"Ini. Hadiah untuk bayi kamu, Ra!" Jati menyodorkan beberapa paperbag berukuran besar. "Wildan mengatakan kalau bayimu laki-laki. Jadi, kubelikan barang-barang yang sesuai. Kuharap kamu menyukainya," ucap Jati tulus. "Terima kasih." Aira menerima pemberian dari Jati tersebut lalu meletakkannya di sofa ruang tamu. Sejenak, dia ragu hendak mempersilakan masuk. Namun, mengingat Jati berniat baik, Aira pun terpaksa menawarinya duduk. "Di mana suamimu, Ra?" Jati mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Tatapannya kemudian berhenti pada Brandon yang juga tengah menatapnya tajam. Sementara, Aira juga tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Siapa laki-laki aneh ini?" tanya Jati dalam bahasa Indonesia yang tentu tak dapat dimengerti oleh Brandon. "Dia Brandon, teman sekaligus penolongku. Brandon lah yang membantuku mengurus bayi selama di sini," beber Aira. "Kenapa pria lain yang mengurus bayimu? Memangnya, suamimu ke mana, Ra?" cecar Jati bingung. "Manggala ... pergi." Aira m
Aira kembali menemui Jati setelah bayinya tertidur. Dia duduk di samping Catherine, menghadap tepat ke arah pria tampan yang pernah menjadi suaminya selama dua tahun itu. Sementara itu, Brandon memilih untuk pulang ke apartemennya yang terletak di sebelah apartemen Aira dan Catherine. "Bukankah Kak Jati sedang mengembangkan usaha peternakan di Australia? Kenapa sekarang tiba-tiba pindah ke Amerika? Jadi bos pula! Sungguh tidak masuk akal," selidik Aira. Jati tertawa kecil. "Aku membatalkan rencana kerjasama di Australia dan ingin fokus dengan usaha yang telah kurintis bersama dengan rekanku sejak lama," jawabnya. "Apa itu cuma alasan saja?" kejar Aira. "Atau Kak Jati memang sengaja mengikutiku?" ketusnya. "Itu juga menjadi salah satu alasan," jawab Jati enteng. "Astaga!" Aira menepuk dahi, sedangkan Catherine hanya terbengong-bengong. Dia sama sekali tak mengerti bahasa Indonesia. "Apa Kak Jati tidak memikirkan perasaan Senja? Sebagai sesama perempuan, aku paham bagaimana
Hari berganti tanpa terasa. Kini, putra tampan Aira genap berusia satu bulan. Sayangnya, bayi malang itu masih juga belum diberi nama. "Yang salah itu suamimu, Ra. Anakmu tidak berdosa. Kasihan kalau dia harus terkena dampaknya," tutur Kartika melalui panggilan telepon. "Memangnya Aira sudah berbuat apa sih, Ma?" Wanita cantik itu mendengkus kesal. "Beri anakmu nama, Ra!" hardik Kartika. "Kalau kamu tidak mau, setidaknya biarkan Mama, Tante Mira atau kakakmu yang memberi nama. Jangan semuanya kamu larang!" "Ah." Aira mendesah pelan. "Tunggu satu bulan lagi ya, Ma. Siapa tahu Manggala tiba-tiba muncul." Kartika pun membisu. Lama Aira menunggu, sampai dikiranya sang ibu sudah mengakhiri pembicaraan. "Ma? Halo?" panggilnya. "Ra, apa Mama boleh tanya sesuatu?" "Tanya saja, Ma. Kenapa memangnya?" Aira balas bertanya. "Apa kamu masih mau menerima Manggala kembali?" Jantung Aira berdetak lebih cepat saat mendengar pertanyaan sang ibu. Cukup lama dia berpikir, sampai akhirn
