PoV ButetSaat hendak pulang ke rumah orang tuanya saat libur, Ustadz Rizal datang ke rumah, dia datang bersama temannya sesama pengajar di pesantren tersebut."Ayah dan mamak lagi pergi," kataku ketika menyambut mereka di pintu."Oh, kalau begitu kami pulang saja," jawab ustadz tersebut."Gak masuk dulu," kataku kemudian, biarpun aku tahu ustadz itu tidak akan mau masuk rumah jika tak ada ayah."Tidak usah lagi, aku datang hanya mau pamit, kan lagi libur, jadi mau pulang dulu," kata ustadz Rizal."Oh, iya, ya, nanti kusampaikan," kataku kemudian.Mereka tidak masuk, tidak juga pergi, masih terus berdiri di pintu, teman ustadz Rizal seperti memberikan kode pada ustadz tersebut. Dia menarik lengan bajunya."Ada apa ya?" tanyaku."Ini, Butet, ustadz Rizal mau bicara sama kamu, tapi dia tidak mau berduaan denganmu," kata teman ustadz Rizal tersebut.Mau bicara tapi tidak mau berdua, apakah harus bicara' di tempat orang ramai? "Udah, bicara saja," kataku kemudian."Begini, Tet, umur saya
Kulihat mamak, beliau tampak berpikir sebentar lalu meminjam HP Ayah."Kita uji dulu ustadz itu ya, Bang, apakah dia mau meninggalkan persiapan pernikahannya demi bantu orang tak dikenal," kata mamak seraya memainkan hp ayah, beberapa saat kemudian."Assalamualaikum, Pak," terdengar salam ustadz Rizal."Waalaikum salam, ini Ibu, mau bicara sebentar," kata mamak."Kenapa bukan bapak yang bicara, Bu?" jawab ustadz itu dari seberang."Oh, bapak lagi menyetir," "Oh, iya, Bu,""Begini, Ustadz, di Jakarta ada teman Ucok yang patah tulang, jadi dia minta supaya ustadz datang ke Jakarta secepatnya," kata mamak lagi."Oh, maaf sekali, Bu, saya lagi persiapan pernikahan, mungkin setelah selesai nikah, baru bisa," kata ustadz itu."Oh, gitu ya, Ustadz, terima kasih,""Iya, Bu, maaf, oh ya, saya mau undang ibu dan bapak, tapi tempat saya jauh, terus acaranya juga sederhana saja," kata ustadz itu lagi."Iya, Ustadz, kalau ada waktu kami datang," kata mamak.Mamak menutup telepon, lalu tersenyum k
Salah satu pria berambut cepak itu menarik tangan baju adiknya. Entah itu cara menghukum di militer atau bagaimana, pria itu terus memukuli adiknya. Sampai mereka sudah di luar pun tangan pria itu masih terus memukul. Mereka lalu pergi. Setelah mereka pergi, para anak kos mengelu-elukanku."Hebat Butet, baru kali ini kulihat aparat kalah sama cewek adu mulut," kata ibu kos. Ah, belum tahu saja ibu ini, aku bahkan pernah debat dengan Kapolres. Menyelesaikan kasus adalah salah aatu hobby-ku. Hobby yang aneh memang untuk ukuran anak gadis.Di lingkungan kos ini tak ada yang tahu aku anak mantan wakil bupati, setahu orang aku anak petani dari desa. Penampilanku juga memang jauh dari glamor. Keesokan harinya, pria berambut cepak itu datang lagi, kali ini dia datang sendiri. Naik motor matic besar. Saat itu aku dan beberapa teman kos lagi duduk-duduk di depan kos-kosan."Assalamualaikum," sapa pria itu seraya turun dari motornya, di tangannya ada buket yang terbuat dari uang kertas."Sa
Kami pun bersiap berangkat, Ayah mencari supir untuk kami karena perjalanan darat yang sangat jauh. Ini memang dilema tinggal di daerah Sumatra. Masih satu propinsi saja bisa perjalanan darat lima belas jam. Tak ada pilihan lain, tidak ada kereta api apalagi pesawat. Pilihannya hanya naik mobil pribadi atau bus.Saat hendak berangkat, Hasan, tentara itu datang."Hai, Butet, mau ke mana ini?" tanya Hasan."Mau kondangan, oh ya, kenalkan ini orang tuaku," kataku seraya menunjuk Ayah dan mamak."Aku Hasan, Om, Tante, Sersan Hasan," kata pria tersebut."Oh, saya Parlin, ini istri saya, Nia," ayah yang menjawab."Saya teman Butet, Om, mana tau butuh pengawalan, saya siap, kebetulan saya bebas," kata Sersan tersebut."Kondangannya jauh," jawabku kemudian."Gak apa-apa, ini bisa jalan jauh," jawabnya lagi seraya menunjuk motor besarnya."Kabupaten Karo lo," kataku kemudian."Wah, jauh sekali, itu besok baru sampe,""Itulah, bersedia kawal gak?" kataku seraya tersenyum."Oh, maaf, saya harus
