POV Laila
Ketukan pintu membuatku tersadar dari lamunan.
“Masuk!” ucapku setengah berteriak.“Tumben ketuk pintu dulu,” Aku menyindir Siska ketika pintu terbuka. Cewek tomboy itu terkekeh. Dia melenggang santai.
“Takut ganggu lo!” tukasnya sambil menutup pintu.
“Elah. Kerjaan lo kan emang gangguin gue!”“Set dah, calon janda nyindir mulu ....”
“Asem!!” Kulempar pulpen ke arah Siska.“Eeiitt ... yang ini jandanya galak euy!”“Diem lo! Rese ah!” Sumpah! Candaan Siska kali ini gak lucu banget. Menyebalkan!Siska justru tertawa melihat ekspresi wajahku. Ia menarik kursi, duduk bersebrangan.
“Dua parasit udah lo usir?” Siska bertanya saat tawanya mulai reda. Aku mengangguk, “Udah.”
“Alhamdulillah ... berarti bentar lagi lo sah dong menyandang predikat Janda Laila?” Aku melo
“Laila ... kok ngomongnya gitu? Kamu pura-pura marah sama ibu?” tanya Ibu bersuara lembut.“Pura-pura gimana? Dari dulu, aku gak suka pura-pura! Memangnya Ibu yang suka pura-pura! Pura-pura baik, gak taunya jahat! Udahlah, aku mau pulang!”“Maaf, Laila ... ibu khilaf.”“Iya.” Kumatikan sambungan telepon. Memblokir kontak Ibu. Udah gak ada urusan!Bergegas keluar ruangan. Beberapa karyawan menyapaku. Aku membalas tersenyum. Tiba di parkiran, melenggang masuk ke dalam mobil. Lalu menyalakan mesin. Pulang.***Mang Karman membuka gerbang. Tubuhnya setengah membungkuk. Aku memasukan mobil ke garasi. Kemudian keluar, memanggil Mang Karman. Tergopoh-gopoh suami Bi Inah menghampiri.“Ada apa, Non?”“Jam berapa Bang Haris dan Ibunya pergi?”“Tidak lama setelah Non Laila berangkat,” sahut Mang Karman. Kulirik mobi
Nomor Haris sudah aku blokir. Begitu pun nomor Ibunya. Setidaknya mulai saat ini bisa bernapas lega. Hidupku juga bisa lebih tenang. Tidak ada lagi yang mengganggu. Terutama diganggu dua parasit itu.Kupejamkan mata perlahan. Kantuk mulai menyerang. Menarik selimut hendak tidur. Namun tiba-tiba ponsel berdering. Panggilan masuk. Kuabaikan panggilan tersebut. Namun terus saja berdering.Mau tak mau kuraih handphone, memeriksa siapa yang menelepon malam-malam begini? Ternyata nomor baru. Sengaja tak kuangkat, langsung merijecknya. Tak lama terdengar notifikasi pesan. Dengan mata setengah mengantuk, membuka pesan dari nomor pemanggil tadi.[Laila! Kenapa nomor Ibu dan Haris kamu blokir? Eh inget baik-baik, Selama belum ketuk palu, kamu masih sah istri Haris. Masih menantu Ibu! Benar-benar gak bisa dibaikin. Haris itu udah rela merendahkan diri, masih saja ingin cerai! Ooh ... Jangan-jangan kamu selingkuh dari Haris ya? Makanya ingin cepat-cepat cerai??]
