Ledakan dahsyat kembali terdengar, sebuah kejadian yang sudah tidak asing lagi bagi Akshita. Namun, ledakan kali ini sedikit beda suaranya. Bahkan terasa asing dan aneh. "Apa yang Anda lakukan, Tuan? Apakah semua kesaktian Wedari harus dicabut dan lenyapkan?" cerca Akshita. "Hanya itu yang mungkin bisa hentikan semua sepak terjangnya untuk saat ini. Setidaknya dunia persilatan tidak akan mengenal lagi siluman rubah ekor tiga."Jagat berjalan meninggalkan Akshita yang masih bingung dengan kalimat pemuda yang sudah berhasil menawan jiwa dan batinnya. Akshita memilih segera melangkah mengikuti Jagat dari belakang. Akan tetapi, baru kakinya melangkah sejauh satu meter terlihat bayangan hitam melompat dari tebalnya debu yang beterbangan akibat lain pertempuran itu. Akshita menjerit sambil mundur. "Augh. Hai, dasar rubah!" umpat Akshita sambil melangkah mundur Mendengar pekikkan lirih dan umpatan Akshita membuat Jagat menghentikan langkahnya dan berbalik badan untuk memastikan apa yan
Akshita menangkupkan kedua tapak tangannya di dada sambil membungkukkan badannya. Namun, apa yang dilakukan oleh Akshita justru memperlihatkan belahan dadanya yang indah. Pria itu seketika menelan salivanya kasar. Tangan pria itu terangkat dan mulai maju hendak menyentuh kulit punggung Akshita yang terlihat jelas keindahannya. Penjual yang sejak awal hanya diam akhirnya memilih segera berdiri untuk memberi pernyataan pada pria itu. "Maaf, Juragan Darso, wanita cantik ini bukanlah pekerja saya. Dia pembeli baru," kata penjual. "Aku tidak peduli lagi siapa wanita ini, Karno. Apa yang ada di depanku dan aku ingin maka dia milikku. Kau pasti paham!"Akshita membeliak tidak percaya dengan pendengarannya. Dia membekap mulutnya yang terbuka, lalu ekor matanya melirik pada Jagat seakan meminta pertolongan. Namun, Jagat masih menatap dan memindai keadaan sekitarnya. Dilihat seluruh kedai terdapat warga biasa yang tidak memiliki kelebihan ilmu kanuragan membuat Jagat sedikit berpikir bagaim
Akshita menatap heran pada Jagat, lelaki ini seakan bisa membaca dan melihat sesuatu yang belum tampak. Namun, dia juga tidak berani untuk membantah setiap kata yang terucap dari Jagat. Akshita pun gegas menghabiskan sisa makanannya lalu melipat rapi daun jati pembungkus nasi dan lauknya. "Sudah, Tuan.""Sebaiknya selama penyerang itu datang jangan pernah kau tinggalkan batang ini. Paham?"Akshita mengangguk mengerti. Lalu dia mulai mencari batang yang sedikit lebih besar untuk mampu menopang tubuhnya. Setelah menemukan tempat ternyaman, Akshita meletakkan barang bawaannya dan menyelonjorkan kedua tungkai. Wanita yang masih tertutup misteri itu pun perlahan bersandar pada pohon utama sambil menatap wajah Jagat. Pria yang mampu menawan hatinya sejak usia dini itu kini telah nyata ada di depannya. Namun, secara jiwa dan hati masih belum mampu dia raih dan reguk madu manis lendir perjaka Jagat. "Apalagi yang harus aku lakukan, Dyang?" batin Akshita mengutarakan pertanyaan pada penguas
Mendengar bentakan Darso membuat keempat pria yang mengepung Jagat seketika langsung bergerak maju mulai menyerang Jagat dari empat arah. Tendangan dan tinju datang silih berganti dari keempatnya. Namun, dengan santai dan cepat Jagat bisa menghindar meskipun sesekali dia bisa membalas gerakan mereka. Hingga mencapai jurus ke 25 mereka masih menggunakan tangan kosong, sementara senjata mereka biarkan tergantung di pinggang masing-masing. Bagitu pun Jagat. Pemuda itu melayani semua serangan mereka dengan tangan kosong. SreetSuara kain sobek terdengar nyata membuat salah satu penyerang berhenti untuk memastikan. Kedua bola mata Rebo membeliak tidak percaya, bagaimana bisa kain atasnya robek saat tinjunya berhasil menyentuh dada Jagat. "Sialan, apa yang kau lakukan pada pakaianku?" tanya Rebo dengan lantang. Jagat mengulum senyum, lalu mengangkat dagunya seakan menunjuk pada gerakan kawan Rebo yang berakibat senjata temannya itu berhasil merobek kain atasnya. "Kau ...!" geram Rebo.
