu harus lebih bisa menenangkan Alin. Saat ini ia membutuhkan dirimu. Masalah yang lain, serahkan padaku. Aku percaya padaku, kan?" Robin menatap Noah bersungguh-sungguh.Sedangkan Noah menatap dengan amarah yang berkobar di matanya."Bagaimana jika dia bangun dan mendapati dirimu tak ada di sisi. Saat ini, dia membutuhkanmu, bukan aku. Atau kamu memang lebih rela aku yang menenangkannya dalam pelukan ini?"Noah mencengkram kerah depan baju Robin. Dan itu berhasil membuat Robin tersenyum."Jadi, biarkan kami yang selesaikan. Kamu cukup terima laporan dari kami saja. Akan kami selesaikan dengan
"Kenapa kamu tinggalkan Alin sama Tasya aja?" Noah berteriak penuh emosi karena orangnya malah sangat teledor meninggalkan dua wanita saat Alin jelas dalam incaran."Maaf, saya sudah meninggalkan beberapa orang juga di sana."Ricky menjawab penuh sesal, di wajahnya sudah membekas lebam oleh pukulan Noah tadi."Lalu bagaimana bisa Alin sampai diculik!? Bagaimana kalian bekerja? Hah?""Maaf, Tuan." "Haahh!" Noah menendang jog belakang di depannya. Marah, marah, dan amarah itu terus menjilati dirinya. "Jika sampai terjadi hal buruk padanya, habis kalian semua!""Tenanglah!" ucap Robin yang menyetir di depan melihat Noah sedari tadi hanya marah-marah dan mengamuk."Kita sudah dapat lokasinya. Jangan habiskan tenagamu untuk mengamuk di sini."Noah berdecak kesal, tangan itu terus mengepal dan wajah yang semakin mengeras. Dalam pikirannya Alin kini sedang ketakutan. Pikiran buruk terus berkelebat mencemaskan wanitanya."Aku bersumpah, ta
"Tolong siapkan untuk meja nomor lima. Yang ini sedikit spesial ya, pesanan khusus." Alin memberi instruksi pada koki di dapur restonya. "Baik, Bu.""Dan untuk ruang VIP satu. Sudah dibooking oleh Mr. Marvin untuk meting nanti malam.""Baik."Setelah memberi beberapa arahan dan mengecek laporan, Alin melangkah keluar dari restonya. Di belakangnya beberapa orang tampak mengikuti. Merasa diikuti, Alin menoleh. Terkejut karena orang-orang itu mendorong tubuhnya kedepan. "A-apa yang kalian lakukan!?" Serunya. "Ikut kami," ujar seorang berbadan besar yang paling dekat dengannya dan menahan lengan wanita cantik itu."Le-lepas!" Dengan gemetar Alin mencoba berontak dan meloloskan diri."Si-siapa kalian? Lepaskan aku!" lontarnya dengan terbata.Lelaki itu tersenyum tipis, semakin menarik tubuh Alin."Ikut saja jika tak ingin kami bertindak lebih kasar di sini."Mata Alin bergerak liar, mencari siapa saja yang bisa dimintai bantuan. Namun, sekitar serasa sepi dan tak banyak orang melintas
Di lorong depan pintu apartemen Alin, tampak tiga orang preman tengah berkelahi dengan seorang pria dan wanita. ketiganya tampak kuwalahan meskipun memiliki badan lebih besar karna kelincahan sepasang pria dan wanita yang tiba-tiba mengganggu pekerjaan mereka. kedua orang itu adalah bodyguard Alin itu. Tasya dan Ricky."Siapa kalian? kenapa mengganggu pekerjaan kami?!"Ricky tertawa mencemooh,"Pekerjaan kalian, mengganggu pekerjaan kami!" cetusnya memasang kuda-kuda, saling melindungi punggung dengan membelakangi rekan kerjanya."Siapa yang menyuruh kalian?""Bukan urusan mu!" sentak salah satu preman itu menyerang. Dengan gesit, Ricky dan Tasya membalas.Ketiga preman itu memang hanya badannya saja yang besar. Namun, kalah oleh kegesitan dan teknik yang Ricki dan Tasya punya. Tiba-tiba saja, dari ujung lorong, Noah muncul. terkejut melihat kedua bodyguard Alin sedang bertarung melawan tiga preman. Ia ikut menerjang, memanjangkan kaki mengenai bagian vital salah satu preman tersebut. H