"Kak Jati salah." Aira menggeleng seraya tertawa. "Aku belum menjadi janda." "Apa?" Jati tertegun menatap Aira. "Manggala tidak pernah mengucapkan kata cerai. Aku masih sah menjadi istrinya," ungkap Aira. Seulas senyuman tipis, tersungging di bibir ranum dan penuh itu. "Kalau begitu, aku akan tetap menunggu, Ra. Aku sudah bertekad untuk memperbaiki semua kesalahanku padamu," tegas Jati. "Sudah kubilang. Bukan begini caranya!" Nada bicara Aira meninggi. "Maaf," ucapnya saat menyadari bahwa dia sedikit kelepasan. Jati tersenyum, lalu bangkit dari duduknya. "Tidak apa-apa. Habiskan dulu makanmu," titahnya sambil sesekali melirik ke arah monitor bayi yang Aira letakkan di meja makan. "Apa aku boleh melihat bayimu, Ra? Anggap saja sebagai upah atas makan malammu," gurau Jati. Di satu sisi, dia bersiap untuk menerima kemarahan Aira. Namun, siapa sangka jika Aira memperbolehkan Jati masuk ke kamar bayi yang menjadi satu dengan kamarnya. "Sekalian minta tolong jagain selama aku m
Manggala duduk terpekur di ruang kerjanya yang tak sebesar ruangan pimpinan redaksi di Australia. Sebelum dia merintis karir dalam bidang media, Manggala sudah mendirikan bisnis start up kecil-kecilan di bidang perjalanan dan akomodasi bersama Gading. Sejatinya, bisnis tersebut sesuai dengan jiwa petualang Manggala. Namun, karena terlalu sibuk berlari dari kenyataan, dia jadi tak begitu fokus dalam membesarkan usahanya. Manggala malah menyerahkan sepenuhnya pada Gading, dan dia cukup menerima keuntungannya saja. Kini, Manggala tak bisa main-main lagi. Banyaknya start up di bidang serupa, membuatnya kalah saing yang berakibat pada menurunnya performa perusahaan. "Ehem!" Gading berdehem pelan. "Sampai kapan melamun begitu?" guraunya. "Ding? Sejak kapan kamu di situ?" Manggala tampak terkejut dengan kehadiran sahabatnya itu. Tak lupa, dia mengulurkan tangan sebagai isyarat agar Gading duduk di kursi yang berada tepat di depan meja kerjanya. "Sejak tadi, sih. Tapi, sepertiny
Manggala patut berterima kasih pada Brandon. Pria itu telah berbaik hati memberikan alamat rumah sekaligus nomor telepon terbaru Aira. Manggala sungguh tak menyangka jika Brandon bisa bersikap setulus itu. Padahal, awal perkenalan mereka tidak begitu baik. Bahkan Brandon sempat membenci Manggala. Namun, kini semua berubah. Brandon begitu bijak dan dewasa. Tanpa ragu, dia membantu Manggala untuk mendapatkan informasi tentang Aira. Dan, sekarang, di sinilah Manggala berada. Di seberang gedung apartemen sebelas lantai yang menjadi tempat tinggal Aira selama di New York, dia mengingat-ingat rangkaian kalimat yang akan dia ucapkan pada Aira saat bertemu nanti.Sayangnya, kata-kata yang sudah Manggala hafalkan di luar kepala itu harus buyar tatkala ekor matanya menangkap sosok wanita yang masih berstatus sebagai istri tengah berjalan beriringan bersama seorang pria yang tak lain adalah Jati.Dua anak manusia itu tampak begitu akrab. Mereka saling mengobrol dan tertawa. Sesekali, Jati
"Siapa yang ingin kau temui? Nona Catherine atau Nona Aira?" tanya wanita tua itu."Ehm, Aira," jawab Manggala setengah berbisik. Seolah takut jika Aira akan mendengarnya."Oh, kalau begitu, tolong sampaikan salamku, ya. Aku belum sempat berterima kasih saat kemarin Nona Aira memberi pie apel untuk Sammy," pinta si nenek."Baiklah, akan kusampaikan. Permisi," pamit Manggala. Tak lupa dia mengusap-usap puncak kepala Sammy yang terus memandangnya dengan tatapan lucu nan menggemaskan.Manggala melangkah gagah menuju apartemen Aira, tapi langsung membeku saat hendak mengetuk pintunya. Sekilas, dia menoleh ke arah apartemen Sammy. Bocah itu berserta kakek neneknya sudah tak terlihat di sana.Sejenak, Manggala menarik napas panjang. Tangannya sudah terkepal, bersiap mengetuk. Namun, seketika niat yang sudah bulat harus luruh tatkala mendengar sayup-sayup suara Aira yang tengah berbicara dengan Jati.Spontan Manggala menggeser tubuh, berlari menjauh dari pintu apartemen yang terbuka perlahan