“Tiga bulan lalu, saya kerja di perkebunan teh.” Salma mulai bercerita. Tatapannya menerawang.“Saya asli Majalengka, kerja di situ karena diajak Bibi. Bibi saya asli Bogor. Singkat cerita, pas saya mau ambil gaji pertama, ketemu sama Kang Haris. Awalnya cuma ngobrol biasa, lama-lama ... Kang Haris bilang dia suka sama saya. Cinta sama saya.” Salma menjeda cerita. Mengembuskan napas panjang.“Sebulan lalu, dia datang ke rumah Bibi malam-malam. Saat itu ... Bibi dan Paman saya lagi gak di rumah. Mereka nginap di rumah keponakannya yang habis melahirkan. Lalu ... saya dan Kang Haris ...Maaf, Teh ....” Aku membuang muka, mengerti dengan ucapan Salma yang menggantung.“Gak apa-apa. Lanjutin ceritanya.”“Pagi harinya, Bibi memergoki Kang Haris keluar dari kamar. Bibi marah-marah. Minta Kang Haris tanggung jawab. Kang Haris bilang, ia akan tanggung jawab. Tapi, setelah kejadian itu dia tidak pern
PoV HarisSebelumnya aku sangat bahagia, Laila menyuruhku datang ke rumahnya. Aku pikir ia membatalkan gugatan cerai. Karena menurut Ibu, sebelumnya Ibu bercerita tentang keadaan kami di sini. Ibu berpura-pura sangat menderita.“Kayaknya, si Laila berubah pikiran. Kemarin Ibu telponan sama dia. Ibu ceritain keadaan kita di sini, malah ibu lebih-lebihin. Ah, dasar si Laila bodoh! Gampang banget dibegoin. Tapi syukurlah, akhirnya dia nyuruh kita balik lagi ke rumahnya.” Cerocos Ibu sepanjang jalan.Naas, tiba di kediaman Laila, bukan penyambutan hangat yang kami dapatkan, justru kehadiran Salma, gadis pemetik teh yang sebulan lalu kurenggut keperawanannya.Di rumah Laila, tak sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Kehadiran Salma membuat bibir ini terasa kelu. Tak menyangka gadis yang kupikir sangat lugu itu berani ke kota besar sendirian. Bahkan dengan lancangnya bercerita tentang hubungan kami pada Laila. Jelas saja, Laila
PoV LailaAku bersyukur rapat kali ini berjalan dengan lancar walau mendadak. Dan yang membuatku lebih bersyukur, klien sangat menyukai hasil kerja kami. Rencananya besok syuting untuk pembuatan iklan dimulai.Aku juga tak menyangka kalau Damar sudah menyiapkan lokasi serta menghubungi artis untuk model iklan tersebut.“Jadi gimana? Jadi kan kita weekend di Bogor?” Damar bertanya saat aku melenggang menuju ruang kerja.“Kelarin dulu proyek ini dengan baik,” sahutku datar, tanpa ingin menoleh.“Aku sih yakin, bakal kelar dengan baik. Apalagi tim kita solid banget,” ucapnya optimis. Aku tetap tidak menanggapi. Pikiranku saat ini sedang terbagi-bagi. Satu sisi memikirkan perusahaan, sisi lain memikirkan sidang perceraian besok. Pak Jatmoko sudah mengabari ketika aku dalam perjalanan ke kantor, kalau besok jadwal sidang perceraianku.Aku khawatir di persidangan, Haris dan Ibunya memiliki rencana diluar per
Aku menyesap kopi tegukan terakhir. Kulirik Siska sibuk dengan ponselnya.“Cie ... yang mau nikah, gue di sini berasa Cuma pot bunga yang manis ....” Aku menyindir Siska yang tengah asik chattingan sambil senyam-senyum.“Dih, apaan lo? Garing amat?” timpal Siska sadis tanpa menoleh. Jarinya lincah mengetik tuts keyboard handphone.Baru saja hendak pulang, tiba-tiba seorang wanita berpakaian glamour berjalan ke arah meja kami. Sepertinya aku tidak asing. Semakin dekat jarak wanita itu, aku langsung mengingatnya.“Meyla?!” Pekikku sambil berdiri. Dia mengulas senyum, lalu merangkulku.“Puji Tuhan, kamu masih ingat aku, Lai ....”“Laila, Mey ....” Walau kutahu dari dulu Meyla sering memanggilku dengan sebutan Lai, tapi sampai sekarang aku masih selalu memprotesnya.Siska turut berdiri. Menyaksikan kami sedang berpelukan.“Meyla Chan?” Tanya S
