"Selama menyelidiki kerja sama dengan Garnett Holdings, aku menemukan fotomu sedang berjabat tangan dengan Leonard Garnett."
"What?!" pekik Kenzo sampai rokok nya terjatuh. Aku langsung menunjuk jari telunjuk ke depan bibir, mengintruksinya agar diam.
"Ada tanda tangan basah di salah satu dokumen. Jadi, Pak Kenzo sempat mencurigaimu."
Mulut Kenzo terbuka, tetapi langsung kusela,"Biarkan aku menjelaskannya sampai selesai."
Pria itu pun menghela napasnya. " Fotonya terlalu banyak, aku sampai tak percaya. Dan Pak Tristan minta aku buat mata-matai kamu. Semua kecurigaan itu mengarah ke kamu, Zo. Jadi aku pun tak bisa menyangkal dan menuruti perintahnya. Terus ada beberapa transaksi yang ditemukan auditor mengarah ke rekening seseorang dengan inisial sama seperti namamu."
Kenzo menegang. "Dan lo mikir itu gue?"
Aku menatapnya dalam diam, menilai ekspresinya. "Gue nggak tahu. Tapi gue tahu satu hal, Zo. Nama lo keseret, dan kalau aku nggak g
Namun, saat mataku menangkap sosok pria jangkung dengan setelan navy blue yang berdiri di dekat bar, aku tahu ini akan menjadi malam yang panjang. Tristan sedang menatap lurus ke arahku!Astaga, kenapa dadaku berdebar seperti ini!"Akhirnya datang juga. Ke ruang makan sekarang," ajak Pak Tristan dengan dingin. Aku mengangguk sejenak kemudian mengokirnya dari belakang. Saat memasuki rumah ini, aku tak melihat ada tamu lain. Hanya beberapa pelayan yang lalu lalang. "Pak, di mana tamu lain?" tanyaku pelan."Tidak ada. Hanya kamu dan Bimo yang diundang Mama untuk makan malam."Aku cukup terkejut mendengar ucapan CEO-ku tersebut. Setelah seharian membebaniku dengan pekerjaan, sebagai sekretarisnya batinku jadi bertanya, apakah lumrah seorang sekretaris diajak makan malam bersama keluarga atasan?Aku menelan ludah, mencoba memahami situasi ini. Jadi, ini bukan sekadar makan malam perusahaan, melainkan undangan pribadi dari ibunya Tristan? Tapi kenapa? Ketika kami tiba di ruang makan, su
"Tidak," jawab Pak Kusuma datar.Salah satu alis Tristan terangkat. "Yakin? Kenapa dari tadi mencuri pandang ke arah sekretarisku?"Pertanyaan Trsitan membuatku keringat dingin. Aku menjadi topik pembicaraan di antara anak dan ayahnya. Ini membuatku tidak nyaman.Pak Kusuma tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapku sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke Tristan. Ekspresinya tetap sama, dingin, penuh perhitungan, seolah sedang menimbang alasan di dalam pikirannya. Aku menggigit bibir, mencoba tetap tenang. Tapi tangan yang kugenggam di pangkuan mulai terasa dingin. "Jadi?" Tristan mengulang pertanyaannya, entah kenapa pertanyaannya mengandung tantangan halus. Pak Kusuma akhirnya bersuara. "Aku hanya penasaran." "Penasaran soal apa?" Tristan bertanya lagi, kali ini sembari melipat tangannya di atas meja. Pak Kusuma menyesap sedikit minuman jahenya yang baru saja dihidangkan oleh pelayan, kemudian meletakkan gelas itu kembali dengan gerakan perlahan. Itu adalah gelas ke
Aku menelan ludah. Kata-kata Bu Ayu barusan membuat dadaku terasa sesak. “Maksud Ibu mengenal lebih dekat?” tanyaku hati-hati. Bu Ayu menatapku sejenak sebelum menghela napas kecil. "Aku melihat sesuatu di Bimo, Maya. Sesuatu yang mengingatkanku pada seseorang." Tubuhku menegang. Sementara itu, pelayan datang menyajikan teh dan jus jeruk di meja. Bimo diam saja, hanya menggenggam sendok kecilnya dan memandangi gelas jus di depannya. Aku tahu dia belum nyaman berada di tempat asing seperti ini. Aku merapikan letak duduknya dan membisikkan, “Minum dulu ya, Sayang.” Bimo menoleh sekilas, lalu menurut. Aku kembali fokus pada Bu Ayu, yang masih mengaduk tehnya dengan gerakan pelan. “Bu Ayu mengingat seseorang?” tanyaku mencoba menggali lebih dalam. Beliau tersenyum samar. “Iya. Dulu aku juga punya seorang anak yang—” Bu Ayu terhenti sejenak, menatap Bimo. “…spesial.” Hatiku mencelos. "Putriku juga autis, seperti Bimo," lanjut Bu Ayu. Kali ini matanya sedikit berair. Sep