Darso tidak mengindahkan apa yang sudah disarankan oleh Jagat, dia ngotot menyerang lawannya hanya untuk mendapatkan tubuh Akshita yang sudah membuatnya malu dan berhasrat. Darso langsung merapal mantra khusus, kedua lengannya manekuk ke dalam dan mulai berputar searah mata angin. Lama kelamaan lengan itu terlihat patah dan terbang melesat menuju ke tubuh Jagat. Melihat hal yang tidak biasa membuat langkah Jagat mundur beberapa langkah. Dia tidak mengerti dengan jenis ilmu yang digunakan oleh Darso. Namun, dia berusaha untuk meredam rasa bimbangnya dan bertekad untuk menaklukkan. Sementara di atas pohon lebih tepatnya batang pohon tempat Akshita istirahat mulai bergetar. Getaran tersebut membuat wanita cantik tersadar lalu segera menyelaraskan pandangannya dengan sekitar. "Oo, rupanya aku masih di sini. Aneh, rasanya aku tidak hanya tidur. Mungkinkah?" gumam Akshita berbicara sendiri. Kemudian batang itu mulai bergetar lagi seakan ada angin yang membuatnya goyah. Akshita pun mul
Jagat terdiam, dia tidak ingin melakukan hal diluar janjinya. Baginya Darso sudah sekarat, maka tidak pantas baginya untuk menghilangkan nyawa. Lagi pula pria senja itu tidak sepenuhnya bersalah. Akshita sendiri pun belum sempat terjamah ataupun dilecehkan jadi dia berpendapat bahwa Darso bukanlah penjahat. Perlahan Jagat melangkah mendekati Darso yang duduk sila sambil sesekali memuntahkan darah kental. "Bagaimana jika kita barter, Juragan?""Cuih, aku tidak sudi. Bagiku siapa pun yang menghalangi niatku, maka dia adalah musuhku. Aku tidak peduli," ungkap Darso. "Lukamu cukup parah, Juragan. Mari kita bertukar obat, bagaimana?"Darso tidak meluluskan apa yang diinginkan oleh Jagat, dia justru meludahi wajah pemuda ayu tersebut. Dengan pelan Jagat mengusap wajahnya yang terlempar ludah bacin. Namun, semua itu tidak membuat pemuda itu naik darah. "Suamiku menawarkan hal baik padamu, Darso. Tetapi apa tanggapanmu! Kau adalah manusia nista, tidak ingatkah kamu akan nasih anak istri
Kini rombongan Jagat sudah berada di sebuah rumah bambu milik salah satu anak buah Darso. Joko yang sejak tadi hanya diam kini mempersilakan Jagat untuk duduk di tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan. Setelah semua duduk berjajar di ruang tamu yang terlihat kosong tanpa perkakas berarti barulah Joko beranjak meninggalkan mereka. Kini menyisakan Jagat, Akshita dan tiga pria lainnya. Jagat terlihat memindai seluruh ruangan tersebut. "Apakah semua kondisi rumah kalian sama seperti ini?" tanya Jagat. "Begitulah, Pendekar. Kami hanya hidup berkeliaran di sekitar rumah juragan jadi tidak pernah menetap dan istirahat di rumah," jawab Rebo. Akshita melihat sekeliling dan matanya berhenti di satu sudut yang sedikit berbeda. Kedua matanya menatap tajam, lalu mengerjab berulang seakan ingin memastikan apa yang sedang dilihatnya. Merasa kurang jelas, maka Akshita pun bangkit dan berjalan mendekati sudut tersebut. Tangannya terulur hendak mengambil benda yang sejak tadi membuatnya penas
"Pangeran?" tanya keempat pria yang ada di sana. Akshita segera membekap mulutnya, dia kelepasan membuka identitas lelakinya. Saat itu juga dia pun merubah kalimatnya agar mereka tidak curiga. "Apa maksud dari kata pangeran yang terucap dari mulutmu itu, Nisanak?" tanya Rebo. Akshita tidak menjawab pertanyaan pria tersebut, dia lebih memilih mencoba membangunkan Jagat. Beberapa titik penting tubuh lelakinya belum mampu membuat Jagat tersadar. Tapak tangan Akshita menyentuh dahi Jagat. Saat menyentuhnya seketika dahi Akshita berkerut. Dahi Jagat terasa begitu dingin bagai es. Lalu dengan sedikit sisa sumber daya yang ada, Akshita mencoba menyalurkan hawa panas tubuhnya ke tubuh Jagat. Berbeda dengan Jagat, raga yang begitu dingin sejatinya telah ditinggalkan oleh roh. Raga itu kosong, hal inilah yang tidak diketahui oleh Akshita. Roh Jagat sedang berkelana di alam bawah sadarnya. Dia mencari pemilik tongkat yang menancap di sudut ruang bilik Joko. "Jangan kau paksa roh kamu, Pang