Sungguh aku tak menyangka, usaha Bang Parlin yang hanya memberikan doa keluar rumah itu bisa membuat gadis ini mendapatkan jodoh. Gadis itu nampak tersenyum, penampilannya juga berubah dari saat pertama kali datang. "Benarkah ada yang lamar?" Aku masih tak percaya."Bener, Bu, kami langsung cocok, malam minggu ini mereka akan datang mengantarkan mahar," kata gadis tersebut."Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu," kataku kemudian."Kami datang mau berterima kasih sekaligus mau mengundang Pak Parlin datang ke rumah kami mewakili alim ulama desa untuk menerima hantaran mahar mereka," kata ibu itu lagi."Baik, Bu," nanti saya sampaikan.Ibu dan gadis yang berusia 30 tahun itu permisi untuk pulang, setelah mereka pulang. Butet melah tertawa."ini hanya kebetulan, Mak tidak mungkin ayah jadi dukun," kata Butet."Entahlah, Tet,""Kita harus menatar ayah, Mak, apa kata dunia nanti, kepala desa merangkap dukun," kata Butet."Iya, Bu, Betul kata Butet, saat debat itu pun Bapak sebetulnya kala
PoV ButetMungkin aku sudah ditakdirkan jadi anak kepala desa, Setelah Mamak tak lagi menjabat, kini ayah yang jadi kepala desa. Ada yang berubah dengan ayah, kini ayah terlihat makin bijaksana. Tak lagi seperti dulu suka ngeles dan mencari pembenaran atas perbuatannya. Seperti saat kami makan malam dengan Pak Johan, Ayah tidak lagi marah-marah saat Pak Johan membicarakan soal lamaran. Biasanya ayah akan marah jika disinggung soal orang yang mau melamarku. Kami jadi diskusi terbuka, Pak Johan ingin diberi marga Batak. Ayah menyambut baik keinginan Pak Johan tersebut. Setelah jadi orang Islam, kini Pak Johan mau jadi orang Batak. Aku terharu, untuk yang pindah agama Pak Johan mengaku atas dasar keinginan sendiri. Akan tetapi pindah suku dia melakukan katanya untuk melancarkan pernikahan kami nanti. Aku juga bingung dengan hubungan kami, Apakah kamu pacaran? Rasanya tidak, jika dibandingkan dengan teman-teman yang pacaran yang malam minggu berduaan, kami tidak ada berpacaran. Apakah
Akan tetapi Sersan Hasan masih mengajak basa-basi, dia menawarkan minum, sampai menawarkan mie instan. Hampir saja aku tergoda dengan tawaran mie instan tersebut. Sampai akhirnya aku bisa menguasai diri dan hanya minta teh manis saja. "Cepatlah, aku tidak punya banyak waktu,": kataku kemudian."Kamu tidak peka, Butet," kata Sersan Hasan."Yang mau kita bahas di sini adalah kamu merusak temanku, kok malah aku yang dibilang tidak peka?" kataku kemudian."Aku melakukan semua ini masih dalam misi mendapatkanmu, Butet, kamu tidak peka, tadinya aku sengaja dekat dengan temanmu, supaya kamu cemburu, karena kata orang, salah satu cara mendapatkan wanita idaman itu adalah membuatnya cemburu, tapi dasar kamu tidak peka," kata Sersan Hasan.Aku terhenyak, sungguh pengakuan yang tidak ingin kudengar."Butet, kamu tahu dari awal, kalau aku suka padamu, ingin menjadikanmu istriku, tapi kamu malah tidak jelas, aku ajak Wulan supaya kamu cemburu dan minta dinikahi, ternyata aku salah, aku dapat aja
Aku langsung bertindak, kuambil kain lalu mengikat luka di tangan Wulan. Aku berteriak teriak, minta bantuan orang-orang yang ramai menonton. Akan tetapi seorang ibu-ibu tetap melarang. Katanya tidak boleh disentuh karena bisa menghilangkan bukti."Jangan dulu sentuh nanti bukti-bukti hilang," begitu kata ibu tersebut.Beberapa orang yang lain justru merekam kejadian tersebut. Tanpa berusaha untuk menolong.Aku mengangkat sendiri tubuh Wulan, membawanya keluar dari kamar mandi."Nanti bukti hilang," kata ibu itu lagi."Hai, Bu, Apa bukti itu lebih berharga daripada nyawa orang yang hilang?" Aku geram juga akhirnya.Berapa saat kemudian mobil polisi sudah datang, Wulan masih bernapas, polisi gerak cepat, beberapa detik kemudian Wulan sudah diangkut pakai mobil dan dilarikan ke rumah sakit.Aku ikut di dalam mobil tersebut, Wulan dibawa ke rumah sakit terdekat. Sampai di rumah sakit langsung dibawa ke ruang gawat darurat. Aku tak bisa ikut lagi. Yang bisa kulakukan kini hanya berdoa.
