Ibu Keyla menyiapkan makan malam untuk putrinya. Tetapi Keyla tetap tidak ingin makan apapun, dia hanya melamun sambil menatap lurus ke luar jendela. "Keyla Mama boleh bertanya sesuatu?" tanya ibunya pelan namun, tak digubris sedikit pun olehnya.
"Mama tidak sanggup melihatmu seperti ini terus Nak, bisakah kamu melupakan Mexsi dan membuka lembaran hidup baru bersama Mama?" ibu Keyla memeluknya dari belakang. Barulah Keyla sadar bahwa ibunya saat ini sedang memeluknya sambil menangis. Seandainya saja Keyla bisa mengatakan kata maaf, tapi itu saja tidak cukup. Terlalu berat, terlalu sulit untuk dimaafkan.
***
Diperjalanan menuju rumahnya. Ibu Mexsi mendengar suara ribut-ribut dari depan rumahnya, ia turun dari mobil bertanya apa yang sedang terjadi. Seorang ibu parubaya seumuran dengannya memegang tangannya, sambil menatapnya dengan tatapan sedih dan memohon. Ibu Mexsi tidak mengenal dia sama sekali, t
Mulai hari ini author akan update setiap hari, tergantung meja kerja editor. Terima kasihđ„°
Setelah beberapa hari Keyla terdiam sambil merenung, membayangkan kesalahan demi kesalahan yang ia perbuat pada seseorang yang dicintainya. Keadaannya kini sudah mulai membaik, ibunya duduk di meja makan. Keyla juga ikut duduk, ibunya menyiapkan makanan kesukaannya yaitu bakso. Saat Keyla memakan bakso itu entah kenapa air matanya jatuh seketika, ibu Keyla kaget dengan hal itu. Ibunya langsung berdiri memeluk putrinya, tanpa kata apapun di sana. Hanya sebuah pelukan yang berisi kekuatan menjalani hidup, bakso adalah salah satu kenangan yang paling indah saat bersama ayahnya. Bakso juga mengingatkannya pada saat ayahnya tiada, ia tak mengerti. Kenapa harus dia? Kenapa harus terjadi pada keluarganya? Suara bel rumahnya memecahkan keheningan, ibu Keyla membukakan pintu. Will langsung masuk ke dalam rumahnya, tersenyum menatap Keyla. "Hallo Tante selamat pagi, hallo Keyla selamat pagi," kata Will tersenyum kembali seolah-olah tak terjadi apapun. Will hanya ingin membalik
Kenapa terlihat berbeda, waktu pertama kali mereka jadian, Will selalu menggenggam tangannya dengan sangat erat. Tapi kali ini, Tina merasa sedikit demi sedikit perilaku Will sangat berbeda padanya, bahkan sekarang pun lelaki itu tak menoleh ke arahnya. Tidak, Tina tidak bisa diam saja. Apapun jawabannya, dia harus tetap tenang. "Kamu mau bicara apa denganku, sebentar lagi bel masuk. Hanya tersisa lima menit saja," kata Will melihat jam tangannya. "Bisakah kau tatap wajahku," kata Tina melirik ke arahnya. Tentu saja Will yang tidak tahu maksud Tina. Dia hanya bisa menatap ke dalam matanya. "Terima kasih sudah menatapku, aku harus bertanya. Dan jawab dengan jujur semua pertanyaan yang aku ajukan padamu." "Tina tunggu dulu, kamu sebenarnya mau tahu tentang hal apa? Kenapa kau hampir menangis?" tanya Will. "Itu tidak penting. Kau tahu, aku sangat mencintaimu. Jadi, apapun yang kau lakukan aku harus tahu, tapi jika aku rasakan perasaanmu mul
"Gak apa-apa," Tina berbohong lagi. "gue hanya kurang enak badan, gue mau ke ruang UKS." Keyla langsung memapahnya. Mengantarkan Tina ke ruang UKS, sempat Tina menolak tapi dengan tegas Keyla tetap memegang tangannya sampai di sana. "Keyla, bisakah lo tinggalin gue sendiri. Gue benar-benar ingin sendirian aja," kata Tina menundukkan kepalanya. "Baiklah, jangan terlalu bersedih." Setelah mengatakan hal itu Keyla pergi dari sana. Tina menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, ia menangis. Mencoba untuk mengurangi suara tangisannya dengan cara membekap mulutnya sendiri, Keyla tidak benar-benar pergi dari sana. 'Tina pasti sangat menderita, apa yang sebenarnya terjadi antara Tina dan juga Will?' Tepat di depan kelas Will berpapasan dengan Keyla, mereka saling bertatapan sesaat. Keyla hanya bisa pergi dari sana, Will memegang lengan kanannya ingin mengatakan sesuatu. "Ada apa Will?" tanya Keyla dengan wajah biasa saja. "Apa lo baik-baik saja
