Pria itu tidak menjawab pertanyaanku. Dia langsung melengos meninggalkanku begitu saja. aku dibuat terperangah dengan sikapnya yang tak acuh tersebut. Kuggigit bibir, menekan rasa kesal yang mulai menguar dalam dadaku. Pria itu, dengan wajah datar dan sikap dinginnya, berjalan begitu saja tanpa menunggu."Kita ngobrol di ruanganku," ucapnya tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.Aku hanya bisa menghela napas, mencoba mengatur langkah agar tidak tertinggal jauh. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku, seukuran butiran jagung. Ruangan kantor yang seharusnya terasa sejuk malah terasa menyesakkan.Langkahnya lebar dan cepat, seolah dia ingin segera menyelesaikan pembicaraan ini. Aku bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara, membuat tengkukku meremang tanpa sebab.Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, kami sampai di ruangannya. Dia membuka pintu dengan gerakan tegas, lalu berjalan masuk tanpa basa-basi. Aku mengikuti di belakangnya, jantungku berdegup tak karuan."M
Aku menekan pedal rem dengan mendadak, membuat Bimo yang duduk di kursi belakang sedikit tersentak. Jantungku berdebar kencang saat melihat mobil besar di depanku menghalangi jalan, sementara di sisi kanan, sebuah sedan hitam berhenti sejajar dengan kendaraanku. Dari balik jendela yang terbuka, muncul wajah seseorang yang selama ini berusaha kuhindari. "Maya keluar! Aku harus berbicara penting denganmu! Jangan cuekin aku!" suara David terdengar jelas, meskipun bising lalu lintas masih samar-samar terdengar di kejauhan. Tanganku mencengkeram setir erat, napasku memburu. Aku melirik ke kaca spion, berharap ada celah untuk kabur, tapi harapanku pupus seketika. Di belakang, sebuah SUV hitam dengan kaca gelap menutup akses mundur. Aku benar-benar terkepung. Bimo, yang sejak tadi diam, mulai menggeliat di kursinya. "Mama...?" panggilnya dengan suara kecil. Aku menoleh ke belakang, mencoba tersenyum meski hatiku diliputi ketakutan. "Tidak apa-apa, sayang. Tunggu sebentar, ya," ucapku
David tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapku sejenak, lalu menghela napas panjang sebelum melirik ke arah pelayan. Pekerja restaurant ini masuk dengan membawa nampan berisi berbagai hidangan mewah. Aroma sedap mulai memenuhi ruangan, menggelitik hidung dan perutku yang sejak tadi belum terisi. Namun, aku menepis keinginan untuk duduk dan tetap berdiri dengan kaku, menatapnya penuh selidik. “Duduklah dulu,” katanya, gestur tangannya mengarah ke kursi di seberang tempatnya duduk. Aku menggeleng. “Tidak sebelum kamu menjawab pertanyaanku, David. Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.” Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya seolah tengah mengumpulkan kata-kata, lalu kembali menatapku dengan ekspresi lebih tenang. “Makan dulu, Maya. Aku janji, kita bicara setelah ini.” Aku mendengus pelan, ingin sekali membantah. Tapi saat menoleh ke samping, aku melihat Bimo yang sibuk memainkan mobil kecilnya dengan jemari mungilnya yang cekatan. Perutnya yang kecil sudah te