AriniBeberapa bulan setelah diwisuda, aku justru langsung dilamar. Yang lamar juga masih sepupu jauh, Rizal namanya, almarhum ibunya dan ayahku masih saudara jauh. Rizal adalah pria idaman di desa ini, sudahlah tampan, jebolan pesantren dan bertitel sarjana agama. Begitu mendengar Rizal mau ta'aruf denganku, ayahku langsung mengucapkan alhamdulillah."Alhamdulillah akhirnya ada keluarga kita yang bisa mengaji, selama ini Ayah sudah was-was, siapa nanti yang jadi imam salat jenazah kalau ayah meninggal," begitu kata Ayah. Ayah memang sudah lama sakit-sakitan. Padahal aku sudah punya pacar, saat kuliah di Medan, aku berpacaran dengan seorang teman satu kampus. Sama-sama ngekost di kota, kami sudah berpacaran tiga tahun. Dia banyak membantuku terutama soal materi."Ayah, aku sudah punya pacar," kataku pada ayah, saat itu beliau minta pendapatku."Arini, apakah pacarmu seperti Rizal? Ayah hanya ingin saat sakaratul maut nanti ada yang membisikkan La ilaha illallah di telinga ayah,
Arini 2Kami justru terlambat bangun, saat aku bangun sudah jam delapan, sementara jadwal akad nikah jam delapan. Perjalanan dari Medan ke desa dua jam. Akhirnya aku pinjam telepon lagi, mengabarkan kalau bisa akad nikah diundur sampai jam sepuluh. Mereka mau mengerti."Roni, antar aku pulang cepat," kataku pada mantan kekasihku tersebut."Udah, batalkan saja," kata Roni."Mudah sekali kau bilang begitu, undangan sudah disebar, apa kata dunia,""Tak penting apa kata dunia, yang penting aku cintai padamu, itu saja," kata Roni serata kembali menciumiku.Aku tak bisa berkutik lagi, akhirnya kami melakukan satu ronde lagi, kemudian Roni baru bersiap. Jam sembilan baru kami berangkat, ini sudah terlambat sekali, sampai jam sepuluh kami masih di jalan, aku minta berhenti dan pinjam HP Roni lagi, menelepon ke nomor temanku. Temanku itu memberikan HP ke Rizal."Maaf, Rizal, aku datang terlambat, mungkin sampai jam sebelas," kataku kemudian."Oh, kamu di mana?" tanya Rizal."Di sini, bersa
PoV ButetSenang melihat orang susah itu bukan sifatku, akan tetapi, Ya, Allah, ampunilah hambamu ini, melihat Ustadz Rizal gagal nikah, kok aku merasa senang? Padahal ustadz itu sudah sampai menangis sesenggukan. Bukan senang karena ustadz itu sedih, tapi senang karena ternyata memang calonnya tidak beres. Ayah lagi-lagi menggunakan ilmunya, akan tetapi kali ini mamak justru yang suruh. Melihat perempuan yang bernama Arini itu gugup bicara, mamak justru menyuruh ayah supaya membaca tiga baris."Dek, ilmu itu sudah sering bawa masalah lo, Dek," begitu kata ayah, saat itu kami bertiga duduk di pojokan menonton drama kisah nyata."Itu ustadz kita lo, Bang, memang Abang mau ustadz kita dibohongi," kata mamak."Okelah," kata Ayah. Ayah lalu membuka peci hitamnya. Rambutnya terlihat berantakan. Ayah memang orang yang jarang ke tukang pangkas. Semenjak kejadian tabur rambut di makam Rara, ayah tidak pernah potong rambutnya, rambutnya selalu disisir rapi ke belakang. Konon ilmu tiga baris
Hari itu juga, Ustadz Rizal ikut kami ke Medan, katanya mau beli tiket pesawat hendak ke Jakarta."Kamu pergi sendiri, Ustadz?" tanya Ayah, saat kami dalam perjalanan."Iya, Pak," "Aku ingin menenangkan diri dulu, jujur aku terpukul," sambung ustadz itu lagi."Bang, kita ikut napa?" kata mamak kemudian."Ke Jakarta, Dek?""Iya, Bang, pengen kucubit si Uccok itu, dia habiskan waktu dan energi urusi cewek cantik," kata Mamak lagi."Iya, Yah, ini masih Sabtu, kalau ada tiket berangkat hari ini, cocok juga," aku ikut bicara."Ya, udah, hubungi dulu Ucok," perintah ayah. Kuambil HP, terus langsung ke aplikasi W*, lalu ..."Bang Ucok, tiket untuk lima orang bisa gak, Ustadz Rizal bawa rombongan," kataku kemudian."Bisa, Tet, kalau bisa berangkat hari inilah, pesan tiket dulu lewat online," kata Ucok."Okeh, Bang,""Siapa-siapa saja rombongan ustadz itu?" tanya Bang Ucok."Aku, Cantik, Mamak dan Ayah,""Hahaha,""Kok ketawa, Bang,""Juragan sawit minta diongkosi," kata Bang Ucok.Aku juga
PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep
Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal
Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem
Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j