Will mengangkat wajahnya menatap Padil. "Bagaimana pun juga, gue sama Keyla berpisah bukan karena kesalahan, bukan karena sudah tak saling mencintai lagi. Tapi kami harus berpisah karena terpaksa, kalau lo diposisi gue lo pasti bisa mengerti kenapa gue lakukan semua ini." "Tapi tetap saja, semua itu gak benar. Gak seharusnya lo menyakiti wanita yang jelas-jelas sangat menyukai lo, Will gue tahu betul seharusnya gak ikut campur dalam masalah kalian. Namun, Tina hanyalah wanita yang membutuhkan sosok lelaki yang mencintainya dengan tulus. Tapi lo, malah mempermainkan ketulusan hatinya." Padil menyandarkan tubuhnya ke pagar. "Sekarang Tina pasti benci banget sama lo." Lanjutnya menghela napas berat. "Itu jauh lebih baik, daripada harus mencintai orang seperti gue." Perkataan Will cukup untuk membuat Padil tercengang dengan jawabannya. Setelah itu Padil turun terlebih dahulu, sedangkan Will masih ingin sendirian di atas sana. "Woeeeey! Nih liat gue bawa m
Setelah mendengar hal itu dari Tino dan didukung oleh Padil sang ketua kelas. Jadi semua orang berbondong-bondong pergi ke kantin, dan langsung memesan makanan mereka. Entahlah Tina harus bersedih atau bahagia, melihat teman-teman tertawa dan bangga. Bisa makan secara gratis di sana, sekarang hanyalah tinggal memikirkan harus bayar pakai apa? Ino melirik ke arah Tina. Yang mungkin saat ini sedang pusing, harus berbuat apa mengetahui baru putus hubungan dengan kekasihnya. "Ibu bolehkah kita bicara?" tanya Ino menarik tangan ibunya. Ibunya menoleh. "Ada apa?" Ini berbisik pada ibunya. "Oh, baiklah. Karena dia temanmu, katakan saja padanya ibu tidak keberatan." Ibunya hanya ingin mencoba mengerti maksud putrinya. Kepala Tina semakin pusing saja. Melihat Tino tak henti-hentinya memesan makanan, ia berdiri dari tempat duduknya ingin secepatnya memberi Tino pelajaran. "Tina, ada yang gue mau bicarakan sama lo," kata Ino mencoba berbisik padanya. "Apa itu?" jawab Tina berbisik kembali p
"Lo mau apa lagi, dari gue? Semuanya udah lo rampas. Senyuman gue juga gak ada artinya lagi." Tina terus memberontak, ingin secepatnya mengakhiri tingkah bodohnya itu.Will langsung memeluknya. "Aku gak tahu harus gimana lagi, aku gak tahu harus memakai cara apalagi? Aku juga tidak tahu bagaimana caranya, agar kamu mau memaafkan kebodohanku ini."Tina mendorong tubuh Will menjauh darinya. "Tidak ada, yang perlu kamu lakukan hanyalah diam saja. Meski jauh di dalam lubuk hatiku sangat membencimu Will, tapi sebenarnya aku masih mencintaimu. Jadi jangan lakukan apapun, lupakan saja semuanya. Biarlah lukaku ini sembuh dengan sendirinya, dengan berjalannya waktu." Akhirnya Tina berani mengatakan hal itu padanya.Tentu saja kata-kata Tina sedikit membuat hati Will merasa lega. Setidaknya Will merasa Tina sedang mencoba mengampuni dirinya sendiri, meskipun lelaki itu belum tahu kebenarannya. Apakah Tina telah memaafkannya atau tidak? Tapi yang jelas hal itu sudah tidak penting baginya. Yang t
