"Wah jadi anda telah menikah Dokter Rein," sahut pasien Dokter Rain yang telah siap di kursi periksa gigi.
Seorang wanita berusia 55 tahun. Berambut panjang tergerai.Suster, asisten Dokter Rein memakaikannya sarung tangan karet warna putih. Dokter Rein tersenyum.Dokter Rein mengenakan jas dokternya dengan kemeja warna merah muda tua di dalamnya dan juga kacamata minusnya."Iya, saya udah nggak muda lagi, saya butuh teman untuk menemani masa tua saya," jawabnya terdengar diplomasi."Anda masih muda Dokter Rein. Saya yakin banyak ibu-ibu dan para gadis di kota ini patah hati mendengar anda sudah menikah...hehehe..." gurau ibu itu terkekeh."Anda bisa saja. Kita mulai tindakannya," izin Dokter Rein memulai pemeriksaan gigi pasien.****************"Anda pulang cepat hari ini Dokter?" tanya seorang suster. Dokter menanggapinya hanya dengan senyum seraya membuka jas dokternya."Pasti anda rindu istri anda jadi ingin segera pulang,""Tentu." Dokter tersenyum. "Dokter Chris akan menggantikan saya. Saya pulang dulu,""Baik Dok,""Eu...permisi Dok!" Seorang wanita muda berseragam polisi datang."Oh... Nona Yuna, ada yang bisa saya bantu?" sapa Dokter Reinhard tersenyum ramah."Gigi saya sakit sekali Dok, apa bisa di obati?" tanya polisi itu."Tapi jadwal Dokter sudah selesai. Anda bisa menunggu jadwal Dokter Chris," sahut seorang suster."Nggak apa Sus. Mari ke ruangan saya!" ajak Dokter Reinhard berjalan mendahului ke ruangannya."Kasihan Dokter, padahal dia sudah tidak sabar bertemu istrinya. Maklum pengantin baru," gosip suster di meja informasi."Betul. Tetapi dia Dokter Reinhard, orangnya terlalu baik," sahut suster lain.Beberapa saat kemudian . .Setelah selesai dengan pemeriksaan dan pengobatan mereka keluar dari ruangan Dokter Reinhard."Anda harus kembali dua hari lagi," pesan Dokter Reinhard."Baiklah Dokter. Terimakasih!"****************Sementara itu Arika berbelanja di sebuah pasar modern di dekat rumah Dokter Reinhard."Wah...ini istri Dokter Reinhard!" seru seorang bibi penjual sayuran.Arika tersenyum sambil menunduk memilih sayuran yang akan dia beli."Iya," jawab Arika lembut."Dokter Rein beruntung, istrinya cantik," puji bibi penjual sayur."Terimakasih. Tetapi saya rasa saya yang beruntung bisa menikah dengan Dokter Rein," jawab Arika tersipu."Kalian sama-sama beruntung. Dokter Rein memang orang yang baik. Dia sudah lama tinggal di sini jadi kami sudah sangat mengenalnya." jelas Bibi penjual sayuran memuji."Bahkan dia suka memberikan pengobatan gratis bagi kami kalau sedang nggak punya uang," tambah bibi penjual sayur."Oh iya, panggil saja Bibi Vio, ya!" bibi penjual sayur memperkenalkan diri."Salam kenal Bibi Vio. Nama saya Arika," sahut Arika."Salam kenal Arika!"Setelah berbelanja Arika berjalan pulang kembali ke rumah Dokter Reinhard. Di pasar dia banyak mendengar sanjungan untuk Dokter Reinhard hingga dia merasa ikut bahagia dan beruntung mendapatkan suami sebaik Dokter Reinhard.Arika berjalan dengan senyuman di wajahnya. Dia tidak bisa menutupi rasa bahagianya. Saat dia hampir dekat dengan rumahnya, dia melihat seorang wanita berambut pendek, mengenakan midi dress bercorak abstrak berwarna biru memandangi rumah Dokter Reinhard. Wajahnya terlihat pilu menahan airmatanya."Siapa wanita itu?" tanya Arika memandangi wanita berkulit coklat itu.Tiin...Suara klakson membuyarkan lamunan Arika. Arika menoleh dan melihat mobil berwarna silver itu berjalan perlahan di sisinya.Kaca jendelanya terbuka, terlihat Dokter Reinhard