Share

Bab 2

Silvia menggendong putrinya, mencium pipi mulusnya dan berkata dengan tatapan lembut, "Nadine anak baik, Ibu yang main dengan Nadine."

Mereka melihat ibunya dan Nadine begitu dekat.

Cevin sedikit iri dan sedikit kecewa, Simon sengaja memalingkan wajahnya dari mereka.

Pria yang dingin dan anggun itu melihat kekecewaan di wajah putranya dan matanya berubah dingin saat menatap Silvia.

Setelah sarapan, Melvin dan sekretarisnya keluar untuk mencari jalan keluar.

Mereka sudah pasti akan berangkat hari ini, Silvia tidak khawatir kedua anaknya akan tinggal lebih lama lagi.

Meski telah berpisah selama beberapa tahun. Sekalipun anaknya tidak mencintainya, mereka tetaplah anak kandungnya.

Tapi ....

Melihat badai yang tiada henti di luar jendela, Silvia mengerutkan kening, dia merasakan firasat buruk.

Saat dia sedang membuat kopi, Cevin mengambil mobil mainan kesayangannya, lalu dengan hati-hati menjulurkan kepalanya ke luar ruangan dan bergeser ke arah Nadine sedikit demi sedikit.

Nadine sedang duduk di pagar sambil melambaikan tangan kecilnya yang montok.

"Kak."

Silvia berbalik ketika dia mendengar suara itu, Cevin berhenti dengan kaku di luar pagar.

Menatap mata Silvia, dia menundukkan kepala dengan canggung dan berkata dengan canggung, "Ini mainan baru yang Ayah beli untukku. Aku mau berikan pada Adik."

Melihat Silvia tidak menghentikannya, Cevin menyerahkan mobil mainan itu kepada Nadine.

"Dik, untukmu."

Nadine berdiri dan berjalan menuju pagar sambil dengan gembira menggandeng tangan Cevin, dia ingin Cevin masuk dan bermain dengannya.

Simon berteriak, "Kak, jangan berikan itu!"

....

Ketika Melvin kembali, dia mendengar Simon menangis.

Wajahnya yang sempurna bagaikan tertutupi embun beku dan bibir tipisnya membentuk lengkungan dingin saat dia berjalan cepat menuju anak bungsunya yang sedang menangis.

Nadine memeluk mobil dan bersandar di pelukan ibunya dengan patuh, bertanya-tanya kenapa kakak asing itu menangis begitu keras.

Cevin melihat Simon menangis dan segera menghampiri untuk menghiburnya, tapi Simon mendorongnya hingga terjatuh ke lantai.

"Aku nggak mau Kakak, kamu pergi main dengan anak dari wanita jahat!"

Melvin menggendong Cevin yang terjatuh, lalu berbalik dan menatap Simon sambil memarahi dengan suara tegas, "Simon! Bagaimanapun juga, dia adalah ibumu, minta maaf! Kamu juga harus minta maaf pada kakakmu."

Simon menangis keras, "Nggak mau! Dia bukan ibuku, dia nggak sayang aku, Ayah, aku mau Tante Vivi, boleh antar aku cari Tante Vivi? Kakak menyukai putri dari wanita jahat, dia seorang pengkhianat!"

Melvin menatap Simon dengan wajah tegas dan hendak terus memarahinya ketika mendengar perkataan Silvia.

"Melvin, dia benar, aku nggak layak menjadi ibunya."

"Ini sudah pagi, sudah waktunya kalian meninggalkan rumahku."

Niat mengusir tamu sangat jelas.

Hujan deras di luar tak kunjung reda saat subuh, bahkan lebih deras dari hujan tadi malam.

Bukan hanya susah untuk mengemudi, bahkan di dalam rumah pun sulit untuk melihat keluar.

Melvin tidak menyangka dia begitu tidak berperasaan sehingga aura dingin di tubuhnya tiba-tiba turun hingga ekstrem.

Dia sebagai pewaris Keluarga Lint yang merupakan keluarga terkaya, ditakdirkan untuk menikmati sumber daya terbaik di dunia sejak lahir.

Dia dinyatakan sebagai pemuda jenius dan legenda bisnis, sejauh ini dia tidak pernah gagal.

Kecuali pernikahannya dengan Silvia ....

Itu hanya berlangsung selama lima tahun.

Matanya dingin, "Silvia, mereka adalah putra kandungmu yang kamu kandung selama 10 bulan! Bagaimana kamu tega membiarkan mereka keluar di tengah hujan lebat seperti ini?"

Ada nada jengkel dalam suara pria itu dan dia menarik kerah bajunya.

"Silvia, Cevin dan Simon baru saja demam. Kata-kata tadi nggak disengaja. Apakah kamu akan bertengkar dengan anak berusia enam tahun?"

Cevin menjelaskan dari samping, "Ayah, yang kuberikan pada adik adalah mobil yang Ayah beli untukku. Mobil Simon ada di rumah. Dia mengira aku memberikan mobilnya kepada adik, jadi dia marah."

Melvin tidak pernah menolak permintaan kedua anak itu untuk membeli mainan. Saat mengetahui bahwa Simon ternyata membuat keributan soal mobil, matanya menjadi dingin.

"Simon, Kakak bisa memutuskan kepada siapa mainan Kakak akan diberikan. Tangisanmu nggak masuk akal."

Nadine yang berada di pelukan ibunya tidak bisa memahami perkataan orang dewasa, tapi ketika mendengar kata "mobil", dia melepaskan pelukan Silvia dan berjalan ke arah Simon sambil memegang mobil tersebut.

Nadine menyerahkan mobilnya pada Simon, "Kak, main."