Pak Selamet mulai mengabsen satu persatu. Namun, nama Keyla tak disebutkan Will bangkit. "Pak nama Keyla kenapa tidak disebutkan?" tanya Will mewakili pertanyaan teman mereka yang lain."Oh itu. Keyla sudah pindah sekolah," kata Pak Selamet."Pindah ke mana Pak?" tanya Ino, Tino, Padil, Tina, dan Will bersamaan."Ada apa ini, kenapa kalian kompak sekali. Lagipula bukankah kalian selalu bersama, kenapa bertanya pada Bapak?" Pak Selamet malah balik bertanya."Pak saya izin keluar sebentar." Will langsung lari pergi ke rumah Keyla."Tunggu! Mau keman. " Pertanyaan Pak Selamet terpotong, saat Tino ikut berdiri."Saya juga mau izin kelua. " Perkataan Tino langsung terhenti. Saat Pak Selamet memegang penggarisnya. Tino langsung duduk kembali. Diam di tempat, sangat patuh.***Will tiba di depan rumah Keyla. Ia terus menekan-nekan tombol bel, tapi tidak ada satupun orang yang keluar dari sana. Will mulai panik, ia kembali mencari. Sampai malam tiba, Keyla tak ditemukan olehnya ia pun memilih
Keyla membungkukkan badannya mulai mencari kembali, ia melihat sepasang sepatu lelaki di sana sepasang sepatu itu berdiri tepat di depan matanya. Ia mendongak lalu mendapati sang dosen sedang menatapnya, terasa aneh, padahal mereka baru saja saling bertemu, tapi kenapa? Kenapa ia merasa sudah mengenal lama orang itu."Akhirnya kau menatapku," katanya sambil tersenyum pada Keyla. Keyla mengangkat wajahnya sambil berdiri. Siapa dia sebenarnya? Kenapa wajahnya mengingatkan pada seseorang, tapi siapa? "Namamu?" tanya dosennya."Keyla Prawijaya," kata Keyla mencoba mengambil dompetnya."Mau ini?" tanyanya kembali menunjukkan dompetnya."Iya, dompet yang ada ditanganmu itu milikku. Bisakah kembalikan pada pemiliknya." "Harusnya kau bertanya nama seseorang yang sudah menemukan dompetmu?" katanya kembali, tapi kali ini terlihat dia ingin menggoda Keyla."Kamu ingin menggodaku?" "Menurutmu?" Kesal dibuat dosennya itu. Keyla mencoba menahan diri, bagaimana pun juga. Dia hanyalah seorang dosen
Kepala Keyla sulit sekali bergerak, ia tak mampu menengok ke belakang. Ia berjanji tidak akan menangis lagi, tetapi sulit baginya berhenti. Lelaki itu melingkarkan tangannya pada tubuh Keyla, lalu mendekapnya tanpa ragu dari belakang."Kau jahat sekali, kenapa berpura-pura tidak mengenaliku?" tanya Mexsi menopang dagunya di atas pundak Keyla. "Kau tahu aku begitu menderita, setiap hari harus meminum obat dan melupakan semua hal tentangmu." "Ba .. gaimana mungkin, kau mengingatku kembali. Harusnya kau tetap melupakanku, Mexsi!" Jerit Keyla dengan wajah sedih."Itu kah maumu?" tanya Mexsi mundur selangkah. Keyla tetap tidak berani berbalik, apalagi menatap wajahnya. "Baik kalau begitu, aku pergi .... "Keyla tiba-tiba saja memegang lengannya sambil menunduk, tangannya bergerak sendiri tanpa meminta izin pada pemiliknya. "Aku ... Aku takut menembakmu, aku sangat takut kehilanganmu.""Tatap mataku, Keyla," kata Mexsi. Gadis itu hanya dapat menggeleng. "Kubilang tatap mataku, Keyla!" Teri
Tina dan Ino terdiam sesaat, mereka berharap kalau Keyla tidak memikirkan perkataan Tino. Mereka meyakini jika sampai percaya maka apa yang akan terjadi pada sahabatnya, tiba-tiba saja Keyla berdiri, menatap segan ke arah Tino. "Keyla mau ke mana?" tanya Ino pelan."Keyla, di sini aja ya. Gak usah dengerin apa yang barusan Tino bilang, kita kan tahu kalau dia suka bercanda. Dan selalu membangkitkan emosi kita, iya kan Ino?" kata Tina melirik pelan ke arah Ino."Oh iya haha." Ino sedikit tertawa sambil memukul pelan pundak Tino.Selama ini Mexsi yang menemani Kayla dalam keadaan sesulit apapun, bahkan sampai detik-detik terakhirnya saja. Mexsi mampu membuat bahagia di masa sulitnya, apakah Keyla menyadari hal itu. Tentu saja, Keyla sangat memahami hubungan mereka berdua. Satu hal lagi yang belum Keyla tahu. "Gue sama Mexsi udah saling benci pada saat usia kanak-kanak."Tina langsung bertanya. "Apa penyebab kalian saling membenci?"Ino dan Tino hanya menatap ke dalam mata Keyla sambil m
