Aira terpaksa mengajukan cuti dua hari. Dirinya sedang kacau. Pikiran kalut dan mental sedang tidak baik-baik saja. Dipaksa bekerja pun tak akan bagus hasilnya. "Hei, apa kau mau kuantarkan ke rumah sakit?" tawar Catherine. "Tidak usah, Cat. Aku baik-baik saja," tolak Aira halus. "Tapi, kupikir kau harus memeriksakan kandunganmu," saran Catherine khawatir. Aira terdiam. Diusapnya perut yang masih rata itu. Hatinya bimbang. Haruskah dia menghubungi Manggala dan memberitahukan kehamilannya, atau menyembunyikan semua dari pria yang masih menjadi suaminya tersebut. "Aira?" panggil Catherine. Dia sedikit was-was karena teman satu apartemennya itu tak menimpali, dan malah menatap kosong ke lantai. "Ya?" Aira baru tersadar. Dia segera menoleh ke arah Catherine. "Kau dengar kan, apa yang kukatakan barusan? Kita harus pergi ke dokter dan memeriksakan kandunganmu," ulang Catherine. "Ah, aku harus menelepon Manggala!" cetus Aira tiba-tiba. Lincah jemarinya mengetikkan nomor Mangga
Ditemani oleh Catherine, Arunika mendatangi seorang dokter kandungan. "Usia janin diperkirakan sembilan minggu," jelas sang dokter sembari mengusapkan tranducer pada perut Aira. Air mata mulai mengembun. Haru sekaligus bahagia Aira rasakan saat pertama kali mendengarkan detak jantung janinnya. Tanpa bisa berkata-kata, dia menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangan. Begitu pula Catherine yang ikut terharu. "Kita harus memberitahukan berita gembira ini pada keluargamu," cetus Catherine saat mereka berada dalam perjalanan pulang. "Entahlah. Aku ragu, apakah harus mengatakan kehamilanku atau tidak," gumam Aira lirih. "Apa maksudmu? Tentu saja kau harus mengatakannya!" timpal Catherine. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya Aira memutuskan untuk menelepon sang ibu. Setibanya di apartemen dan membersihkan diri, Aira meraih ponsel. Bergetar jemarinya saat menekan kontak Kartika. Tak membutuhkan waktu lama sampai sang ibunda mengangkat telepon. "Halo, Sayang. Apa k
Sudah dua bulan sejak Kartika pulang ke Indonesia. Kini, Aira menjalani kehamilannya seorang diri. Meskipun ada Catherine, tetapi perempuan cantik itu tak bisa 24 jam di samping Aira, karena Catherine juga bekerja. Di satu sisi, Aira juga mengkhawatirkan keadaan sang kakak. Akibat insiden jatuh di kamar mandi waktu itu, Sinta terpaksa melahirkan prematur. Beruntung, Sinta dan bayinya berada dalam kondisi baik. Namun demikian, bayi prematur harus mendapatkan perawatan dan penanganan yang lebih intens. Itulah sebabnya Kartika tetap tinggal di Jakarta untuk mengawasi perkembangan cucu pertamanya. "Aira, kau tidak apa-apa kan, kutinggal sendiri?" tanya Catherine, membuyarkan lamunan Aira. "Memangnya kau mau ke mana?" Aira yang tengah sibuk menyiapkan peralatan memotretnya, langsung menoleh ke arah Catherine. "Aku harus mendampingi atasanku. Kami ada perjalanan bisnis ke luar kota untuk dua hari ke depan," jelas Catherine. "Oh, tidak masalah. Aku tidak selemah yang kau kira," k
