"Apa kamu mau mengganti bajumu?" tanya Dokter Reinhard sudah memakai kaos hitamnya, berjalan menghampiri Arika.
"I-iya," Arika tergagap.Berbeda dengan tampilan yang selalu rapih memakai kemeja, Dokter Reinhard terlihat sexy mengenakan kaos hitam seperti itu."Bajumu masih di koper, di dalam lemari," infonya menunjuk satu pintu lemari.Setelah mengambil gaun tidur berwarna ungu Arika pergi ke kamar mandi untuk berganti baju. Tidak lama dia kembali keluar dan berjalan menghampiri Dokter Reinhard yang sedang membaca buku di sebuah kursi empuk dengan bingkai kayu berwarna emas, dan memakai kaca mata bacanya."Dokter bisa anda membantu saya?" tanya Arika dengan tangan berada di balik punggungnya. Dokter Reinhard membuka dan meletakkan kacamata di atas buka yang tergeletak di meja."Oh, apa itu Arika?" tanya Dokter Reinhard berdiri."Aku tidak bisa menjangkau resleting gaunku," katanya masih berusaha menjangkau resleting dibalik punggungnya."Oke," Dokter Reinhard berdiri di belakang Arika sambil tersenyum. Sangat dekat hampir saling menempel satu sama lain."Oh tidak, aku salah meminta tolong!" seru Arika di dalam hatinya. "Tetapi memang hanya dia yang ada di rumah ini," sambungnya merasakan tangan Dokter Reinhard membawa turun resleting gaunnya ke bawah, tepat di atas bokongnya, ujung dari resleting itu.Napas hangat Dokter Reinhard bisa dia rasakan di tengkuknya, menyapu telinganya membuatnya menggeliat. Punggungnya yang terbuka terasa hangat karena tubuh bagian depan Dokter Reinhard tanpa cela menempel dengannya. Tangan Arika memegang gaun depannya agar tidak jatuh terbuka."Wangi tubuhmu begitu harum," desis Dokter Reinhard di telinga Arika."Ah gila...dia seperti bukan pertama kali bersama wanita," ujar Arika di dalam hatinya.Jari Dokter Reinhard menelusuri pundak Arika, lambat dan lembut. Dia merangkul Arika dari belakang. Sementara bibirnya mencium dan menghisap leher dan belakang telinga Arika. Tangan kanannya yang panjang menggantung ke depan, mencoba menyusup ke dalam baju yang tertahan tangan Arika."jangan aku mohon!" suara hati Arika, namun berbeda dengan respon tubuh menerimanya. Arika mendesah, kepalanya menengadah, terangkat ke atas. Tangannya yang ia usahakan untuk menekan sekuat tenaga bajunya di dada ternyata hanya ada dalam pikirannya, tangannya mengkhianatinya dan mengendur begitu saja. Tangan Reinhard sudah berada dalam gaunnya dan bermain di bukit kembar Arika yang kenyal.Dokter Reinhard melepas sepenuhnya gaun Arika membiarkannya jatuh ke lantai. Di hadapannya kini Arika hanya mengenakan pakain dalam nya yang berwarna putih. Dokter Reinhard membalik tubuh Arika menghadap ke arahnya lalu mendorong Arika ke tempat tidur.Malam itu pun di habiskan mereka bersama menuju puncak kenikmatan."Aahhh...a-ku...mohon...ah....hen-tikan!" pinta Arika dengan matanya yang kian sayu. Dia nampak kelelahan.Entah sudah berapa kali Arika mengeluarkan pelepasannya. Dia bahkan tidak dapat mengingat berapa kali sudah tubuhnya melengkung dan menegang di bawah kendali Dokter Rein. Namun pria itu seperti belum juga puas melampiaskan hasratnya yang terus menggebu-gebu."Ini bahkan belum sampai pertengahan sayang." jawab Dokter Rein merasakan kenikmatan tiada tara dalam