Mahar yang diberikan pada istri adalah mutlak milik istri, jika kita memakainya itu harus izin istri, jika meminjam harus dikembalikan. Memang dulu ada 50 gram emas, ternyata sampai sekarang masih disimpan oleh istriku. Sebagaimana susahnya pun keadaan, Aku tidak akan pernah minta. Akan tetapi kali ini justru istri yang menawarkan. "WC itu darurat, Bang, termasuk kebutuhan penting," kata istri setelah dia keluar dari kamar."Iya, Dek," "Ayo, Bang," kata istri lagi dia sudah bersiap seadanya.Aku pun menghidupkan motor Supra jadulku. Istri naik ke boncengan dan kami pun meluncur ke pasar terdekat. "Berapa kau bawa, Dek?" tanyaku saat kami dalam perjalanan."Satu cincin, Bang, ini 5 gram ini," "Cukuplah itu," "Sebenarnya aku ingin menjualnya semua dan buka usaha, Bang?""Usaha apa, Dek" "yang jual sarapan lontong Medan, laku gak kira-kira di Jakarta ini, itu yang paling susah aku cari di kota ini," kata istri."Memangnya pende kau masaknya, Dek?""Pande lah, Bang, bouku kan jua
Apa yang aneh melihat istriku, biasanya perempuan akan panik jika ada kejadian seperti ini. Akan tetapi Tania terlihat tetap tenang, mulutnya yang justru komat-kamit. Kulihat istri, kugenggam tangannya, aku sungguh khawatir dia apa-apa.Kemudian aku berdiri, belum ada orang yang berani mendekat, toko yang sebelah kiri dan kanan justru menutup tokonya. Sementara dua orang masih terkapar, uang dan emas berserakan di lantai. Karyawan toko emas itu justru ikut-ikutan pingsan, mungkin dia shok ditodong pistol.Beberapa saat kemudian orang-orang mulai ramai untuk melihat, akan tetapi tidak ada yang berani mendekat. Pemilik toko emas pun datang, yang pertama diselamatkan adalah emasnya yang berserakan di lantai. Juga uangnya, setelah itu baru dia menyadarkan karyawannya. "Kalian tidak apa-apa," katanya kemudian."Kami baik-baik saja Pak," jawabku.Pria berambut putih tersebut lalu sibuk dengan HP -nya, sepertinya menelepon polisi. Masyarakat pun mulai ramai, masing-masing dengan kamera HP-
"Sabar dulu, Bu, bukan begitu maksud kami, bapak-bapak ini dari asosiasi pedagang emas Jakarta," kata pria berambut putih tersebut seraya menunjukkan Pria yang datang bersamanya."Iya, Bu, kami datang ke mari setelah melihat video rekaman dan mendengar penjelasan dari polisi, kami mau berterima kasih, para perampok itu sudah seringkali beraksi, baru kali ini tertangkap. Empat temannya juga sudah ditangkap polisi," kata salah satu pria tersebut."Benar, Bu, jadi kamu dari asosiasi pedagang emas sepakat, emas mahar ibu itu tidak bisa kami terima," katanya lagi."Lo, jadi kami tidak bisa jual emas?""Iya, Bu, sebagai gantinya, kami dari asosiasi pedagang Emas akan memberikan hadiah kepada bapak dan ibu, hadiahnya adalah setara harga emas yang hendak ibu jual, kami sangat berterima kasih sekali, kami terharu juga niat ibu menjual Emas tersebut, membantu suami mencari nafkah," katanya lagi.Aku dan Tania berpandangan, lalu untuk beberapa saat lamanya kami masih terdiam, aku seakan tak perc
"Maaf, Pak, Bu, hari ini tidak ada," kataku kemudian.Wajah-wajah kecewa terpampang dari beberapa orang tersebut. Entah kenapa rasanya ini, satu sisi mereka ini kebiasaan, akan tetapi di sisi lain kasihan juga melihatnya.Sampai di rumah aku dan istri pun mendiskusikan tentang sedekah. Akhirnya disepakati setiap hari Jumat kami akan memberikan nasi gratis sebanyak 50 kotak. Akan dibagikan ke tempat kosku dan beberapa anak jalanan. Begitulah, usaha kami makin lama makin maju, karyawan ditambah sekarang kami sudah punya 4 orang karyawan perempuan. Istriku ini hanya duduk di meja kasir dan jika memasak membantu sedikit-sedikit.Lontong Medan ternyata banyak juga disukai dari luar, bukan hanya perantau dari Sumatera Utara yang datang ke tempat kami. Akan tetapi dari daerah luar juga. Tania justru mengusulkan tambah daftar menu, masih seputar Medan, yaitu soto medan. Akan tetapi aku khawatir cita rasa masakan soto medan tidak pas, karena menurut istriku dia juga belum pandai. Hari itu ak