Hari ini aku mempersiapkan diri untuk berangkat ke bandara. Namun, saat akan memanaskan mobil, mendadak Alphard berwarna putih terparkir di depan rumahku. Aku terpaku menatapnya, itu seperti mobil para artis! Saat aku termenung, seorang wanita turun dengan anggun."Pagi, Maya. Hari ini biar aku yang mengantarmu ke bandara. Sekalian menjemput Bimo dan babysitternya. Dia akan menginap di rumahku satu bulan penuh, kan?" Suara yang lembut dari ibu atasanku itu bagai malaikat yang turun dari surga. Aku hanya mengangguk pelan, aura pejabat Bu Ayu sangat menyilaukan!Bu Ayu berjalan mendekat, senyumnya ramah tapi tetap memancarkan wibawa yang sulit diabaikan. “Ayo, kita berangkat,” katanya, membuka pintu mobil untukku.Aku segera mengangguk dan berbalik ke dalam rumah. “Bu Yati, sudah siap?” panggilku.Dari dalam, terdengar suara langkah tergesa-gesa sebelum sosok wanita paruh baya muncul dari ambang pintu. Bu Yati, asisten rumah tanggaku, tampak sedikit gugup saat melihat sosok Bu Ayu.“Iy
Begitu Tristan tiba di hadapanku, ekspresinya datar. Mata tajamnya menatapku sekilas sebelum ia mendesah dan merapikan dasinya dengan gerakan asal. “Maaf,” ucapnya singkat, suaranya rendah dan dingin. Aku mengerjapkan mata, sedikit bingung dengan sikapnya. Tapi sebagai sekretarisnya, aku tahu batasan. Jika bos sedang badmood, lebih baik tidak terlalu banyak bertanya. “Tidak masalah, Pak Tristan. Kita masih punya cukup waktu,” jawabku dengan nada profesional. Paulo yang berdiri di sampingku mendecak dramatis. “Ya Tuhan, kenapa auramu seperti badai musim dingin di Rusia, Sayang? Apa kau baru saja bertemu mantan di pengadilan?” godanya, mencoba mencairkan suasana. Tristan hanya melirik Paulo dengan tatapan datar, tidak tertarik menanggapi. Alih-alih menjawab, dia hanya berjalan melewatiku menuju gate. Paulo menatapku dengan ekspresi tidak percaya. “Ya ampun, dinginnya lebih parah dari kulkas dua pintu! Kau yakin kita terbang ke Paris? Jangan-jangan dia ingin transit dulu ke A
Paulo di sebelahku menguap lebar dan mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah. “Omg, darling! Udara di pesawat ini benar-benar menghisap semua kelembaban kulitku. Aku butuh sheet mask sekarang juga!” Aku tertawa kecil. “Kau sudah memakai tiga lapis skincare selama perjalanan. Apa itu masih kurang?” Paulo melotot dramatis. “Kurang, sayang! Ini Paris! Kau tidak bisa tampil dengan wajah sembarangan di kota mode!” Aku menggeleng-geleng, lalu melirik ke arah Tristan yang duduk di sisi lain. Pria itu perlahan membuka mata, wajahnya masih dingin seperti biasa. Ia menekan tombol kursinya agar kembali tegak, lalu merapikan dasinya yang sempat dilepas selama tidur. “Morning, Mr. Tristan.” Paulo menyeringai. “Bagaimana tidur Anda? Apakah mimpi tentang saham dan angka-angka?” Tristan menatap Paulo sebentar sebelum mendesah. “Terlalu banyak suara berisik untuk bisa bermimpi.” Aku dan Paulo saling berpandangan sebelum akhirnya Paulo menyenggol lenganku. “Astaga, aku tersinggung. Apa
