Sidang berlangsung panas, masing-masing dengan argumennya, masing-masing keras kepala. Anak-anak Pak Abdul Gani tetap bersekukuh ibu tiri mereka penyebab ayahnya meninggal. Sedangkan ibu tiri mereka tersebut tetap mengaku tidak bersalah."Ayah kalian yang loyo, nafsu Besar tenaga kurang, kenapa aku yang disalahkan, tau gak apa kata ayah kalian sebelum mati, terima kasih Istriku, begitu katanya, ayah kalian saja berterima kasih, kalian malah menuduhku sembarangan," begitu kata ibu tiri tersebut setelah tersudut."Ayahku baik-baik saja, mustahil bisa meninggal," "Heh, apa yang mustahil bagi Allah?"Karena tidak bisa berdamai juga, sidang ala desa gagal. Semenjak kami memberlakukan sidang ala desa ini, Baru kali ini gagal dapat keputusan. Bang Parllin juga tidak berani mengambil keputusan karena sama-sama kuatir argumentasinya."Mohon maaf, Bapak-bapak ibu-ibu sekalian, sidang ini ditutup, saya tidak bisa memberikan keputusan, karena khawatir mencederai rasa keadilan, jadi saya serahk
Permasalahan yang tadinya rumit kini sudah jadi mudah, hanya butuh dihargai. Panggilan Mak dari si bungsu sudah membuat ibu tirinya itu luluh. Selama ini memang anak-anak almarhum sepertinya tidak menghargai wanita tersebut. Mungkin karena merebut ayahnya, membuat ibunya janda. Menjandakan ibu mereka demi Janda. Siapa sangka ibu tiri itu ternyata tak sekejam yang diduga. Pembagian harta itu cukup unik juga, Aku dan Bang Parlin ikut melihat, juga beberapa tokoh desa. Pertama seluruh harta ditotal dulu, rumah dan kebun sawit serta kendaraan dihargai dulu. Yang menaksir harganya adalah para tetua desa. Kemudian baru dibagi dua, satu bagian untuk istri, satu bagian untuk almarhum suami. Karena Pak Abdul Gani meninggal sebelum sempat bagi harta gono-gini. Setelah itu, bagian almarhum ini dibagi lagi, seperdelapan untuk ibu tiri, biarpun begitu, tetapi banyak juga, ada tiga ratus lima puluh juta. Itu bagian ibu tiri tersebut. Akan tetapi untuk pertama' kali aku melihat orang mengembalika
Ternyata Bang Parlin menunda keberangkatan kami, dia memilih mengurus warganya yang ditangkap polisi. Sementara tiket sudah dipesan, kata Bang Parlin jika memang harus terlambat biar saja tiket itu hangus, karena mengurus keluarga adalah kewajiban kepala desa.Aku ikut ke kantor polisi melihat Agus yang ditahan. Ketika kami sampai langsung diterima oleh Kapolsek. Lalu menjelaskan persoalannya."Kami bekerja sesuai prosedur, memang saudara Agus ini melarikan anak gadis Pak Dullah," begitu jawaban polisi."Bukan melarikan Pak, tapi pergi lari bersama, itu beda Itu bagian dari adat yaitu adat kawin lari," Bang Parlin coba memberikan pengertian."Coba tanya korban yang dilarikan itu tanya baik-baik dia Apakah dia merasa dilarikan, itu saja," kata bang Parlin lagi.Negosiasi berjalan alot, polisi bersikeras menahan Agus karena dilaporkan. Sementara Bang Parlin bersikeras Agus tidak boleh ditangkap tidak bisa ditahan, karena yang dilakukan bukan melarikan anak orang, akan tetapi lari bers
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka