Share

Bab 3

Melihat sikap Simon yang enggan, Silvia merasa sesak di hatinya dan ingin pergi dengan menggendong putrinya.

Di belakangnya, mata Cevin penuh keengganan. Gadis kecil ini memanggilnya Kakak dengan lembut dan memberinya permen. Dia sangat menyukai adik ini.

Diam-diam dia melirik ke arah Silvia, dia ingin berbicara tapi tidak berani sehingga menundukkan kepalanya karena frustrasi. Mau tidak mau dia bertanya-tanya dalam hatinya, "Apakah karena memiliki adik yang patuh jadi Ibu nggak menginginkanku dan Simon?"

Tapi ... dia dan Simon juga sangat patuh.

Melvin melihat keengganan di mata putra sulungnya dan memanggil Silvia.

"Silvia, ayo kita bicara."

Silvia menggelengkan kepalanya dan menolak, "Nggak ada yang perlu dibicarakan. Suamiku akan segera pulang. Tolong pergi secepatnya."

Alis Melvin yang tajam dan tampan menegang dan wajahnya langsung berubah muram. Melvin menatap ekspresi dinginnya, rahangnya menegang dan kata-katanya seperti pedang tajam.

"Silvia, kamu benar-benar nggak memiliki jeda dalam hubungan!"

"Kamu putus dengan cinta pertamamu dan langsung menikah denganku. Setelah menceraikanku, kamu langsung menikah lagi. Sekarang kamu punya anak perempuan. Kamu benar-benar ahli dalam manajemen waktu!"

Kemarahan Silvia melonjak dalam hatinya ketika mendengar kata-katanya, Silvia menekan emosinya yang berfluktuasi, "Terus kenapa?"

Tak ingin bicara omong kosong lagi dengannya dan takut emosinya akan meluap, Silvia mendesak, "Tadi malam kita sudah sepakat, kalian hanya akan menginap satu malam. Tolong tepati janjimu dan bawa putramu keluar dari rumahku."

Melvin mengatupkan gigi geraham belakangnya, "Silvia, Cevin dan Simon juga anak-anakmu. Karena kamu punya anak perempuan, kamu nggak ingin putramu lagi?"

Melihat keadaan yang semakin parah, sekretaris itu buru-buru melangkah ke depan untuk menjelaskan bahwa tidak ada rumah di sekitar dan jalan terendam banjir, sehingga mereka tidak bisa meninggalkan desa meskipun mereka menginginkannya.

"Ini urusan kalian, nggak ada hubungannya denganku."

"Pak Daniel, bawa bosmu pergi atau aku akan panggil polisi."

Tepat pada saat ini, temannya menelepon, kecuekan di wajahnya menghilang seketika dan suaranya melembut saat menanyakan tanggal kepulangannya.

"Sayang, kapan kamu pulang?"

"Tentu saja aku merindukanmu. Nadine juga merindukanmu. Baiklah, aku akan minta seseorang menjemputmu."

Silvia melakukan percakapan lembut dengan orang di telepon, benar-benar berbeda dari sikapnya yang mendominasi tadi.

Kebencian dan rasa sakit membludak, tubuh Melvin sedikit bergoyang dan dunia di depannya tiba-tiba menjadi gelap.

"Pak Melvin!" seru sekretaris itu!

Melvin langsung pingsan karena demam tinggi!

"Akhir-akhir ini Pak Melvin terlalu sibuk karena urusan Resor Sequoia. Beberapa hari terakhir ini dia mengalami gangguan fisik. Kemarin kedua tuan muda demam dan dia nggak tidur semalaman. Jadi ...."

Mendengar kata Resor Sequoia, cahaya tajam melintas di matanya.

Pesaing yang dibicarakan Karmin dan yang lainnya ternyata adalah dia.

Sesaat kemudian, Melvin sudah terbaring di ranjang di kamar tamu dengan wajah pucat, dia mengenakan piama yang baru saja diganti oleh sekretarisnya. Ini adalah kondisi terlemah dia yang pernah dilihat Silvia.

Setelah pemeriksaan, sekretaris memberinya minum obat. Melihat wajahnya yang pucat, dia tidak tega mengusir mereka di malam hujan.

Dia menghela napas, "Tinggallah dulu di sini."

Mata sekretaris itu berbinar dan dia mengangguk berulang kali.

Melvin tidur sampai tengah malam. Ketika dia bangun dan mendapati dirinya berada di kamar tamu lagi, dia mengerutkan kening.

Sekretaris yang mendengar suara pun segera bangkit dari ranjang lipat untuk memeriksanya.

"Bos, kamu akhirnya bangun!"

"Di mana Cevin dan Simon?"

"Kedua tuan muda sedang tidur di kamar anak-anak di lantai dua."

".... Di mana dia?"

"Nyonya sedang tidur bersama putrinya."

"Jangan panggil dia Nyonya, dia nggak pantas untuk itu."

Anggota tubuh Melvin lemah dan dia tidak punya waktu untuk berpikir terlalu banyak, dia sudah lama tidak sakit, begitu sakit, dia pun tumbang.

Sekretaris itu segera memapahnya berdiri, "Bos, di dapur ada bubur hangat, kubawakan semangkuk?"

Melvin tidak makan apa pun sepanjang hari kecuali sarapan, jadi dia sangat lapar.

Setelah makan, dia pergi ke lantai dua untuk melihat Cevin dan Simon. Pintu kamar tidak tertutup rapat jadi dia bisa melihat dua anak yang terbaring di ranjang melalui cahaya redup di koridor.