diri Arika.Seluruh area sensitif Arika telah mati rasa. Hingga pelepasan terakhir Dokter Rein, Arika benar-benar sudah tak berdaya. Tubuhnya sudah sangat lelah menerima hujaman demi hujaman Dokter Rein.Pagi hari pun tiba..."Apakah aku membuatmu kelelahan semalam?" Tanya Dokter Reinhard mencium kening Arika yang masih tergolek lemas di atas tempat tidurnya.Arika mengernyit. Rasa nyeri berdenyut dia rasakan di pusat inti antara pangkal pahanya. Di hantam berkali-kali membuatnya lemah.Meskipun telah memohon untuk berhenti namun Dokter itu malah berkata,"Sayang, seharusnya kamu sudah tahu ini dari awal. Nggak apa-apa, lama-lama kamu pun akan terbiasa," jawabnya melancarkan aksinya kembali, menghunuskan adiknya ke tubuh Arika."Kamu istirahatlah. Biar aku yang membuatkan sarapan." Dia bangkit dari tidurnya, mengenakan pakaiannya dan berjalan ke luar kamar.Arika menangis menahan nyeri di sekujur tubuhnya."Percuma kalau aku menyesali keputusan ku sekarang. Ini bahkan baru hari pertama," batinnya dalam isak tangis, meringkuk memeluk lutut. "Mundur pun aku udah nggak bisa," tambahnya."Namun bagaimana dia masih bisa sesegar itu setelah melewati malam yang melelahkan?" pikir Arika merasa takjub, "Pria itu memiliki stamina yang luar biasa," pujinya.Bayang-bayang kejadian semalam terputar kembali dalam ingatan Arika. Rasa sakit, lenguhannya, ratapannya yang bercampur kenikmatan berulang.Sementara itu di dapur. Dokter Reinhard memasak beberapa masakan untuk sarapan sekaligus makan siang. Setelah semua siap, dia menaruh makanan ke dalam dua nampan.Dokter Reinhard membiarkan satu nampan tetap di meja dapur dan mengangkat satu nampan menuju ke belakang dapur. Menyusuri lorong yang membawanya ke sebuah turunan menuju ruang bawah tanah.Dia membuka kunci pintu yang terbuat dari besi. Dia mendorong pintu itu agar terbuka. Gelap gulita di dalam sana setelah Dokter itu menutup kembali pintunya. Dokter Reinhard menekan saklar lampu, beberapa lampu di sana menyala. Tetap tidak terlalu terang. Tercium aroma darah yang kuat di dalam ruangan itu. Tembok-tembok dipenuhi noda darah. Sarang laba-laba, lantai yang kotor terlihat di ruang tersebut."Waktunya makan, aku baru ingat sudah tiga hari aku nggak ngasih kamu makan," ucapnya tersenyum sinis."Euummm...euummm..." suara wanita yang disumpal mulutnya dengan kain terdengar. Membuat senyum Dokter Reinhard semakin lebar."Jangan berteriak. Sekali kamu berteriak kamu tahu akan berakhir di mana?" katanya menduduki kursi di sisi dental unit chair (kursi pasien dokter gigi)Dental chair tersebut terlihat kotor. Kursi di ruangan itu nampak kusam, dan lusuh seperti sudah lama digunakan.Di atas kursi pasien itu terbaring seorang wanita berambut panjang. Kedua tangannya terikat rantai dengan gembok besi di pegangan kursi. Begitupun kakinya terikat rantai.Dokter Reinhard membuka kain yang terikat di mulut wanita tersebut. Rambutnya acak-acakan wajahnya kotor dan bajunya lusuh. Pergelangan tangan dan kaki yang terikat rantai terdapat luka berdarah yang menandakan usaha dia mencoba melepas ikatan tersebut namun gagal.Dokter Reinhard menyuapi wanita yang terlihat berumur sekitar 37 tahun. Dengan lahap wanita itu makan."Tolong lepaskan aku!" mohon