menyetir di belakang kemudi."Naiklah!" ajak Dokter Reinhard tersenyum dan memberhentikan mobilnya.Arika mengangguk malu lalu masuk ke dalam mobil."Harusnya aku bisa pulang lebih cepat untuk berbelanja denganmu. Tetapi tadi ada pasien mendadak," terang Dokter Reinhard."Oh...itu nggak masalah. Aku bisa berbelanja sendiri," jawab Arika mengangkat tas belanjanya."Kamu membeli banyak daging seperti pesanku, kan?" tanya Dokter Rein."Tentu," jawab Arika."Kamu sangat menyukai daging?" tanya Arika."Ya, daging itu lezat. Dengan bumbu marinasi yang kuat. Aku bahkan tahu daging-daging berkualitas bagus," jelas Dokter Rein. Matanya menyorot riang memandang Arika.Mobil terparkir di depan rumah Dokter Reinhard."Kamu diberkati dengan kelimpahan rezeki jadi bisa mudah membeli daging," sahut Arika."Aku bahkan bisa mendapatkan daging gratis," ucapnya santai sambil menarik rem tangan.Arika menoleh skeptis, menuntut penjelasan."Iya, kalau aku ke pasar, bibi penjual daging bisa memberikan aku daging gratis bila aku memintanya," kata Dokter Rein tersenyum misterius.Arika ikut tersenyum."Oh iya, tadi aku melihat seorang wanita sedang memandangi rumahmu dengan wajah sedih. Apa kamu mengenalnya?" tanya Arika.Dokter Reinhard mengangkat bahu."Aku nggak melihat orangnya jadi aku nggak tahu," jawabnya simple."Ayo, kita masuk ke dalam!" ajaknya.Setelah masuk ke dalam, Arika pergi ke dapur untuk merapihkan belanjaannya ke dalam kulkas.Saat tengah merapihkan sayuran, samar-samar Arika mendengar suara sesuatu yang bergerak dan mengenai sesuatu di suatu tempat.Tek...teeek..."Suara apa itu?" tanya Arika mencari asal suaranya.Dia berjalan berkeliling di dapur memastikan arah pasti suara tersebut. Ketika sampai di pintu dapur suara itu terdengar jauh lebih nyaring.Arika membuka pintu dapur, sebuah halaman luas terlihat ketika ia baru membuka pintu. "Apa suaranya dari luar?" gumamnya menolehkan kepalanya keluar.Tembok-tembok tinggi yang menyatu dengan atap rumah utama hanya berada di sisi kiri dan kanan rumah dan menyisakan sedikit celah di tengah sebagai pintu untuk pergi ke halaman belakang. Tembok-tembok yang menjadi pemisah dengan halaman itu, berjarak satu setengah meter dari dinding luar dapur. Di sisi kiri rumah, di lorong antara dinding dapur dan tembok pemisah, Arika melihat ada sebuah tangga menuju ke bawah tanah.Perhatian Arika tertarik ke sana. Rasa penasaran menggelayut di hatinya. Dengan perlahan Arika melangkah. Tangga menurun tampak sangat gelap. Arika memfokuskan diri melihat lebih jauh ke dalam.Meeeeoooonggg.....Tiba-tiba Dua ekor kucing jantan berlari, bekejaran naik dan hampir menabrak Arika. Membuatnya melonjak kaget. Jantungnya bergemuruh. Napasnya tersengal-sengal karena kaget dan takut."Kucing!" Arika mengurut dada.Kretaak...Suaranya terdengar kembali. Membuat Arika jadi semakin penasaran. Arika bisa melihat pintu besi menutupi jalan tangga, di anak tangga ke sepuluh. Arika masih bisa merasakan detak jantungnya yang belum normal.Arika semakin turun menuju pintu itu. Dia menarik tuas pintu besi ke bawah dan ternyata pintunya terkunci."Arika...!" panggilan Dokter Rein di atasnya membuatnya terperanjat kaget. Jantungnya semakin cepat berdetak."Sedang apa?" tanyanya memiringkan wajah, seolah menyelidik."Aku mendengar suara dari bawah," jawab Arika dengan suara tercekat oleh rasa takut."Itu gudang. Pasti hanya tikus." jawab Dokter Rein mendekati Arika."Oh begitu," sahut Arika melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.Arika terus naik meninggalkan Dokter Reinhard di belakangnya. Sebelum sampai di atas Arika kembali menoleh ke arah bawah masih dengan wajah penasaran dan penuh tanda tanya.Dokter Reinhard menyentuh pinggang belakang Arika dan sedikit mendorong untuk membuatnya kembali berjalan. Mereka berdua memasuki dapur lagi."Benarkah itu hanya gudang?" tanya hati Arika penasaran menatap pintu dapur yang perlahan tertutup.