"Tapi... apa kamu pernah melihat dokumen soal kerjasama Panthelis dengan Aurum?" tanya mantan suamiku tanpa berkedip. Kami berdua dalam posisi yang tegang. Alisku sedikit mengerut saat ia mendadak mempertanyakan itu. Apa hubungannya fakta hasil lab Tristan yang positif Narkoba dengan kerja sama Aurum Global Inc? Namun, sebelum berpikir lebih jauh aku memilih untuk menggelengkan kepala. Rasanya aku familiar dengan nama perusahaan tersebut. Tapi di mana?David mengamati setiap gerak-gerikku dengan tajam, seolah menanti reaksiku. Aku mencoba mengingat-ingat, mengulang di kepala apakah aku pernah mendengar nama "Aurum Global Inc." sebelumnya. Lalu, samar-samar aku ingat. Sebuah artikel berita yang kubaca beberapa hari lalu. Nama perusahaan itu juga ada di dalam map proyek Panthelis Corp dengan Garnett Holdings, dimana ada skandal pencucian yang dilakukan Bu Ratna. Dan semua itu baru terbongkar hari ini.Saat mencari info di internet, Aurum Global Inc. disebut-sebut sebagai perusahaan
Keesokan paginya, aku dihadang Kenzo saat di parkiran kantor. Setelah memakai blazer dan merapikan kerudung, ku ambil tas dan menutup pintu mobil sepelan mungkin agar tidak mengejutkan putraku."May!" panggilnya lirih. Aku hanya melirik sekilas tanpa menghentikan gerakanku. Tanganku sigap mengulurkan tangan ke Bimo yang masih sibuk memainkan tali ranselnya. Kenzo melangkah lebih dekat, suaranya semakin merendah."Kudengar, Bu Ratna sedang ditahan. Iya kah?" dia berbicara dengan suara yang sangat lirih.Aku menoleh sekilas, menimbang apakah aku harus menjawabnya atau tidak. Tapi melihat ekspresi serius di wajahnya, aku akhirnya mengangguk. "Ya.""Astaga. Masalah apa ay? Penggelapan dana?"Alisku sontak mengerut memandangnya penuh selidik. "Kamu kok tau? Kamu sekongkol ya-""Astaghfirullahaladzim! Enggak, ya! Jangan asal ngomong kamu." Kenzo mengelus dadanya sembari menggeleng tipis.Aku menyipitkan mataku sedikit. "Terus, kamu kok bisa bilang penggelapan dana?"Mata pria itu melotot ke
"Selama menyelidiki kerja sama dengan Garnett Holdings, aku menemukan fotomu sedang berjabat tangan dengan Leonard Garnett.""What?!" pekik Kenzo sampai rokok nya terjatuh. Aku langsung menunjuk jari telunjuk ke depan bibir, mengintruksinya agar diam."Ada tanda tangan basah di salah satu dokumen. Jadi, Pak Kenzo sempat mencurigaimu."Mulut Kenzo terbuka, tetapi langsung kusela,"Biarkan aku menjelaskannya sampai selesai."Pria itu pun menghela napasnya. " Fotonya terlalu banyak, aku sampai tak percaya. Dan Pak Tristan minta aku buat mata-matai kamu. Semua kecurigaan itu mengarah ke kamu, Zo. Jadi aku pun tak bisa menyangkal dan menuruti perintahnya. Terus ada beberapa transaksi yang ditemukan auditor mengarah ke rekening seseorang dengan inisial sama seperti namamu."Kenzo menegang. "Dan lo mikir itu gue?"Aku menatapnya dalam diam, menilai ekspresinya. "Gue nggak tahu. Tapi gue tahu satu hal, Zo. Nama lo keseret, dan kalau aku nggak g
Namun, saat mataku menangkap sosok pria jangkung dengan setelan navy blue yang berdiri di dekat bar, aku tahu ini akan menjadi malam yang panjang. Tristan sedang menatap lurus ke arahku!Astaga, kenapa dadaku berdebar seperti ini!"Akhirnya datang juga. Ke ruang makan sekarang," ajak Pak Tristan dengan dingin. Aku mengangguk sejenak kemudian mengokirnya dari belakang. Saat memasuki rumah ini, aku tak melihat ada tamu lain. Hanya beberapa pelayan yang lalu lalang. "Pak, di mana tamu lain?" tanyaku pelan."Tidak ada. Hanya kamu dan Bimo yang diundang Mama untuk makan malam."Aku cukup terkejut mendengar ucapan CEO-ku tersebut. Setelah seharian membebaniku dengan pekerjaan, sebagai sekretarisnya batinku jadi bertanya, apakah lumrah seorang sekretaris diajak makan malam bersama keluarga atasan?Aku menelan ludah, mencoba memahami situasi ini. Jadi, ini bukan sekadar makan malam perusahaan, melainkan undangan pribadi dari ibunya Tristan? Tapi kenapa? Ketika kami tiba di ruang makan, su
