Share

52

Aвтор: Dentik
last update Последнее обновление: 2025-03-22 20:06:48

"Ya. Aku sempat berbincang dengannya. Tidak." Tristan menggeleng kepalanya sebentar, tangannya memijat pelipisnya pelan. "Lebih tepatnya dia yang berbicara, sedangkan aku hanya diam."

Entah apa yang diucapkan Bu Ayu.

"Dia mengatakan semuanya, termasuk hubungan-" ucapan CEO-ku itu belum selesai. Dia seperti sengaja memotong karena ada aku dan Paulo.

"Lanjut nanti saja, Ma. Sekarang aku masih di mobil... Oke... Mama juga jaga kesehatan."

Pria itu segera meletakkan ponselnya dan menghela panjang.

Paulo dan aku saling melirik, mencoba menebak isi percakapan itu. Namun, dari ekspresi Tristan yang semakin mengeras, jelas ada yang mengganggunya.

Aku ragu untuk bertanya, tetapi suasana di dalam mobil terasa begitu tegang. Diam saja pun rasanya tak nyaman.

"Apa terjadi sesuatu, Pak?" tanyaku hati-hati.

Tristan menyandarkan kepala ke kursi. "Bukan urusan pekerjaan. Tak perlu kalian pikirkan."

Paulo mendecak pelan. "Astaga, selalu sok misterius. Bukankah lebih baik berbagi cerita, Darling? Siapa
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Заблокированная глава

Related chapter

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   53

    Tristan kembali berbicara, "Aku baru saja mengetahui kalau beberapa kontrak yang dibuat perusahaan kita dalam beberapa tahun terakhir tidak sepenuhnya bersih. Ada indikasi suap, mark-up harga, dan yang lebih parah… beberapa proyek itu melibatkan perusahaan yang punya rekam jejak buruk."Aku terkejut. Apa sindikat Bu Ratna sebegitu berbahayanya sampai menjadi rumit begini?"Tapi… perusahaan kita seharusnya punya tim legal yang memastikan semuanya berjalan sesuai aturan, bukan?" tanyaku hati-hati.Ekspresi Tristan mengeras. "Bu Ratna selama ini punya akses besar ke banyak dokumen penting. Banyak dokumen yang kutinjau menunjukkan kejanggalan."Aku mencoba mencerna informasi itu. "Jadi, maksud Bapak, kemungkinan skandal ini lebih besar dari yang kita kira?""Bukan kemungkinan, Maya." Tristan menatapku dalam-dalam. "Aku hampir yakin ini lebih besar. Dan karena kamu adalah sekretarisku, aku ingin kamu berhati-hati. Jangan mudah percaya pada siapa pun, termasuk orang-orang yang mungkin terli

    Последнее обновление : 2025-03-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   54

    Ruangan menjadi hening setelah ucapan Tristan. Alain tampak berusaha mempertahankan ekspresi percaya diri, tetapi jelas ada keresahan yang mulai terlihat dari cara dia menggenggam pena di tangannya.Aku melirik karyawan lain yang ada di ruangan. Beberapa dari mereka tampak gelisah, ada yang menundukkan kepala, ada pula yang menatap Alain seolah menunggu bagaimana dia akan menangani situasi ini."Penyesuaian seperti apa tepatnya?" Tristan mengulang pertanyaannya, nada suaranya tetap dingin dan tajam.Alain akhirnya berdeham pelan. "Tuan Tristan, seperti yang Anda tahu, pasar di Prancis memiliki dinamika yang berbeda dibandingkan dengan cabang utama. Kami harus melakukan beberapa perubahan untuk tetap kompetitif."Tristan menyipitkan matanya. "Itu tidak menjelaskan mengapa ada transaksi yang tidak tercatat di sistem pusat. Atau lebih tepatnya... ada transaksi yang sengaja tidak dimasukkan?"Suasana di ruangan semakin tegang. Beberapa orang mulai saling berbisik, tetapi Alain tetap berus

    Последнее обновление : 2025-03-23
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   55