****************Setelah makan malam, Arika merapihkan bekas makan mereka dan mencuci piring kotor kemudian. Selesai dengan semua tugasnya di dapur, Arika naik ke lantai dua. Pergi menuju ke kamarnya.Dia mendengar suara gemericik air dari shower di dalam kamar mandi. Dia tahu bahwa dokter Rein sedang mandi.Sementara menunggu Dokter Rein selesai mandi, pikira Arika tertuju kepada ruang bawah itu."Kalau itu hanya gudang, kenapa harus dikunci?" pikir Arika. "Ini terlalu mencurigakan. Aku akan mencari tahu lagi besok," sambungnya.Dokter Rein keluar dari kamar mandi dengan rambut basahnya dan badan yang hanya terlilit handuk putih dipinggangnya.Arika memandang pemandangan indah dihadapannya dan tanpa sadar menelan salivanya."Oh..., kamu sudah selesai di dapur?" serunya mengacak-ngacak rambutnya dengan handuk lain untuk mengeringkannya."Sudah," jawab Arika bergerak ke lemari untuk mengambilkan kaos untuk Dokter Rein gunakan."Terimakasih," ucap Dokter Rein tersenyum sambil mengambil kaosnya dari tan
Ada dua hal saat ini yang Arika takutkan dan cemaskan. Nasibnya malam ini harus melayani nafsu Dokter Rein dan juga kemungkinan manusia di dalam ruang bawah tanah itu.Sepanjang hari dia menuruti perintah Dokter Rein untuk tidak melakukan pekerjaan berat. Namun bukan karena dia ingin badannya fit, namun karena perasaannya yang terlalu resah memikirkan semua hal menakutkan itu.Sampai malam hari tiba, Dokter Rein pun kembali dari kliniknya. Arika menatap dari jendela ruang tamu ke arah luar saat mobil Rein berhenti dan terparkir di depan rumahnya.Jantungnya mulai bergemuruh. Sebisa mungkin Arika bersikap biasa untuk dapat menyambut Dokter Rein.Dokter Rein membuka pintu rumahnya. Arika memasang senyumnya. Terlalu berat untuk dilakukan bibirnya yang gemetar takut. Namun dia menyadari sesuatu, bila dia begini Dokter Rein bisa curiga. Dia mulai melupakan semua ketakutannya."Kamu pasti lelah," kata Arika mengambil tas kerja Dokter Rein."Yah. Harusnya aku bisa pulang lebih cepat dari ini
Malam pun datang, Arika duduk bersandar di headboard memperhatikan Dokter Rein yang sibuk di atas sofa dengan berkas-berkas yang dia keluarkan dari dalam tas.Krincing....Kumpulan kunci terjatuh saat Dokter menarik sebuah berkas lainnya."Itu kunci aslinya. Dia menaruhnya di tas." inner Arika."Itu berkas-berkas apa Dokter?" tanya Arika."Oh ini, ini dokumen untuk perpanjangan kontrak sewa gedung klinik dan izin prakteknya." jawab Dokter Rein membuka kacamata bacanya."Apa kamu masih sakit?" tanya Dokter Rein."Sedikit nyeri. Tapi aku sudah bisa beraktivitas. Jangan khawatir," jawab Arika menyunggingkan senyumannya."Jangan menungguku, masih ada yang harus aku kerjakan. Pergilah tidur duluan," kata Dokter Rein memasukkan kembali berkas-berkasnya."Baiklah, anda nggak keberatan aku tidur duluan?" tanya Arika."Nggak. Tidurlah dulu. Kamu pasti lelah kan setelah semalam," jawabnya menunjuk dari jauh area sensitif Arika dengan pandangannya. Wajah Arika bersemu merah.Dengan perlahan dia
