Aira diam-diam menaiki loteng. Sebuah ruangan kecil terbuat dari kayu yang menjadi tempat favoritnya untuk bermain sejak kecil dulu. Langit-langit loteng itu tak seberapa tinggi. Hanya cukup untuk digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang tak terpakai. Meskipun kecil dan sesak, tapi ruangan itu selalu menjadi tempat yang dituju oleh Aira setiap kali dirinya bersedih. Biasanya dia akan meringkuk di sana dan duduk menghadap ke jendela kaca yang berbentuk bulat. Seperti saat ini. Aira duduk memeluk lutut sambil menerawang menatap pemandangan halaman depan melalui jendela itu. Tanpa sengaja, ekor matanya menangkap sosok yang paling dia hindari, berdiri gagah di bawah sana sambil berbincang dengan Wildan. "Untuk apa dia kemari?" gumam Aira tak percaya. "Kenapa dia bisa tahu aku pulang ke sini?" desahnya gelisah. Rasa penasaran mulai mengusik. Niat awal yang ingin bersembunyi, kini terkalahkan oleh rasa ingin tahu. Secepat kilat, Aira merangkak keluar dari loteng lalu turun me
Aira hanya bertahan selama seminggu di rumahnya. Dia sudah bertekad bulat untuk mengejar kesempatan bekerja di New York, Amerika. Setelah menyiapkan semua dokumen dan persyaratan, kini Aira disibukkan dengan berburu tiket pesawat termurah. Beruntung, dia mendapatkan satu tiket kelas ekonomi. "Dua hari lagi Aira berangkat, Ma," ucap Aira saat menghampiri sang ibu yang tampak serius merawat tanaman hias di halaman belakang. Kartika langsung menghentikan kegiatannya dan membalikkan badan. "Mama akan selalu mendukungmu, Sayang. Mama tidak akan pernah memaksakan kehendak lagi." "Ma ...." Air mata haru, luruh tanpa bisa ditahan. Aira menghambur ke pelukan ibunya. Dari dulu, usapan penuh kasih sayang dan kecupan lembut di pucuk kepala, selalu menjadi obat mujarab bagi kesedihan Aira. "Apa Mama percaya dengan keputusan Aira?" tanyanya pilu. "Mama akan selalu percaya dan mendukungmu, Nak," jawab Kartika sambil membelai lembut punggung putri bungsunya. "Tapi, Tante Mira dan Kak Sint
Sengaja Aira memilih penerbangan malam untuk berjaga-jaga supaya tidak dibuntuti oleh Manggala. Aira takut, bisa saja pria itu masih bersembunyi di sekitaran rumahnya. Meskipun kamera CCTV di sekeliling rumah menunjukkan sebaliknya. Manggala sudah tak ada lagi di sana. Sejak diusir oleh Mira, dia pergi menggunakan mobil dan tak kembali lagi. "Ah," desah Aira lirih. Setiap kali dirinya memikirkan pria tampan berambut gondrong itu, kepalanya selalu terasa pening. Ada rasa yang mengganjal dalam hati. Sedih, kecewa dan marah, bercampur menjadi satu. Sampai detik ini, adegan percintaan yang dilakoni oleh Manggala bersama Cynthia, terus membayangi benak Aira. Dan yang lebih menyakitkan, mereka melakukan itu saat dirinya terlibat kecelakaan. Terlepas dari apapun alasan Manggala, Aira tak bisa membenarkan hal itu. Daripada pikirannya semakin kalut, Aira pun memutuskan untuk tidur, sebab 22 jam perjalanan udara, sangatlah berat. Hingga waktu berlalu tanpa terasa. Setelah mengalami transit
Aira terpaksa mengajukan cuti dua hari. Dirinya sedang kacau. Pikiran kalut dan mental sedang tidak baik-baik saja. Dipaksa bekerja pun tak akan bagus hasilnya. "Hei, apa kau mau kuantarkan ke rumah sakit?" tawar Catherine. "Tidak usah, Cat. Aku baik-baik saja," tolak Aira halus. "Tapi, kupikir kau harus memeriksakan kandunganmu," saran Catherine khawatir. Aira terdiam. Diusapnya perut yang masih rata itu. Hatinya bimbang. Haruskah dia menghubungi Manggala dan memberitahukan kehamilannya, atau menyembunyikan semua dari pria yang masih menjadi suaminya tersebut. "Aira?" panggil Catherine. Dia sedikit was-was karena teman satu apartemennya itu tak menimpali, dan malah menatap kosong ke lantai. "Ya?" Aira baru tersadar. Dia segera menoleh ke arah Catherine. "Kau dengar kan, apa yang kukatakan barusan? Kita harus pergi ke dokter dan memeriksakan kandunganmu," ulang Catherine. "Ah, aku harus menelepon Manggala!" cetus Aira tiba-tiba. Lincah jemarinya mengetikkan nomor Mangga
