"Begini, Bang Parlin, istriku ternyata tidak mau menandatangani, padahal menurut agama ini halal, tak butuh persetujuan istri. Aku menghargai istri dengan menuruti hukum negara saja, tapi beginilah kaum wanita ini, egois,," kata Pak Abdul Gani lagi.Entah kenapa aku tersinggung dengan perkataan pria ini, egois? dan dia menyebut kaum wanita."Kan sudah kubilang, Pak, persetujuan istri itu yang sulit," kata Bang Parlin."Itulah maksudku, Bang Parlin, Bang Parllin kan bisa luluhkan istri, maksudnya luluhkan dulu hati istriku biar diizinkannya aku nikah lagi," kata Pak Abdul Gani."Wah, mana bisa, Pak, kalau bisa aku juga sudah kawin lagi," kata Bang Parllin sambil tertawa. Aku tahu suamiku ini hanya bercanda, atau cari alasan untuk menghindar, akan tetapi aku tidak suka, dari sekian banyak candaan, aku paling benci candaan soal poligami."Jadi bagaimana, Pak, aku palsukan saja tanda tangannya?""Kamu zolim, jika kamu lakukan itu, Pak, ibarat kata kamu masak ikan dengan minyak babi, yang
Aku terkejut dengan kata perintah, seperti aparat saja main perintah segala. Memang ada beberapa hubungan persaudaraan yang jika saudaranya butuh pertolongan wajib dibantu. Seperti seorang orang tua yang menyuruh anaknya tidak perlu minta tolong tapi memerintahkan. Mungkin ini alasan ibu ini bilang bukan permintaan tapi perintah . Dia tahu Bamg Parlin sangat taat beradat. Padahal tadi mereka terus bilang minta tolong, mungkin karena melihat bang Parlin ragu dia ganti minta tolong jadi perintah. Kulihat Bang Parlin, dia menggaruk kepalanya yang kemungkinan tidak gatal. Urusan suami yang mau poligami ini minta bantuannya, kedua belah pihak pula minta bantuan. Suami minta istrinya diluluhkan, istri minta suaminya diluluhkan. Aku tunggu jawaban Bang Parlin."Sekali aku mohon maaf, Bu, jika ini permintaan bantuan, mohon maaf aku tidak bisa bantu, jika ini perintah, maaf aku harus melanggar perintah. Sekali lagi mohon maaf, saya tidak bisa bantu," kata Bang Parlin."Kamu minta sebagai
Bu Masraya Siregar akan tetap menuntut cerai pada suaminya. Kali ini aku mau membantu mendampingi Ibu tersebut. Karena dalam hati aku mendukung keputusan ibu itu. Jika suami sudah berniat untuk poligami, jika pun tidak jadi hanya menunggu waktu saja. Dia pasti akan mencoba berbagai cara supaya bisa poligami."Tumben mau mengurusi warga?" tanya Bang Parlin, saat kami minta izin kepadanya pergi mendaftarkan gugatan ke pengadilan."Aku masih ibu PKK desa ini lo, Bang," jawabku."Perceraian adalah hal yang halal yang paling dibenci Allah subhanahu wa ta'ala, kamu mau membantu orang untuk mewujudkan perceraian, itu berarti kamu melakukan pekerjaan membantu orang melakukan hal halal yang paling dibenci Allah," kata Bang Parlin."Aku cuma mau membantu, Lo, Bang, kasihan Ibu itu, dia buta hukum," katanya lagi."Sebagai ibu PKK seharusnya kamu itu menyarankan supaya tidak bercerai saja," kata Bang Parlin."Jadi kegiatan suami yang nikah lagi ini sudah berniat bukan hanya niat tapi sudah mau
Ada kabar mengejutkan lagi dari rumah sakit, Pak Abdul Gani telah meninggal dunia sebelum sampai di rumah sakit. Beliau meninggal dalam perjalanan. Sebagai kepala desa bang Parrlindungan yang pertama dapat kabar, lalu menyampaikan kabar tersebut kepada seluruh keluarga. Desa pun geger. "Meninggal di malam pertama," jadi judul trending topik di desa kami. Saat kami ibu-ibu mempersiapkan penyambutan jenazah dari rumah sakit, berbagai macam pendapat orang. “Ganas kali istri barunya, betapa pentingnya kali mereka malam itu?” kata seorang ibu-ibu. “Mobil buruk dipaksakan di tanjakan ya game over,” kata Ibu yang lain. "Heh, ini rahasia ya, kabarnya istri barunya itu memang berduri apanya, suami pertamanya juga meninggal kan?" kataku Ibu yang lain dengan suara berbisik-bisik. "Masa sih?" Iya, kan saudaranya iparku tetangga mereka dulu, suaminya meninggal saat itu juga, katanya. "Ih, ngeri!" "Ibu-ibu jangan dulu menganggap yang bukan-bukan, kita tunggu saja keterangan dari dokter," k