"Tidak," jawab Pak Kusuma datar.Salah satu alis Tristan terangkat. "Yakin? Kenapa dari tadi mencuri pandang ke arah sekretarisku?"Pertanyaan Trsitan membuatku keringat dingin. Aku menjadi topik pembicaraan di antara anak dan ayahnya. Ini membuatku tidak nyaman.Pak Kusuma tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapku sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke Tristan. Ekspresinya tetap sama, dingin, penuh perhitungan, seolah sedang menimbang alasan di dalam pikirannya. Aku menggigit bibir, mencoba tetap tenang. Tapi tangan yang kugenggam di pangkuan mulai terasa dingin. "Jadi?" Tristan mengulang pertanyaannya, entah kenapa pertanyaannya mengandung tantangan halus. Pak Kusuma akhirnya bersuara. "Aku hanya penasaran." "Penasaran soal apa?" Tristan bertanya lagi, kali ini sembari melipat tangannya di atas meja. Pak Kusuma menyesap sedikit minuman jahenya yang baru saja dihidangkan oleh pelayan, kemudian meletakkan gelas itu kembali dengan gerakan perlahan. Itu adalah gelas ke
"Kamu fokus pada perawatanmu. Aku akan menyelesaikan masalah ini. Jangan kemana-mana." Tristan segera keluar."Perketat penjagaan di sini! Aku tidak mau masalah semakin besar." Dia berkata pada salah satu orang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Penampilannya yang sangat macho membuat bulu kudukku berdiri."Yes, Sir!"Pria itu masuk, dan diikuti beberapa orang yang lain. Kemudian seorang perempuan masuk dan berkata, "Saya yang akan merawat Nona, selama rehabilitasi.""B-baik. Mohon bantuannya."Saat ini hanya ini lah yang bisa kulakukan. Kuharap dengan menerima semua keputusan CEO-ku dan berdiam diri di rumah sakit sampai detoksifikasi selesai, bisa meringankan beban Tristan.Hari-hari berlalu dengan perlahan di rumah sakit. Tubuhku masih terasa lemah, tetapi setidaknya aku sudah bisa duduk tanpa merasa pusing. Perawat yang ditugaskan untuk menjagaku, seorang wanita bernama Agnes, cukup perhatian dan cekatan dalam merawatku.
Kami semakin menjauh dari hiruk pikuk keramaian. aku ingin sekali berteriak, tetapi Gabriel langsung membekap mulutku."Diam! Aku hanya akan bicara baik-baik denganmu. Jangan bikin masalah," hardiknya dengan ekspresi bengis.Aku ingin sekali menangis, karena mendapatkan perlakuan kasar dari orang yang pertama kali aku temui. Gabriel yang mengaku sebagai perwakiran Aurum Global Inc menatapku dengan gahar.Aku berusaha meronta, tetapi cengkeramannya terlalu kuat. Napasku memburu, dadaku sesak oleh ketakutan. Gabriel menarikku ke lorong sempit di belakang gedung pesta, jauh dari pandangan orang lain."Jangan buat ini lebih sulit," desisnya. Matanya menyiratkan bahaya.Aku menggigit bibirku, menelan ketakutan yang melilit. "Apa maumu?" tanyaku dengan suara bergetar. Gabriel mengendurkan cengkeramannya sedikit, tetapi tetap waspada. "Aku perlu bicara. Tanpa gangguan, tanpa drama." Aku menatapnya tajam.