wanita itu begitu mengiba."Nggak mungkin. Sekali kamu masuk ke rumah ini kamu nggak akan bisa keluar hidup-hidup,""Aku berjanji nggak akan ngelaporin kamu. Aku akan menghilang dan melupakan kejadian ini. Tetapi aku mohon lepaskan aku!" Airmata nya mengalir. Entah seberapa banyak wanita itu menangis, sampai kantung mata hitam terlihat jelas di bawah matanya.Dokter itu tertawa, "kamu pikir aku bodoh." decitnya. "Melepasmu hidup-hidup sama saja memasukan diriku sendiri ke penjara. Terima saja takdirmu," ucap Dokter itu mengerling."Aku nggak sabar mempertemukan kalian berdua. Tetapi aku masih ingin bermain-main dengan wanita bodoh di atas," tekan Dokter Reinhard."Jadi kamu benar-benar menikahi janda itu?" tanya wanita itu tampak lebih muram saat mendengar hal itu."Jangan kasar begitu. Dia istriku sekarang. Baiklah." Dokter Reinhard meregangkan tubuhnya sambil berdiri. "Aku harus kembali ke atas sebelum wanita itu curiga," Dokter Reinhard mengikatkan kain lagi diantara rongga mulut wanita itu agar tidak bersuara.Dokter Reinhard kembali ke atas setelah memastikan telah mengunci pintu dengan aman.Saat kembali ke dapur, Arika memasuki ruang dapur dari arah dalam."Owh...kenapa kamu bangun dari tempat tidur. Berbaringlah lagi. Aku baru akan mengantarkan makananmu ke atas," oceh Dokter Reinhard mengangkat nampan berisi makanan yang telah dia siapkan."Aku nggak betah kalau cuman berbaring,""Mau aku suapi?" tawaran Dokter Reinhard."Nggak, kita makan bersama saja," jawab Arika mengambilkan nasi untuk Dokter Reinhard."Apa masih sakit?" tanyanya menatap ke tengah tubuh Arika, diantara kedua paha atasnya. Arika terlihat tidak nyaman. "Oh...maaf. Maksudku, hanya ingin meresepkan kamu obat kalau masih sakit,""Aku rasa minum paracetamol pun cukup,""Itu pun boleh. Obat-obatan ada di lemari dapur bagian atas itu," tunjuk Dokter Reinhard ke salah satu pintu lemari yang menggantung di atas tembok."Oke. Apa anda harus bersiap ke Klinik setelah makan?""Iya, tetapi kalau kamu masih mau aku temani, aku bisa mengambil cuti,""Nggak perlu, bekerja saja. Pasien anda lebih membutuhkan anda. Kalau anda mengizinkan, saya akan istirahat untuk hari ini,""Tentu, beristirahatlah.""Beristirahatlah sebelum hari-hari yang lebih melelahkan untukmu tiba," hatinya berbicara sementara bibirnya tersenyum, tersenyum penuh misteri.****************"Wah jadi anda telah menikah Dokter Rein," sahut pasien Dokter Rain yang telah siap di kursi periksa gigi.Seorang wanita berusia 55 tahun. Berambut panjang tergerai.Suster, asisten Dokter Rein memakaikannya sarung tangan karet warna putih. Dokter Rein tersenyum.Dokter Rein mengenakan jas dokternya dengan kemeja warna merah muda tua di dalamnya dan juga kacamata minusnya."Iya, saya udah nggak muda lagi, saya butuh teman untuk menemani masa tua saya," jawabnya terdengar diplomasi."Anda masih muda Dokter Rein. Saya yakin banyak ibu-ibu dan para gadis di kota ini patah hati mendengar anda sudah menikah...hehehe..." gurau ibu itu terkekeh."Anda bisa saja. Kita mulai tindakannya," izin Dokter Rein memulai pemeriksaan gigi pasien.****************"Anda pulang cepat hari ini Dokter?" tanya seorang suster. Dokter menanggapinya hanya dengan senyum seraya membuka jas dokternya."Pasti anda rindu istri anda jadi ingin segera pulang,""Tentu." Dokter tersenyum. "Dokter Chris akan menggantik
