Selesai mengantar Tante Susi belanja, aku langsung pulang. Aku masih tidak terima dia menyebutku supir. Cuih!
“Haris, kamu gak nemenin Tante ngobrol dulu? Eh, Haris, Haris tunggu!” Tante Susi mengejar, aku tetap berjalan sambil menunggu angkutan umum yang melintas.
“STOP!!” Tante Susi menarik lenganku.
“Kamu itu kenapa sih, Har? Dari tadi dieeeemmm ... aja? Tante tanya, cuma jawab singkat. Kamu sakit? Lagi ada masalah?” Aku memalingkan wajah. Tante Susi menggenggam tangan, kemudian mengelus pipiku. Seketika aliran darah berdesir. Panas.
Kutatap wajah janda kaya raya itu, dia tersenyum manis, bibirnya sangat seksi.
“Jadi, selama ini tante anggap aku supir?” Akhirnya pertanyaan itu lolos juga. Tante Susi tertawa renyah. Buah dadanya ikut bergoyang. Membuat pikiranku semakin tak menentu.
“Gara-gara itu kamu marah?” Aku tak menjawab. Tante Susi m
Sudah kuduga, Haris pasti tidak hadir di persidangan. Ia lebih memilih jalan bersama Meyla. Tapi tidak apa-apa, dengan begitu surat perceraian akan cepat selesai.Usai ngobrol sebentar dengan Pak Jatmoko, aku membuka handphone.Ada pesan di grup kami bertiga. Siska, Meyla, dan aku. Grup ini dibuat atas usulan Siska semalam. Nama grupnya juga dari dia, “Three Angel’s.”[Gaess ... aku lagi sama Haris. Mau aku ajak ke salon. Mobil dia baru lho.] Meyla.[Baru ngerental. Hahaha] Aku tersenyum membaca balasan Siska.[Sok tau kamu, Boy ... dia kan pengusaha perkebunan yang sukses, lagi nge-ekspor besar-besaran.][Tapi, boong. Awokwok.][Hahaha ... bisa banget sih kamu nyindirnya. Laila mana nih? Kok dia gak nongol?][Masih jalanin sidang perceraiannya.][Oh iya aku lupa. Berarti si Haris gak dateng ke sana, ya?][Si Haris itu laki pemalas, culas, pengecut, doyan isi cangcut. Wkwkwk][Boooyyy
PoV Haris“Mobil baru?” tanya Meyla menatapku dengan wajah berbinar.“Iya. Bosen mobil yang kemarin,” jawabku bohong. Meyla kelihatannya takjub.“Mobil kemarin dijual?”“Oh, enggak. Ada kok di rumah. Lagian dijual buat apa uangnya? Mending simpen aja. Biar bisa ganti-ganti.”“Hebat ya kamu? Aku makin kagum deh!” Meyla menggamit lenganku.“Jadi Shopping gak nih?”“Jadi dooong.” Aku membukakan pintu mobil, setelah memastikan Meyla duduk dengan nyaman, lalu menutupnya.Sepanjang perjalanan, Meyla tak henti menatapku. Bahkan beberapa kali tersenyum genit.“Kamu kenapa, Mey? Lihatin mulu.” Aku merasa Meyla berubah sikapnya. Dia tambah manis, tidak ketus, dan sombong seperti sebelumnya.“Kamu gak suka aku lihatin?” tanyanya merengut. Aku jadi salah tingkah.“Eng-enggak. Justru
Akhirnya syuting iklan yang kami tangani sudah selesai. Kalau tadi tidak hujan, mungkin jam tujuh malam udah selesai, tadi sempat break lagi dari jam tiga sampai maghrib karena turun hujan cukup deras. Jadilah baru beres jam sepuluh. Alhamdulillah meski demikian, semua tim tetap kompak dan semangat termasuk Citra Karina. Semoga saja produk yang kami iklankan laris manis. Ramai dipasaran.Aku sudah bersiap unuk pulang. Sebelumnya menghampiri Siska terlebih dahulu untuk menyampaikan rencana weekend ke Villa Bogor.“Siap! Biar nanti gue yang umumin ke anak-anak. Betewe, di sana nanti mau diadain acara apa?” Siska menyilangkan tangan ke depan dada. Aku mengerutkan kening, belum mengerti arah bicara Siska.“Acara gimana maksudnya?” Siska menghela napas. Menurunkan kedua tangannya dari lipatan di depan dada.“Game gitu. Apa cuma acara bakar kambing guling, bakar ayam, terus makan-makan?” Aku berpikir sejenak. Kala
PoV HarisLagi-lagi aku merasa dirugikan jalan bersama Meyla. Biasanya aku yang suka morotin uang wanita, ini kebalikan. Meyla tak tanggung-tanggung menghabiskan uangku hampir dua puluh juta. Sudah menghabiskan uang segitu banyaknya, tapi sampai sekarang aku belum bisa menyentuh bibirnya apalagi lebih dari itu. Beda halnya dengan wanita lain, cukup bayar lima ratus ribu jiwa ragaku terpuaskan. Apalagi dengan Salma dan Tante Susi, gratis tapi memuaskan dalam hal servis.Aku kira, setelah diantar pulang ke rumahnya sampai larut malam, Meyla dengan suka rela mengajakku nginap. Menyerahkan tubuhnya begitu saja. Yang terjadi justru dia menyuruhku pulang. Bahkan ketika ingin mencium bibir tipisnya, Meyla mendorong tubuhku menjauh.Aku jadi curiga, jangan-jangan si Meyla ini bukan wanita kaya raya, tapi dia miskin. Gak punya apa-apa.Aku mengemudikan mobil menuju rumah tante Susi, mobil ini biar aku taro di rumahnya saja. Kalau di bawa ke kontrakan mana mu
Hampir satu jam Meyla bercerita tentang kebersamaanya dengan Haris. Aku, Siska, Bi Inah dan Mang Karman masih menyimak.“Mey, lo jangan sampe ketauan kalau Cuma manfaatin dia doang. Sekali-kali lo juga harus ngeluarin duit supaya si Haris gak curiga kalau lo lagi ngerjain dia.” Siska memberi pendapat. Aku mengangguk setuju.“Iya juga sih. Orang macam Haris kan udah berpengalaman banget soal cewek. Dia pasti tau, mana cewek yang beneran takluk ama dia, mana cewek yang Cuma porotin duitnya. Oke deh, next time aku lebih piawai lagi. Udah dulu ya, nanti kita sambung lagi. Aku capek banget nih. Pengen bobo syantik.” Imbuh Meyla.“Oke. Good night.” Balas Siska.Setelah telepon dimatikan, kami menuju kamar untuk melepas penat, istirahat.Pagi hari ketika sarapan, Siska bertanya soal sidang perceraianku kemarin.“Alhamdulillah lancar. Begitu pengacara tunjukin bukti rekaman te
Aku bergegas masuk lift, meninggalkan Bu Sarnih yang masih berdiri. Raut wajahnya nampak kesal. Beberapa kali ia menghentakkan kaki.Lift berhenti lantai empat. Di mana ruanganku dan staff berada. Aku berjalan santai melewati lorong yang tidak terlalu ramai. Beberapa karyawan menyapaku ramah saat berpapasan.Aku mengayunkan langkah hingga di ruang paling ujung, yakni ruanganku.Baru saja menghempaskan bokong, Siska menyembul dari balik pintu. Masuk dan menutup pintu kembali. Lalu tanpa basa-basi ia bertanya, “Mau ngapain ibunya si Haris?”“Pengen tinggal di rumah gue!” sahutku tanpa menoleh. Membuka laptop, memeriksa laporan keuangan.“Terus apalagi?” Siska menarik kursi, duduk bersebrangan denganku.“Katanya Haris dikasih apartemen sama pemilik kontrakan. Tapi ibunya gak mau tinggal di sana.” Imbuhku.“Lah tumben gak mau diajak ke apart? Dia udah ikhlas hidup
PoV Bu Sarnih“Laila, SOMBONG!!! Aku udah ngerendahin diri masih saja sok kaya! Apa salahnya aku tinggal bareng dia? Rumahnya kan luas, banyak makanan, gak bakal dia jatuh miskin Cuma ngasih makan aku doang! Emang dasar wanita angkuh!! Pelit!!” Sejak keluar dari kantor Laila, bibirku rasanya gatal sekali. Tak ingin berhenti memaki dan mengumpat Laila.Si Haris lagi, jadi laki-laki bodoh! Lemah! Kalau begini, aku merasa sia-sia udah pungut dia dari panti asuhan. Padahal dari dulu, tujuanku adopsi Haris tiada lain untuk mendapat belas kasihan dari orang sekitar. Mendapat uang tanpa banting tulang. Sejak suamiku pergi gara-gara kepincut janda gatel, mau tak mau aku harus mencari nafkah sendiri.Sebenarnya aku sudah empat kali menikah. Tapi pernikahanku tak pernah berlangsung lama, mereka meninggalkan karena aku tak bisa memberi keturunan. Makanya, untuk mensiasati, aku pura-pura menganggap Haris adalah anak kandung dari pernikahan dengan sua
