Kulihat mamak, beliau tampak berpikir sebentar lalu meminjam HP Ayah."Kita uji dulu ustadz itu ya, Bang, apakah dia mau meninggalkan persiapan pernikahannya demi bantu orang tak dikenal," kata mamak seraya memainkan hp ayah, beberapa saat kemudian."Assalamualaikum, Pak," terdengar salam ustadz Rizal."Waalaikum salam, ini Ibu, mau bicara sebentar," kata mamak."Kenapa bukan bapak yang bicara, Bu?" jawab ustadz itu dari seberang."Oh, bapak lagi menyetir," "Oh, iya, Bu,""Begini, Ustadz, di Jakarta ada teman Ucok yang patah tulang, jadi dia minta supaya ustadz datang ke Jakarta secepatnya," kata mamak lagi."Oh, maaf sekali, Bu, saya lagi persiapan pernikahan, mungkin setelah selesai nikah, baru bisa," kata ustadz itu."Oh, gitu ya, Ustadz, terima kasih,""Iya, Bu, maaf, oh ya, saya mau undang ibu dan bapak, tapi tempat saya jauh, terus acaranya juga sederhana saja," kata ustadz itu lagi."Iya, Ustadz, kalau ada waktu kami datang," kata mamak.Mamak menutup telepon, lalu tersenyum k
Salah satu pria berambut cepak itu menarik tangan baju adiknya. Entah itu cara menghukum di militer atau bagaimana, pria itu terus memukuli adiknya. Sampai mereka sudah di luar pun tangan pria itu masih terus memukul. Mereka lalu pergi. Setelah mereka pergi, para anak kos mengelu-elukanku."Hebat Butet, baru kali ini kulihat aparat kalah sama cewek adu mulut," kata ibu kos. Ah, belum tahu saja ibu ini, aku bahkan pernah debat dengan Kapolres. Menyelesaikan kasus adalah salah aatu hobby-ku. Hobby yang aneh memang untuk ukuran anak gadis.Di lingkungan kos ini tak ada yang tahu aku anak mantan wakil bupati, setahu orang aku anak petani dari desa. Penampilanku juga memang jauh dari glamor. Keesokan harinya, pria berambut cepak itu datang lagi, kali ini dia datang sendiri. Naik motor matic besar. Saat itu aku dan beberapa teman kos lagi duduk-duduk di depan kos-kosan."Assalamualaikum," sapa pria itu seraya turun dari motornya, di tangannya ada buket yang terbuat dari uang kertas."Sa
Kami pun bersiap berangkat, Ayah mencari supir untuk kami karena perjalanan darat yang sangat jauh. Ini memang dilema tinggal di daerah Sumatra. Masih satu propinsi saja bisa perjalanan darat lima belas jam. Tak ada pilihan lain, tidak ada kereta api apalagi pesawat. Pilihannya hanya naik mobil pribadi atau bus.Saat hendak berangkat, Hasan, tentara itu datang."Hai, Butet, mau ke mana ini?" tanya Hasan."Mau kondangan, oh ya, kenalkan ini orang tuaku," kataku seraya menunjuk Ayah dan mamak."Aku Hasan, Om, Tante, Sersan Hasan," kata pria tersebut."Oh, saya Parlin, ini istri saya, Nia," ayah yang menjawab."Saya teman Butet, Om, mana tau butuh pengawalan, saya siap, kebetulan saya bebas," kata Sersan tersebut."Kondangannya jauh," jawabku kemudian."Gak apa-apa, ini bisa jalan jauh," jawabnya lagi seraya menunjuk motor besarnya."Kabupaten Karo lo," kataku kemudian."Wah, jauh sekali, itu besok baru sampe,""Itulah, bersedia kawal gak?" kataku seraya tersenyum."Oh, maaf, saya harus
AriniBeberapa bulan setelah diwisuda, aku justru langsung dilamar. Yang lamar juga masih sepupu jauh, Rizal namanya, almarhum ibunya dan ayahku masih saudara jauh. Rizal adalah pria idaman di desa ini, sudahlah tampan, jebolan pesantren dan bertitel sarjana agama. Begitu mendengar Rizal mau ta'aruf denganku, ayahku langsung mengucapkan alhamdulillah."Alhamdulillah akhirnya ada keluarga kita yang bisa mengaji, selama ini Ayah sudah was-was, siapa nanti yang jadi imam salat jenazah kalau ayah meninggal," begitu kata Ayah. Ayah memang sudah lama sakit-sakitan. Padahal aku sudah punya pacar, saat kuliah di Medan, aku berpacaran dengan seorang teman satu kampus. Sama-sama ngekost di kota, kami sudah berpacaran tiga tahun. Dia banyak membantuku terutama soal materi."Ayah, aku sudah punya pacar," kataku pada ayah, saat itu beliau minta pendapatku."Arini, apakah pacarmu seperti Rizal? Ayah hanya ingin saat sakaratul maut nanti ada yang membisikkan La ilaha illallah di telinga ayah,