“Mey, Meyla! Gimana ceritanya lo kenal ama tuh orang?” Siska menggoyangkan bahu Meyla. Aku dan Siska benar-benar tak menyangka kalau Meyla kenal Haris dan Ibunya. Meyla menoleh. Menurunkan kedua telapak tangan dari mulutnya.“Sebentar, aku mau minum dulu. Astaga, aku benar-benar shock.” Meyla menyesap Jus alpukatnya hingga habis sambil memegang dada. Dia mengembuskan napas berkali-kali. Wanita berambut panjang itu menatapku lekat.“Keputusanmu gugat cerai Haris udah sangat tepat, Lai.” Bola mata Meyla membulat. Telapak tangannya menggenggam tanganku.“Jawab dulu, gimana ceritanya kamu bisa kenal Haris dan Ibunya?” Aku makin penasaran saat Meyla berbicara seperti itu. Atau jangan-jangan Meyla juga jadi korban gombalan si Haris.“Belum lama ini, Haris dan Ibunya datang ke rumah aku. Kalian tau mereka ngomong apa?” Meyla melempar tanya pada kami.“Ngomong apa?” t
PoV HarisSelesai mengantar Tante Susi belanja, aku langsung pulang. Aku masih tidak terima dia menyebutku supir. Cuih!“Haris, kamu gak nemenin Tante ngobrol dulu? Eh, Haris, Haris tunggu!” Tante Susi mengejar, aku tetap berjalan sambil menunggu angkutan umum yang melintas.“STOP!!” Tante Susi menarik lenganku.“Kamu itu kenapa sih, Har? Dari tadi dieeeemmm ... aja? Tante tanya, cuma jawab singkat. Kamu sakit? Lagi ada masalah?” Aku memalingkan wajah. Tante Susi menggenggam tangan, kemudian mengelus pipiku. Seketika aliran darah berdesir. Panas.Kutatap wajah janda kaya raya itu, dia tersenyum manis, bibirnya sangat seksi.“Jadi, selama ini tante anggap aku supir?” Akhirnya pertanyaan itu lolos juga. Tante Susi tertawa renyah. Buah dadanya ikut bergoyang. Membuat pikiranku semakin tak menentu.“Gara-gara itu kamu marah?” Aku tak menjawab. Tante Susi m
PoV LailaKabar tentang kehamilanku langsung dibagikan Damar melalui media sosial. Berbagai komentar yang berisikan ucapan selamat serta doa-doa dipersembahkan untuk kami. Bahkan Mama mertuaku langsung datang ke rumah. Membawa aneka macam lauk pauk serta susu untuk ibu hamil."Ya Allah, Mama malah repot-repot," ucapku setelah mempersilakan wanita yang telah melahirkan Damar masuk ke dalam rumah."Repot apanya? Tidak, Sayang ... Mama senang bisa berkunjung ke sini apalagi ketika mendengar kabar kamu hamil." Wajah Mama terlihat lebih ceria dari terakhir kali kami bertemu."Terima kasih ya, Ma? Mohon doanya semoga kehamilan Laila selalu sehat, tidak ada masalah yang berarti. Aamiin." Mama mengaminkan harapanku. Damar sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Ia membalas satu persatu ucapan selamat serta doa-doa untuk calon anak bayi kami."Astaghfirullah ... Damar ... Kamu ini kenapa sih tidak juga berubah? Masih saja asyik main hape! Inget lho, kamu akan men
PoV LailaSemalam aku mendengar kabar tentang tertangkapnya Bu Sarnih oleh pihak kepolisian. Beruntung, Polisi langsung sigap menerima laporan Ria. Ternyata bukan hanya Ria yang melaporkan mantan mertuaku, tapi juga Mbak Susi. Wanita yang dulu pernah menjadi simpanan almarhum Haris."Jadi, semalam Ibu Sarnih sudah ditangkap Polisi, Mbak?" tanya Salma saat aku memberitahunya tentang kabar yang disampaikan Nafisa."Iya," sahutku singkat.Entah kenapa sejak semalam kepalaku pusing, badanku juga terasa lemah. Bahkan rencana aku dan Damar yang makan malam di restoran pun batal gara-gara kondisiku ini. Barang kali aku kecapekan."Kasihan sekali, sudah tua harus hidup di penjara," lirih Salma. Aku hanya mengulum senyum. Kalau Bu Sarnih dapat dikasihani dan tahu diri, tidak mungkin Ria, Nafisa dan Mbak Susi tega melakukan hal tersebut. Menjebloskan Bu Sarnih ke dalam penjara. Apalagi Bu Sarnih sangat tega membuat wajah Mbak Susi menjadi terluka.
PoV Bu SarnihLemas sudah persendianku. Berharap Mas Agung yang membayar semua makanan, justru aku yang membayarnya. Kalau tahu kaya gini, lebih baik aku pesan menu yang murah meriah saja. Semua ini gara-gara menu sialan! Mas Agung sih enak, makanannya sudah habis semua. Lah aku, masih ada dua menu yang belum aku cicipi.Kulambaikan pelayan, menyuruhnya membungkus sisa makanan lalu membayar semua pesananku dan pesananan Mas Agung. Apes sekali nasibku hari ini. Padahal sebelumnya aku sangat bahagia mendapat pujian dari Mas Agung.Keluar restoran dengan langkah gontai. Hampir enam juta aku membayar menu makanan tadi. Huh rugi sekali! Lain waktu aku akan membuat Mas Agung mengganti kerugian yang aku alami malam ini. Menghentikan taksi yang melintas, lalu masuk. Kuhempaskan bokong dengan malas. Pusing sekali, harus merelakan uang jutaanku keluar hanya karena makanan. Ah sial!"Bu, Ibu mau kemana?" Pertanyaan supir taksi mengalihkan kekesalanku. Aku meny
PoV Bu SarnihHahahha ... Hatiku sangat bahagia. Di dalam tas ini, uangku saaaaaangat banyak! Sekarang hidupku sudah banyak uang! Aku jadi orang kaya sungguhan. Hahahaha ....Menghempaskan tubuh ke atas kasur, merentangkan kedua tangan, menatap langit-langit kamar hotel.Mulai besok, aku akan mencari tempat tinggal baru. Tidak mungkin selamanya di hotel. Aku ingin mencari rumah yang dapat dicicil tiap bulan. Pembayaran tiap bulannya, aku akan mencari target-target bodoh seperti Nafisa dan Susi!Ngomong-ngomong soal Susi, sekarang dia sudah sadar belum ya? Aku tidak dapat membayangkan jika ia sudah terbangun seperti apa reaksinya. Apalagi wajahnya sangat merah, ditambah bintik-bintik. Iiih ... Menyeramkan! Belum lagi, jika Susi telah menyadari, barang-barang di rumahnya hilang! Dia pasti tambah terkejut dan frustasi. Ah ... Semoga saja si Susi jadi sakit jiwa! Hilang akal warasnya! Terus, dia masuk rumah sakit jiwa deh seperti aku dulu! Kalau mengingat tem
PoV Laila"Nafisa, sabar ya?" Kupegang pundak kanan Nafisa, menuntunnya duduk di sisi ranjang. Air mata sudah membasahi kedua pipinya."Kak! Ada apa?" Ria datang langsung bertanya, dia duduk di samping Nafisa. Meletakkan buku-buku di atas lantai. Tidak lama datang Erni. Adik ketiga Nafisa."Kak Laila, Kak Nafisa kenapa? Kenapa Kak Nafisa menangis?" Belum sempat aku menjawab, Nafisa menghambur dalam pelukan adiknya."Ria ... Maafkan Kakak ... Maafin Kakak ...." lirih Nafisa pada adiknya. Mungkin Nafisa merasa bersalah karena telah memasukkan Bu Sarnih ke rumah ini. Kasihan sekali Nafisa. Bu Sarnih benar-benar tidak berubah. Padahal dia sudah pernah mengalami gangguan kejiwaan. Ria melepaskan pelukan, menatap wajah Nafisa dengan lekat. Memegang kedua pundak Nafisa. Kakak kandung Haris itu hanya merunduk sambil terisak."Kak, ada apa? Kenapa Kakak menangis? Kak Laila kenapa Kak Nafisa menangis?"Tatapan Ria beralih padaku. Ia menu
PoV Bu Sarnih"Iya, Pak. Walaupun baru saya beli beberapa bulan lalu, tidak masalah kalau saya jual. Jadi total semuanya berapa?"Aku tidak mau mereka semua lebih lama di rumah Susi. Khawatir kalau Susi terbangun dan tetangga kanan kiri menaruh curiga. Bisa gawat kalau hal itu terjadi.Pak Kuto menyebutkan nominal hasil penjualan barang-barang elektronik milik si janda gatel. Lumayanlah, lebih dari sepuluh juta. Setelah menyerahkan sejumlah uang, anak buah Pak Kuto mengangkut barang-barang tersebut ke dalam mobil pick up."Terima kasih banyak, Bu. Kalau mau jual barang-barang elektronik lagi, jangan lupa hubungi saya," ujar Pak Kuto tersenyum. Aku hanya mengulum senyum, tidak menanggapi dengan kata-kata.Pak Kuto dan mobilnya pergi meninggalkan rumah Susi. Aku masuk ke dalam. Menyimpan uang ke dalam tas. Masuk ke kamar, melihat kondisi wajah si Susi. Ya ampun, wajah Susi seeprti Kepiting rebus. Merah merona. Terdapat bintik-bintik juga. Aku ber
PoV Bu SarnihAku harus menunggu Susi benar-benar terlelap. Sambil menunggu waktu, duduk di bangku meja rias. Kutatapi wajah Susi yang tenang. Sayang sekali, aku hanya memberinya dua pil obat tidur. Susi bodoh! Dia tidak dapat membedakan mana obat tidur, mana obat flu. Mungkin sudah menjadi takdirku, selalu dipermudah dalam segala urusan.Sudah sepuluh menit Susi terlelap. Sepertinya dia sudah tidur nyenyak. Aku berdiri, menyusuri pandangan ke seisi kamar. Tempat yang pertama kali aku geledah adalah lemari pakaian Susi. Sudah terbukti, kalau barang-barang berharga biasanya disimpan di sana. Contohnya Nafisa dan adiknya. Aku berjalan santai, membuka pintu lemari yang kuncinya memang tergantung.Pintu lemari sudah terbuka, senyumku langsung mengembang. Ada laci! Membuka laci tersebut, tidak ada perhiasan atau uang. Hanya terdapat kumpulan kertas mirip struk minimarket. Mengobrak-abrik, memeriksa kertas apa saja. Ya ampun, bukti tagihan listrik dan struk mi
PoV Bu SarnihDi dalam mobil, aku tak henti tersenyum. Memeluk tas dengan erat. Rasanya hatiku sangat bahagia. Mendapatkan uang dan barang-barang berharga hanya dalam waktu kurang lebih satu jam. Hahahaha ....Aku memberitahu supir taksi ke salah satu hotel. Sementara waktu aku tinggal di sana dulu. Besok baru akan mencari penginapan. Uang Nafisa cukup untuk beberapa hari ke depan. Setelah mendapatkan tempat tinggal yang layak, barulah aku jual semua perhiasan Nafisa. Kemudian hasil penjualan perhiasan, aku simpan di Bank.Tiba di hotel, aku langsung membooking selama dua hari.Di dalam kamar, menghempaskan tubuh ke atas kasur empuk. Gelak tawaku membahana, memenuhi kamar hotel. Mengambil tas, mengeluarkan kembali uang dan perhiasan. Menghitung jumlah uang dan mengenakan perhiasan. Mematut diri di depan cermin, alamak ... Aku masih terlihat cantik! Pakaian Halimah yang bagus, aku kenakan. Untunglah, tidak kebesaran dan kekecilan. Sepertinya pakaian
PoV Laila"Kamu jangan nakutin deh, La! Masa sih Ibu itu tega menggasak barang-barang di rumahku?" Nafisa mengelak, dia tidak percaya kalau ibu angkatnya Haris suka mengambil barang-barang berharga. Aku menghela napas panjang."Kalau di rumah kamu ada orang sih, mungkin enggak akan berani. Di rumah kamu ada siapa?""Ibu aku sama ... Naya. Erni dan Ria lagi pergi ke toko buku.""Bukankah ibu kamu tidak bisa bergerak? Cuma bisa melihat dan mendengar?" tanyaku memastikan kabar yang tempo hari Nafisa ceritakan sebelum pindah ke Indonesia."Iya. Kenapa?""Astaga, Nafisa! Mending sekarang kita lihat keadaan rumah kamu deh! Aku curiga Bu Sarnih memanfaatkan keadaan," ucapku berusaha meyakinkan Nafisa.Nafisa ceroboh sekali. Membiarkan Ibunya yang tidak bisa apa-apa dan Naya yang masih kecil ditinggal berdua sama Bu Sarnih di rumahnya! Bagaimana kalau dugaanku benar? Aku tidak yakin kalau ibu sepenuhnya berubah. Buktinya waktu dia kumat gila