Aku membelah kerumunan para karyawan. Ternyata Gita yang tadi berteriak. Gita mendekatiku, jarinya menunjuk ke sebuah kardus berisi dua ekor ayam hitam yang sudah mati yang berlumuran darah. “Bu, i-itu ....” Aku mengikuti arah jari Gita. Di balik semak ada sebuah kardus, terdapat selembar kertas di atas dua bangkai itu yang bertuliskan.“LAILA TUNGGU KEHANCURANMU! AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN PERUSAHAANMU MAJU!!”“Astaghfirullah!!” Aku memekik menutup mulut. Kerjaan siapa ini?“Gita gimana ceritanya kamu temukan kardus itu?” tanyaku pada Gita yang wajahnya terlihat pucat. Gita mengatur napas. Ia masih terlihat ketakutan.“Ta-tadi, waktu saya mau ambil piring di dapur. Saya denger suara kasak-kusuk di sini. Pas saya lihat ada seorang laki-laki yang naro kardus itu. Terus laki-lakinya lari. Penasaran, saya buka kardusnya. Ternyata ....” Raut wajah Gita penuh rasa takut. Dia pasti sangat sh
PoV LailaKabar tentang kehamilanku langsung dibagikan Damar melalui media sosial. Berbagai komentar yang berisikan ucapan selamat serta doa-doa dipersembahkan untuk kami. Bahkan Mama mertuaku langsung datang ke rumah. Membawa aneka macam lauk pauk serta susu untuk ibu hamil."Ya Allah, Mama malah repot-repot," ucapku setelah mempersilakan wanita yang telah melahirkan Damar masuk ke dalam rumah."Repot apanya? Tidak, Sayang ... Mama senang bisa berkunjung ke sini apalagi ketika mendengar kabar kamu hamil." Wajah Mama terlihat lebih ceria dari terakhir kali kami bertemu."Terima kasih ya, Ma? Mohon doanya semoga kehamilan Laila selalu sehat, tidak ada masalah yang berarti. Aamiin." Mama mengaminkan harapanku. Damar sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Ia membalas satu persatu ucapan selamat serta doa-doa untuk calon anak bayi kami."Astaghfirullah ... Damar ... Kamu ini kenapa sih tidak juga berubah? Masih saja asyik main hape! Inget lho, kamu akan men
PoV LailaSemalam aku mendengar kabar tentang tertangkapnya Bu Sarnih oleh pihak kepolisian. Beruntung, Polisi langsung sigap menerima laporan Ria. Ternyata bukan hanya Ria yang melaporkan mantan mertuaku, tapi juga Mbak Susi. Wanita yang dulu pernah menjadi simpanan almarhum Haris."Jadi, semalam Ibu Sarnih sudah ditangkap Polisi, Mbak?" tanya Salma saat aku memberitahunya tentang kabar yang disampaikan Nafisa."Iya," sahutku singkat.Entah kenapa sejak semalam kepalaku pusing, badanku juga terasa lemah. Bahkan rencana aku dan Damar yang makan malam di restoran pun batal gara-gara kondisiku ini. Barang kali aku kecapekan."Kasihan sekali, sudah tua harus hidup di penjara," lirih Salma. Aku hanya mengulum senyum. Kalau Bu Sarnih dapat dikasihani dan tahu diri, tidak mungkin Ria, Nafisa dan Mbak Susi tega melakukan hal tersebut. Menjebloskan Bu Sarnih ke dalam penjara. Apalagi Bu Sarnih sangat tega membuat wajah Mbak Susi menjadi terluka.