Bab 52Melin terduduk lemas menyenderkan tubuhnya di ruangan kepala bagian. Wajahnya masih tak percaya dan matanya bergarak liar tak terima dengan apa yang baru saja ia dengar.“A-apa maksud bapak?” meminta penjelasan.“Seperti yang sudah saya utarakan tadi, Melin. Kamu mendapat peringatan sebelumnya tentang kedislipinan. Tetapi, kamu berulang kali bahkan seperti menganggapnya sepele. Aku tau suamimu adalah seorang manager juga. Apa karena itu juga kamu jadi berani seperti ini?”“Ti-tidak pak. Saya memang sedang dalam kondisi yang rumit.” Melin mencoba memberi penjelasan dan alasan.“Maaf, ini sudah keputusan semua orang. Ini surat pemecatanmu,” ucap Pak kepala bagian seraya menyerahkan surat pada Melin.“Ta-tapi pak.” Melin menggeleng kuat tak terima, berharap masih memiliki kesampatan berikutnya. Tetapi, melihat gelagat atasannya itu, Melin tau harapan tinggallah harapan.“Maaf, Melin. Ini sudah keputusan final. Pesangonmu, mintalah pada bagian HRD.”*Brak!Aldi terperanjat melihat
Bab 51“Apa dia masih di sana?” bisik Alin dengan mata sayu. Wajah lelaki yang hanya berjarak beberpa centi saja darinya.Noah yang masih memeluk pinggang Alin melirik ke bawah sana. Di mana Aldi masih terlihat mematung dengan seorang balita dalam pangkuan.“Masih,” jawab Noah berganti melihat Alin yang membelakangi dinding kaca. Menautkan lagi bibirnya dengan milik Alin. Sementara itu, di bawah sana, Aldi masih memandang mantan istrinya sedang berciuman mesra dengan seorang lelaki. Ia tak tau siapa lelaki itu karena wajahnya tertutup kepala Alin yang membelakanginya. “Siapa dia? Aku tau Alin belum menikah, lalu apa pria itu pacarnya?” Aldi bermonolog tanpa melepaskan pandngannya dari dua sejoli di lantai tiga itu. Tentu saja, dari jarak setinggi itu, Aldi tak bisa melihat dengan jelas siapa lelaki yang tengah berciuman dengan mantan istrinya.“Sudahlah, untuk apa aku terus melihat mereka, bikin hatiku panas saja,” gumam Aldi terus merasakan nyeri di dada. Kebetulan, saat itu Melki
Bab 50“Kenapa pak Aldi gegabah menceraikan ibuk?” Anis yang sedari tadi merasa tak enak dan tak nyaman karena pergi dengan majikan prianya terus merasa berslah pada Melin.“Kamu nggak usah ikut campur urusan saya! Tugas kamu, mengasuh Melki. Ngerti?”“Maaf, pak.” Anis pun sebenarnya merasa sudah lancing mengatakan hal itu. Tetapi, ia sendiri merasa kasihan pada Melin juga pada Melki. Karena keegoisan majikannya, bocah itu tak merasakan kasih sayang yang utuh.*“Kamu pulanglah dulu, Nis. Aku masih ada urusan dan nggak bisa membawa kamu serta,” ucap Aldi setelah mereka selesai membeli kebutuhan Melki. “Melki biar sama aku, kamu beli lah apa pun atau jalan-jalan dulu jika malas pulang dan ketemu Melin,” sambung Aldi mengangsurkan lembaran uang pada Anis. Anis terlihat keberatan berpisah dengan Melki. Tetapi, gadis itu juga tak punya hak apa pun untuk menyampaikan keberatannya. Bagi gadis itu, Melki sudah menjadi bagian dari hidupnya, hingga saat mer
Bab 49“Suruh wanita itu keluar!”Alin yang baru saja sampai di resto, langsung bisa melihat keributan di sana. Bahkan suara Melin pun terdengar sampai di telinga Alin yang baru keluar dari mobil.“Siapa yang kau suruh keluar, Mel?”Seketika Melin yang sdang marah itu menoleh ke arah pintu masuk. Mendapati Alin di sana darahnya mendidih, sekonyong-konyong mendekat dengan tangan terulur. Alin reflek menangkap tangan itu, dan mendorongnya.“Jangan sampai aku melaporkanmu atas tuduhan penyerangan, Mel! Lihatlah berapa banyak orang yang bisa menjadi saksi di sini!” tukas Alin mendelik tajam pada Melin yang menahan amarah hingga tampak deretan giginya yang putih dan bergemeletuk.“Kau! Jalang sialan! Di mana kau sembunyikan suamiku?”“Sembunyikan bagaimana? Pria dewasa sebesar itu bagaimana aku menyembunyikannya. Harusnya kau gunakan akal sehatmu dan bertanya padanya! Bukan padaku!” hardik Alin tak kalah keras.“Dia tidak pulang semalam,”“Lalu apa urusannya denganku?”“Kau pasti mempenga