Arini 2Kami justru terlambat bangun, saat aku bangun sudah jam delapan, sementara jadwal akad nikah jam delapan. Perjalanan dari Medan ke desa dua jam. Akhirnya aku pinjam telepon lagi, mengabarkan kalau bisa akad nikah diundur sampai jam sepuluh. Mereka mau mengerti."Roni, antar aku pulang cepat," kataku pada mantan kekasihku tersebut."Udah, batalkan saja," kata Roni."Mudah sekali kau bilang begitu, undangan sudah disebar, apa kata dunia,""Tak penting apa kata dunia, yang penting aku cintai padamu, itu saja," kata Roni serata kembali menciumiku.Aku tak bisa berkutik lagi, akhirnya kami melakukan satu ronde lagi, kemudian Roni baru bersiap. Jam sembilan baru kami berangkat, ini sudah terlambat sekali, sampai jam sepuluh kami masih di jalan, aku minta berhenti dan pinjam HP Roni lagi, menelepon ke nomor temanku. Temanku itu memberikan HP ke Rizal."Maaf, Rizal, aku datang terlambat, mungkin sampai jam sebelas," kataku kemudian."Oh, kamu di mana?" tanya Rizal."Di sini, bersa
PoV ButetSenang melihat orang susah itu bukan sifatku, akan tetapi, Ya, Allah, ampunilah hambamu ini, melihat Ustadz Rizal gagal nikah, kok aku merasa senang? Padahal ustadz itu sudah sampai menangis sesenggukan. Bukan senang karena ustadz itu sedih, tapi senang karena ternyata memang calonnya tidak beres. Ayah lagi-lagi menggunakan ilmunya, akan tetapi kali ini mamak justru yang suruh. Melihat perempuan yang bernama Arini itu gugup bicara, mamak justru menyuruh ayah supaya membaca tiga baris."Dek, ilmu itu sudah sering bawa masalah lo, Dek," begitu kata ayah, saat itu kami bertiga duduk di pojokan menonton drama kisah nyata."Itu ustadz kita lo, Bang, memang Abang mau ustadz kita dibohongi," kata mamak."Okelah," kata Ayah. Ayah lalu membuka peci hitamnya. Rambutnya terlihat berantakan. Ayah memang orang yang jarang ke tukang pangkas. Semenjak kejadian tabur rambut di makam Rara, ayah tidak pernah potong rambutnya, rambutnya selalu disisir rapi ke belakang. Konon ilmu tiga baris
Hari itu juga, Ustadz Rizal ikut kami ke Medan, katanya mau beli tiket pesawat hendak ke Jakarta."Kamu pergi sendiri, Ustadz?" tanya Ayah, saat kami dalam perjalanan."Iya, Pak," "Aku ingin menenangkan diri dulu, jujur aku terpukul," sambung ustadz itu lagi."Bang, kita ikut napa?" kata mamak kemudian."Ke Jakarta, Dek?""Iya, Bang, pengen kucubit si Uccok itu, dia habiskan waktu dan energi urusi cewek cantik," kata Mamak lagi."Iya, Yah, ini masih Sabtu, kalau ada tiket berangkat hari ini, cocok juga," aku ikut bicara."Ya, udah, hubungi dulu Ucok," perintah ayah. Kuambil HP, terus langsung ke aplikasi W*, lalu ..."Bang Ucok, tiket untuk lima orang bisa gak, Ustadz Rizal bawa rombongan," kataku kemudian."Bisa, Tet, kalau bisa berangkat hari inilah, pesan tiket dulu lewat online," kata Ucok."Okeh, Bang,""Siapa-siapa saja rombongan ustadz itu?" tanya Bang Ucok."Aku, Cantik, Mamak dan Ayah,""Hahaha,""Kok ketawa, Bang,""Juragan sawit minta diongkosi," kata Bang Ucok.Aku juga
Solusi Bang Ucok tepat tapi sedikit gila, baru tadi siang ustadz Rizal gagal nikah, kini sudah ada tawaran lagi. Kadang hidup memang seneh itu.Kulihat Ustadz Rizal dia tampak terperangah, mungkin dia terkejut juga dengan usul Bang Ucok tersebut."Ada-ada saja kamu, Cok, masa sarankan orang nikah, yang kau pikirnya nikah itu mudah," kata mamak."Aku hanya menjawab bagian Pak Dosen bilang bagaimana cara buat yang haram jadi halal, hanya itu caranya, Mak," kata Bang Ucok.Pak Karyo memegang keningnya, mungkin dia tak menyangka akan begini jadinya. "Putri saya masih 18 tahun," kata Pak Karyo.Pria itu itu duduk di kursi, dia tampak sedih."Saya orang tua tunggal, ibunya sudah lama meninggal, berat rasanya melepas dia untuk menikah, tapi dokter sudah menyerah, operasi tulang belakang katanya sangat beresiko, tapi saya tak sanggup melihat putriku begitu, kalau memang itu satu-satunya jalan, saya bersedia, akan tetapi tetap harus persetujuan anakku juga," kata Pak Karyo.Pak Karyo lalu m