Setelah makan malam, Arika merapihkan bekas makan mereka dan mencuci piring kotor kemudian. Selesai dengan semua tugasnya di dapur, Arika naik ke lantai dua. Pergi menuju ke kamarnya.Dia mendengar suara gemericik air dari shower di dalam kamar mandi. Dia tahu bahwa dokter Rein sedang mandi.Sementara menunggu Dokter Rein selesai mandi, pikira Arika tertuju kepada ruang bawah itu."Kalau itu hanya gudang, kenapa harus dikunci?" pikir Arika. "Ini terlalu mencurigakan. Aku akan mencari tahu lagi besok," sambungnya.Dokter Rein keluar dari kamar mandi dengan rambut basahnya dan badan yang hanya terlilit handuk putih dipinggangnya.Arika memandang pemandangan indah dihadapannya dan tanpa sadar menelan salivanya."Oh..., kamu sudah selesai di dapur?" serunya mengacak-ngacak rambutnya dengan handuk lain untuk mengeringkannya."Sudah," jawab Arika bergerak ke lemari untuk mengambilkan kaos untuk Dokter Rein gunakan."Terimakasih," ucap Dokter Rein tersenyum sambil mengambil kaosnya dari tan
Ada dua hal saat ini yang Arika takutkan dan cemaskan. Nasibnya malam ini harus melayani nafsu Dokter Rein dan juga kemungkinan manusia di dalam ruang bawah tanah itu.Sepanjang hari dia menuruti perintah Dokter Rein untuk tidak melakukan pekerjaan berat. Namun bukan karena dia ingin badannya fit, namun karena perasaannya yang terlalu resah memikirkan semua hal menakutkan itu.Sampai malam hari tiba, Dokter Rein pun kembali dari kliniknya. Arika menatap dari jendela ruang tamu ke arah luar saat mobil Rein berhenti dan terparkir di depan rumahnya.Jantungnya mulai bergemuruh. Sebisa mungkin Arika bersikap biasa untuk dapat menyambut Dokter Rein.Dokter Rein membuka pintu rumahnya. Arika memasang senyumnya. Terlalu berat untuk dilakukan bibirnya yang gemetar takut. Namun dia menyadari sesuatu, bila dia begini Dokter Rein bisa curiga. Dia mulai melupakan semua ketakutannya."Kamu pasti lelah," kata Arika mengambil tas kerja Dokter Rein."Yah. Harusnya aku bisa pulang lebih cepat dari ini
Malam pun datang, Arika duduk bersandar di headboard memperhatikan Dokter Rein yang sibuk di atas sofa dengan berkas-berkas yang dia keluarkan dari dalam tas.Krincing....Kumpulan kunci terjatuh saat Dokter menarik sebuah berkas lainnya."Itu kunci aslinya. Dia menaruhnya di tas." inner Arika."Itu berkas-berkas apa Dokter?" tanya Arika."Oh ini, ini dokumen untuk perpanjangan kontrak sewa gedung klinik dan izin prakteknya." jawab Dokter Rein membuka kacamata bacanya."Apa kamu masih sakit?" tanya Dokter Rein."Sedikit nyeri. Tapi aku sudah bisa beraktivitas. Jangan khawatir," jawab Arika menyunggingkan senyumannya."Jangan menungguku, masih ada yang harus aku kerjakan. Pergilah tidur duluan," kata Dokter Rein memasukkan kembali berkas-berkasnya."Baiklah, anda nggak keberatan aku tidur duluan?" tanya Arika."Nggak. Tidurlah dulu. Kamu pasti lelah kan setelah semalam," jawabnya menunjuk dari jauh area sensitif Arika dengan pandangannya. Wajah Arika bersemu merah.Dengan perlahan dia