    Tristan melangkah lebih dekat dan menatapku dengan serius. “Boleh?” tanyanya, menunjuk ujung hijabku.Rasanya sangat gugup, tetapi aku mengangguk pelan. Tristan dengan lembut menyentuh kain satin itu, merapikannya sedikit di sisi kanan. Jemarinya hanya menyentuh kain, tapi entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat.Bagaimana bisa seorang Bos mendandani sekretarisnya? Biasanya sekretarislah yang merapikan pakaian bosnya agar sempurna! Astaga, apa ini sebuah kesalahan?“Begini lebih bagus,” katanya setelah beberapa saat. “Jangan terlalu dipikirkan. Kau sudah terlihat menawan.”Aku menatap pantulan diriku di cermin. Dengan sedikit perubahan yang Tristan buat, hijabku memang terlihat lebih natural dan pas dengan bentuk wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Pak. Kalau begitu. Kita berangkat sekarang?”Tristan mengangguk, mundur selangkah, dan memberi isyarat agar aku berjalan lebih dulu. “Ayo.”~Pesta ini jauh lebih mewah dari yang kubayangkan. Begi

    Последнее обновление : 2025-03-23
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   56

    Keesokan harinya, presentasi Tristan berjalan dengan sangat baik. Selama presentasi, aku ada di sampingnya, memastikan dokumen dan data yang dibutuhkan tersedia. Aku juga sempat menjelaskan beberapa detail mengenai strategi operasional perusahaan dengan lancar, membuat Jacques Moreau dan timnya terkesan.Setelah pertemuan selesai, Jacques Moreau menjabat tanganku dan berkata dengan senyum kecil, "Mademoiselle Maya, Anda sangat cekatan dan profesional. Monsieur Tristan beruntung memiliki sekretaris seperti Anda."Aku tersenyum sopan, sedikit terkejut dengan pujiannya. "Terima kasih, Monsieur Moreau. Saya hanya melakukan tugas saya sebaik mungkin."Tristan yang berdiri di sampingku melirik sekilas, lalu menimpali dengan nada santai, "Saya juga berpikir begitu."Kupikir ia bercanda, tapi ekspresinya tetap tenang seperti biasa. Saat kami kembali ke hotel, ia tiba-tiba menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua kepadaku. "Ini untukmu," katanya singkat.Aku mengerutkan kening, bingun

    Последнее обновление : 2025-03-24
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   57

    Mobil melaju dengan tenang melewati jalanan Paris yang mulai lengang, tapi suasana di dalam mobil justru terasa menegang. Aku duduk di sebelah Tristan di kursi penumpang, sementara Paulo duduk di belakang, memilih diam sejak tadi.Aku melirik Tristan yang masih fokus menyetir, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam menatap ke depan.Aku tahu dia marah.Sebenarnya, aku ingin berbicara, tapi entah kenapa rasanya seperti ada batu besar yang mengganjal di tenggorokanku.Hening beberapa menit, lalu Tristan akhirnya buka suara."Maya, apa yang kamu pikirkan?" suaranya terdengar dalam dan tajam.Aku menggigit bibir. "Saya hanya… Paulo ingin menunjukkan butik bagus. Saya tidak berpikir itu akan menjadi masalah besar."Tristan menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk setir dengan ritme yang menunjukkan kekesalannya. "Tidak berpikir? Maya, ini Paris, bukan rumahmu. Kota ini punya banyak sisi gelap. Kamu bisa saja dalam bahaya, dan aku tidak tahu apa-apa soal itu. Padahal aku sudah mem

    Последнее обновление : 2025-03-24
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   58

    "Menarik," ucapnya lirih. Pria itu segera berbalik dan menlanjutkan langkahnya. Aku menarik napas dalam, karena selama Tristan bicara, tanpa sadar aku menahan napas!Begitu aku melangkah masuk ke dalam château, aroma khas kayu tua dan anggur yang difermentasi memenuhi udara. Interiornya klasik dan elegan, dengan lampu gantung kristal yang menggantung di langit-langit tinggi dan perabotan antik yang tertata rapi. Rasanya seperti memasuki dunia lain, dunia yang jauh dari hiruk-pikuk Paris dan kantor.Tristan berjalan di depanku, sesekali menoleh seakan memastikan aku mengikutinya. Kami dibawa ke ruang duduk yang nyaman, dengan jendela besar yang langsung menghadap kebun anggur yang membentang luas. Pierre menawari kami segelas anggur putih, tapi aku dengan sopan menolak dan memilih air mineral."Tidak minum alkohol?" tanya Tritan sebelum menyesap anggurnya dengan santai.Aku menggeleng. "Aku tidak terbiasa. Lagipula, aku lebih suka jus atau teh."Tristan mengangguk pelan, lalu menyandar

    Последнее обновление : 2025-03-25
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   59