Wulan justru menolak, ini kejutan, padahal dia sudah hamil, Apa yang membuatnya berubah pikiran seperti ini? Apakah percobaan bunuh diri itu telah membuatnya bertemu dengan malaikat? Ah, pikiranku justru makin ke mana-mana.Apapun yang dikatakan oleh Sersan Hasan dan ibunya, Wulan tetap bersekukuh tidak akan menerima lamaran. Sampai-sampai Sersan Hasan minta tolong padaku untuk membujuk Wulan."Maaf ya, aku tidak bisa," kataku kemudian.Tentu saja aku tidak akan mau terlibat kalau disuruh membujuk-bujuk lagi, Wulan mungkin sudah mengambil keputusan yang tepat untuknya. Seperti kata Sersan Hasan dia tidak mungkin menikahi orang yang tak dicintainya.Akan tetapi aku penasaran juga apa yang membuat Wulan berubah pikiran. Sebelum kami kembali ke kota aku mengajak Wulan untuk bicara berdua."Aku akan berhenti kuliah, Butet," kata Wulan. "Kenapa? padahal kan tinggal satu semester lagi," "Aku tidak mungkin kuliah dengan kondisi perut seperti ini, Butet,""Ya sudah jika memang tidak mau mun
"Mengotori bagaimana?" tanya Ayah."Tanya saja dia," kata ibu tersebut seraya menunjuk ibunya Johan.Ibu itu tampak ketakutan sekali, aku mendekatinya coba bertanya ada apa. Ternyata ibu itu hanya melakukan ritual sembahyang seperti biasanya. Pagi hari dia bakar dupa dan sembahyang di depan penginapan, terus dia olah raga pagi dengan pakaian olahraga yang sangat ketat. Ini hanya salah paham."Ibu-ibu semua, ini hanya salah paham, ibu ini hanya melakukan ritual agamanya," kataku kemudian."Heh, Butet, jangan sok tau kau, ibu ini duduk bersimpuh, terus ada yang dibakar, terus ada air disiramkan ke jalan, itu ritual yang pernah kulihat di tukang santet," kata ibu-ibu berjilbab ungu tersebut."Astaghfirullah, ibu pernah menyantet orang?" tanyaku."Ibu itu tanya?" katanya seraya menunjuk ibunya Johan."Ibu bilang tadi seperti ritual tukang santet, emangnya ibu pernah santet orang?" tanyaku lagi."Kau ini, Tet, ibu inilah yang santet orang," kata ibu itu lagi."Ibu ini sembayang, Bu, tiap p
Seharian bersama Ayah di kantor kepala desa, kami membahas banyak hal. Banyak memang Yang berubah pada ayahku ini, sekarang dia sudah mulai terbuka membicarakan laki-laki yang coba dekat denganku. Dulu itu adalah sesuatu yang tidak boleh, ada yang coba melamar pun Ayah akan marah."Ayah kalau sekiranya memilih, siapa yang Ayah pilih jadi menantu Ayah?""Emang siapa aja calonnya?""Sandi, Umar, ustad Rizal," "Waduh yang banyak kali lah itu,""Hahaha, kan aku bilang sekiranya, Yah," kataku."Jujur saja ya, Butet, tadinya mengharapkan ustadz Rizal,""Alasannya, Yah?""Ayah ingin ada yang meneruskan pesantren itu," kata ayah lagi."Tapi udah nikah dia, Yah,""Itulah, jodoh itu di tangan Tuhan," "Tapi Johan juga bisa jadi pengurus pesantren,""Mana mungkin,""Dia serius loh yah belajar agama, baru berapa tahun dia masuk agama Islam dia sudah hafal Quran 15 juz," kataku."Iya, tapi untuk jadi pengurus pesantren itu tidak hanya hafal Quran tapi mesti harus lulusan pesantren," "Ayah tahu
Ayah tampak pusing sekali, beberapa kali dia meremas rambutnya. Sementara Samsul, laki-laki itu masih pingsan di jok belakang."Ini belum seberapa Bang, sudah lihat nggak apa yang kuhadapi waktu jadi kepala desa, mulai dari pertengkaran sampai pembunuhan sampai demonstrasi sudah pernah kuhadapi," kata mamak kemudian."Iya, Dek, aku makin salut sama kamu, Dek," kata ayah."Aku baru kepala desa beberapa bulan saja sudah begini, baru ini kasus sudah sempat aku memukul orang," kata Ayah lagi."Sabar, Bang," "Aku baru mengaku kini, Kamu memang yang terbaik, Dek," kata ayah lagi.Kulihat Mamak tersenyum. Ini sesuatu yang jarang terjadi, ayah orangnya yang pelit pujian, apalagi memuji mamak, Baru kali ini kudengar Ayah memuji seperti ini. "Percuma aku dapat penghargaan dari Menteri, urusan begini saja aku sudah pusing," kata Ayah.Kami sampai di klinik terdekat, belum sempat Samsul dibawa masuk ternyata dia sudah sadar. Dia tampak gegalapan melihat sekeliling."Di mana aku?" Kata Samsul