Krinciiing....Krinciiing....Suara gemerincing dua buah kunci beradu terdengar dari ambang pintu. Mereka berdua terkejut. Mata mereka terbelalak, menoleh ke arah yang sama, ke pintu masuk ruang bawah tanah.Sebuah tangan panjang berbalut lengan kemeja, terjulur di mulut pintu memegang dua buah kunci di jemarinya. Dokter Rein menampakan dirinya. Tersenyum lebar dan mengerikan."Ck...," decak Dokter Rein memasang wajah kecewa memasuki ruangan.Jantung Arika berdegup kencang. Tubuhnya gemetar diliputi ketakutan. Begitupun wanita di kursi itu. Mata suram mereka berdua bertemu, memperlihatkan ketakutan yang sama."Kamu pikir aku tidak ingat untuk membawa kunci itu? Kamu salah, aku sengaja membiarkanmu membawanya." kata Dokter Rein tersenyum sinis sambil mencengkram dagu Arika."Kenapa ini harus ketahuan secepat ini?" tanya Dokter Rein kecewa."Aku masih ingin bermain dengan kalian," tambahnya beralih memandang wanita di atas kursi pasien.Merasa dalam bahaya, Arika mencoba lari kabur dari r
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, itu menjadi malam panjang dan mengerikan bagi Arika. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana seseorang mati dengan cara mengenaskan.Dengan tangan kaki terikat di kursi, dia tidak dapat melawan dan menolong ketika perlahan Dokter itu mencabut nyawa wanita di kursi pasien dengan kejam.Rintihan dan ratapan wanita itu terdengar memilukan di hatinya. Sesekali matanya terpejam tatkala Dokter Rein melakukan hal kejam kepada wanita itu. Namun dengan terpaksa dia harus membuka matanya atas ancaman Dokter Rein sebelumnya.Setelah meregang nyawa, Dokter Rein memasukan potongan tubuh wanita itu kedalam plastik sampah. Di dalam garasinya, dia memasukan kantung sampah itu ke dalam bagasi mobilnya. Lewat tengah malam dan keadaan sepi dia membawa mobilnya ke bukit jauh dari sana. Di sana dia mengubur begitu dalam mayat tersebut dalam tanah.Sementara masih di dalam ruangan bawah tanah. Menanti Dokter Rein datang,
Arika berjalan dari berbelanja. Mengenakan sweater rajut berwarna putih dengan kerah turtleneck untuk menutupi kiss mark nya. Arika berjalan dengan senyum di wajahnya."Seenggaknya saat aku keluar dan berbincang dengan para penjual yang begitu ramah bisa membuatku terhibur dari sesaknya hidupku bersama Dokter Rein. Karena kebaikan Dokter Rein pula, mereka bisa memperlakukan aku dengan begitu hormat dan baik." pikir Arika yang sambil menjinjing kantung belanjaannya.Dari kejauhan matanya yang berbinar melihat wanita yang waktu itu dia lihat, tengah berdiri di tempat yang sama memandangi ke arah rumah Dokter Rein."Wanita itu lagi? Siapa sebenarnya dia?" tanya hati Arika begitu penasaran."Nggak...nggak..., terakhir kali rasa penasaran ku membawa diriku kepada mimpi buruk. Sebaiknya aku nggak ikut campur lagi." pikirnya lagi.Wanita itu berbalik sedih dan pergi meninggalkan rumah Dokter Rein. Arika memandanginya yang perlahan menghilang dari pandangannya. Dia pun masuk ke dalam rumah Do