    Setelah perjalanan yang cukup panjang, kami akhirnya tiba di Montmartre, sebuah distrik artistik di Paris yang dipenuhi kafe-kafe kecil, seniman jalanan, dan jalanan berbatu yang penuh sejarah."Montmartre ini punya suasana yang berbeda dengan tempat lain di Paris," kataku sambil memandang sekeliling.Tristan, yang berjalan di sampingku, mengangguk kecil. "Kamu tahu? Dulu, tempat ini adalah rumah bagi banyak pelukis terkenal. Picasso, Van Gogh, mereka pernah tinggal dan berkarya di sini."Aku tersenyum. "Pak Tristan terdengar seperti pemandu wisata profesional."Tristan tertawa kecil. "Kalau di Prancir, Aku memang sering ke sini setiap kali punya waktu luang. Ada Banyak hal menenangkan di tempat ini."Kami berjalan perlahan, menikmati atmosfer yang tenang. Beberapa seniman sedang melukis di sudut-sudut jalan, dan turis-turis berkerumun di depan toko-toko seni kecil."Mau masuk ke galeri itu?" Tristan menunjuk sebuah toko kecil dengan lukisan warna-warni di jendela.Aku mengangguk antu

    Последнее обновление : 2025-03-25
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   60

    "Bimo habis tantrum hebat, Mbak. Bu ayu sampai kewalahan."Astaga, hatiku benar-benar terenyuh mendengarnya. Perasaan bersalah mulai menggerogoti hatiku. Apalagi, orang yang tak memiliki hubungan apapun denganku sampai merawat putraku dan kewalahan saat aku di luar negeri."Terus gimana, Bu?""I-itu, Mbak..." Suara wanita itu terbata-bata. Sebenarnya apa yang ingin ia katakan?"Gimana, Bu?" tanyaku lagi. Aku tak sabar jika diulur-ulur seperti ini."T-tadi saya terpaksa pakai obatnya. Terus Bu Ayu marah besar."Aku langsung mendekat mulutku. Astaga! "Aku terpaksa pakainya, Mbak. Tadi Bimo benar-benar sulit dikendalikan. Sekarang gimana, Mbak? Saya takut banget," sesal Bu Yati di seberang telepon.Kugigit bibir bawahku. akhirnya rahasia yang berusaha aku sembunyikan terbongkar. Namun, aku tidak bisa menyalahkan, terkadang keadaan Bimo memang tak bisa di kontrol. Alasan kenapa aku memakai obat pun, karena saat ini, itulah jalan terbaik agar Bimo aman. Sayangnya cara ini belum legal di I

    Последнее обновление : 2025-03-25

Latest chapter

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   84

    Hari ini suasana terasa tenang. Aku sedang menyisir rambut Bimo setelah mandi, mencoba membiasakan diri dengan rutinitas baru tanpa pekerjaan kantoran. Meski hati masih sesak, aku mulai belajar untuk mencintai kesunyian ini, sunyi yang tak lagi dipenuhi tekanan dan penghakiman.Namun, suara mobil berhenti di halaman depan membuat langkahku terhenti. Dari balik jendela, kulihat Kenzo turun dari mobilnya sambil membawa map cokelat di tangan. Wajahnya terlihat serius. Ada sesuatu yang tidak biasa dari raut wajahnya hari ini.Aku segera membuka pintu sebelum Bu Yati sempat bergerak dari dapur."Zo?" tanyaku pelan.Kenzo mengangguk, menyerahkan map itu ke tanganku. “Ini dari kantor. Akhirnya, HRD sudah ACC surat resign kamu, May. Ternyata sebelumnya CEO menganggapmu cuti.”Tanganku gemetar saat menerima map itu. Segalanya mendadak terasa nyata. Aku benar-benar sudah bukan siapa-siapa lagi di tempat itu. “Cepet banget, ya…” gumamku pelan.Kenzo diam sejenak, lalu menatapku dalam. “Ada satu

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   83

    Keesokan paginya, cahaya matahari mengintip pelan lewat celah tirai. Namun, aku tetap bergeming di ranjang, meringkuk membelakangi dunia. Selimut tebal menutupi tubuhku, tapi tak mampu menghangatkan luka di hati yang masih terasa segar, seperti baru saja dicabik.Aku tak keluar kamar sejak semalam. Hanya Sinta yang sesekali masuk membawakan makanan atau sekadar menyisir rambutku yang mulai kusut. Bu Yati juga tak pernah jauh dari pintu kamarku, menunggu kalau-kalau aku butuh sesuatu. Akan tetapi aku tetap diam. Aku belum sanggup.Di luar kamar, kudengar suara Bimo bermain dengan Bu Yati. Tawa kecilnya sesekali menyusup ke dalam, dan setiap kali itu terjadi, hatiku kembali teriris.Aku ibu kandungnya, tapi malah dipertanyakan kelayakanku. Dianggap tak mampu, dianggap tak waras. Bu Ayu tak hanya menginjak harga diriku sebagai perempuan, tapi juga sebagai seorang ibu.Sinta masuk dengan langkah pelan, membawa nampan kecil berisi bubur dan segelas susu hangat.“May… kamu belum makan dari