Ditemani oleh Catherine, Arunika mendatangi seorang dokter kandungan. "Usia janin diperkirakan sembilan minggu," jelas sang dokter sembari mengusapkan tranducer pada perut Aira. Air mata mulai mengembun. Haru sekaligus bahagia Aira rasakan saat pertama kali mendengarkan detak jantung janinnya. Tanpa bisa berkata-kata, dia menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangan. Begitu pula Catherine yang ikut terharu. "Kita harus memberitahukan berita gembira ini pada keluargamu," cetus Catherine saat mereka berada dalam perjalanan pulang. "Entahlah. Aku ragu, apakah harus mengatakan kehamilanku atau tidak," gumam Aira lirih. "Apa maksudmu? Tentu saja kau harus mengatakannya!" timpal Catherine. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya Aira memutuskan untuk menelepon sang ibu. Setibanya di apartemen dan membersihkan diri, Aira meraih ponsel. Bergetar jemarinya saat menekan kontak Kartika. Tak membutuhkan waktu lama sampai sang ibunda mengangkat telepon. "Halo, Sayang. Apa k
Sudah dua bulan sejak Kartika pulang ke Indonesia. Kini, Aira menjalani kehamilannya seorang diri. Meskipun ada Catherine, tetapi perempuan cantik itu tak bisa 24 jam di samping Aira, karena Catherine juga bekerja. Di satu sisi, Aira juga mengkhawatirkan keadaan sang kakak. Akibat insiden jatuh di kamar mandi waktu itu, Sinta terpaksa melahirkan prematur. Beruntung, Sinta dan bayinya berada dalam kondisi baik. Namun demikian, bayi prematur harus mendapatkan perawatan dan penanganan yang lebih intens. Itulah sebabnya Kartika tetap tinggal di Jakarta untuk mengawasi perkembangan cucu pertamanya. "Aira, kau tidak apa-apa kan, kutinggal sendiri?" tanya Catherine, membuyarkan lamunan Aira. "Memangnya kau mau ke mana?" Aira yang tengah sibuk menyiapkan peralatan memotretnya, langsung menoleh ke arah Catherine. "Aku harus mendampingi atasanku. Kami ada perjalanan bisnis ke luar kota untuk dua hari ke depan," jelas Catherine. "Oh, tidak masalah. Aku tidak selemah yang kau kira," k
Seminggu telah berlalu sejak Aira keluar dari rumah sakit. Brandon sampai harus menyewa apartemen tepat di samping apartemen Catherine. Pria itu selalu bersemangat membantu merawat bayi Aira. Terlebih ketika Catherine berangkat kerja dan Aira sendirian. Seperti pagi ini, Brandon membantu memandikan bayi tampan Aira yang belum diberi nama. "Apa kau tidak ada kerjaan lain?" tanya Aira heran. "Kau sekarang pengangguran, ya?" terkanya. Brandon terbahak mendengar hal itu. "No! Aku punya pekerjaan. Sebuah proyek besar," ujarnya sambil memandikan tubuh mungil yang tampak sangat rapuh itu. Brandon sangat berhati-hati menyentuh putra pertama Aira. "Lihatlah. Wajahnya sangat mirip dengan Manggala." "Iya." Aira tersenyum tipis. Sorot matanya mendadak berubah sendu. "Kenapa dunia selucu ini?" racaunya. "Maksudmu?" "Di saat aku sangat ingin melupakan Manggala dan mencoba melangkah ke depan, Tuhan malah memberikanku seorang bayi yang wajahnya mirip sekali dengan Manggala," desah Air