Krinciiing....Krinciiing....Suara gemerincing dua buah kunci beradu terdengar dari ambang pintu. Mereka berdua terkejut. Mata mereka terbelalak, menoleh ke arah yang sama, ke pintu masuk ruang bawah tanah.Sebuah tangan panjang berbalut lengan kemeja, terjulur di mulut pintu memegang dua buah kunci di jemarinya. Dokter Rein menampakan dirinya. Tersenyum lebar dan mengerikan."Ck...," decak Dokter Rein memasang wajah kecewa memasuki ruangan.Jantung Arika berdegup kencang. Tubuhnya gemetar diliputi ketakutan. Begitupun wanita di kursi itu. Mata suram mereka berdua bertemu, memperlihatkan ketakutan yang sama."Kamu pikir aku tidak ingat untuk membawa kunci itu? Kamu salah, aku sengaja membiarkanmu membawanya." kata Dokter Rein tersenyum sinis sambil mencengkram dagu Arika."Kenapa ini harus ketahuan secepat ini?" tanya Dokter Rein kecewa."Aku masih ingin bermain dengan kalian," tambahnya beralih memandang wanita di atas kursi pasien.Merasa dalam bahaya, Arika mencoba lari kabur dari r
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, itu menjadi malam panjang dan mengerikan bagi Arika. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana seseorang mati dengan cara mengenaskan.Dengan tangan kaki terikat di kursi, dia tidak dapat melawan dan menolong ketika perlahan Dokter itu mencabut nyawa wanita di kursi pasien dengan kejam.Rintihan dan ratapan wanita itu terdengar memilukan di hatinya. Sesekali matanya terpejam tatkala Dokter Rein melakukan hal kejam kepada wanita itu. Namun dengan terpaksa dia harus membuka matanya atas ancaman Dokter Rein sebelumnya.Setelah meregang nyawa, Dokter Rein memasukan potongan tubuh wanita itu kedalam plastik sampah. Di dalam garasinya, dia memasukan kantung sampah itu ke dalam bagasi mobilnya. Lewat tengah malam dan keadaan sepi dia membawa mobilnya ke bukit jauh dari sana. Di sana dia mengubur begitu dalam mayat tersebut dalam tanah.Sementara masih di dalam ruangan bawah tanah. Menanti Dokter Rein datang,
Arika berjalan dari berbelanja. Mengenakan sweater rajut berwarna putih dengan kerah turtleneck untuk menutupi kiss mark nya. Arika berjalan dengan senyum di wajahnya."Seenggaknya saat aku keluar dan berbincang dengan para penjual yang begitu ramah bisa membuatku terhibur dari sesaknya hidupku bersama Dokter Rein. Karena kebaikan Dokter Rein pula, mereka bisa memperlakukan aku dengan begitu hormat dan baik." pikir Arika yang sambil menjinjing kantung belanjaannya.Dari kejauhan matanya yang berbinar melihat wanita yang waktu itu dia lihat, tengah berdiri di tempat yang sama memandangi ke arah rumah Dokter Rein."Wanita itu lagi? Siapa sebenarnya dia?" tanya hati Arika begitu penasaran."Nggak...nggak..., terakhir kali rasa penasaran ku membawa diriku kepada mimpi buruk. Sebaiknya aku nggak ikut campur lagi." pikirnya lagi.Wanita itu berbalik sedih dan pergi meninggalkan rumah Dokter Rein. Arika memandanginya yang perlahan menghilang dari pandangannya. Dia pun masuk ke dalam rumah Do
"Kamu telah berjanji bukan, tidak akan menyakiti putriku selama aku menurut kepadamu?" teriak Arika."Hasratku hanya ingin membunuh. Aku tidak pernah ingin menepati janjiku. Hahhaa...!""ARMELIAAA!!!!" jerit Arika terperanjat dari tidurnya. Matanya terbelalak, nafasnya terengah-engah, dan keringat bercucuran membasahi tubuhnya. Tanpa dikomandoi air mata terjun bebas dari kedua matanya.Lampu tidur di atas nakas menyala. Pria yang tidur disebelahnya terbangun dan segera duduk merangkul Arika."Ada apa Arika?" tanya Dokter Rein."Aku...aku...nggak apa-apa." jawab Arika mengusap air mata di pipinya."Kamu pasti bermimpi buruk. Sudah nggak apa-apa. Itu hanya mimpi. Kembalilah tidur." kata Dokter Rein merebahkan tubuh Arika dalam pelukannya."Apapun mimpi burukmu, itu bukan saja akan menjadi mimpi, cepat atau lambat mimpi itu akan menjadi kenyataan." seringai Dokter Rein seraya mengusap rambut halus Arika."Selama bersamamu mimpi buruk itu bisa saja menjadi kenyataan." pikir Arika.********