Hanyut dalam dekapan ibu Ino membuat Keyla semakin tak sanggup menahan air matanya. Cukup lama ia menahannya, terbendung sudah hampir meluap keluar. Air matanya mengalir deras turun melewati pipinya yang kini memerah, ia tidak tahu kalau selama ini ia butuh dipeluk oleh seseorang dalam keadaannya yang sedang mencari informasi terkait kematian kakaknya.Ibu Ino berniat menceritakan sedikit tentang semasa hidup Kayla, waktu itu di mana geng Sarah menghancurkan usahanya. Sebagai ibu pemilik kantin di sekolah Ino dulu, Ibu Ino melepaskan pelukannya. Menatap Keyla yang saat ini sedang mengusap air matanya. "Kakakmu Kayla adalah gadis yang sangat baik, dia sangat berjasa bagi kami." Tiba-tiba saja ibu Ino membahas tentang kakaknya."Benarkah?" Kedua bola mata Keyla berbinar-binar saat mengatakannya."Tentu saja, Kayla maju digaris paling depan. Saat kantin kami sedang diobrak-abrik oleh Sarah dan teman-temannya, Kayla sempat terluka dia tidak menyerah sedikit pun. Demi membantu kami, dia sa
Ibunya mendongak ke atas menatap wajah putranya. "Aku tahu betul, jika tangan Bunda bergetar seperti ini. Artinya Bunda berbohong, apakah sangat sulit bagi Bunda memberitahuku yang sebenarnya?" tanya Mexsi masih tetap memegang tangan ibunya."Bunda sudah memesan tiketnya, lebih baik kita bergegas. Nanti ketinggalan pesawat.""Cukup Bunda!" Mexsi sedikit meninggikan suaranya, tapi masih dalam batas wajar. Ia melangkah pergi ke depan pintu."Mau kemana?" tanya ayahnya yang baru saja sampai di depan pintu."Ayah, cegah dia Yah. Mexsi kita mau pergi, dia tidak ingin ikut bersama kita kembali ke Singapura. Ayo Ayah cegah dia," kata istrinya merasa ketakutan yang amat sangat dalam.Suaminya menggeleng. "Biarkan saja.""Apa maksud Ayah?""Biarkan saja Mexsi tinggal dan melanjutkan studynya di sini."Mexsi berhenti melangkah, membulatkan matanya, menengok ke arah ayahnya sedang bicara. Ternyata ayahnya malah memilih membela dirinya ketimbang ibunya sendiri. Selama ini, ayahnya selalu tunduk d
Puk. Sekotak kecil menimpa kepalanya, sampai Mexsi mengelus kepalanya beberapa kali tanpa bersuara. Kotak kecil itu patah, sehingga terlihat isinya sedikit. Ia memegang kotak itu lalu memperhatikannya dengan seksama, nampak tidak asing baginya. Ia mengambil buku diary ingin membuka selembar kertas. "Mexsi!" Jerit ibunya dari luar kamar. Mexsi sampai menjatuhkan buku diary milik kakaknya, ia jongkok mengambil buku diary itu. Ibunya langsung merebut buku itu darinya, ia mengangkat kedua alisnya."Bunda kembalikan, buku diary itu milikku." Pinta Mexsi merengek dengan sedikit bergurau."Nggak, mulai detik ini, buku diary ini. Milik Bunda," jawab ibunya tersenyum masam."Kenapa begitu?" Mexsi menaikan sebelah alisnya karena tak terima buku itu tiba-tiba diambil ibunya."Gak usah banyak tanya, kalau kamu mau buku diary ini. Maka kembalilah ke Singapura, Bunda pasti memberikannya padamu." Ibunya melangkah pergi dari sana setelah mengatakannya.Mexsi hanya terdiam sambil memikirkan segala ke
