PoV ButetMungkin aku sudah ditakdirkan jadi anak kepala desa, Setelah Mamak tak lagi menjabat, kini ayah yang jadi kepala desa. Ada yang berubah dengan ayah, kini ayah terlihat makin bijaksana. Tak lagi seperti dulu suka ngeles dan mencari pembenaran atas perbuatannya. Seperti saat kami makan malam dengan Pak Johan, Ayah tidak lagi marah-marah saat Pak Johan membicarakan soal lamaran. Biasanya ayah akan marah jika disinggung soal orang yang mau melamarku. Kami jadi diskusi terbuka, Pak Johan ingin diberi marga Batak. Ayah menyambut baik keinginan Pak Johan tersebut. Setelah jadi orang Islam, kini Pak Johan mau jadi orang Batak. Aku terharu, untuk yang pindah agama Pak Johan mengaku atas dasar keinginan sendiri. Akan tetapi pindah suku dia melakukan katanya untuk melancarkan pernikahan kami nanti. Aku juga bingung dengan hubungan kami, Apakah kamu pacaran? Rasanya tidak, jika dibandingkan dengan teman-teman yang pacaran yang malam minggu berduaan, kami tidak ada berpacaran. Apakah
Akan tetapi Sersan Hasan masih mengajak basa-basi, dia menawarkan minum, sampai menawarkan mie instan. Hampir saja aku tergoda dengan tawaran mie instan tersebut. Sampai akhirnya aku bisa menguasai diri dan hanya minta teh manis saja. "Cepatlah, aku tidak punya banyak waktu,": kataku kemudian."Kamu tidak peka, Butet," kata Sersan Hasan."Yang mau kita bahas di sini adalah kamu merusak temanku, kok malah aku yang dibilang tidak peka?" kataku kemudian."Aku melakukan semua ini masih dalam misi mendapatkanmu, Butet, kamu tidak peka, tadinya aku sengaja dekat dengan temanmu, supaya kamu cemburu, karena kata orang, salah satu cara mendapatkan wanita idaman itu adalah membuatnya cemburu, tapi dasar kamu tidak peka," kata Sersan Hasan.Aku terhenyak, sungguh pengakuan yang tidak ingin kudengar."Butet, kamu tahu dari awal, kalau aku suka padamu, ingin menjadikanmu istriku, tapi kamu malah tidak jelas, aku ajak Wulan supaya kamu cemburu dan minta dinikahi, ternyata aku salah, aku dapat aja
Aku langsung bertindak, kuambil kain lalu mengikat luka di tangan Wulan. Aku berteriak teriak, minta bantuan orang-orang yang ramai menonton. Akan tetapi seorang ibu-ibu tetap melarang. Katanya tidak boleh disentuh karena bisa menghilangkan bukti."Jangan dulu sentuh nanti bukti-bukti hilang," begitu kata ibu tersebut.Beberapa orang yang lain justru merekam kejadian tersebut. Tanpa berusaha untuk menolong.Aku mengangkat sendiri tubuh Wulan, membawanya keluar dari kamar mandi."Nanti bukti hilang," kata ibu itu lagi."Hai, Bu, Apa bukti itu lebih berharga daripada nyawa orang yang hilang?" Aku geram juga akhirnya.Berapa saat kemudian mobil polisi sudah datang, Wulan masih bernapas, polisi gerak cepat, beberapa detik kemudian Wulan sudah diangkut pakai mobil dan dilarikan ke rumah sakit.Aku ikut di dalam mobil tersebut, Wulan dibawa ke rumah sakit terdekat. Sampai di rumah sakit langsung dibawa ke ruang gawat darurat. Aku tak bisa ikut lagi. Yang bisa kulakukan kini hanya berdoa.
