Sempat juga jadi tontonan orang lain yang sedang sarapan di warung kami, istriku dengan tegas menyuruh Karen segera pergi. Karen masih menatapku sebelum dia akhirnya pergi juga. Setelah Karen pergi, lalu Tania kembali ke meja kasir. Aku juga kembali ke dapur.Kali ini jualan kami lebih cepat habis, jam sembilan sudah kandas semua. Kami lebih cepat tutup dari biasanya. Jika biasanya kami tutup jam sepuluh kali ini jam sembilan. Jadi kami lebih banyak waktu, ada waktu istirahat sebentar sebelum pergi belanja lagi."Bang, apa yang membuat Abang selalu ragu?" kata Tania saatnitu kami istirahat di rumah."Ragu bagaimana, Dek?""Seperti tadi itu, kenapa Abang sepertinya susah sekali untuk bilang tidak, padahal jelas permintaannya salah, " kata istri lagi."Apa ya, Dek? Entah bagaimana menerangkannya, tapi bukankah Itu baik?" aku coba berkilah."Baik?""Iya, membantu orang itu kan baik?""Ya, Allah, Abang belum sadar juga, lihat yang dibantu dulu bagaimana, kuperhatikan, Abang gak bisa meno
Padahal, kukira aku sudah berhasil, pria itu memohon minta tolong supaya aku membantunya, sampai bilang ini rumah tangga sahabatmu. Akan tetapi aku bisa tegas mengatakan tidak. Teringat waktu aku kecil dulu. Rumah kami seperti tempat pengaduan masalah orang. Ayah bisa membantu masalah orang yang datang kepadanya. Solusinya selalu tepat. Mulai dari orang yang kekurangan modal sampai orang yang anaknya hilang sampai orang yang hendak bercerai. Ayah mau mengurus semuanya. Akan tetapi istri tetap menganggap aku tidak berhasil, karena yang datang ini adalah seorang laki-laki, bukan cewek cantik. Padahal menurutku sama saja karena yang mau dibantu adalah cewek cantik juga, yaitu istrinya yang mau katanya diluluhkan hatinya. Jujur saja ada sedikit dalam hatiku rasa puas, rasa senang melihat pria ini menderita. Karena dia sudah dua kali menghinaku, pertama saat aku datang ke rumahnya berniat minjam duit, terus yang kedua dia datang ke warungku. Dia coba menjebak warungku dengan dua rambut pe
PoV ButetAku sudah sampai pada tahap menyusun skripsi, Pak Dosen malah mengirimku ke Jakarta, magang di tempat rekannya sekaligus cari bahan menyusun skripsi. Katanya kota besar lebih banyak kasus besar. Aku akan di Jakarta selama sebulan. Saat kuutarakan niatku kepada orang tua, ayah katanya tidak bisa melepaskanku ke ibukota sendirian. Padahal ada Bang Ucok di Jakarta. Ayah dan mamak justru minta ikut, katanya Rindu pada Bang Ucok dan menantu mereka.Memang semenjak mereka pulang dan kak Tania keguguran, Bang Ucok belum pernah juga pulang. Bahkan kasih kabar pun jarang. Aku justru tahu dari Bang Sandy yang tiba-tiba menelepon. Katanya Bang Ucok sekarang sudah jadi juragan lontong.Bang Sandy juga sudah jadi polisi yang bertugas di bagian siber polri. Semenjak bertugas di polri dia justru makin sering kasih kabar. Mungkin dia sudah banyak waktu luang. Katanya pekerjaannya hanya di kantor. Tidak turun langsung ke lapangan. Dia hanya mengurusi bagian informasi dan teknologi di polri.