"Kamu telah berjanji bukan, tidak akan menyakiti putriku selama aku menurut kepadamu?" teriak Arika."Hasratku hanya ingin membunuh. Aku tidak pernah ingin menepati janjiku. Hahhaa...!""ARMELIAAA!!!!" jerit Arika terperanjat dari tidurnya. Matanya terbelalak, nafasnya terengah-engah, dan keringat bercucuran membasahi tubuhnya. Tanpa dikomandoi air mata terjun bebas dari kedua matanya.Lampu tidur di atas nakas menyala. Pria yang tidur disebelahnya terbangun dan segera duduk merangkul Arika."Ada apa Arika?" tanya Dokter Rein."Aku...aku...nggak apa-apa." jawab Arika mengusap air mata di pipinya."Kamu pasti bermimpi buruk. Sudah nggak apa-apa. Itu hanya mimpi. Kembalilah tidur." kata Dokter Rein merebahkan tubuh Arika dalam pelukannya."Apapun mimpi burukmu, itu bukan saja akan menjadi mimpi, cepat atau lambat mimpi itu akan menjadi kenyataan." seringai Dokter Rein seraya mengusap rambut halus Arika."Selama bersamamu mimpi buruk itu bisa saja menjadi kenyataan." pikir Arika.********
"Arika...Arika...Aku tidak suka kehidupan yang lurus-lurus saja. Begitu juga dirimu. Jadi lupakan ide konyol mu itu." Dokter tersenyum penuh makna tersembunyi.Sejak saat itu, kata-kata Dokter Rein bahwa dirinya adalah seorang psikopat terus terngiang dalam benak Arika. Beberapa kali dia menampik itu sendiri. Perang batin pun dia alami. Membuat pikirannya terasa kacau dalam kebimbangan."Kenapa aku harus termakan ucapan psikopat itu? Aku masih punya perasaan. Aku menyayangi putriku, aku pernah jatuh cinta kepada Jay. Nggak ada yang salah dalam diriku. Iya itu benar. Aku normal." batin Arika."Tetapi lama-lama seperti ini bisa membuatku gila. Aku harus melakukan sesuatu. Tetapi apa?" pikir Arika mundar mandir di dalam kamar."Bila aku mencoba kabur sudah pasti aku dan putriku tidak akan selamat. Meminta bantuan Jay? Itu akan sia-sia, dia pasti akan tahu kalau aku menemui atau menghubungi Jay. Arrrgghhhh!!!!" Arika menarik rambutnya kebelakang dengan frustasi.****************"Aaahhhhh
Perasaan senang merasakan tangannya menancapkan pisau di tubuh Yuna menguasai dirinya. Matanya terpejam, sudut bibirnya terangkat bersamaan. Senyum kepuasaan yang begitu keji terlukis nyata diwajahnya yang riang.Bayangan masa lalu terputar dalam ingatannya."Dia itu hanya anak adopsi!" ejek seorang anak perempuan kepada Arika.Dia adalah Tiara, gadis famous di sekolah menengah pertama tempat Arika sekolah. Orang tuanya adalah orang kaya yang terpandang di kota itu. Dia pun pandai menyanyi dengan suaranya yang sangat bagus. Semua ketenaran melekat kepadanya.Namun sayangnya dia termasuk anak yang sombong. Dia dan genk nya suka menganggap rendah orang lain dan membully siswa siswi yang tidak mereka sukai. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang berani melawan mereka."Bukankah begitu Arika?" tanyanya dengan sengaja.Arika hanya terdiam tak menjawab. Tetap fokus dengan makan siangnya.Pluuk...BruuugggMakanan di kotak bekalnya berhamburan, menyiprat ke wajahnya. Dengan sengaja mereka melem
"Kamu menikmatinya, bukan?" lontar Dokter Rein. Mengejutkan Arika.Dengan gerakan perlahan, Arika menatap Dokter Rein yang tengah menatapnya riang.Arika menggeleng cepat. "Perasaan gembira saat kamu menusuknya. Lagi dan lagi." bisik Dokter Rein tersenyum licik.Arika menutup telinganya. "Aku nggak seperti itu!" elak Arika."Ya kamu seperti itu Arika. Aku berhasil membangunkan monster di dalam dirimu." kekeh Dokter Rein terlihat sangat puas."Aku bukan monster seperti mu!" tampik Arika menjaga jarak dengan Dokter Rein."Tetapi kamu memang memiliki monster dalam dirimu." Dokter Rein mengangkat kedua alisnya, menatap Arika untuk meyakinkan nya."Nggak..." Arika menangis tersedu-sedu. Dokter Rein memeluknya erat."Nggak apa-apa Arika. Akui saja perasaan itu. Aku bahkan sudah melihatnya sejak kamu masih kecil dulu." ungkap Dokter Rein sangat mengejutkan Arika.Jantung Arika berdegup kencang. "Apa maksud anda sejak aku masih kecil?" tanya Arika yang penasaran.Senyum misterius terbentuk di