"Aku tahu, aku hanya tidak bisa tidur. Dari pada bingung, akhirnya aku membersih rumah." jawab Dokter Rein."Aku memiliki kejutan untukmu." kata Dokter Rein tersenyum misterius."Kejutan? Kejutan apa?" tanya Arika bingung."Ikut aku!" jemari panjang Dokter Rein merangkul pergelangan tangan Arika lalu menuntun Arika untuk berjalan mengikutinya.Senyum bahagia tidak terlepas dari wajah tampannya. Perasaan Arika mulai tidak enak. Jantungnya mulai berdentum kencang. Kupu-kupu memenuhi perutnya menimbulkan sensasi aneh di tubuhnya.Dokter Rein membawanya ke dapur dan melewatinya. Saat dia membuka pintu dapur, Arika sudah bisa menebak kemana dia akan membawanya. Ruang bawah tanah. Tetapi ada apa? Kejutan apa yang akan Dokter Rein berikan kepadanya. Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi otaknya. Di dalam hati dia komat kamit berdoa agar kejutan itu bukan seperti mimpinya waktu itu. Semoga kejutan itu bukan tentang Armelia ataupun keselamatan dirinya dan Armelia.Dugaan Arika mendekati kebenar
"Arika...Arika...Aku tidak suka kehidupan yang lurus-lurus saja. Begitu juga dirimu. Jadi lupakan ide konyol mu itu." Dokter tersenyum penuh makna tersembunyi.Sejak saat itu, kata-kata Dokter Rein bahwa dirinya adalah seorang psikopat terus terngiang dalam benak Arika. Beberapa kali dia menampik itu sendiri. Perang batin pun dia alami. Membuat pikirannya terasa kacau dalam kebimbangan."Kenapa aku harus termakan ucapan psikopat itu? Aku masih punya perasaan. Aku menyayangi putriku, aku pernah jatuh cinta kepada Jay. Nggak ada yang salah dalam diriku. Iya itu benar. Aku normal." batin Arika."Tetapi lama-lama seperti ini bisa membuatku gila. Aku harus melakukan sesuatu. Tetapi apa?" pikir Arika mundar mandir di dalam kamar."Bila aku mencoba kabur sudah pasti aku dan putriku tidak akan selamat. Meminta bantuan Jay? Itu akan sia-sia, dia pasti akan tahu kalau aku menemui atau menghubungi Jay. Arrrgghhhh!!!!" Arika menarik rambutnya kebelakang dengan frustasi.****************"Aaahhhhh
Perasaan senang merasakan tangannya menancapkan pisau di tubuh Yuna menguasai dirinya. Matanya terpejam, sudut bibirnya terangkat bersamaan. Senyum kepuasaan yang begitu keji terlukis nyata diwajahnya yang riang.Bayangan masa lalu terputar dalam ingatannya."Dia itu hanya anak adopsi!" ejek seorang anak perempuan kepada Arika.Dia adalah Tiara, gadis famous di sekolah menengah pertama tempat Arika sekolah. Orang tuanya adalah orang kaya yang terpandang di kota itu. Dia pun pandai menyanyi dengan suaranya yang sangat bagus. Semua ketenaran melekat kepadanya.Namun sayangnya dia termasuk anak yang sombong. Dia dan genk nya suka menganggap rendah orang lain dan membully siswa siswi yang tidak mereka sukai. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang berani melawan mereka."Bukankah begitu Arika?" tanyanya dengan sengaja.Arika hanya terdiam tak menjawab. Tetap fokus dengan makan siangnya.Pluuk...BruuugggMakanan di kotak bekalnya berhamburan, menyiprat ke wajahnya. Dengan sengaja mereka melem