Wulan justru menolak, ini kejutan, padahal dia sudah hamil, Apa yang membuatnya berubah pikiran seperti ini? Apakah percobaan bunuh diri itu telah membuatnya bertemu dengan malaikat? Ah, pikiranku justru makin ke mana-mana.Apapun yang dikatakan oleh Sersan Hasan dan ibunya, Wulan tetap bersekukuh tidak akan menerima lamaran. Sampai-sampai Sersan Hasan minta tolong padaku untuk membujuk Wulan."Maaf ya, aku tidak bisa," kataku kemudian.Tentu saja aku tidak akan mau terlibat kalau disuruh membujuk-bujuk lagi, Wulan mungkin sudah mengambil keputusan yang tepat untuknya. Seperti kata Sersan Hasan dia tidak mungkin menikahi orang yang tak dicintainya.Akan tetapi aku penasaran juga apa yang membuat Wulan berubah pikiran. Sebelum kami kembali ke kota aku mengajak Wulan untuk bicara berdua."Aku akan berhenti kuliah, Butet," kata Wulan. "Kenapa? padahal kan tinggal satu semester lagi," "Aku tidak mungkin kuliah dengan kondisi perut seperti ini, Butet,""Ya sudah jika memang tidak mau mun
"Mengotori bagaimana?" tanya Ayah."Tanya saja dia," kata ibu tersebut seraya menunjuk ibunya Johan.Ibu itu tampak ketakutan sekali, aku mendekatinya coba bertanya ada apa. Ternyata ibu itu hanya melakukan ritual sembahyang seperti biasanya. Pagi hari dia bakar dupa dan sembahyang di depan penginapan, terus dia olah raga pagi dengan pakaian olahraga yang sangat ketat. Ini hanya salah paham."Ibu-ibu semua, ini hanya salah paham, ibu ini hanya melakukan ritual agamanya," kataku kemudian."Heh, Butet, jangan sok tau kau, ibu ini duduk bersimpuh, terus ada yang dibakar, terus ada air disiramkan ke jalan, itu ritual yang pernah kulihat di tukang santet," kata ibu-ibu berjilbab ungu tersebut."Astaghfirullah, ibu pernah menyantet orang?" tanyaku."Ibu itu tanya?" katanya seraya menunjuk ibunya Johan."Ibu bilang tadi seperti ritual tukang santet, emangnya ibu pernah santet orang?" tanyaku lagi."Kau ini, Tet, ibu inilah yang santet orang," kata ibu itu lagi."Ibu ini sembayang, Bu, tiap p
Seharian bersama Ayah di kantor kepala desa, kami membahas banyak hal. Banyak memang Yang berubah pada ayahku ini, sekarang dia sudah mulai terbuka membicarakan laki-laki yang coba dekat denganku. Dulu itu adalah sesuatu yang tidak boleh, ada yang coba melamar pun Ayah akan marah."Ayah kalau sekiranya memilih, siapa yang Ayah pilih jadi menantu Ayah?""Emang siapa aja calonnya?""Sandi, Umar, ustad Rizal," "Waduh yang banyak kali lah itu,""Hahaha, kan aku bilang sekiranya, Yah," kataku."Jujur saja ya, Butet, tadinya mengharapkan ustadz Rizal,""Alasannya, Yah?""Ayah ingin ada yang meneruskan pesantren itu," kata ayah lagi."Tapi udah nikah dia, Yah,""Itulah, jodoh itu di tangan Tuhan," "Tapi Johan juga bisa jadi pengurus pesantren,""Mana mungkin,""Dia serius loh yah belajar agama, baru berapa tahun dia masuk agama Islam dia sudah hafal Quran 15 juz," kataku."Iya, tapi untuk jadi pengurus pesantren itu tidak hanya hafal Quran tapi mesti harus lulusan pesantren," "Ayah tahu
Ayah tampak pusing sekali, beberapa kali dia meremas rambutnya. Sementara Samsul, laki-laki itu masih pingsan di jok belakang."Ini belum seberapa Bang, sudah lihat nggak apa yang kuhadapi waktu jadi kepala desa, mulai dari pertengkaran sampai pembunuhan sampai demonstrasi sudah pernah kuhadapi," kata mamak kemudian."Iya, Dek, aku makin salut sama kamu, Dek," kata ayah."Aku baru kepala desa beberapa bulan saja sudah begini, baru ini kasus sudah sempat aku memukul orang," kata Ayah lagi."Sabar, Bang," "Aku baru mengaku kini, Kamu memang yang terbaik, Dek," kata ayah lagi.Kulihat Mamak tersenyum. Ini sesuatu yang jarang terjadi, ayah orangnya yang pelit pujian, apalagi memuji mamak, Baru kali ini kudengar Ayah memuji seperti ini. "Percuma aku dapat penghargaan dari Menteri, urusan begini saja aku sudah pusing," kata Ayah.Kami sampai di klinik terdekat, belum sempat Samsul dibawa masuk ternyata dia sudah sadar. Dia tampak gegalapan melihat sekeliling."Di mana aku?" Kata Samsul
Sidang ala desa sudah menjadi tradisi di desa ini, hakimnya adalah para tetua desa, sidang ini ada semenjak Mamak jadi kepala desa. Biasanya sidang adalah masalah sengketa lahan masalah keluarga, pernah juga sidang masalah harta gono gini orang yang bercerai. Kali ini masalahnya sangat pelik, ada orang yang meninggal karena terjatuh dari motornya. Keluarga yang meninggal yakin ada pembunuhan. Aku jadi semacam pembela tersangka pembunuhan ini. Aku yakin cerita versi dia yang benar, versi yang lain lagi saksinya tidak ada, karena saat kejadian mereka berdua yang di jalan.Suasana malam itu mencekam, seperti biasa kami para gadis membaca tahlil tahtim di rumah duka. Setelah kami selesai baru giliran kaum bapak-bapak yang membaca tahlil. Aku tidak pulang kami para gadis sibuk di dapur membantu menyediakan makanan ringan. Kukira orang yang tertuduh tidak akan datang tahlil, karena dia baru saja dari rumah kami. Akan tetapi ternyata dia datang. itu yang mungkin membuat beberapa keluarg
PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep
Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal
Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem
Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j