"Maksudmu?" Aku meliriknya sinis."Enakkan, modal goda CEO bisa melencong ke Eropa," bisik perempuan itu tajam. Aku mendadak menegang. Rasanya ingin menyiram kopi panas ini ke wajah perempuan yang baru saja bicara. Namun, aku masih punya harga diri dan akal sehat.Aku menoleh perlahan, menatapnya dengan tatapan dingin. "Maaf, aku kurang paham maksudmu," kataku datar.Perempuan itu menyeringai, lalu bersandar di meja pantry. "Oh, ayolah, Maya. Kami semua di sini tahu bagaimana kamu bisa sampai ke New York. Bukan karena kerja keras, kan?" Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan emosi. "Jadi menurutmu aku ada di sini karena apa?" Dia terkekeh sinis. "Yah, kamu cukup cantik dan punya pesona sendiri, apalagi kalau sampai bisa dekat dengan CEO. Kami hanya bertanya-tanya, berapa banyak hal lain yang harus kamu lakukan untuk mendapatkan posisi ini?"Darahku mendidih. Aku ingin membalas, tapi sebuah suara lain tiba-tiba terdengar dari belakang. "Kalau kalian punya waktu untuk gosip muraha
"Bimo habis tantrum hebat, Mbak. Bu ayu sampai kewalahan."Astaga, hatiku benar-benar terenyuh mendengarnya. Perasaan bersalah mulai menggerogoti hatiku. Apalagi, orang yang tak memiliki hubungan apapun denganku sampai merawat putraku dan kewalahan saat aku di luar negeri."Terus gimana, Bu?""I-itu, Mbak..." Suara wanita itu terbata-bata. Sebenarnya apa yang ingin ia katakan?"Gimana, Bu?" tanyaku lagi. Aku tak sabar jika diulur-ulur seperti ini."T-tadi saya terpaksa pakai obatnya. Terus Bu Ayu marah besar."Aku langsung mendekat mulutku. Astaga! "Aku terpaksa pakainya, Mbak. Tadi Bimo benar-benar sulit dikendalikan. Sekarang gimana, Mbak? Saya takut banget," sesal Bu Yati di seberang telepon.Kugigit bibir bawahku. akhirnya rahasia yang berusaha aku sembunyikan terbongkar. Namun, aku tidak bisa menyalahkan, terkadang keadaan Bimo memang tak bisa di kontrol. Alasan kenapa aku memakai obat pun, karena saat ini, itulah jalan terbaik agar Bimo aman. Sayangnya cara ini belum legal di I
Setelah perjalanan yang cukup panjang, kami akhirnya tiba di Montmartre, sebuah distrik artistik di Paris yang dipenuhi kafe-kafe kecil, seniman jalanan, dan jalanan berbatu yang penuh sejarah."Montmartre ini punya suasana yang berbeda dengan tempat lain di Paris," kataku sambil memandang sekeliling.Tristan, yang berjalan di sampingku, mengangguk kecil. "Kamu tahu? Dulu, tempat ini adalah rumah bagi banyak pelukis terkenal. Picasso, Van Gogh, mereka pernah tinggal dan berkarya di sini."Aku tersenyum. "Pak Tristan terdengar seperti pemandu wisata profesional."Tristan tertawa kecil. "Kalau di Prancir, Aku memang sering ke sini setiap kali punya waktu luang. Ada Banyak hal menenangkan di tempat ini."Kami berjalan perlahan, menikmati atmosfer yang tenang. Beberapa seniman sedang melukis di sudut-sudut jalan, dan turis-turis berkerumun di depan toko-toko seni kecil."Mau masuk ke galeri itu?" Tristan menunjuk sebuah toko kecil dengan lukisan warna-warni di jendela.Aku mengangguk antu
"Menarik," ucapnya lirih. Pria itu segera berbalik dan menlanjutkan langkahnya. Aku menarik napas dalam, karena selama Tristan bicara, tanpa sadar aku menahan napas!Begitu aku melangkah masuk ke dalam château, aroma khas kayu tua dan anggur yang difermentasi memenuhi udara. Interiornya klasik dan elegan, dengan lampu gantung kristal yang menggantung di langit-langit tinggi dan perabotan antik yang tertata rapi. Rasanya seperti memasuki dunia lain, dunia yang jauh dari hiruk-pikuk Paris dan kantor.Tristan berjalan di depanku, sesekali menoleh seakan memastikan aku mengikutinya. Kami dibawa ke ruang duduk yang nyaman, dengan jendela besar yang langsung menghadap kebun anggur yang membentang luas. Pierre menawari kami segelas anggur putih, tapi aku dengan sopan menolak dan memilih air mineral."Tidak minum alkohol?" tanya Tritan sebelum menyesap anggurnya dengan santai.Aku menggeleng. "Aku tidak terbiasa. Lagipula, aku lebih suka jus atau teh."Tristan mengangguk pelan, lalu menyandar