PoV Bu SarnihLemas sudah persendianku. Berharap Mas Agung yang membayar semua makanan, justru aku yang membayarnya. Kalau tahu kaya gini, lebih baik aku pesan menu yang murah meriah saja. Semua ini gara-gara menu sialan! Mas Agung sih enak, makanannya sudah habis semua. Lah aku, masih ada dua menu yang belum aku cicipi.Kulambaikan pelayan, menyuruhnya membungkus sisa makanan lalu membayar semua pesananku dan pesananan Mas Agung. Apes sekali nasibku hari ini. Padahal sebelumnya aku sangat bahagia mendapat pujian dari Mas Agung.Keluar restoran dengan langkah gontai. Hampir enam juta aku membayar menu makanan tadi. Huh rugi sekali! Lain waktu aku akan membuat Mas Agung mengganti kerugian yang aku alami malam ini. Menghentikan taksi yang melintas, lalu masuk. Kuhempaskan bokong dengan malas. Pusing sekali, harus merelakan uang jutaanku keluar hanya karena makanan. Ah sial!"Bu, Ibu mau kemana?" Pertanyaan supir taksi mengalihkan kekesalanku. Aku meny
PoV Bu SarnihHahahha ... Hatiku sangat bahagia. Di dalam tas ini, uangku saaaaaangat banyak! Sekarang hidupku sudah banyak uang! Aku jadi orang kaya sungguhan. Hahahaha ....Menghempaskan tubuh ke atas kasur, merentangkan kedua tangan, menatap langit-langit kamar hotel.Mulai besok, aku akan mencari tempat tinggal baru. Tidak mungkin selamanya di hotel. Aku ingin mencari rumah yang dapat dicicil tiap bulan. Pembayaran tiap bulannya, aku akan mencari target-target bodoh seperti Nafisa dan Susi!Ngomong-ngomong soal Susi, sekarang dia sudah sadar belum ya? Aku tidak dapat membayangkan jika ia sudah terbangun seperti apa reaksinya. Apalagi wajahnya sangat merah, ditambah bintik-bintik. Iiih ... Menyeramkan! Belum lagi, jika Susi telah menyadari, barang-barang di rumahnya hilang! Dia pasti tambah terkejut dan frustasi. Ah ... Semoga saja si Susi jadi sakit jiwa! Hilang akal warasnya! Terus, dia masuk rumah sakit jiwa deh seperti aku dulu! Kalau mengingat tem
PoV Laila"Nafisa, sabar ya?" Kupegang pundak kanan Nafisa, menuntunnya duduk di sisi ranjang. Air mata sudah membasahi kedua pipinya."Kak! Ada apa?" Ria datang langsung bertanya, dia duduk di samping Nafisa. Meletakkan buku-buku di atas lantai. Tidak lama datang Erni. Adik ketiga Nafisa."Kak Laila, Kak Nafisa kenapa? Kenapa Kak Nafisa menangis?" Belum sempat aku menjawab, Nafisa menghambur dalam pelukan adiknya."Ria ... Maafkan Kakak ... Maafin Kakak ...." lirih Nafisa pada adiknya. Mungkin Nafisa merasa bersalah karena telah memasukkan Bu Sarnih ke rumah ini. Kasihan sekali Nafisa. Bu Sarnih benar-benar tidak berubah. Padahal dia sudah pernah mengalami gangguan kejiwaan. Ria melepaskan pelukan, menatap wajah Nafisa dengan lekat. Memegang kedua pundak Nafisa. Kakak kandung Haris itu hanya merunduk sambil terisak."Kak, ada apa? Kenapa Kakak menangis? Kak Laila kenapa Kak Nafisa menangis?"Tatapan Ria beralih padaku. Ia menu
PoV Bu Sarnih"Iya, Pak. Walaupun baru saya beli beberapa bulan lalu, tidak masalah kalau saya jual. Jadi total semuanya berapa?"Aku tidak mau mereka semua lebih lama di rumah Susi. Khawatir kalau Susi terbangun dan tetangga kanan kiri menaruh curiga. Bisa gawat kalau hal itu terjadi.Pak Kuto menyebutkan nominal hasil penjualan barang-barang elektronik milik si janda gatel. Lumayanlah, lebih dari sepuluh juta. Setelah menyerahkan sejumlah uang, anak buah Pak Kuto mengangkut barang-barang tersebut ke dalam mobil pick up."Terima kasih banyak, Bu. Kalau mau jual barang-barang elektronik lagi, jangan lupa hubungi saya," ujar Pak Kuto tersenyum. Aku hanya mengulum senyum, tidak menanggapi dengan kata-kata.Pak Kuto dan mobilnya pergi meninggalkan rumah Susi. Aku masuk ke dalam. Menyimpan uang ke dalam tas. Masuk ke kamar, melihat kondisi wajah si Susi. Ya ampun, wajah Susi seeprti Kepiting rebus. Merah merona. Terdapat bintik-bintik juga. Aku ber