Aira mendorong Manggala pelan, saat dirinya tiba-tiba teringat pada video panas yang dilakoni suaminya bersama Cynthia itu. "Jangan," tolak Aira lirih. "Maaf, aku tidak bisa menahan diri," sesal Manggala. Tak seharusnya dia mencium Aira seenaknya, meskipun wanita di hadapannya itu masih sah menjadi istrinya. "Tidak apa-apa." Aira memaksakan senyum. "Selama di New York, kamu tinggal di mana, Ngga?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Di hotel dekat sini," jawab Manggala singkat dengan sorot yang tak lepas dari paras cantik Aira. "Siapa yang memberitahumu kalau aku berada di sini?" tanya Aira lagi, bagaikan detektif. "Brandon," beber Manggala apa adanya. "Astaga!" Aira berdecak kesal. Sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran Brandon. Padahal Manggala adalah saingannya dalam merebut cinta Aira. Namun, kenapa Brandon malah membantu Manggala? "Ra ...." Manggala meraih kedua tangan Aira dan menggenggamnya erat. "Aku benar-benar bahagia dan lega bisa berhasil menemukanmu dan
"Aunty!" Teriakan Sammy membuat Aira terkejut. Konsentrasinya dalam mengambil foto-foto Cynthia pun buyar seketika. "Kenapa lagi, Nak?" tanyanya penuh kesabaran. "Ponselmu berbunyi," jawab Sammy seraya meraih sebuah telepon genggam dari dalam kopernya. "Ponsel siapa itu, Sammy?" Aira mengernyit waspada. "Itu bukan milikku " "Tapi, ayah tadi mengatakan jika ponsel ini berdering, maka aku harus memberikannya pada Aunty. Ayah tadi juga mengatakan kalau aku harus menunjukkan ponsel ini pada Aunty," jelas Sammy panjang lebar. Ragu-ragu, Aira mengulurkan tangan. Dia memutuskan untuk menerima ponsel yang disodorkan oleh Sammy. "Ha-halo?" sapa Aira terbata. "Sayang?" balas suara di seberang sana. Suara yang sudah sangat melekat dalam sanubari, bahkan alam bawah sadar Aira. "Ma-Manggala?" desisnya. "Iya, ini aku. Boleh aku minta tolong, Sayang?" tanya Manggala lembut. "Tentu! Ada apa, Ngga?" "Tolong kirim hasil foto-fotomu ke email yang akan kukirim sebentar lagi di nomor
William terdiam. Di satu sisi, dia merasa sedikit terdesak. Wiliam sendirian di tempat ini. Sengaja dia memutuskan untuk menjauhkan para pengawalnya dari Frederick beserta anak buah pria paruh baya itu, agar rencananya bersama Manggala bisa berhasil. Sebuah pilihan berbahaya, berisiko tinggi. Namun, dia yakin hasilnya akan sesuai dengan yang diharapkan. Keyakinan William itu akhirnya membuahkan hasil. Sebelum anak buah Frederick berhasil meringkusnya, tiba-tiba puluhan pria berambut cepak dengan kaos hitam berlari menghampiri. Pria-pria itu sigap meringkus anak buah Frederick. Mereka melumpuhkan pria-pria bersetelan rapi itu kurang dari lima menit. "Ayah!" Cynthia menunjukkan ketakutannya saat seorang pria asing menodongkan pistol ke pelipis Frederick. Ujung moncongnya membuat pria berambut putih itu menegang. Meskipun demikian, Frederick tetap berusaha untuk menekan rasa takutnya. "Kau pikir bisa menghancurkanku seperti ini, Will?" ejek Frederick dengan senyum meremehkan.