"Kamu menikmatinya, bukan?" lontar Dokter Rein. Mengejutkan Arika.Dengan gerakan perlahan, Arika menatap Dokter Rein yang tengah menatapnya riang.Arika menggeleng cepat. "Perasaan gembira saat kamu menusuknya. Lagi dan lagi." bisik Dokter Rein tersenyum licik.Arika menutup telinganya. "Aku nggak seperti itu!" elak Arika."Ya kamu seperti itu Arika. Aku berhasil membangunkan monster di dalam dirimu." kekeh Dokter Rein terlihat sangat puas."Aku bukan monster seperti mu!" tampik Arika menjaga jarak dengan Dokter Rein."Tetapi kamu memang memiliki monster dalam dirimu." Dokter Rein mengangkat kedua alisnya, menatap Arika untuk meyakinkan nya."Nggak..." Arika menangis tersedu-sedu. Dokter Rein memeluknya erat."Nggak apa-apa Arika. Akui saja perasaan itu. Aku bahkan sudah melihatnya sejak kamu masih kecil dulu." ungkap Dokter Rein sangat mengejutkan Arika.Jantung Arika berdegup kencang. "Apa maksud anda sejak aku masih kecil?" tanya Arika yang penasaran.Senyum misterius terbentuk di
Siapa yang mau mengikuti Dokter Rein mengubur jasad hasil korban pembunuhan nya? Tentu bukan Arika. Arika lebih memilih untuk di rumah dan mengistirahatkan tubuh dan batinnya setelah melihat adegan nyata kasus pembunuhan di depan matanya sendiri.Apalagi pembunuhan itu menimpa orang yang sangat dia kenal. Bibinya. Walau mereka bukan keluarga dekat, tetapi kehadiran bibi yang selama ini menemani nya. Mengingat bibi bukan saja hal baik tentangnya, tetapi juga kemarahan nya yang bangkit saat mengingat bibinya yang membuat dirinya sekarang berada di sini. Dalam penyiksaan Dokter Rein.Dalam perjalanan Dokter Rein menuju gunung. Dia berpapasan dengan Polisi Yuna yang sedang melakukan pemeriksaan kepada pengguna jalan."Malam Dokter Rein!" sapa Polisi Yuna dari kaca jendela yang terbuka."Malam.""Kami akan melakukan sedikit pemeriksaan sebelum anda lewat. Bolehkah saya memeriksa mobil anda Dokter?" tanya Polisi Yuna dengan sopan."Tentu." jawab Dokter Rein dengan sikapnya yang tenang sepert
"Kamu mau membantahku Arika?" tanya Dokter Rein. Tatapannya mengancam."Kenapa aku merasa kalau ini bukan Dokter Rein. Dia bukan Dokter Rein yang biasa? Apa ini adalah sifat aslinya? Sebelumnya dia hanya berpura-pura?" pikir Arika penuh tanda tanya seraya memandang takut ke arah Dokter Rein.Arika melihat dari jendela ruang tamu. Istri tukang ledeng yang telah datang dan menatap rumah Dokter Rein dengan sedih."Apa dia mengganggumu? Apa aku perlu menyingkirkan nya juga?" tanya Dokter Rein ketus."Jangan! Jangan seperti itu. Biarkan dia. Dia kan tidak menggangu kita." Arika menyergahnya langsung. Tidak ingin melihat ada korban lagi."Dia jelas mengganggu dengan kehadirannya di sini." Mata Dokter Rein menatap ke arah wanita itu dengan tatapan bengis, seolah siap membunuhnya kapanpun. Arika gemetar saat salivanya terlalu sulit ditelan kerongkongannya."Aku harus pergi ke klinik. Ingat jangan macam-macam!" Dokter itu memperingatkan Arika dengan suaranya yang tegas."I-iya." Arika tergagap
Arika memandang nanar, "Kamu sengaja membuatku menikah dengan Dokter itu. Dan menerima uang yang banyak dari hasil menjebakku." ujar Arika."Semua orang tahu kalau Dokter itu orang yang baik. Jadi aku berpikir, memaksamu dan menghasutmu agar mau menerima pernikahan itu, apa salahnya? Toh kamu yang akan lebih untung." Bibi Delvi mencoba membela diri, membenarkan keputusannya saat memaksa Arika untuk menikah."Lalu kenapa kamu tidak memberitahuku tentang isi perjanjian yang membahas BDSM dalam pernikahan itu?" sungut Arika menaikan nada bicaranya. Bukan hanya nada suara, perkataan Arika lebih mengejutkan bagi Bibi Delvi.Dia yang tidak tahu dan tidak pernah menyangka ada pembahasan itu menjadi bingung sekaligus merasa bersalah.Ekspresi Bibi Delvi kelu, "Apa? Apakah itu dibahas disana?" "Ya. Itu tertera dengan jelas dan gamblang di sana. Apa kamu nggak tahu? Atau hanya pura-pura nggak tahu? Karena yang terpenting bagimu aku menikah dengannya dan kamu mendapatkan uangmu, iya kan?" Kata A