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   82

    Sesampainya di rumah, Bu Yati membukakan pintu utama dengan semringah. Namun, saat melihat keadaanku yang menggendong Bimo, lengkungan di bibirnya langsung musnah. Matanya melebar."Ya allah, Mbak," pekiknya mengambil alih Bimo. Sedangkan aku masuk ke rumah dan langsung ambruk di tengah ruangan. Air mataku tak bisa tertahan. Hatiku masih tertusuk seribu pisau. Bu yati segera membaringkan Bimo ke kamar, dan mendekatiku."Mbak..." panggilnya pelan sembari mengusap sedikit lenganku. Aku mendongak, tanpa banyak bicara ia mendekapku."Bu Ayu nggak restuin aku, Bu. Dia hanya mau Bimo." Aku terisak tak karuan. "Bu Ayu mau ngerampas Bimo darii aku Bu. Katanya aku ibu yang egois!"Tangisku meledak di pelukan Bu Yati. Tubuhku bergetar hebat, seperti baru saja dihantam badai yang tak kasat mata. Suara isakanku memenuhi ruang tamu kecil yang biasanya hangat dan penuh tawa Bimo. Kini, semua terasa hampa.Bu Yati mengelus kepalaku lembut, seakan mencoba meredakan gemuruh dalam dadaku. “Astaghfirul

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   81

    "Ya! Aku ingin mengadopsi Bimo, Maya! Aku hanya membutuhkan Bimo, bukan kamu!” suara Bu Ayu menggema di ruang makan yang mewah tapi terasa sempit seketika.Dunia seakan berhenti. Mataku terbelalak, tak percaya kata-kata itu benar-benar keluar dari mulut seorang ibu yang tadinya tampak lembut saat menyambut kami. Tanganku refleks memeluk Bimo yang masih duduk di sampingku, tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia hanya melirik ke arahku dengan ekspresi datar, lalu kembali menunduk memainkan ujung sendok.“Ma, cukup!” Tristan berdiri, suaranya keras. “Mama nggak bisa ngomong gitu sama Maya!”Tapi Bu Ayu tetap berdiri dengan tegak, tatapannya menusuk ke arahku. “Aku bicara berdasarkan kenyataan. Maya, kamu ibu tunggal. Hidupmu berat. Kamu harus kerja, harus menghadapi dunia yang nggak pernah adil, dan di saat yang sama kamu mengurus anak autis sendirian. Kamu pikir kamu akan kuat terus sampai Bimo dewasa nanti?”Tubuhku gemetar. Ujung jariku mencengkeram kuat lengan Bimo, seolah aku haru

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   80

    Sesampainya di rumah Tristan yang sudah sering kukunjungi. Beberapa pelayan sudah berjaga di depan. Seperti biasa, mereka menyambut tuan rumah dengan sangat hangat."Selamat datang, Tuan Muda. Nyonya dan Tuan sudah menunggu di meja makan," ucap salah satu pelayan, saat kami berdua sudah menapakkan kaki ke lantai.Tristan menoleh ke arahku, sembari tersenyum manis. "Ayo." Dia melirik lengannya yang siap menjadi penompangku. Tengan gemetar, aku menuruti kodenya. Kekasihku ini sangat manis. Dia bahkan rela menyejajarkan langkahnya, agar aku tidak tergesa-gesa saat melangkah."Relaks, Sayang. Percaya sama aku. Semua akan baik-baik saja. Oke?"Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman.Kami melangkah masuk ke ruang makan, dan aroma sedap dari hidangan rumahan segera menyambut. Meja makan panjang itu sudah tertata rapi dengan beberapa lauk khas yang tampaknya dimasak sendiri oleh juru masak pribadi keluarga Kusuma. Di ujung meja, Bu Ayu duduk dengan anggun, mengenakan kebaya modern warna