"Aunty! Ayah membawakanku banyak kue. Lihatlah!" Sammy menyeret koper berodanya, lalu meletakkan benda persegi itu di depan kaki Aira. "Wow! Kelihatannya enak-enak!" puji ibunda Enzo itu untuk menyenangkan hati Sammy. "Aunty boleh mengambil satu!" Sammy menyodorkan sebungkus roti keju pada Aira. "Nanti dulu ya, Sayang. Aunty harus bekerja," tolak Aira halus. Diusapnya rambut coklat keemasan itu seraya tersenyum lembut. "Ah, aku lupa pesan ayah," ujar Sammy sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Aunty sedang bekerja, dan aku tidak boleh mengganggu," lanjutnya. "Anak pintar!" Aira tertawa geli. Gemas rasanya melihat Sammy yang semakin hari, tumbuh semakin cerdas. Kembali dia mengacak-acak rambut Sammy sebelum fokus pada kamera tele yang sedari tadi dia pegang. Aira mendudukkan diri di kursi. Tubuhnya menghadap ke dinding kaca tebal. Tatapannya tajam mengarah ke pemandangan di bawah sana, di dekat bibir pantai. Di bangku panjang yang diapit bebatuan pantai itu, telah datang wani
"Kaca gelap ini bisa Anda gunakan untuk kepentingan kita," tutur Alex yang membuat dahi Aira berkerut. "Maksudnya?" "Lihat sisi ini!" Alex mengarahkan telunjuknya ke sudut dinding kaca. Mau tak mau, Aira mengikuti arah pandang Alex. Saat itulah dirinya menyadari bahwa sudut dinding kaca tersebut memiliki warna yang berbeda. Aira memperkirakan bahwa bagian kaca yang berwarna tak terlalu gelap itu memiliki luas tak lebih dari tiga puluh senti. "Untuk apa sudut ini?" tanyanya heran. "Anda bisa mengambil foto dari sana," jawab Alex. "Foto?" ulang Aira tak mengerti. "Tuan Clarks meminta anda mengambil foto dalam jumlah sebanyak-banyaknya dari sisi itu," terang Alex. "Ya, ampun. Kata-kata anda terlalu membingungkan. Aku sama sekali tak paham," keluh Aira seraya menggaruk keningnya. "Begini ...." Alex menggoyangkan tangannya, sebagai isyarat agar Aira mendekat. "Jadi, nanti aku mengatur pertemuan antara Tuan Clarks dan Cynthia. Lokasinya ada di bawah sana," tunjuk Alex.
Baru beberapa menit yang lalu Aira menjejakkan kaki di bandara internasional Ngurah Rai, Bali. Bersama Alex, dia menaiki satu mobil khusus yang telah disewa menuju tempat resepsi yang akan digelar besok. "Kru kita masih sama dengan yang dulu," tutur Alex tanpa ditanya, dan Aira pun mengangguk. "Anda tidak apa-apa, kan? Berpisah sementara dengan Enzo?" tanya Alex memastikan. Aira langsung menggeleng dengan yakin. "Dia aman bersama Mama, Tante Mira dan kakak-kakakku," jawabnya. Mendengar nama Mira disebut, Alex langsung tersenyum lebar. "Ya, aku juga merasa begitu. Enzo pasti akan baik-baik saja," gumamnya. Tak terasa, dua jam perjalanan telah ditempuh. Kini, mereka sampai di sebuah resort pribadi di pesisir selatan pulau Bali. Alex langsung mengajak Aira untuk meeting bersama beberapa orang kru yang akan membantu pekerjaan Aira besok. Sejauh yang dia nilai, konsep pernikahan Brandon ini sangat mewah. Seperti acara resepsi a la barat pada umumnya. Ada beberapa tahapan yang