"Ini. Hadiah untuk bayi kamu, Ra!" Jati menyodorkan beberapa paperbag berukuran besar. "Wildan mengatakan kalau bayimu laki-laki. Jadi, kubelikan barang-barang yang sesuai. Kuharap kamu menyukainya," ucap Jati tulus. "Terima kasih." Aira menerima pemberian dari Jati tersebut lalu meletakkannya di sofa ruang tamu. Sejenak, dia ragu hendak mempersilakan masuk. Namun, mengingat Jati berniat baik, Aira pun terpaksa menawarinya duduk. "Di mana suamimu, Ra?" Jati mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Tatapannya kemudian berhenti pada Brandon yang juga tengah menatapnya tajam. Sementara, Aira juga tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Siapa laki-laki aneh ini?" tanya Jati dalam bahasa Indonesia yang tentu tak dapat dimengerti oleh Brandon. "Dia Brandon, teman sekaligus penolongku. Brandon lah yang membantuku mengurus bayi selama di sini," beber Aira. "Kenapa pria lain yang mengurus bayimu? Memangnya, suamimu ke mana, Ra?" cecar Jati bingung. "Manggala ... pergi." Aira m
"Sayang, kamu marah, ya?" Aira menarik-narik ujung lengan T-shirt yang dikenakan Manggala. "Sungguh aku tidak tahu kalau Hilda akan mengajakku ke rumah itu," beber Aira membela diri. Manggala masih diam, meskipun jemari Aira sudah menggerayangi bagian-bagian sensitif di tubuh tegapnya. "Sayang, please. Jangan diamkan aku. Aku tak kuat," rayu Aira tak putus asa. Kini, dia mengalungkan tangan di leher Manggala, lalu menariknya pelan. Dikecupnya leher kokoh itu berkali-kali. "Aira, geli!" hardik Manggala kesal. Dia jadi tidak bisa berkonsentrasi mengendarai mobil. Namun, Aira seakan tak menghiraukan protes suaminya. Dia malah meninggalkan bekas merah keunguan di leher bawah Manggala. "Astaga!" Manggala menyerah. Dia tak mau membahayakan istrinya akibat tidak bisa konsentrasi saat mengemudi. Dengan penuh emosi, Manggala membelokkan kemudi di sebuah hotel yang kebetulan dia lintasi. "Lho, Ngga? Kok belok ke hotel? Mau ngapain?" cecar Aira grogi. "Menurutmu?" sahut Man
"Tadi rencananya Tante mau mengajak kamu makan pagi menjelang siang bersama-sama, tapi Hilda buru-buru berpamitan pulang," ujar Andini. "Oh, iya, Bu. Kebetulan suami saya juga barusan menelepon. Saya harus cepat-cepat kembali ke kantor," pamit Aira. "Iya, tentu! Tapi, sebelum kamu pulang, tolong bawa ini untuk makan siang kalian. Ini untuk Hilda dan suaminya juga." Andini menyodorkan lima kotak makanan pada Aira. "Banyak banget, Tante?" Sambil berkata demikian, Hilda langsung meraih kotak-kotak makanan yang ditata dalam paperbag itu. "Biasanya para pria porsi makannya lebih banyak," timpal Andini seraya tertawa. "Ah, Tante memang yang terbaik!" sanjung Hilda. Dipeluknya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Tak lupa ciuman pipi kanan dan kiri. Begitu pula Aira. Dia memeluk Andini cukup lama. Ada rasa haru terselip di dada. Bagaimanapun, sejak menjadi menantu, ibunda Jati itu selalu bersikap baik dan lembut padanya. "Sering-sering main ke sini ya, Nak," pinta
Aira berkata sejujurnya. Dia sudah melepaskan masa lalu. Tak ada lagi alasan baginya untuk melihat ke belakang. Dia sudah sangat bahagia bersama Manggala, terlepas dari permasalahan besar yang pernah menimpa sang suami dan dirinya. Jati pun sepertinya tak perlu tahu tentang hal itu. Apalagi Manggala berhasil menyembunyikan insiden besar kecelakaan mereka. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi dalam kemelut rumah tangga mereka selain keluarga dekat Aira dan Manggala. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, Ra," ucap Jati dengan bibir bergetar. "Aku mendapat hukumanku bertahun-tahun lamanya." "Apa?" Aira mengernyit tak mengerti. "Seperti yang kubilang tadi, kukira aku bahagia dengan pilihanku, yaitu Senja. Namun, nyatanya, setelah aku melihat wajah sedihmu di hari perceraian kita, aku merasa gamang," ungkap Jati. "Sejak hari itu, aku merasa ada sudut hatiku yang kosong, ikut terbawa pergi bersamamu. Hal itu mempengaruhi kehidupan rumah tanggaku bersama Senja. Semua jadi terasa ... hambar.