Sudah seminggu sejak Aira keluar dari rumah sakit. Brandon sampai harus menyewa apartemen tepat di samping apartemen Catherine. Pria itu selalu bersemangat membantu merawat bayi Aira. Terlebih ketika Catherine berangkat kerja dan Aira sendirian. Seperti pagi ini, Brandon membantu memandikan bayi tampan Aira yang belum diberi nama. "Apa kau tidak ada kerjaan lain?" tanya Aira heran. "Kau sekarang pengangguran, ya?" terkanya. Brandon terbahak mendengar hal itu. "No! Aku punya pekerjaan. Sebuah proyek besar," ujarnya sambil memandikan tubuh mungil yang tampak sangat rapuh itu. Brandon sangat berhati-hati menyentuh putra pertama Aira. "Lihatlah. Wajahnya sangat mirip dengan Manggala." "Iya." Aira tersenyum tipis. Sorot matanya mendadak berubah sendu. "Kenapa dunia selucu ini?" racaunya. "Maksudmu?" "Di saat aku sangat ingin melupakan Manggala dan mencoba melangkah ke depan, Tuhan malah memberikanku seorang bayi yang wajahnya mirip sekali dengan Manggala," desah Aira. "Mu
"Ini. Hadiah untuk bayi kamu, Ra!" Jati menyodorkan beberapa paperbag berukuran besar. "Wildan mengatakan kalau bayimu laki-laki. Jadi, kubelikan barang-barang yang sesuai. Kuharap kamu menyukainya," ucap Jati tulus. "Terima kasih." Aira menerima pemberian dari Jati tersebut lalu meletakkannya di sofa ruang tamu. Sejenak, dia ragu hendak mempersilakan masuk. Namun, mengingat Jati berniat baik, Aira pun terpaksa menawarinya duduk. "Di mana suamimu, Ra?" Jati mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Tatapannya kemudian berhenti pada Brandon yang juga tengah menatapnya tajam. Sementara, Aira juga tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Siapa laki-laki aneh ini?" tanya Jati dalam bahasa Indonesia yang tentu tak dapat dimengerti oleh Brandon. "Dia Brandon, teman sekaligus penolongku. Brandon lah yang membantuku mengurus bayi selama di sini," beber Aira. "Kenapa pria lain yang mengurus bayimu? Memangnya, suamimu ke mana, Ra?" cecar Jati bingung. "Manggala ... pergi." Aira
Aira kembali menemui Jati setelah bayinya tertidur. Dia duduk di samping Catherine, menghadap tepat ke arah pria tampan yang pernah menjadi suaminya selama dua tahun itu. Sementara itu, Brandon memilih untuk pulang ke apartemennya yang terletak di sebelah apartemen Aira dan Catherine. "Bukankah Kak Jati sedang mengembangkan usaha peternakan di Australia? Kenapa sekarang tiba-tiba pindah ke Amerika? Jadi bos pula! Sungguh tidak masuk akal," selidik Aira. Jati tertawa kecil. "Aku membatalkan rencana kerjasama di Australia dan ingin fokus dengan usaha yang telah kurintis bersama dengan rekanku sejak lama," jawabnya. "Apa itu cuma alasan saja?" kejar Aira. "Atau Kak Jati memang sengaja mengikutiku?" ketusnya. "Itu juga menjadi salah satu alasan," jawab Jati enteng. "Astaga!" Aira menepuk dahi, sedangkan Catherine hanya terbengong-bengong. Dia sama sekali tak mengerti bahasa Indonesia. "Apa Kak Jati tidak memikirkan perasaan Senja? Sebagai sesama perempuan, aku paham bagaimana rasa s
Hari berganti tanpa terasa. Kini, putra tampan Aira genap berusia satu bulan. Sayangnya, bayi malang itu masih juga belum diberi nama. "Yang salah itu suamimu, Ra. Anakmu tidak berdosa. Kasihan kalau dia harus terkena dampaknya," tutur Kartika melalui panggilan telepon. "Memangnya Aira sudah berbuat apa sih, Ma?" Wanita cantik itu mendengkus kesal. "Beri anakmu nama, Ra!" hardik Kartika. "Kalau kamu tidak mau, setidaknya biarkan Mama, Tante Mira atau kakakmu yang memberi nama. Jangan semuanya kamu larang!" "Ah." Aira mendesah pelan. "Tunggu satu bulan lagi ya, Ma. Siapa tahu Manggala tiba-tiba muncul." Kartika pun membisu. Lama Aira menunggu, sampai dikiranya sang ibu sudah mengakhiri pembicaraan. "Ma? Halo?" panggilnya. "Ra, apa Mama boleh tanya sesuatu?" "Tanya saja, Ma. Kenapa memangnya?" Aira balas bertanya. "Apa kamu masih mau menerima Manggala kembali?" Jantung Aira berdetak lebih cepat saat mendengar pertanyaan sang ibu. Cukup lama dia berpikir, sampai akhir