Sidang berlangsung panas, masing-masing dengan argumennya, masing-masing keras kepala. Anak-anak Pak Abdul Gani tetap bersekukuh ibu tiri mereka penyebab ayahnya meninggal. Sedangkan ibu tiri mereka tersebut tetap mengaku tidak bersalah."Ayah kalian yang loyo, nafsu Besar tenaga kurang, kenapa aku yang disalahkan, tau gak apa kata ayah kalian sebelum mati, terima kasih Istriku, begitu katanya, ayah kalian saja berterima kasih, kalian malah menuduhku sembarangan," begitu kata ibu tiri tersebut setelah tersudut."Ayahku baik-baik saja, mustahil bisa meninggal," "Heh, apa yang mustahil bagi Allah?"Karena tidak bisa berdamai juga, sidang ala desa gagal. Semenjak kami memberlakukan sidang ala desa ini, Baru kali ini gagal dapat keputusan. Bang Parllin juga tidak berani mengambil keputusan karena sama-sama kuatir argumentasinya."Mohon maaf, Bapak-bapak ibu-ibu sekalian, sidang ini ditutup, saya tidak bisa memberikan keputusan, karena khawatir mencederai rasa keadilan, jadi saya serahk
Permasalahan yang tadinya rumit kini sudah jadi mudah, hanya butuh dihargai. Panggilan Mak dari si bungsu sudah membuat ibu tirinya itu luluh. Selama ini memang anak-anak almarhum sepertinya tidak menghargai wanita tersebut. Mungkin karena merebut ayahnya, membuat ibunya janda. Menjandakan ibu mereka demi Janda. Siapa sangka ibu tiri itu ternyata tak sekejam yang diduga. Pembagian harta itu cukup unik juga, Aku dan Bang Parlin ikut melihat, juga beberapa tokoh desa. Pertama seluruh harta ditotal dulu, rumah dan kebun sawit serta kendaraan dihargai dulu. Yang menaksir harganya adalah para tetua desa. Kemudian baru dibagi dua, satu bagian untuk istri, satu bagian untuk almarhum suami. Karena Pak Abdul Gani meninggal sebelum sempat bagi harta gono-gini. Setelah itu, bagian almarhum ini dibagi lagi, seperdelapan untuk ibu tiri, biarpun begitu, tetapi banyak juga, ada tiga ratus lima puluh juta. Itu bagian ibu tiri tersebut. Akan tetapi untuk pertama' kali aku melihat orang mengembalika
Ternyata Bang Parlin menunda keberangkatan kami, dia memilih mengurus warganya yang ditangkap polisi. Sementara tiket sudah dipesan, kata Bang Parlin jika memang harus terlambat biar saja tiket itu hangus, karena mengurus keluarga adalah kewajiban kepala desa.Aku ikut ke kantor polisi melihat Agus yang ditahan. Ketika kami sampai langsung diterima oleh Kapolsek. Lalu menjelaskan persoalannya."Kami bekerja sesuai prosedur, memang saudara Agus ini melarikan anak gadis Pak Dullah," begitu jawaban polisi."Bukan melarikan Pak, tapi pergi lari bersama, itu beda Itu bagian dari adat yaitu adat kawin lari," Bang Parlin coba memberikan pengertian."Coba tanya korban yang dilarikan itu tanya baik-baik dia Apakah dia merasa dilarikan, itu saja," kata bang Parlin lagi.Negosiasi berjalan alot, polisi bersikeras menahan Agus karena dilaporkan. Sementara Bang Parlin bersikeras Agus tidak boleh ditangkap tidak bisa ditahan, karena yang dilakukan bukan melarikan anak orang, akan tetapi lari bers
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j
PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep
Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal
Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem
Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j