"Sabar dulu, Bu, bukan begitu maksud kami, bapak-bapak ini dari asosiasi pedagang emas Jakarta," kata pria berambut putih tersebut seraya menunjukkan Pria yang datang bersamanya."Iya, Bu, kami datang ke mari setelah melihat video rekaman dan mendengar penjelasan dari polisi, kami mau berterima kasih, para perampok itu sudah seringkali beraksi, baru kali ini tertangkap. Empat temannya juga sudah ditangkap polisi," kata salah satu pria tersebut."Benar, Bu, jadi kamu dari asosiasi pedagang emas sepakat, emas mahar ibu itu tidak bisa kami terima," katanya lagi."Lo, jadi kami tidak bisa jual emas?""Iya, Bu, sebagai gantinya, kami dari asosiasi pedagang Emas akan memberikan hadiah kepada bapak dan ibu, hadiahnya adalah setara harga emas yang hendak ibu jual, kami sangat berterima kasih sekali, kami terharu juga niat ibu menjual Emas tersebut, membantu suami mencari nafkah," katanya lagi.Aku dan Tania berpandangan, lalu untuk beberapa saat lamanya kami masih terdiam, aku seakan tak perc
"Maaf, Pak, Bu, hari ini tidak ada," kataku kemudian.Wajah-wajah kecewa terpampang dari beberapa orang tersebut. Entah kenapa rasanya ini, satu sisi mereka ini kebiasaan, akan tetapi di sisi lain kasihan juga melihatnya.Sampai di rumah aku dan istri pun mendiskusikan tentang sedekah. Akhirnya disepakati setiap hari Jumat kami akan memberikan nasi gratis sebanyak 50 kotak. Akan dibagikan ke tempat kosku dan beberapa anak jalanan. Begitulah, usaha kami makin lama makin maju, karyawan ditambah sekarang kami sudah punya 4 orang karyawan perempuan. Istriku ini hanya duduk di meja kasir dan jika memasak membantu sedikit-sedikit.Lontong Medan ternyata banyak juga disukai dari luar, bukan hanya perantau dari Sumatera Utara yang datang ke tempat kami. Akan tetapi dari daerah luar juga. Tania justru mengusulkan tambah daftar menu, masih seputar Medan, yaitu soto medan. Akan tetapi aku khawatir cita rasa masakan soto medan tidak pas, karena menurut istriku dia juga belum pandai. Hari itu ak
Sempat juga jadi tontonan orang lain yang sedang sarapan di warung kami, istriku dengan tegas menyuruh Karen segera pergi. Karen masih menatapku sebelum dia akhirnya pergi juga. Setelah Karen pergi, lalu Tania kembali ke meja kasir. Aku juga kembali ke dapur.Kali ini jualan kami lebih cepat habis, jam sembilan sudah kandas semua. Kami lebih cepat tutup dari biasanya. Jika biasanya kami tutup jam sepuluh kali ini jam sembilan. Jadi kami lebih banyak waktu, ada waktu istirahat sebentar sebelum pergi belanja lagi."Bang, apa yang membuat Abang selalu ragu?" kata Tania saatnitu kami istirahat di rumah."Ragu bagaimana, Dek?""Seperti tadi itu, kenapa Abang sepertinya susah sekali untuk bilang tidak, padahal jelas permintaannya salah, " kata istri lagi."Apa ya, Dek? Entah bagaimana menerangkannya, tapi bukankah Itu baik?" aku coba berkilah."Baik?""Iya, membantu orang itu kan baik?""Ya, Allah, Abang belum sadar juga, lihat yang dibantu dulu bagaimana, kuperhatikan, Abang gak bisa meno
Padahal, kukira aku sudah berhasil, pria itu memohon minta tolong supaya aku membantunya, sampai bilang ini rumah tangga sahabatmu. Akan tetapi aku bisa tegas mengatakan tidak. Teringat waktu aku kecil dulu. Rumah kami seperti tempat pengaduan masalah orang. Ayah bisa membantu masalah orang yang datang kepadanya. Solusinya selalu tepat. Mulai dari orang yang kekurangan modal sampai orang yang anaknya hilang sampai orang yang hendak bercerai. Ayah mau mengurus semuanya. Akan tetapi istri tetap menganggap aku tidak berhasil, karena yang datang ini adalah seorang laki-laki, bukan cewek cantik. Padahal menurutku sama saja karena yang mau dibantu adalah cewek cantik juga, yaitu istrinya yang mau katanya diluluhkan hatinya. Jujur saja ada sedikit dalam hatiku rasa puas, rasa senang melihat pria ini menderita. Karena dia sudah dua kali menghinaku, pertama saat aku datang ke rumahnya berniat minjam duit, terus yang kedua dia datang ke warungku. Dia coba menjebak warungku dengan dua rambut pe
PoV ButetAku sudah sampai pada tahap menyusun skripsi, Pak Dosen malah mengirimku ke Jakarta, magang di tempat rekannya sekaligus cari bahan menyusun skripsi. Katanya kota besar lebih banyak kasus besar. Aku akan di Jakarta selama sebulan. Saat kuutarakan niatku kepada orang tua, ayah katanya tidak bisa melepaskanku ke ibukota sendirian. Padahal ada Bang Ucok di Jakarta. Ayah dan mamak justru minta ikut, katanya Rindu pada Bang Ucok dan menantu mereka.Memang semenjak mereka pulang dan kak Tania keguguran, Bang Ucok belum pernah juga pulang. Bahkan kasih kabar pun jarang. Aku justru tahu dari Bang Sandy yang tiba-tiba menelepon. Katanya Bang Ucok sekarang sudah jadi juragan lontong.Bang Sandy juga sudah jadi polisi yang bertugas di bagian siber polri. Semenjak bertugas di polri dia justru makin sering kasih kabar. Mungkin dia sudah banyak waktu luang. Katanya pekerjaannya hanya di kantor. Tidak turun langsung ke lapangan. Dia hanya mengurusi bagian informasi dan teknologi di polri.