"Eh, ada Aira?" Jati terkesiap menangkap sosok sang mantan istri yang berjarak beberapa meter dari hadapannya itu. "Halo, apa kabar?" Aira melambaikan tangan, berusaha menyamarkan sikap canggung yang tak biasa. "Kok, kamu bisa ada di sini, Ra?" tanya Jati terheran-heran. Dia seolah tak percaya melihat penampakan Aira di rumah yang pernah mereka tinggali bersama itu. "Aku yang mengajaknya ke sini, Mas. Kebetulan, suami Mbak Aira berteman dekat dengan Mas Gading," jelas Hilda. "Oh, begitu." Jati tersenyum kaku sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Eh, Ibu sampai lupa!" Andini menepuk pelan dahinya. "Bisa-bisanya sedari tadi Ibu mengajak kalian bicara, tanpa suguhan apa-apa!" "Eh, tidak usah, Bu. Sebentar lagi, kami juga harus kembali ke kantor. Iya kan, Hil?" Aira mengerjapkan mata berkali-kali sebagai isyarat agar Hilda mengiyakan kalimatnya. Namun, sayang. Wanita cantik berambut pendek itu sama sekali tak paham sinyal rahasia yang dikirimkan oleh Aira kepadanya.
Ada rasa yang tak bisa Aira artikan saat memasuki rumah yang pernah dia huni selama menikah dengan Jati itu. Setiap sudut mengingatkannya akan kenangan buruk pernikahannya bersama suami pertamanya itu. Air mata Aira sudah mengambang di pelupuk ketika terdengar langkah kaki yang berasal dari ruang tengah. Spontan Aira dan Hilda menoleh ke arah suara. "Tante! Lihat siapa yang kuajak kemari!" seru Hilda antusias. Sosok yang baru memasuki ruang tamu itu berdiri terpaku sembari menatap nanar Aira. "Hai, Tante Andini. Apa kabar?" sapa Aira kikuk. Buliran air bening yang sedari tadi dia tahan, kini lolos sudah. Hati Aira seakan tercubit saat melihat wanita yang pernah menjadi mertuanya itu. Andini tampak lebih kurus dari saat terakhir mereka bertemu. Walau memang kecantikannya tak pernah pudar. Sikap anggun wanita paruh baya itu juga tetap melekat dalam setiap lakunya. "Kamu Aira? Benar-benar Aira, kan?" tanya Andini dengan bibir bergetar. "Iya, Tante." Ragu-ragu Aira hendak
"Ah, itu bukan urusanku lagi." Aira tertawa canggung, serba salah melihat air muka Manggala yang tiba-tiba keruh setelah mendengar nama 'Jati'. "Mas Jati betah tinggal di Amerika. Padahal istrinya ngotot meminta pulang ke Indonesia. Kemungkinan hal itu yang menyebabkan pernikahan mereka retak," cerocos Hilda. Aira seakan tertipu oleh kesan pertama Hilda yang tampak seperti gadis lugu yang pemalu dan pendiam. Nyatanya, setelah saling mengenal selama beberapa detik, Hilda banyak berbicara. "Bagaimana kabar istrinya? Sehat-sehat, kan?" tanya Aira mengonfirmasi. "Yang kudengar sih, Mbak Senja sudah kembali sehat. Padahal sempat sakit parah," jawab Hilda. "Ehm, jadi begini ya, kalau perempuan sudah mulai bergosip. Kita dicuekin," seloroh Gading yang disambut dengan tawa renyah oleh Manggala. "Ah, begini saja. Bagaimana kalau kita biarkan Hilda dan Aira mengobrol? Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting denganmu," tawar Manggala. "Hal penting apa?" tanya Gading. "Ini ada kai