Manggala mengajak Aira memasuki sebuah kamar lain melalui pintu penghubung di kamar yang ditempati oleh Enzo. Pria tampan yang masih setia dengan rambut gondrongnya tersebut menuntun sang istri dengan sangat lembut dan penuh kehati-hatian. "Kamu makin cantik, Sayang," sanjung Manggala dengan tatapan lekat. Tak sedetik pun dirinya mengalihkan pandangan dari wajah cantik Aira yang sudah dipoles dengan make up elegan. "Syukurlah," desis Manggala kemudian. "Apa?" Aira menautkan alis tanda tak paham. "Gaun pilihanku sungguh sangat cocok dikenakan olehmu." Mata coklat tajam Manggala menyapu tubuh sang istri, mulai dari kepala hingga ujung kaki. Gaun hitam berbahan velvet dengan model A-line itu sungguh sempurna membingkai pinggang ramping Aira. "Ah, Sayang. Rasanya sudah berabad-abad aku tak menyentuhmu." Sorot mata Manggala semakin sayu. Satu tangannya sudah aktif bergerak. Sementara bibirnya, dia dekatkan ke bahu kanan Aira. Dengan satu gigitan, Manggala arahkan tali gaun seuk
"Kamu makin ganteng," sanjung Aira seraya tersipu malu. "Masih gondrong juga." Manggala terkekeh. "Kamu ingin aku potong rambut?" tanyanya lembut. Aira spontan menggeleng. "Kamu mau model rambut macam apapun, tidak pernah gagal terlihat tampan," sanjungnya lagi. Manggala salah tingkah. Pipinya bersemu merah, bagaikan remaja yang baru jatuh cinta. "Benarkah?" Tatapan mata pria itu tampak sayu, terarah pada Aira. "Papap ... papap!" Celotehan Enzo membuat Manggala tersadar. Ada bayi yang sangat dia rindukan dan tunggu kedatangannya. "Jagoan Papa," ucap Manggala. Dia meraih Enzo dari gendongan Aira, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara. "Papa sangat merindukanmu, Nak. Sangat rindu," ungkap Manggala dengan mata berkaca-kaca. Begitu pula Aira dengan perasaan campur aduk. "Sampai kapan kita akan seperti ini, Ngga? Aku mulai lelah," keluhnya. "Tolong, sabar sedikit, Sayang. Berjanjilah padaku untuk bertahan," pinta Manggala. Aira tak menjawab. Malah Enzo yang menanggapiny
Aira terlihat sangat bahagia menggandeng Enzo. Bocah menggemaskan itu terlihat sangat tampan dalam balutan tuksedo hitam. Senada dengan gaun malam Aira yang juga berwarna hitam. Enzo terus berceloteh dalam gendongan ibunya. Sementara tangan Aira yang lain tengah menyeret stroller. Wanita yang terlihat sangat cantik malam itu berjalan tergesa menuju teras. Aira patut terburu-buru, sebab saat itu suda menunggu sebuah mobil mewah sewaan yang terparkir gagah di halaman rumah Kartika. "Selamat malam, Nyonya." Seorang pria bersetelan hitam, keluar dari pintu pengemudi lau bergegas menghampiri Aira. Pria itu juga membungkuk hormat padanya. "Ini alamat yang akan saya tuju, Pak." Aira sedikit kesusahan mengoperasikan ponsel yang sedari tadi dia genggam sambil menggendong Enzo. "Saya sudah tahu, Nyonya. Klien saya sudah membagikan lokasinya," sahut sang sopir sopan. "Oh, baiklah. Terima kasih." Aira seakan tak sabar ingin bertemu dengan suami. Dirinya tak berpikir panjang untuk seger
"Ra! Ada paket buat kamu!" seru Sinta seraya menyembulkan kepala di pintu kamar Aira. "Paket?" Aira mengernyitkan dahi. "Aku nggak pesan apa-apa, Kak?" gumamnya ragu. "Tapi kurir mengatakan paket itu atas nama kamu, Ra. Dia meminta tanda tanganmu. Ayo, cepat!" desak Sinta yang kini sudah masuk ke kamar dan mendekati ranjang Aira. Tak hanya itu, dia juga menarik paksa tangan adiknya. "Ya, ampun! Ini bukan penipuan, kan? Jangan-jangan aku disuruh bayar!" Aira tetap bertahan di tempatnya. "Nggak! Kurirnya bilang, paket itu sudah dibayar. Kamu cuma disuruh tanda tangan," ujar Sinta. Aira akhirnya mengalah. Dia memaksakan diri untuk beringsut turun dari ranjang lalu mengikuti sang kakak menuju ke ruang tamu. "Paket dari siapa?" tanya Aira pada kurir. "Nama pengirimnya tertera di sampul paket, Bu. Silakan tanda tangan," jawab kurir. Aira yang sudah diliputi rasa penasaran, segera merebut kotak persegi yang dibungkus dengan sampul plastik berwarna hitam. Setelah membubuhkan