"Aku akan mengambilkan uangnya. Tunggu saja dulu." Dokter Rein berdiri dari duduknya.Arika pun datang membawa nampan berisi minuman yang telah dia buat dan cemilan. Senyum manis tergurat di wajahnya saat menaruh cangkir teh di atas meja.Bibi Delvi menggenggam tangan Arika, "Aku senang melihat kamu bahagia dengan pernikahan mu, Arika." ujarnya tanpa melepaskan senyumannya."Iya, bi." Arika menjawab dengan singkat dan mengambil duduk di sofa lain.Mereka saling berbincang sambil menunggu Dokter Rein datang. "Ada perlu apa bibi ke sini?" tanya Arika."Aku hanya ingin menengok kamu, Arika." dusta Bibi Delvi tanpa tahu kalau Arika sesungguhnya telah mendengarkan pembicaraan nya sebelumnya bersama Dokter Rein.Tak lama Dokter ganteng berkulit putih pucat itu datang dengan empat gepokan uang di tangannya. Melihat uang yang tak sedikit itu, mata Bibi membulat sempurna dengan binar-binar berpendar dari sana.Arika menatap bibi dengan dongkol yang tertutupi dan melihat kepada Dokter Rein. Mesk
"Semakin sedikit yang kamu tahu, semakin baik Arika." seringai Dokter Rein di hatinya."Aku akan membuat posisiku aman dengan melayanimu. Semoga ini berhasil," harap Arika berdoa di dalam hatinya.Tangannya mengalungi leher panjang Dokter Rein, wajah mereka begitu dekat. Dokter Rein mencium bibir Arika dengan tegas dan menuntut."Bibir mu selalu terasa begitu manis," bisik Dokter Rein ditengah percumbuan mereka."Aku ingin melakukan sesuatu kepadamu." kata-kata itu dan Dokter Rein yang mengucapkannya selalu berhasil membuat Arika bergidik ngeri. Apa lagi yang akan dia lakukan kepadaku? Dan seketika pertanyaan itu yang menggantung dalam pikirannya."Tetapi ini nggak akan berdarah seperti pisau waktu itu." ucapnya lagi."Walau aku tidak bisa berjanji." batin Dokter Rein tersenyum puas.Dia mendudukan Arika di atas tempat tidur. Dokter Rein menarik sebuah tali yang menjuntai di dekat lampu hias. Dari langit-langit kamar sebuah pintu kecil terbuat dari triplek terbuka. Dua buah rantai besi
"Aku tidak tahu, tetapi aku merasa beruntung walau memasuki kehidupan Dokter gila itu, aku menjadi orang yang dia percaya bukan menjadi korban seperti yang lain. Tetapi sampai kapan aku bisa bertahan di sisinya? Bagaimana kalau dia bosan dan menghabisi aku seperti yang lainnya?" pikir Arika tiba-tiba merasa sesak."Aku akan bersikap sebaik mungkin kepada Dokter itu. Dan memuaskan hasrat seksual nya. Ya, aku rasa itu kuncinya aku bisa terus bertahan." sambung pikirannya.Malam ini meski Arika merasa sudah sangat lelah namun Arika tidak dapat tidur. Arika terduduk dengan resah di kursi meja makan. Dia menyeruput kopi instan yang dia seduh beberapa saat yang lalu."Hufh...!" Dokter tampan itu memasuki dapur dengan kemeja dengan noda tanah. Rambut sisi depan yang panjang sedikit menjuntai menutupi matanya sebelum dia sibakkan kebelakang.Arika terkesiap, dia berdiri dengan tiba-tiba."Do-dok-ter telah kembali?" ucapnya terbata karena gugup."Yah...," jawabnya singkat seraya mengangkat cang