Sempat juga jadi tontonan orang lain yang sedang sarapan di warung kami, istriku dengan tegas menyuruh Karen segera pergi. Karen masih menatapku sebelum dia akhirnya pergi juga. Setelah Karen pergi, lalu Tania kembali ke meja kasir. Aku juga kembali ke dapur.Kali ini jualan kami lebih cepat habis, jam sembilan sudah kandas semua. Kami lebih cepat tutup dari biasanya. Jika biasanya kami tutup jam sepuluh kali ini jam sembilan. Jadi kami lebih banyak waktu, ada waktu istirahat sebentar sebelum pergi belanja lagi."Bang, apa yang membuat Abang selalu ragu?" kata Tania saatnitu kami istirahat di rumah."Ragu bagaimana, Dek?""Seperti tadi itu, kenapa Abang sepertinya susah sekali untuk bilang tidak, padahal jelas permintaannya salah, " kata istri lagi."Apa ya, Dek? Entah bagaimana menerangkannya, tapi bukankah Itu baik?" aku coba berkilah."Baik?""Iya, membantu orang itu kan baik?""Ya, Allah, Abang belum sadar juga, lihat yang dibantu dulu bagaimana, kuperhatikan, Abang gak bisa meno
Padahal, kukira aku sudah berhasil, pria itu memohon minta tolong supaya aku membantunya, sampai bilang ini rumah tangga sahabatmu. Akan tetapi aku bisa tegas mengatakan tidak. Teringat waktu aku kecil dulu. Rumah kami seperti tempat pengaduan masalah orang. Ayah bisa membantu masalah orang yang datang kepadanya. Solusinya selalu tepat. Mulai dari orang yang kekurangan modal sampai orang yang anaknya hilang sampai orang yang hendak bercerai. Ayah mau mengurus semuanya. Akan tetapi istri tetap menganggap aku tidak berhasil, karena yang datang ini adalah seorang laki-laki, bukan cewek cantik. Padahal menurutku sama saja karena yang mau dibantu adalah cewek cantik juga, yaitu istrinya yang mau katanya diluluhkan hatinya. Jujur saja ada sedikit dalam hatiku rasa puas, rasa senang melihat pria ini menderita. Karena dia sudah dua kali menghinaku, pertama saat aku datang ke rumahnya berniat minjam duit, terus yang kedua dia datang ke warungku. Dia coba menjebak warungku dengan dua rambut pe
PoV ButetAku sudah sampai pada tahap menyusun skripsi, Pak Dosen malah mengirimku ke Jakarta, magang di tempat rekannya sekaligus cari bahan menyusun skripsi. Katanya kota besar lebih banyak kasus besar. Aku akan di Jakarta selama sebulan. Saat kuutarakan niatku kepada orang tua, ayah katanya tidak bisa melepaskanku ke ibukota sendirian. Padahal ada Bang Ucok di Jakarta. Ayah dan mamak justru minta ikut, katanya Rindu pada Bang Ucok dan menantu mereka.Memang semenjak mereka pulang dan kak Tania keguguran, Bang Ucok belum pernah juga pulang. Bahkan kasih kabar pun jarang. Aku justru tahu dari Bang Sandy yang tiba-tiba menelepon. Katanya Bang Ucok sekarang sudah jadi juragan lontong.Bang Sandy juga sudah jadi polisi yang bertugas di bagian siber polri. Semenjak bertugas di polri dia justru makin sering kasih kabar. Mungkin dia sudah banyak waktu luang. Katanya pekerjaannya hanya di kantor. Tidak turun langsung ke lapangan. Dia hanya mengurusi bagian informasi dan teknologi di polri.
PoV NiaAku terkejut saat masalah yang pernah dihadapi Bang Parllin datang lagi ke dirinya. Kali ini lewat anak kami Ucok. Entah kenapa aku langsung emosional saat tahu Ucok lah sudah jadi penyebab orang lain mau cerai, kasusnya persis seperti yang dialami Rara. Tidak bisa melupakan Bang Parlin, sering cerita tentang Bang Parlin, sehingga suami Rara cemburu.Yang terjadi pada Ucok justru lebih nyata, karena mereka langsung berjumpa. Yang paling membagongkan masalah itu kembali' ke Bang Parlin, yang selama ini memang jadi penasehat pernikahan tak resmi. Yang membuat aku kesal adalah cara Bang Parllin menasehati tersebut, begitu dia tahu Ucok pangkal masalahnya bagi laki-laki tersebut. Langsung berubah Bang Parllin, yang tadinya menyarankan saling percaya, menjadi menyarankan cerai saja, karena ada yang lebih tinggi dari rasa percaya, yaitu cinta.Aku sungguh-sungguh kesal, sampai tak sabar menunggu Butet pergi, akhirnya kusuruh Butet bawa Cantik main-main. "Kenapa Abang sarankan cerai
PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep
Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal
Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem
Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j