Mobil melaju dengan tenang melewati jalanan Paris yang mulai lengang, tapi suasana di dalam mobil justru terasa menegang. Aku duduk di sebelah Tristan di kursi penumpang, sementara Paulo duduk di belakang, memilih diam sejak tadi.Aku melirik Tristan yang masih fokus menyetir, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam menatap ke depan.Aku tahu dia marah.Sebenarnya, aku ingin berbicara, tapi entah kenapa rasanya seperti ada batu besar yang mengganjal di tenggorokanku.Hening beberapa menit, lalu Tristan akhirnya buka suara."Maya, apa yang kamu pikirkan?" suaranya terdengar dalam dan tajam.Aku menggigit bibir. "Saya hanya… Paulo ingin menunjukkan butik bagus. Saya tidak berpikir itu akan menjadi masalah besar."Tristan menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk setir dengan ritme yang menunjukkan kekesalannya. "Tidak berpikir? Maya, ini Paris, bukan rumahmu. Kota ini punya banyak sisi gelap. Kamu bisa saja dalam bahaya, dan aku tidak tahu apa-apa soal itu. Padahal aku sudah mem
Keesokan harinya, presentasi Tristan berjalan dengan sangat baik. Selama presentasi, aku ada di sampingnya, memastikan dokumen dan data yang dibutuhkan tersedia. Aku juga sempat menjelaskan beberapa detail mengenai strategi operasional perusahaan dengan lancar, membuat Jacques Moreau dan timnya terkesan.Setelah pertemuan selesai, Jacques Moreau menjabat tanganku dan berkata dengan senyum kecil, "Mademoiselle Maya, Anda sangat cekatan dan profesional. Monsieur Tristan beruntung memiliki sekretaris seperti Anda."Aku tersenyum sopan, sedikit terkejut dengan pujiannya. "Terima kasih, Monsieur Moreau. Saya hanya melakukan tugas saya sebaik mungkin."Tristan yang berdiri di sampingku melirik sekilas, lalu menimpali dengan nada santai, "Saya juga berpikir begitu."Kupikir ia bercanda, tapi ekspresinya tetap tenang seperti biasa. Saat kami kembali ke hotel, ia tiba-tiba menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua kepadaku. "Ini untukmu," katanya singkat.Aku mengerutkan kening, bingun
Tristan melangkah lebih dekat dan menatapku dengan serius. “Boleh?” tanyanya, menunjuk ujung hijabku.Rasanya sangat gugup, tetapi aku mengangguk pelan. Tristan dengan lembut menyentuh kain satin itu, merapikannya sedikit di sisi kanan. Jemarinya hanya menyentuh kain, tapi entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat.Bagaimana bisa seorang Bos mendandani sekretarisnya? Biasanya sekretarislah yang merapikan pakaian bosnya agar sempurna! Astaga, apa ini sebuah kesalahan?“Begini lebih bagus,” katanya setelah beberapa saat. “Jangan terlalu dipikirkan. Kau sudah terlihat menawan.”Aku menatap pantulan diriku di cermin. Dengan sedikit perubahan yang Tristan buat, hijabku memang terlihat lebih natural dan pas dengan bentuk wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Pak. Kalau begitu. Kita berangkat sekarang?”Tristan mengangguk, mundur selangkah, dan memberi isyarat agar aku berjalan lebih dulu. “Ayo.”~Pesta ini jauh lebih mewah dari yang kubayangkan. Begi