Siapa yang mau mengikuti Dokter Rein mengubur jasad hasil korban pembunuhan nya? Tentu bukan Arika. Arika lebih memilih untuk di rumah dan mengistirahatkan tubuh dan batinnya setelah melihat adegan nyata kasus pembunuhan di depan matanya sendiri.Apalagi pembunuhan itu menimpa orang yang sangat dia kenal. Bibinya. Walau mereka bukan keluarga dekat, tetapi kehadiran bibi yang selama ini menemani nya. Mengingat bibi bukan saja hal baik tentangnya, tetapi juga kemarahan nya yang bangkit saat mengingat bibinya yang membuat dirinya sekarang berada di sini. Dalam penyiksaan Dokter Rein.Dalam perjalanan Dokter Rein menuju gunung. Dia berpapasan dengan Polisi Yuna yang sedang melakukan pemeriksaan kepada pengguna jalan."Malam Dokter Rein!" sapa Polisi Yuna dari kaca jendela yang terbuka."Malam.""Kami akan melakukan sedikit pemeriksaan sebelum anda lewat. Bolehkah saya memeriksa mobil anda Dokter?" tanya Polisi Yuna dengan sopan."Tentu." jawab Dokter Rein dengan sikapnya yang tenang sepert
"Kamu mau membantahku Arika?" tanya Dokter Rein. Tatapannya mengancam."Kenapa aku merasa kalau ini bukan Dokter Rein. Dia bukan Dokter Rein yang biasa? Apa ini adalah sifat aslinya? Sebelumnya dia hanya berpura-pura?" pikir Arika penuh tanda tanya seraya memandang takut ke arah Dokter Rein.Arika melihat dari jendela ruang tamu. Istri tukang ledeng yang telah datang dan menatap rumah Dokter Rein dengan sedih."Apa dia mengganggumu? Apa aku perlu menyingkirkan nya juga?" tanya Dokter Rein ketus."Jangan! Jangan seperti itu. Biarkan dia. Dia kan tidak menggangu kita." Arika menyergahnya langsung. Tidak ingin melihat ada korban lagi."Dia jelas mengganggu dengan kehadirannya di sini." Mata Dokter Rein menatap ke arah wanita itu dengan tatapan bengis, seolah siap membunuhnya kapanpun. Arika gemetar saat salivanya terlalu sulit ditelan kerongkongannya."Aku harus pergi ke klinik. Ingat jangan macam-macam!" Dokter itu memperingatkan Arika dengan suaranya yang tegas."I-iya." Arika tergagap
Arika memandang nanar, "Kamu sengaja membuatku menikah dengan Dokter itu. Dan menerima uang yang banyak dari hasil menjebakku." ujar Arika."Semua orang tahu kalau Dokter itu orang yang baik. Jadi aku berpikir, memaksamu dan menghasutmu agar mau menerima pernikahan itu, apa salahnya? Toh kamu yang akan lebih untung." Bibi Delvi mencoba membela diri, membenarkan keputusannya saat memaksa Arika untuk menikah."Lalu kenapa kamu tidak memberitahuku tentang isi perjanjian yang membahas BDSM dalam pernikahan itu?" sungut Arika menaikan nada bicaranya. Bukan hanya nada suara, perkataan Arika lebih mengejutkan bagi Bibi Delvi.Dia yang tidak tahu dan tidak pernah menyangka ada pembahasan itu menjadi bingung sekaligus merasa bersalah.Ekspresi Bibi Delvi kelu, "Apa? Apakah itu dibahas disana?" "Ya. Itu tertera dengan jelas dan gamblang di sana. Apa kamu nggak tahu? Atau hanya pura-pura nggak tahu? Karena yang terpenting bagimu aku menikah dengannya dan kamu mendapatkan uangmu, iya kan?" Kata A