"Ya. Aku sempat berbincang dengannya. Tidak." Tristan menggeleng kepalanya sebentar, tangannya memijat pelipisnya pelan. "Lebih tepatnya dia yang berbicara, sedangkan aku hanya diam."Entah apa yang diucapkan Bu Ayu."Dia mengatakan semuanya, termasuk hubungan-" ucapan CEO-ku itu belum selesai. Dia seperti sengaja memotong karena ada aku dan Paulo."Lanjut nanti saja, Ma. Sekarang aku masih di mobil... Oke... Mama juga jaga kesehatan."Pria itu segera meletakkan ponselnya dan menghela panjang.Paulo dan aku saling melirik, mencoba menebak isi percakapan itu. Namun, dari ekspresi Tristan yang semakin mengeras, jelas ada yang mengganggunya.Aku ragu untuk bertanya, tetapi suasana di dalam mobil terasa begitu tegang. Diam saja pun rasanya tak nyaman."Apa terjadi sesuatu, Pak?" tanyaku hati-hati.Tristan menyandarkan kepala ke kursi. "Bukan urusan pekerjaan. Tak perlu kalian pikirkan."Paulo mendecak pelan. "Astaga, selalu sok misterius. Bukankah lebih baik berbagi cerita, Darling? Siapa
Tristan kembali berbicara, "Aku baru saja mengetahui kalau beberapa kontrak yang dibuat perusahaan kita dalam beberapa tahun terakhir tidak sepenuhnya bersih. Ada indikasi suap, mark-up harga, dan yang lebih parah… beberapa proyek itu melibatkan perusahaan yang punya rekam jejak buruk."Aku terkejut. Apa sindikat Bu Ratna sebegitu berbahayanya sampai menjadi rumit begini?"Tapi… perusahaan kita seharusnya punya tim legal yang memastikan semuanya berjalan sesuai aturan, bukan?" tanyaku hati-hati.Ekspresi Tristan mengeras. "Bu Ratna selama ini punya akses besar ke banyak dokumen penting. Banyak dokumen yang kutinjau menunjukkan kejanggalan."Aku mencoba mencerna informasi itu. "Jadi, maksud Bapak, kemungkinan skandal ini lebih besar dari yang kita kira?""Bukan kemungkinan, Maya." Tristan menatapku dalam-dalam. "Aku hampir yakin ini lebih besar. Dan karena kamu adalah sekretarisku, aku ingin kamu berhati-hati. Jangan mudah percaya pada siapa pun, termasuk orang-orang yang mungkin terli
Hari ini suasana terasa tenang. Aku sedang menyisir rambut Bimo setelah mandi, mencoba membiasakan diri dengan rutinitas baru tanpa pekerjaan kantoran. Meski hati masih sesak, aku mulai belajar untuk mencintai kesunyian ini, sunyi yang tak lagi dipenuhi tekanan dan penghakiman.Namun, suara mobil berhenti di halaman depan membuat langkahku terhenti. Dari balik jendela, kulihat Kenzo turun dari mobilnya sambil membawa map cokelat di tangan. Wajahnya terlihat serius. Ada sesuatu yang tidak biasa dari raut wajahnya hari ini.Aku segera membuka pintu sebelum Bu Yati sempat bergerak dari dapur."Zo?" tanyaku pelan.Kenzo mengangguk, menyerahkan map itu ke tanganku. “Ini dari kantor. Akhirnya, HRD sudah ACC surat resign kamu, May. Ternyata sebelumnya CEO menganggapmu cuti.”Tanganku gemetar saat menerima map itu. Segalanya mendadak terasa nyata. Aku benar-benar sudah bukan siapa-siapa lagi di tempat itu. “Cepet banget, ya…” gumamku pelan.Kenzo diam sejenak, lalu menatapku dalam. “Ada satu
Keesokan paginya, cahaya matahari mengintip pelan lewat celah tirai. Namun, aku tetap bergeming di ranjang, meringkuk membelakangi dunia. Selimut tebal menutupi tubuhku, tapi tak mampu menghangatkan luka di hati yang masih terasa segar, seperti baru saja dicabik.Aku tak keluar kamar sejak semalam. Hanya Sinta yang sesekali masuk membawakan makanan atau sekadar menyisir rambutku yang mulai kusut. Bu Yati juga tak pernah jauh dari pintu kamarku, menunggu kalau-kalau aku butuh sesuatu. Akan tetapi aku tetap diam. Aku belum sanggup.Di luar kamar, kudengar suara Bimo bermain dengan Bu Yati. Tawa kecilnya sesekali menyusup ke dalam, dan setiap kali itu terjadi, hatiku kembali teriris.Aku ibu kandungnya, tapi malah dipertanyakan kelayakanku. Dianggap tak mampu, dianggap tak waras. Bu Ayu tak hanya menginjak harga diriku sebagai perempuan, tapi juga sebagai seorang ibu.Sinta masuk dengan langkah pelan, membawa nampan kecil berisi bubur dan segelas susu hangat.“May… kamu belum makan dari