PoV Bu SarnihAku harus menunggu Susi benar-benar terlelap. Sambil menunggu waktu, duduk di bangku meja rias. Kutatapi wajah Susi yang tenang. Sayang sekali, aku hanya memberinya dua pil obat tidur. Susi bodoh! Dia tidak dapat membedakan mana obat tidur, mana obat flu. Mungkin sudah menjadi takdirku, selalu dipermudah dalam segala urusan.Sudah sepuluh menit Susi terlelap. Sepertinya dia sudah tidur nyenyak. Aku berdiri, menyusuri pandangan ke seisi kamar. Tempat yang pertama kali aku geledah adalah lemari pakaian Susi. Sudah terbukti, kalau barang-barang berharga biasanya disimpan di sana. Contohnya Nafisa dan adiknya. Aku berjalan santai, membuka pintu lemari yang kuncinya memang tergantung.Pintu lemari sudah terbuka, senyumku langsung mengembang. Ada laci! Membuka laci tersebut, tidak ada perhiasan atau uang. Hanya terdapat kumpulan kertas mirip struk minimarket. Mengobrak-abrik, memeriksa kertas apa saja. Ya ampun, bukti tagihan listrik dan struk mi
PoV Bu SarnihDi dalam mobil, aku tak henti tersenyum. Memeluk tas dengan erat. Rasanya hatiku sangat bahagia. Mendapatkan uang dan barang-barang berharga hanya dalam waktu kurang lebih satu jam. Hahahaha ....Aku memberitahu supir taksi ke salah satu hotel. Sementara waktu aku tinggal di sana dulu. Besok baru akan mencari penginapan. Uang Nafisa cukup untuk beberapa hari ke depan. Setelah mendapatkan tempat tinggal yang layak, barulah aku jual semua perhiasan Nafisa. Kemudian hasil penjualan perhiasan, aku simpan di Bank.Tiba di hotel, aku langsung membooking selama dua hari.Di dalam kamar, menghempaskan tubuh ke atas kasur empuk. Gelak tawaku membahana, memenuhi kamar hotel. Mengambil tas, mengeluarkan kembali uang dan perhiasan. Menghitung jumlah uang dan mengenakan perhiasan. Mematut diri di depan cermin, alamak ... Aku masih terlihat cantik! Pakaian Halimah yang bagus, aku kenakan. Untunglah, tidak kebesaran dan kekecilan. Sepertinya pakaian
PoV Laila"Kamu jangan nakutin deh, La! Masa sih Ibu itu tega menggasak barang-barang di rumahku?" Nafisa mengelak, dia tidak percaya kalau ibu angkatnya Haris suka mengambil barang-barang berharga. Aku menghela napas panjang."Kalau di rumah kamu ada orang sih, mungkin enggak akan berani. Di rumah kamu ada siapa?""Ibu aku sama ... Naya. Erni dan Ria lagi pergi ke toko buku.""Bukankah ibu kamu tidak bisa bergerak? Cuma bisa melihat dan mendengar?" tanyaku memastikan kabar yang tempo hari Nafisa ceritakan sebelum pindah ke Indonesia."Iya. Kenapa?""Astaga, Nafisa! Mending sekarang kita lihat keadaan rumah kamu deh! Aku curiga Bu Sarnih memanfaatkan keadaan," ucapku berusaha meyakinkan Nafisa.Nafisa ceroboh sekali. Membiarkan Ibunya yang tidak bisa apa-apa dan Naya yang masih kecil ditinggal berdua sama Bu Sarnih di rumahnya! Bagaimana kalau dugaanku benar? Aku tidak yakin kalau ibu sepenuhnya berubah. Buktinya waktu dia kumat gila