"Aku akan mengambilkan uangnya. Tunggu saja dulu." Dokter Rein berdiri dari duduknya.Arika pun datang membawa nampan berisi minuman yang telah dia buat dan cemilan. Senyum manis tergurat di wajahnya saat menaruh cangkir teh di atas meja.Bibi Delvi menggenggam tangan Arika, "Aku senang melihat kamu bahagia dengan pernikahan mu, Arika." ujarnya tanpa melepaskan senyumannya."Iya, bi." Arika menjawab dengan singkat dan mengambil duduk di sofa lain.Mereka saling berbincang sambil menunggu Dokter Rein datang. "Ada perlu apa bibi ke sini?" tanya Arika."Aku hanya ingin menengok kamu, Arika." dusta Bibi Delvi tanpa tahu kalau Arika sesungguhnya telah mendengarkan pembicaraan nya sebelumnya bersama Dokter Rein.Tak lama Dokter ganteng berkulit putih pucat itu datang dengan empat gepokan uang di tangannya. Melihat uang yang tak sedikit itu, mata Bibi membulat sempurna dengan binar-binar berpendar dari sana.Arika menatap bibi dengan dongkol yang tertutupi dan melihat kepada Dokter Rein. Mesk
"Semakin sedikit yang kamu tahu, semakin baik Arika." seringai Dokter Rein di hatinya."Aku akan membuat posisiku aman dengan melayanimu. Semoga ini berhasil," harap Arika berdoa di dalam hatinya.Tangannya mengalungi leher panjang Dokter Rein, wajah mereka begitu dekat. Dokter Rein mencium bibir Arika dengan tegas dan menuntut."Bibir mu selalu terasa begitu manis," bisik Dokter Rein ditengah percumbuan mereka."Aku ingin melakukan sesuatu kepadamu." kata-kata itu dan Dokter Rein yang mengucapkannya selalu berhasil membuat Arika bergidik ngeri. Apa lagi yang akan dia lakukan kepadaku? Dan seketika pertanyaan itu yang menggantung dalam pikirannya."Tetapi ini nggak akan berdarah seperti pisau waktu itu." ucapnya lagi."Walau aku tidak bisa berjanji." batin Dokter Rein tersenyum puas.Dia mendudukan Arika di atas tempat tidur. Dokter Rein menarik sebuah tali yang menjuntai di dekat lampu hias. Dari langit-langit kamar sebuah pintu kecil terbuat dari triplek terbuka. Dua buah rantai besi
"Aku tidak tahu, tetapi aku merasa beruntung walau memasuki kehidupan Dokter gila itu, aku menjadi orang yang dia percaya bukan menjadi korban seperti yang lain. Tetapi sampai kapan aku bisa bertahan di sisinya? Bagaimana kalau dia bosan dan menghabisi aku seperti yang lainnya?" pikir Arika tiba-tiba merasa sesak."Aku akan bersikap sebaik mungkin kepada Dokter itu. Dan memuaskan hasrat seksual nya. Ya, aku rasa itu kuncinya aku bisa terus bertahan." sambung pikirannya.Malam ini meski Arika merasa sudah sangat lelah namun Arika tidak dapat tidur. Arika terduduk dengan resah di kursi meja makan. Dia menyeruput kopi instan yang dia seduh beberapa saat yang lalu."Hufh...!" Dokter tampan itu memasuki dapur dengan kemeja dengan noda tanah. Rambut sisi depan yang panjang sedikit menjuntai menutupi matanya sebelum dia sibakkan kebelakang.Arika terkesiap, dia berdiri dengan tiba-tiba."Do-dok-ter telah kembali?" ucapnya terbata karena gugup."Yah...," jawabnya singkat seraya mengangkat cang