"Ini kantor pusat perusahaan start-upmu, Ngga?" Aira menatap gedung lima lantai yang menjulang gagah di depannya."Bagus nggak, Ra?" tanya Manggala dengan mata berbinar."Bagus banget, Ngga." Aira berdecak kagum. Bangunan yang sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca tebal itu terlihat kokoh. "Siapa arsiteknya?""Gading yang mengatur semuanya, Ra. Tempat ini awalnya merupakan gedung tua yang terbengkalai. Aku yang membelinya dengan harga murah. Gading yang merenovasi keseluruhannya," jelas Manggala."Ah, aku jadi tidak sabar bertemu dengan Gading. Sudah lama sejak dia lulus kuliah ya, Ngga?" "Betul sekali." Manggala tersenyum lembut lalu menggandeng tangan Aira. Diajaknya sang istri tercinta memasuki lobi. Ekor mata Aira spontan menangkap rangkaian huruf berukuran besar yang menempel di salah satu dinding lobi. "Nirwana," gumamnya. "Lihat slogannya, Ra," tunjuk Manggala.Aira pun mengalihkan fokusnya pada deretan kalimat di bawah kata 'Nirwana' itu. "Satu klik yang bisa membawa
"Sudah kuduga, Bunda pasti mendengar semuanya." Ibra terkekeh. Namun, di sisi lain dirinya cukup gelisah, khawatir Imelda akan memarahinya, atau lebih parah lagi, memarahi Aira. Kekhawatiran itu bukannya tak beralasan. Ibra sempat menebak bahwa ibunya pasti berpikir jika secara tidak langsung, Aira lah yang menyebabkan Ibra pergi ke luar negeri."Ibra." Imelda maju selangkah dan berdiri tepat di hadapan putra tengahnya itu. Postur Ibra yang tinggi menjulang, membuat Imelda mendongak agar bisa menatap tepat ke arah kedua mata Ibra. "Bunda bangga padamu," ucapnya."Hah!" Ibra melongo. Tak menyangka jika Imelda malah memberinya pujian. "Bunda nggak marah?" tanyanya memastikan."Marah? Kenapa mesti marah? Bunda malah senang dengan pemikiranmu. Tandanya, pola pikirmu sudah dewasa dan matang, Nak," tutur Imelda sembari mengusap lembut lengan Ibra. "Lagipula, anak cowok memang harus merantau. Harus terbiasa menghadapi kerasnya dunia. Mentalmu harus ditempa supaya menjadi laki-laki kuat, layak
Aira tercenung setelah mendengar penuturan Manggala. Sebelumnya, Mira pernah memperingatkan dirinya tentang Ibra yang kemungkinan besar menaruh hati pada Aira. Namun, dia tak pernah menanggapi serius akan hal itu."Apa anak itu benar-benar menyukaiku, Ngga?" gumam Aira. "Siapa yang tidak suka padamu, Ra. Kamu cantik, cerdas, berbakat. Pokoknya paket komplit, deh," sanjung Manggala."Ah, gombal lagi!" Aira mencebikkan bibir."Serius, Sayang!" ujar Manggala."Padahal aku jauh lebih tua dari Ibra. Bisa-bisanya dia naksir aku." Aira terkikik geli."Kamu tuh masih kelihatan seperti anak kuliahan, Ra. Nggak akan ada yang menyangka kalau kamu tuh ibu anak satu," sanjung Manggala lagi."Ah, aku bosan dengan gombalanmu. Mending tidur," gerutu Aira. Sesaat kemudian, dia menarik selimut hingga ke dagu lalu memejamkan mata."Beristirahatlah, Sayang. Selamat tidur." Manggala mengecup lembut dahi Aira sebelum turut tenggelam ke alam mimpi.Entah berapa lama Aira tertidur, dia terbangun saat menden