Mereka berdua tidur di kamar anak-anak yang disiapkan oleh Silvia untuk putrinya. Ruangannya besar dan ranjangnya sangat nyaman. Mereka masing-masing memeluk boneka besar dan tidur nyenyak.

Di seberang kamar anak adalah kamar Silvia.

Pintunya juga tidak tertutup rapat.

Berpikir bahwa Silvia kini sudah menikah lagi dan melahirkan seorang putri, Melvin mengepalkan tangan dan pergi dengan wajah cemberut.

Ketika bayangan di pintu pergi, Silvia membuka matanya dan tubuhnya yang kaku perlahan mengendur.

....

Dini hari berikutnya.

Nadine belum bangun jadi Silvia yang tidak bisa tidur nyenyak tadi malam ingin turun ke bawah untuk membuat kopi terlebih dahulu.

Dia menyalakan monitor kamar tidur utama di ponselnya dan selalu memperhatikan gerak-gerik Nadine di atas ranjang.

Setelah dua hari bersama Nadine, Cevin semakin jatuh cinta pada adik itu. Meski Simon merasa canggung, dia juga tertarik dengan Nadine yang lucu.

Mereka menyelinap ke kamar Silvia dan menunggu dia bangun di samping ranjang dengan patuh.

Sekretaris sudah lama bangun.

Begitu keluar kamar, dia mencium aroma kopi di seluruh ruangan. Dia melihat Silvia membuat kopi dan meminta secangkir.

Melvin mengganti bajunya dan keluar, lalu dia melihat kedua orang yang sedang minum kopi. Sekretaris itu terkekeh dan berkata, "Bos, kopi yang dibuat Nyonya benar-benar kopi paling enak yang pernah kurasakan, wangi dan asri."

Dia menatap mereka berdua dan berkata dengan tenang, "Oh ya, apa enaknya itu?"

Jantung sekretaris itu berdetak kencang dan dia buru-buru meminum sisa kopinya. "Bos, aku akan keluar untuk melihat situasi hari ini."

Hujan hari ini jauh lebih kecil dibandingkan dua hari sebelumnya, tapi ramalan cuaca mengatakan bahwa hujan akan turun selama seminggu ke depan.

Selama jembatan batu masih terendam banjir, mereka tidak bisa keluar desa.

Raut wajah pria yang memesona itu agak pucat, punggungnya tegap dan ramping, temperamennya anggun dan setiap langkah yang diambilnya bagaikan lukisan berjalan.

Melvin menghampiri Silvia, memandangi cangkir kopi di tangannya dan berkata sinis, "Kita sudah menikah selama lima tahun, aku nggak tahu kamu memiliki kemampuan ini."

Silvia sedang melihat ke monitor di ponsel dan mendapati putrinya sudah bangun.

Dengan tangan kecilnya yang montok, Nadine meraih satu jari masing-masing putra kembarnya sambil tersenyum dan mengoceh, dia bahkan dengan ramah mengajak mereka tidur bersama di ranjang.

Setelah mendengar perkataan Melvin, dia berbalik dan mendengus, "Sepertinya kamu nggak perlu tahu."

Dari sudut matanya, dia melihat sekilas adegan di kamera pengintai ponsel. Karena tidak ada orang dewasa di sekitar, Simon tidak terlalu membenci Nadine. Dia bahkan meminjamkan boneka robot favoritnya.

Silvia meletakkan kopinya dan hendak naik ke atas ketika pergelangan tangannya dipegang oleh Melvin. Suhu tubuhnya masih agak tinggi setelah demam.

"Silvia, apakah kamu nggak merasa bersalah saat melihat kedua putramu?"

"Setelah menghilang lebih dari dua tahun, saat menggendong putrimu, apakah kamu ingat kamu juga ibunya Cevin dan Simon?"

"Mereka baru berusia enam tahun, apakah kamu nggak merasa mereka juga membutuhkan kasih sayang ibunya?"

Keluarga Luke juga merupakan keluarga kaya 20 tahun yang lalu dan berteman dengan Keluarga Lint. Setelah Silvia lahir, dia dan Melvin menjalin pertunangan dari bayi.

Kemudian, Keluarga Luke bangkrut dan keluar dari komunitas, sehingga pertunangan mereka tertunda.

Baru setelah Silvia berusia delapan belas tahun, Fragon Lint menemukannya saat dia masih kuliah di Jaton dengan membawa perjanjian pernikahan. Keduanya bertunangan dan menikah serta memiliki bayi setelah dia lulus.

Silvia awalnya berpikir bahwa mereka berdua akan hidup bahagia selamanya, meskipun tidak ada cinta, mereka akan menghormati pernikahan dan satu sama lain.

Tapi, hanya dalam lima tahun pernikahan diam-diam itu, Melvin gagal mewujudkannya.

"Bersalah, kenapa aku harus merasa bersalah? Kamulah yang seharusnya merasa bersalah! Melvin, ketika kamu bermesraan dengan kekasih gelapmu, pernahkah kamu ingat kalau kamu juga ayah dari dua orang anak?"

"Kamu benar-benar nggak masuk akal! Kami hanya makan bersama, apa perlu begitu?"

Silvia menahan keinginan untuk melotot, kondisi sudah seperti ini, tetap saja pujaan hatinya yang dia utamakan.

Mata Melvin muram dan dia berkata, "Silvia, Vivi bukan tipe wanita seperti yang kamu kira. Nggak masalah kalau kamu salah paham tapi jangan fitnah orang lain."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status