Sesampainya di rumah, Bu Yati membukakan pintu utama dengan semringah. Namun, saat melihat keadaanku yang menggendong Bimo, lengkungan di bibirnya langsung musnah. Matanya melebar."Ya allah, Mbak," pekiknya mengambil alih Bimo. Sedangkan aku masuk ke rumah dan langsung ambruk di tengah ruangan. Air mataku tak bisa tertahan. Hatiku masih tertusuk seribu pisau. Bu yati segera membaringkan Bimo ke kamar, dan mendekatiku."Mbak..." panggilnya pelan sembari mengusap sedikit lenganku. Aku mendongak, tanpa banyak bicara ia mendekapku."Bu Ayu nggak restuin aku, Bu. Dia hanya mau Bimo." Aku terisak tak karuan. "Bu Ayu mau ngerampas Bimo darii aku Bu. Katanya aku ibu yang egois!"Tangisku meledak di pelukan Bu Yati. Tubuhku bergetar hebat, seperti baru saja dihantam badai yang tak kasat mata. Suara isakanku memenuhi ruang tamu kecil yang biasanya hangat dan penuh tawa Bimo. Kini, semua terasa hampa.Bu Yati mengelus kepalaku lembut, seakan mencoba meredakan gemuruh dalam dadaku. “Astaghfirul
"Ya! Aku ingin mengadopsi Bimo, Maya! Aku hanya membutuhkan Bimo, bukan kamu!” suara Bu Ayu menggema di ruang makan yang mewah tapi terasa sempit seketika.Dunia seakan berhenti. Mataku terbelalak, tak percaya kata-kata itu benar-benar keluar dari mulut seorang ibu yang tadinya tampak lembut saat menyambut kami. Tanganku refleks memeluk Bimo yang masih duduk di sampingku, tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia hanya melirik ke arahku dengan ekspresi datar, lalu kembali menunduk memainkan ujung sendok.“Ma, cukup!” Tristan berdiri, suaranya keras. “Mama nggak bisa ngomong gitu sama Maya!”Tapi Bu Ayu tetap berdiri dengan tegak, tatapannya menusuk ke arahku. “Aku bicara berdasarkan kenyataan. Maya, kamu ibu tunggal. Hidupmu berat. Kamu harus kerja, harus menghadapi dunia yang nggak pernah adil, dan di saat yang sama kamu mengurus anak autis sendirian. Kamu pikir kamu akan kuat terus sampai Bimo dewasa nanti?”Tubuhku gemetar. Ujung jariku mencengkeram kuat lengan Bimo, seolah aku haru
Sesampainya di rumah Tristan yang sudah sering kukunjungi. Beberapa pelayan sudah berjaga di depan. Seperti biasa, mereka menyambut tuan rumah dengan sangat hangat."Selamat datang, Tuan Muda. Nyonya dan Tuan sudah menunggu di meja makan," ucap salah satu pelayan, saat kami berdua sudah menapakkan kaki ke lantai.Tristan menoleh ke arahku, sembari tersenyum manis. "Ayo." Dia melirik lengannya yang siap menjadi penompangku. Tengan gemetar, aku menuruti kodenya. Kekasihku ini sangat manis. Dia bahkan rela menyejajarkan langkahnya, agar aku tidak tergesa-gesa saat melangkah."Relaks, Sayang. Percaya sama aku. Semua akan baik-baik saja. Oke?"Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman.Kami melangkah masuk ke ruang makan, dan aroma sedap dari hidangan rumahan segera menyambut. Meja makan panjang itu sudah tertata rapi dengan beberapa lauk khas yang tampaknya dimasak sendiri oleh juru masak pribadi keluarga Kusuma. Di ujung meja, Bu Ayu duduk dengan anggun, mengenakan kebaya modern warna