Dia berpikir kalau dia memberikan mainan itu kepada Kakak, Kakak akan berhenti menangis.

Siapa sangka Simon malah memalingkan wajahnya, air mata besar jatuh setetes demi setetes, dia menangis semakin keras.

Setiap kali Nadine menangis, ibunya akan memeluknya erat-erat. Dia meletakkan mobilnya di atas meja kopi, berjalan mendekat dan memeluk Simon sambil menepuk lembut punggungnya dengan tangan gemuknya.

"Kak, jangan menangis."

Simon belum bisa dibujuk oleh anak yang lebih kecil, jadi dia bersandar di pelukan ayahnya dengan agak malu dan bergumam, "Tapi, aku bukan kakakmu."

.... Bahkan wanita jahat pun tidak mengakui mereka sebagai putranya.

Nadine memandang Melvin dengan tidak mengerti, dia tidak mengerti maksud Simon. Dia berbalik dan mengambil toples permennya lalu menghampiri Silvia.

"Bu, mau makan permen."

Silvia menyentuh kepalanya dan mengambil satu untuknya. Dia hendak menggendong Nadine ke atas, tapi Nadine berlari dan menyerahkannya kepada Cevin.

"Untuk Kakak."

Itu permen favorit Nadine, Silvia hanya memberinya satu permen setiap harinya.

Baginya, itu adalah makanan terenak.

Melihat dia menyerahkannya kepada Cevin tanpa ragu, Silvia tertegun sejenak. Putrinya belum pernah sedekat ini dengan anak-anak lain secepat ini.

Nadine melihat Simon memandangnya secara diam-diam dan mengira Simon ingin makan juga, jadi dia menyerahkan permen itu kepadanya dengan sangat murah hati.

Simon menepis permen itu dan mendengus, "Aku nggak akan makan permen yang dibeli oleh wanita jahat!"

Melvin mengerutkan keningnya, dia merasa marah atas kekasaran putranya saat itu, "Simon! Kamu kasar sekali. Adik ini memberimu permen, apa yang harus kamu katakan?"

Simon menarik tangannya dan menatap Nadine, lalu menatap Silvia yang memasang wajah dingin di hadapannya sambil berkata dengan suara teredam.

"Terima kasih, Dik."

Nadine memiliki kepribadian yang baik, dia tersenyum dan mengambil lagi toples permen itu dan menyerahkan seluruh toples permen itu kepada Cevin.

"Semua untuk Kakak."

Dia lebih menyukai Kakak ini, Kakak ini mau bermain mobil dengannya!

Cevin tidak menyangka bahwa Nadine akan memberinya sebotol permen utuh jadi dia menatap Nadine dengan bengong sambil memegang toples permen itu.

Nadine menarik-narik bajunya, "Kak, panggil Ibu!"

Cevin menatap mata Silvia sedikit canggung dan malu.

Dia ragu untuk berbicara sehingga membuat Nadine sedikit cemas.

Dia setiap kali harus memanggil ibu kalau ingin makan permen. Bagaimana Kakak bisa makan permen kalau dia tidak memanggil Ibu?

Dia menggandeng tangan Cevin dan menghampiri Silvia, lalu menunjuk permen itu dan menunjuk ibunya sambil berkata lagi, "Bu."

Kali ini, Cevin akhirnya tersipu dan ragu-ragu untuk waktu yang lama sebelum dengan lembut memanggil "Bu".

Mendengar kalimat ini, Silvia tidak bisa menahan diri lagi, matanya tiba-tiba memerah, dia mengangkat kepalanya untuk menahan air mata di matanya, lalu mengangguk ke arahnya.

Nadine tersenyum cerah.

Dia tidak mengerti kecanggungan antara orang dewasa dan Kakak. Dia hanya tahu bahwa makan yang manis-manis akan membuat hatinya bahagia.

Melihat Kakak punya sebotol permen dan dia hanya punya satu, Simon merasa sedikit tidak puas dan mengintip ekspresi Silvia sambil berpikir bahwa mungkinkah kalau dia memanggil ibu maka dia bisa mendapatkan sebotol besar permen?

Cevin terlebih dahulu mengeluarkan permen lolipop dari toples permen, membuka bungkus permennya dan menyerahkannya pada Nadine.

Dia mengambil satu lagi dan meletakkan sisanya kembali ke meja kopi.

Cevin menyerahkan permen lolipop di tangannya kepada Simon, "Simon, punyaku untuk kamu."

Melvin selalu menunjukkan kehangatan yang langka saat berinteraksi dengan anak-anaknya. Dia menyentuh kepala putra sulungnya dan berkata, "Cevin, karena adik ini berikan permen untukmu, kamu makan saja sendiri. Simon sudah punya."

Di Keluarga Lint, Cevin tidak pernah dituntut untuk memberikan miliknya kepada Simon. Sejak kecil, semua yang diterima kedua anak itu akan dibagi rata.

Nadine sudah kembali ke pelukan ibunya dan memperhatikan Melvin yang terus meminta Simon meminta maaf.

Simon dengan cepat meminta maaf pada Cevin.

Saat meminta maaf kepada Silvia, Simon merasa canggung, suaranya lebih pelan dari nyamuk dan dia tidak berani mendongak untuk menatap Silvia.

"Maaf, aku seharusnya nggak bilang kamu itu wanita jahat."

Saat kata "Bu" hampir terucap dari bibir Simon, Simon mengamati sikap Silvia, dia berharap Silvia akan memeluk dan menghiburnya seperti sebelumnya, tapi tidak terjadi apa-apa.

Yang dilihat Silvia hanyalah Nadine dalam pelukannya, Simon merasa semakin sedih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status