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   79

    Dia menghela napas panjang, lalu berjalan ke meja kerjanya dan duduk tepat di depanku. “Aku baru mau menyampaikan pada Mama kalau aku serius sama seseorang. Tapi Mama mau mengundangmu makan malam. Jadi kupikir kita ngomong berdua saja malam ini. Bagaimana?"Tanganku lemas mendengar ucapannya. Aku hanya bisa menatapnya tanpa kata-kata, jantungku berdegup tidak karuan.Tristan menatapku, menunggu. Sorot matanya serius, tapi juga penuh harap. “Kalau kamu belum siap, kita bisa tunggu waktu lain, May. Tapi menurutku... ini saat yang tepat.”Aku menunduk, mencoba mengatur napas yang terasa sesak. Jemariku mengepal di atas lutut. Tiba-tiba seluruh keberanian yang tadi kurasakan menguap begitu saja. Bayangan wajah Bu Ayu yang hangat tapi tegas, komentar-komentar orang tentang statusku, dan kekhawatiran soal Bimo, semua menari-nari dalam pikiranku.“Kalau nanti beliau kecewa? Kalau... beliau merasa aku nggak pantas untuk kamu?” suaraku nyaris tak terdengar. “Aku bukan siapa-siapa, Tris. Aku c

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   78

    Setiap waktu aku menatap cincin berlian yang tersemat di jari maniku. Ini seperti mimpi, dan tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Bahkan aku tidak menyadari seseorang memperhatikan setiap perubahan ekspresi."Mbak, hati-hati giginya kering, lho," celetuk Bu Yati yang menghidangkan susu hangat untukku. "Eh!" Aku sontak menutup mulutku dengan salah satu tangan.Wanita paruh baya itu duduk di sampingku, dan menatapku dengan mata berair. "Ibuk nggak nyangka bisa nemenin Mbak Maya sampai mau dipinang pria." Linangan air mata keluar darinya. Ia berkali-kali mengusap lelehan itu, tetapi matanya tak berhenti mengucur.Aku tersentuh. Segera kutaruh cangkir susuku di meja kecil di depan kami, lalu menggenggam tangan Bu Yati. “Bu, jangan nangis dong. Nanti aku ikut nangis.”Bu Yati tersenyum sambil mengendus pelan. “Dari dulu Ibuk cuma pengen lihat Mbak bahagia lagi. Setelah semua yang Mbak lewati, Ibuk cuma bisa doakan semoga ada laki-laki baik yang bisa terima Mbak dan Bimo tanpa syarat. Dan te

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   77

    Hari-hari berikutnya tetap sama, setidaknya secara profesional. Kami tetap menjalankan tugas seperti biasa, menyusun strategi, meeting dengan klien, dan membalas email-email tak ada habisnya. Ada yang berbeda pada perasaanku, saat aku menoleh dan mendapati tatapan Tristan menelusuri wajahku diam-diam. Atau saat kami saling bertukar pesan singkat yang manis tanpa seorang pun tahu.Yang istimewa? Dia semakin sering mengajakku makan siang dan makan malam bersama. Dan tentu saja, selalu di restoran mewah yang suasananya hangat dan temaram, tempat yang membuatku merasa seperti tokoh utama di film romansa. Gunjingan para karyawan sudah mereda, akhir-akhir ini digantikan oleh pertanyaan."Kapan kamu akan menerima perasaan Pak Tristan?""Enak banget ya jadi kamu, dikejar CEO perusahaan bonafit seperti Panthelis.""Sejujurnya aku pernah benci sama kamu, May. Hidupmu enak banget.""Ternyata kamu tidak seperti yang digosipkan ya? Aku suka deh, ternyata masih ada perempuan bener di tengah viralny

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   76

    Langkah berat itu semakin mendekat. Aku buru-buru menyibukkan diri dengan mengaduk kopi yang sudah lama tak butuh diaduk. Paulo menyingkir ke samping, memasang wajah nakal seperti biasa.Tristan muncul di ambang pintu pantry, mengenakan setelan abu-abu yang pas badan, rambutnya sedikit berantakan seperti baru tertiup angin luar. Wajahnya datar, seperti biasa, tapi matanya langsung menemukan aku. Sejenak, waktu rasanya melambat.“Selamat pagi,” ucapnya singkat, lalu menoleh ke Paulo. “Bisa minta waktu sebentar, Paulo?”“Wah, sudah kuduga. Saya cuma figuran di drama kalian,” celetuk Paulo sebelum menghilang ke balik pintu dengan senyum menyeringai.Aku nyaris tertawa kalau saja jantungku tak berdebar kencang.Tristan melangkah masuk, lalu berhenti di depanku. Ada jeda sesaat sebelum ia bicara.“Maya.” Suaranya tenang tapi tegas. “Setelah kamu selesai bikin kopi, langsung ke ruanganku. Aku mau kamu laporkan pekerjaan kantor selama aku pergi.”Nada suaranya terdengar profesional. Tak ada

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status