Dia menghela napas panjang, lalu berjalan ke meja kerjanya dan duduk tepat di depanku. “Aku baru mau menyampaikan pada Mama kalau aku serius sama seseorang. Tapi Mama mau mengundangmu makan malam. Jadi kupikir kita ngomong berdua saja malam ini. Bagaimana?"Tanganku lemas mendengar ucapannya. Aku hanya bisa menatapnya tanpa kata-kata, jantungku berdegup tidak karuan.Tristan menatapku, menunggu. Sorot matanya serius, tapi juga penuh harap. “Kalau kamu belum siap, kita bisa tunggu waktu lain, May. Tapi menurutku... ini saat yang tepat.”Aku menunduk, mencoba mengatur napas yang terasa sesak. Jemariku mengepal di atas lutut. Tiba-tiba seluruh keberanian yang tadi kurasakan menguap begitu saja. Bayangan wajah Bu Ayu yang hangat tapi tegas, komentar-komentar orang tentang statusku, dan kekhawatiran soal Bimo, semua menari-nari dalam pikiranku.“Kalau nanti beliau kecewa? Kalau... beliau merasa aku nggak pantas untuk kamu?” suaraku nyaris tak terdengar. “Aku bukan siapa-siapa, Tris. Aku c
Setiap waktu aku menatap cincin berlian yang tersemat di jari maniku. Ini seperti mimpi, dan tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Bahkan aku tidak menyadari seseorang memperhatikan setiap perubahan ekspresi."Mbak, hati-hati giginya kering, lho," celetuk Bu Yati yang menghidangkan susu hangat untukku. "Eh!" Aku sontak menutup mulutku dengan salah satu tangan.Wanita paruh baya itu duduk di sampingku, dan menatapku dengan mata berair. "Ibuk nggak nyangka bisa nemenin Mbak Maya sampai mau dipinang pria." Linangan air mata keluar darinya. Ia berkali-kali mengusap lelehan itu, tetapi matanya tak berhenti mengucur.Aku tersentuh. Segera kutaruh cangkir susuku di meja kecil di depan kami, lalu menggenggam tangan Bu Yati. “Bu, jangan nangis dong. Nanti aku ikut nangis.”Bu Yati tersenyum sambil mengendus pelan. “Dari dulu Ibuk cuma pengen lihat Mbak bahagia lagi. Setelah semua yang Mbak lewati, Ibuk cuma bisa doakan semoga ada laki-laki baik yang bisa terima Mbak dan Bimo tanpa syarat. Dan te
Hari-hari berikutnya tetap sama, setidaknya secara profesional. Kami tetap menjalankan tugas seperti biasa, menyusun strategi, meeting dengan klien, dan membalas email-email tak ada habisnya. Ada yang berbeda pada perasaanku, saat aku menoleh dan mendapati tatapan Tristan menelusuri wajahku diam-diam. Atau saat kami saling bertukar pesan singkat yang manis tanpa seorang pun tahu.Yang istimewa? Dia semakin sering mengajakku makan siang dan makan malam bersama. Dan tentu saja, selalu di restoran mewah yang suasananya hangat dan temaram, tempat yang membuatku merasa seperti tokoh utama di film romansa. Gunjingan para karyawan sudah mereda, akhir-akhir ini digantikan oleh pertanyaan."Kapan kamu akan menerima perasaan Pak Tristan?""Enak banget ya jadi kamu, dikejar CEO perusahaan bonafit seperti Panthelis.""Sejujurnya aku pernah benci sama kamu, May. Hidupmu enak banget.""Ternyata kamu tidak seperti yang digosipkan ya? Aku suka deh, ternyata masih ada perempuan bener di tengah viralny
Langkah berat itu semakin mendekat. Aku buru-buru menyibukkan diri dengan mengaduk kopi yang sudah lama tak butuh diaduk. Paulo menyingkir ke samping, memasang wajah nakal seperti biasa.Tristan muncul di ambang pintu pantry, mengenakan setelan abu-abu yang pas badan, rambutnya sedikit berantakan seperti baru tertiup angin luar. Wajahnya datar, seperti biasa, tapi matanya langsung menemukan aku. Sejenak, waktu rasanya melambat.“Selamat pagi,” ucapnya singkat, lalu menoleh ke Paulo. “Bisa minta waktu sebentar, Paulo?”“Wah, sudah kuduga. Saya cuma figuran di drama kalian,” celetuk Paulo sebelum menghilang ke balik pintu dengan senyum menyeringai.Aku nyaris tertawa kalau saja jantungku tak berdebar kencang.Tristan melangkah masuk, lalu berhenti di depanku. Ada jeda sesaat sebelum ia bicara.“Maya.” Suaranya tenang tapi tegas. “Setelah kamu selesai bikin kopi, langsung ke ruanganku. Aku mau kamu laporkan pekerjaan kantor selama aku pergi.”Nada suaranya terdengar profesional. Tak ada