"Kak Jati salah." Aira menggeleng seraya tertawa. "Aku belum menjadi janda." "Apa?" Jati tertegun menatap Aira. "Manggala tidak pernah mengucapkan kata cerai. Aku masih sah menjadi istrinya," ungkap Aira. Seulas senyuman tipis, tersungging di bibir ranum dan penuh itu. "Kalau begitu, aku akan tetap menunggu, Ra. Aku sudah bertekad untuk memperbaiki semua kesalahanku padamu," tegas Jati. "Sudah kubilang. Bukan begini caranya!" Nada bicara Aira meninggi. "Maaf," ucapnya saat menyadari bahwa dia sedikit kelepasan. Jati tersenyum, lalu bangkit dari duduknya. "Tidak apa-apa. Habiskan dulu makanmu," titahnya sambil sesekali melirik ke arah monitor bayi yang Aira letakkan di meja makan. "Apa aku boleh melihat bayimu, Ra? Anggap saja sebagai upah atas makan malammu," gurau Jati. Di satu sisi, dia bersiap untuk menerima kemarahan Aira. Namun, siapa sangka jika Aira memperbolehkan Jati masuk ke kamar bayi yang menjadi satu dengan kamarnya. "Sekalian minta tolong jagain selama aku
"Kak Jati salah." Aira menggeleng seraya tertawa. "Aku belum menjadi janda." "Apa?" Jati tertegun menatap Aira. "Manggala tidak pernah mengucapkan kata cerai. Aku masih sah menjadi istrinya," ungkap Aira. Seulas senyuman tipis, tersungging di bibir ranum dan penuh itu. "Kalau begitu, aku akan tetap menunggu, Ra. Aku sudah bertekad untuk memperbaiki semua kesalahanku padamu," tegas Jati. "Sudah kubilang. Bukan begini caranya!" Nada bicara Aira meninggi. "Maaf," ucapnya saat menyadari bahwa dia sedikit kelepasan. Jati tersenyum, lalu bangkit dari duduknya. "Tidak apa-apa. Habiskan dulu makanmu," titahnya sambil sesekali melirik ke arah monitor bayi yang Aira letakkan di meja makan. "Apa aku boleh melihat bayimu, Ra? Anggap saja sebagai upah atas makan malammu," gurau Jati. Di satu sisi, dia bersiap untuk menerima kemarahan Aira. Namun, siapa sangka jika Aira memperbolehkan Jati masuk ke kamar bayi yang menjadi satu dengan kamarnya. "Sekalian minta tolong jagain selama aku
Hari berganti tanpa terasa. Kini, putra tampan Aira genap berusia satu bulan. Sayangnya, bayi malang itu masih juga belum diberi nama. "Yang salah itu suamimu, Ra. Anakmu tidak berdosa. Kasihan kalau dia harus terkena dampaknya," tutur Kartika melalui panggilan telepon. "Memangnya Aira sudah berbuat apa sih, Ma?" Wanita cantik itu mendengkus kesal. "Beri anakmu nama, Ra!" hardik Kartika. "Kalau kamu tidak mau, setidaknya biarkan Mama, Tante Mira atau kakakmu yang memberi nama. Jangan semuanya kamu larang!" "Ah." Aira mendesah pelan. "Tunggu satu bulan lagi ya, Ma. Siapa tahu Manggala tiba-tiba muncul." Kartika pun membisu. Lama Aira menunggu, sampai dikiranya sang ibu sudah mengakhiri pembicaraan. "Ma? Halo?" panggilnya. "Ra, apa Mama boleh tanya sesuatu?" "Tanya saja, Ma. Kenapa memangnya?" Aira balas bertanya. "Apa kamu masih mau menerima Manggala kembali?" Jantung Aira berdetak lebih cepat saat mendengar pertanyaan sang ibu. Cukup lama dia berpikir, sampai akhir