"Biar gue tarik kata-kata gue waktu itu, beres kan?" jawab Keyla lalu bertanya padanya."Bisa gak, jangan egois. Ambil keputusan secara sepihak begitu, kita.""Kenapa, kenapa, nyawa kalian bisa dalam bahaya jika terus bareng gue. Kalian tahu sendiri kan, ayah gue udah jadi korban. Dan gue gak mau kehilangan lagi, gue mohon sama kalian jangan pedulikan untuk kali ini saja, jangan menoleh. Cukup berpaling aja," ungkap Keyla yang bersungguh-sungguh takut kehilangan lagi.Tina dan Ino terdiam sesaat, lalu Tina maju selangkah menujunya. "Terus lo pikir kita juga mau gitu kehilangan sahabat kita lagi?""Kenapa kalian sampai segitunya, harusnya kalian gak usah melakukan hal ini.""Karena kita ini sahabat," jawab Ino dengan tersenyum sambil menutup matanya."Huaaaa!" Keyla menangis sejadi-jadinya di tempat itu. Tina dan Ino kembali saling pandang, mereka memeluk Keyla bersamaan. Mereka menumpahkan kesedihan, kerinduan, serta persahabatan menangis bersama di sana. Beberapa saat Ino menghapus a
Para pelayan itu kembali setelah beberapa saat, Mexsi mulai bingung dengan dirinya sendiri. Terkejut dengan apa yang baru saja ia pesan, ternyata makanan itu sama dengan apa yang dipesan gadis itu. Tapi makanan itu sangat familiar untuknya, rasanya ia sudah pernah memberikan makanan itu pada seseorang tetapi siapa?Keyla bukan tanpa sebab memilih berada di lestoran itu, ia merindukan sahabatnya yaitu Ino berada di sana. Tanpa gadis itu sadari Ino telah berada dihadapannya, duduk di sana sembari terus memperhatikannya.Mexsi sedang mengunyah makanannya, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Ia menoleh dengan santai, setelah mengetahui siapa orang itu ia tetap melanjutkan makan. "Gue cari lo kemana-mana ternyata lo ada di sini, lagi enak makan lagi. Bla, bla." Dito ngedumel dengan seribu bahasanya.Dirasa cukup lelah membacot sendirian, akhirnya ia memilih duduk memesan minum. Kembali menatap wajah Mexsi. "Udah makannya kan?" tanya Dito sambil menyeruput segelas kopi hangat."Iya,"
"Iya Keyla, maksudku kanker itu kantong kering," jawab Dito sedikit membekap mulutnya sendiri. Terdengar cekikikan kecil di sana. Keyla mengerutkan keningnya. "Aku mau beli bunga buat dimakam, masalahnya aku gak bawa uang. Gimana ya?" lanjutnya kembali melirik Keyla dengan penuh harap.Tanpa berpikir panjang Keyla langsung mengambil dompetnya dari dalam tas selempangnya. Ia mengeluarkan beberapa sejumlah uang dari sana, memberikannya pada lelaki itu tentu saja sudah mengerti Dito tak mau mengambilnya. "Apa lagi, masalahnya?" tanya Keyla sedikit geram.Dito malah melangkah dengan cepat memegang tangan Keyla. Entah kenapa Mexsi merasa kesal setengah mati, ketika melihat Dito memegang tangan gadis itu. "Bisa tolong pilihkan, aku gak paham caranya memilih bunga yang bagus. Aku mohon banget sama kamu. Bantu aku untuk kali ini aja ya, ya." Dito mengatakannya dengan penuh harap. Dengan amat sangat terpaksa Keyla mengangguk. "Emang kamu mau ziarah ke makam siapa?""Kak Morgan, terus aku sam
Dito meraih daun pintu mobilnya, lalu menyuruh Mexsi masuk ke dalam. Ia langsung tancap gas, ditengah perjalanan menancap rem sampai tubuh Mexsi sedikit terpental ke depan. Lelaki itu menatapnya sinis, sedangkan Dito menoleh ke belakang dengan mengerutkan keningnya. "Ada apa?" tanya Mexsi sedikit kesal dibuatnya."Gue baru inget Mexsi," selorohnya dengan nada sombongnya."Inget apaan?" Kembali bertanya dengan menaikan sebelah alisnya."Mau pergi ke mana?""Ck," Mexsi berdecak heran. "Mangkannya tanya dulu, cari aja di Maps. Makam terdekat taman indah buana," katanya melipat kedua tangannya di atas dada."Oke!" Mereka kembali melanjutkan perjalanannya.Sesampainya mereka di tempat tujuan. Dito turun dari balik pintu mobil, ia mulai sigap membukakan pintu mobil untuk Mexsi. Kenapa demikian? Mexsi berpikir jika Dito tak membukakannya pintu nanti akan disuruh masuk kembali. Seperti kejadian di waktu yang lalu, saat mereka berada di Singapura. Ingatan Mexsi tajam mengenai hal itu, tapi ia