PoV NiaAku terkejut saat masalah yang pernah dihadapi Bang Parllin datang lagi ke dirinya. Kali ini lewat anak kami Ucok. Entah kenapa aku langsung emosional saat tahu Ucok lah sudah jadi penyebab orang lain mau cerai, kasusnya persis seperti yang dialami Rara. Tidak bisa melupakan Bang Parlin, sering cerita tentang Bang Parlin, sehingga suami Rara cemburu.Yang terjadi pada Ucok justru lebih nyata, karena mereka langsung berjumpa. Yang paling membagongkan masalah itu kembali' ke Bang Parlin, yang selama ini memang jadi penasehat pernikahan tak resmi. Yang membuat aku kesal adalah cara Bang Parllin menasehati tersebut, begitu dia tahu Ucok pangkal masalahnya bagi laki-laki tersebut. Langsung berubah Bang Parllin, yang tadinya menyarankan saling percaya, menjadi menyarankan cerai saja, karena ada yang lebih tinggi dari rasa percaya, yaitu cinta.Aku sungguh-sungguh kesal, sampai tak sabar menunggu Butet pergi, akhirnya kusuruh Butet bawa Cantik main-main. "Kenapa Abang sarankan cerai
Kami mendarat di bandara Kualanamu Medan, tak ada yang menjemput karena memang tidak diberitahu pada saudara dan teman-teman. Lalu memesan taxi online menuju rumah Torkis. Di rumah Torkis kami istirahat sebentar. Mobil kami memang titipkan di rumah Torkis. Rencananya kami akan melakukan perjalanan darat ke desa. Akan tetapi sepertinya Bang Parlin sudah tidak bisa lagi mengemudi sendirian sampai desa. Akhirnya kami menyewa seorang supir.Dua anak kami sekarang sudah berada di ibukota Jakarta. Tinggal cantik yang sekarang masih PAUD. Sekolah yang baru ada di desa kami, sekolah itu dibangun oleh Kepala desa baru, itu suamiku."Bang, bagaimana rasanya?" tanyaku pada Bang Parlin saat kami dalam perjalanan dari Medan ke desa."Rasa apa?""Rasanya tak bisa lepas dari bayang-bayang Rara." "Ah, kembali lagi ke situ," jawab Bang Parlin."Bukan maksud kembali', Bang, tapi selalu saja ada kejadian yang membuat kembali, bagaimana rasanya, Bang? tanyaku lagi."Sedih, kenapa selalu Ucok yang dapat
"Begini, Bang Parlin, istriku ternyata tidak mau menandatangani, padahal menurut agama ini halal, tak butuh persetujuan istri. Aku menghargai istri dengan menuruti hukum negara saja, tapi beginilah kaum wanita ini, egois,," kata Pak Abdul Gani lagi.Entah kenapa aku tersinggung dengan perkataan pria ini, egois? dan dia menyebut kaum wanita."Kan sudah kubilang, Pak, persetujuan istri itu yang sulit," kata Bang Parlin."Itulah maksudku, Bang Parlin, Bang Parllin kan bisa luluhkan istri, maksudnya luluhkan dulu hati istriku biar diizinkannya aku nikah lagi," kata Pak Abdul Gani."Wah, mana bisa, Pak, kalau bisa aku juga sudah kawin lagi," kata Bang Parllin sambil tertawa. Aku tahu suamiku ini hanya bercanda, atau cari alasan untuk menghindar, akan tetapi aku tidak suka, dari sekian banyak candaan, aku paling benci candaan soal poligami."Jadi bagaimana, Pak, aku palsukan saja tanda tangannya?""Kamu zolim, jika kamu lakukan itu, Pak, ibarat kata kamu masak ikan dengan minyak babi, yang
Aku terkejut dengan kata perintah, seperti aparat saja main perintah segala. Memang ada beberapa hubungan persaudaraan yang jika saudaranya butuh pertolongan wajib dibantu. Seperti seorang orang tua yang menyuruh anaknya tidak perlu minta tolong tapi memerintahkan. Mungkin ini alasan ibu ini bilang bukan permintaan tapi perintah . Dia tahu Bamg Parlin sangat taat beradat. Padahal tadi mereka terus bilang minta tolong, mungkin karena melihat bang Parlin ragu dia ganti minta tolong jadi perintah. Kulihat Bang Parlin, dia menggaruk kepalanya yang kemungkinan tidak gatal. Urusan suami yang mau poligami ini minta bantuannya, kedua belah pihak pula minta bantuan. Suami minta istrinya diluluhkan, istri minta suaminya diluluhkan. Aku tunggu jawaban Bang Parlin."Sekali aku mohon maaf, Bu, jika ini permintaan bantuan, mohon maaf aku tidak bisa bantu, jika ini perintah, maaf aku harus melanggar perintah. Sekali lagi mohon maaf, saya tidak bisa bantu," kata Bang Parlin."Kamu minta sebagai
Bu Masraya Siregar akan tetap menuntut cerai pada suaminya. Kali ini aku mau membantu mendampingi Ibu tersebut. Karena dalam hati aku mendukung keputusan ibu itu. Jika suami sudah berniat untuk poligami, jika pun tidak jadi hanya menunggu waktu saja. Dia pasti akan mencoba berbagai cara supaya bisa poligami."Tumben mau mengurusi warga?" tanya Bang Parlin, saat kami minta izin kepadanya pergi mendaftarkan gugatan ke pengadilan."Aku masih ibu PKK desa ini lo, Bang," jawabku."Perceraian adalah hal yang halal yang paling dibenci Allah subhanahu wa ta'ala, kamu mau membantu orang untuk mewujudkan perceraian, itu berarti kamu melakukan pekerjaan membantu orang melakukan hal halal yang paling dibenci Allah," kata Bang Parlin."Aku cuma mau membantu, Lo, Bang, kasihan Ibu itu, dia buta hukum," katanya lagi."Sebagai ibu PKK seharusnya kamu itu menyarankan supaya tidak bercerai saja," kata Bang Parlin."Jadi kegiatan suami yang nikah lagi ini sudah berniat bukan hanya niat tapi sudah mau