Aira kembali menemui Jati setelah bayinya tertidur. Dia duduk di samping Catherine, menghadap tepat ke arah pria tampan yang pernah menjadi suaminya selama dua tahun itu. Sementara itu, Brandon memilih untuk pulang ke apartemennya yang terletak di sebelah apartemen Aira dan Catherine. "Bukankah Kak Jati sedang mengembangkan usaha peternakan di Australia? Kenapa sekarang tiba-tiba pindah ke Amerika? Jadi bos pula! Sungguh tidak masuk akal," selidik Aira. Jati tertawa kecil. "Aku membatalkan rencana kerjasama di Australia dan ingin fokus dengan usaha yang telah kurintis bersama dengan rekanku sejak lama," jawabnya. "Apa itu cuma alasan saja?" kejar Aira. "Atau Kak Jati memang sengaja mengikutiku?" ketusnya. "Itu juga menjadi salah satu alasan," jawab Jati enteng. "Astaga!" Aira menepuk dahi, sedangkan Catherine hanya terbengong-bengong. Dia sama sekali tak mengerti bahasa Indonesia. "Apa Kak Jati tidak memikirkan perasaan Senja? Sebagai sesama perempuan, aku paham bagaimana rasa s
"Ini. Hadiah untuk bayi kamu, Ra!" Jati menyodorkan beberapa paperbag berukuran besar. "Wildan mengatakan kalau bayimu laki-laki. Jadi, kubelikan barang-barang yang sesuai. Kuharap kamu menyukainya," ucap Jati tulus. "Terima kasih." Aira menerima pemberian dari Jati tersebut lalu meletakkannya di sofa ruang tamu. Sejenak, dia ragu hendak mempersilakan masuk. Namun, mengingat Jati berniat baik, Aira pun terpaksa menawarinya duduk. "Di mana suamimu, Ra?" Jati mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Tatapannya kemudian berhenti pada Brandon yang juga tengah menatapnya tajam. Sementara, Aira juga tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Siapa laki-laki aneh ini?" tanya Jati dalam bahasa Indonesia yang tentu tak dapat dimengerti oleh Brandon. "Dia Brandon, teman sekaligus penolongku. Brandon lah yang membantuku mengurus bayi selama di sini," beber Aira. "Kenapa pria lain yang mengurus bayimu? Memangnya, suamimu ke mana, Ra?" cecar Jati bingung. "Manggala ... pergi." Aira
Sudah seminggu sejak Aira keluar dari rumah sakit. Brandon sampai harus menyewa apartemen tepat di samping apartemen Catherine. Pria itu selalu bersemangat membantu merawat bayi Aira. Terlebih ketika Catherine berangkat kerja dan Aira sendirian. Seperti pagi ini, Brandon membantu memandikan bayi tampan Aira yang belum diberi nama. "Apa kau tidak ada kerjaan lain?" tanya Aira heran. "Kau sekarang pengangguran, ya?" terkanya. Brandon terbahak mendengar hal itu. "No! Aku punya pekerjaan. Sebuah proyek besar," ujarnya sambil memandikan tubuh mungil yang tampak sangat rapuh itu. Brandon sangat berhati-hati menyentuh putra pertama Aira. "Lihatlah. Wajahnya sangat mirip dengan Manggala." "Iya." Aira tersenyum tipis. Sorot matanya mendadak berubah sendu. "Kenapa dunia selucu ini?" racaunya. "Maksudmu?" "Di saat aku sangat ingin melupakan Manggala dan mencoba melangkah ke depan, Tuhan malah memberikanku seorang bayi yang wajahnya mirip sekali dengan Manggala," desah Aira. "Mu
Sudah dua bulan sejak Kartika pulang ke Indonesia. Kini, Aira menjalani kehamilannya seorang diri. Meskipun ada Catherine, tetapi perempuan cantik itu tak bisa 24 jam di samping Aira, karena Catherine juga bekerja. Di satu sisi, Aira juga mengkhawatirkan keadaan sang kakak. Akibat insiden jatuh di kamar mandi waktu itu, Sinta terpaksa melahirkan prematur. Beruntung, Sinta dan bayinya berada dalam kondisi baik. Namun demikian, bayi prematur harus mendapatkan perawatan dan penanganan yang lebih intens. Itulah sebabnya Kartika tetap tinggal di Jakarta untuk mengawasi perkembangan cucu pertamanya. "Aira, kau tidak apa-apa kan, kutinggal sendiri?" tanya Catherine, membuyarkan lamunan Aira. "Memangnya kau mau ke mana?" Aira yang tengah sibuk menyiapkan peralatan memotretnya, langsung menoleh ke arah Catherine. "Aku harus mendampingi atasanku. Kami ada perjalanan bisnis ke luar kota untuk dua hari ke depan," jelas Catherine. "Oh, tidak masalah. Aku tidak selemah yang kau kira," k
Ditemani oleh Catherine, Arunika mendatangi seorang dokter kandungan. "Usia janin diperkirakan sembilan minggu," jelas sang dokter sembari mengusapkan tranducer pada perut Aira. Air mata mulai mengembun. Haru sekaligus bahagia Aira rasakan saat pertama kali mendengarkan detak jantung janinnya. Tanpa bisa berkata-kata, dia menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangan. Begitu pula Catherine yang ikut terharu. "Kita harus memberitahukan berita gembira ini pada keluargamu," cetus Catherine saat mereka berada dalam perjalanan pulang. "Entahlah. Aku ragu, apakah harus mengatakan kehamilanku atau tidak," gumam Aira lirih. "Apa maksudmu? Tentu saja kau harus mengatakannya!" timpal Catherine. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya Aira memutuskan untuk menelepon sang ibu. Setibanya di apartemen dan membersihkan diri, Aira meraih ponsel. Bergetar jemarinya saat menekan kontak Kartika. Tak membutuhkan waktu lama sampai sang ibunda mengangkat telepon. "Halo, Sayang. Apa k
Aira terpaksa mengajukan cuti dua hari. Dirinya sedang kacau. Pikiran kalut dan mental sedang tidak baik-baik saja. Dipaksa bekerja pun tak akan bagus hasilnya. "Hei, apa kau mau kuantarkan ke rumah sakit?" tawar Catherine. "Tidak usah, Cat. Aku baik-baik saja," tolak Aira halus. "Tapi, kupikir kau harus memeriksakan kandunganmu," saran Catherine khawatir. Aira terdiam. Diusapnya perut yang masih rata itu. Hatinya bimbang. Haruskah dia menghubungi Manggala dan memberitahukan kehamilannya, atau menyembunyikan semua dari pria yang masih menjadi suaminya tersebut. "Aira?" panggil Catherine. Dia sedikit was-was karena teman satu apartemennya itu tak menimpali, dan malah menatap kosong ke lantai. "Ya?" Aira baru tersadar. Dia segera menoleh ke arah Catherine. "Kau dengar kan, apa yang kukatakan barusan? Kita harus pergi ke dokter dan memeriksakan kandunganmu," ulang Catherine. "Ah, aku harus menelepon Manggala!" cetus Aira tiba-tiba. Lincah jemarinya mengetikkan nomor Mangga
Sengaja Aira memilih penerbangan malam untuk berjaga-jaga supaya tidak dibuntuti oleh Manggala. Aira takut, bisa saja pria itu masih bersembunyi di sekitaran rumahnya. Meskipun kamera CCTV di sekeliling rumah menunjukkan sebaliknya. Manggala sudah tak ada lagi di sana. Sejak diusir oleh Mira, dia pergi menggunakan mobil dan tak kembali lagi. "Ah," desah Aira lirih. Setiap kali dirinya memikirkan pria tampan berambut gondrong itu, kepalanya selalu terasa pening. Ada rasa yang mengganjal dalam hati. Sedih, kecewa dan marah, bercampur menjadi satu. Sampai detik ini, adegan percintaan yang dilakoni oleh Manggala bersama Cynthia, terus membayangi benak Aira. Dan yang lebih menyakitkan, mereka melakukan itu saat dirinya terlibat kecelakaan. Terlepas dari apapun alasan Manggala, Aira tak bisa membenarkan hal itu. Daripada pikirannya semakin kalut, Aira pun memutuskan untuk tidur, sebab 22 jam perjalanan udara, sangatlah berat. Hingga waktu berlalu tanpa terasa. Setelah mengalami transit