PoV NiaAku terkejut saat masalah yang pernah dihadapi Bang Parllin datang lagi ke dirinya. Kali ini lewat anak kami Ucok. Entah kenapa aku langsung emosional saat tahu Ucok lah sudah jadi penyebab orang lain mau cerai, kasusnya persis seperti yang dialami Rara. Tidak bisa melupakan Bang Parlin, sering cerita tentang Bang Parlin, sehingga suami Rara cemburu.Yang terjadi pada Ucok justru lebih nyata, karena mereka langsung berjumpa. Yang paling membagongkan masalah itu kembali' ke Bang Parlin, yang selama ini memang jadi penasehat pernikahan tak resmi. Yang membuat aku kesal adalah cara Bang Parllin menasehati tersebut, begitu dia tahu Ucok pangkal masalahnya bagi laki-laki tersebut. Langsung berubah Bang Parllin, yang tadinya menyarankan saling percaya, menjadi menyarankan cerai saja, karena ada yang lebih tinggi dari rasa percaya, yaitu cinta.Aku sungguh-sungguh kesal, sampai tak sabar menunggu Butet pergi, akhirnya kusuruh Butet bawa Cantik main-main. "Kenapa Abang sarankan cerai
Kami mendarat di bandara Kualanamu Medan, tak ada yang menjemput karena memang tidak diberitahu pada saudara dan teman-teman. Lalu memesan taxi online menuju rumah Torkis. Di rumah Torkis kami istirahat sebentar. Mobil kami memang titipkan di rumah Torkis. Rencananya kami akan melakukan perjalanan darat ke desa. Akan tetapi sepertinya Bang Parlin sudah tidak bisa lagi mengemudi sendirian sampai desa. Akhirnya kami menyewa seorang supir.Dua anak kami sekarang sudah berada di ibukota Jakarta. Tinggal cantik yang sekarang masih PAUD. Sekolah yang baru ada di desa kami, sekolah itu dibangun oleh Kepala desa baru, itu suamiku."Bang, bagaimana rasanya?" tanyaku pada Bang Parlin saat kami dalam perjalanan dari Medan ke desa."Rasa apa?""Rasanya tak bisa lepas dari bayang-bayang Rara." "Ah, kembali lagi ke situ," jawab Bang Parlin."Bukan maksud kembali', Bang, tapi selalu saja ada kejadian yang membuat kembali, bagaimana rasanya, Bang? tanyaku lagi."Sedih, kenapa selalu Ucok yang dapat
"Begini, Bang Parlin, istriku ternyata tidak mau menandatangani, padahal menurut agama ini halal, tak butuh persetujuan istri. Aku menghargai istri dengan menuruti hukum negara saja, tapi beginilah kaum wanita ini, egois,," kata Pak Abdul Gani lagi.Entah kenapa aku tersinggung dengan perkataan pria ini, egois? dan dia menyebut kaum wanita."Kan sudah kubilang, Pak, persetujuan istri itu yang sulit," kata Bang Parlin."Itulah maksudku, Bang Parlin, Bang Parllin kan bisa luluhkan istri, maksudnya luluhkan dulu hati istriku biar diizinkannya aku nikah lagi," kata Pak Abdul Gani."Wah, mana bisa, Pak, kalau bisa aku juga sudah kawin lagi," kata Bang Parllin sambil tertawa. Aku tahu suamiku ini hanya bercanda, atau cari alasan untuk menghindar, akan tetapi aku tidak suka, dari sekian banyak candaan, aku paling benci candaan soal poligami."Jadi bagaimana, Pak, aku palsukan saja tanda tangannya?""Kamu zolim, jika kamu lakukan itu, Pak, ibarat kata kamu masak ikan dengan minyak babi, yang