Aku langsung bertindak, kuambil kain lalu mengikat luka di tangan Wulan. Aku berteriak teriak, minta bantuan orang-orang yang ramai menonton. Akan tetapi seorang ibu-ibu tetap melarang. Katanya tidak boleh disentuh karena bisa menghilangkan bukti."Jangan dulu sentuh nanti bukti-bukti hilang," begitu kata ibu tersebut.Beberapa orang yang lain justru merekam kejadian tersebut. Tanpa berusaha untuk menolong.Aku mengangkat sendiri tubuh Wulan, membawanya keluar dari kamar mandi."Nanti bukti hilang," kata ibu itu lagi."Hai, Bu, Apa bukti itu lebih berharga daripada nyawa orang yang hilang?" Aku geram juga akhirnya.Berapa saat kemudian mobil polisi sudah datang, Wulan masih bernapas, polisi gerak cepat, beberapa detik kemudian Wulan sudah diangkut pakai mobil dan dilarikan ke rumah sakit.Aku ikut di dalam mobil tersebut, Wulan dibawa ke rumah sakit terdekat. Sampai di rumah sakit langsung dibawa ke ruang gawat darurat. Aku tak bisa ikut lagi. Yang bisa kulakukan kini hanya berdoa.
Wulan justru menolak, ini kejutan, padahal dia sudah hamil, Apa yang membuatnya berubah pikiran seperti ini? Apakah percobaan bunuh diri itu telah membuatnya bertemu dengan malaikat? Ah, pikiranku justru makin ke mana-mana.Apapun yang dikatakan oleh Sersan Hasan dan ibunya, Wulan tetap bersekukuh tidak akan menerima lamaran. Sampai-sampai Sersan Hasan minta tolong padaku untuk membujuk Wulan."Maaf ya, aku tidak bisa," kataku kemudian.Tentu saja aku tidak akan mau terlibat kalau disuruh membujuk-bujuk lagi, Wulan mungkin sudah mengambil keputusan yang tepat untuknya. Seperti kata Sersan Hasan dia tidak mungkin menikahi orang yang tak dicintainya.Akan tetapi aku penasaran juga apa yang membuat Wulan berubah pikiran. Sebelum kami kembali ke kota aku mengajak Wulan untuk bicara berdua."Aku akan berhenti kuliah, Butet," kata Wulan. "Kenapa? padahal kan tinggal satu semester lagi," "Aku tidak mungkin kuliah dengan kondisi perut seperti ini, Butet,""Ya sudah jika memang tidak mau mun
"Mengotori bagaimana?" tanya Ayah."Tanya saja dia," kata ibu tersebut seraya menunjuk ibunya Johan.Ibu itu tampak ketakutan sekali, aku mendekatinya coba bertanya ada apa. Ternyata ibu itu hanya melakukan ritual sembahyang seperti biasanya. Pagi hari dia bakar dupa dan sembahyang di depan penginapan, terus dia olah raga pagi dengan pakaian olahraga yang sangat ketat. Ini hanya salah paham."Ibu-ibu semua, ini hanya salah paham, ibu ini hanya melakukan ritual agamanya," kataku kemudian."Heh, Butet, jangan sok tau kau, ibu ini duduk bersimpuh, terus ada yang dibakar, terus ada air disiramkan ke jalan, itu ritual yang pernah kulihat di tukang santet," kata ibu-ibu berjilbab ungu tersebut."Astaghfirullah, ibu pernah menyantet orang?" tanyaku."Ibu itu tanya?" katanya seraya menunjuk ibunya Johan."Ibu bilang tadi seperti ritual tukang santet, emangnya ibu pernah santet orang?" tanyaku lagi."Kau ini, Tet, ibu inilah yang santet orang," kata ibu itu lagi."Ibu ini sembayang, Bu, tiap p
Seharian bersama Ayah di kantor kepala desa, kami membahas banyak hal. Banyak memang Yang berubah pada ayahku ini, sekarang dia sudah mulai terbuka membicarakan laki-laki yang coba dekat denganku. Dulu itu adalah sesuatu yang tidak boleh, ada yang coba melamar pun Ayah akan marah."Ayah kalau sekiranya memilih, siapa yang Ayah pilih jadi menantu Ayah?""Emang siapa aja calonnya?""Sandi, Umar, ustad Rizal," "Waduh yang banyak kali lah itu,""Hahaha, kan aku bilang sekiranya, Yah," kataku."Jujur saja ya, Butet, tadinya mengharapkan ustadz Rizal,""Alasannya, Yah?""Ayah ingin ada yang meneruskan pesantren itu," kata ayah lagi."Tapi udah nikah dia, Yah,""Itulah, jodoh itu di tangan Tuhan," "Tapi Johan juga bisa jadi pengurus pesantren,""Mana mungkin,""Dia serius loh yah belajar agama, baru berapa tahun dia masuk agama Islam dia sudah hafal Quran 15 juz," kataku."Iya, tapi untuk jadi pengurus pesantren itu tidak hanya hafal Quran tapi mesti harus lulusan pesantren," "Ayah tahu
Ayah tampak pusing sekali, beberapa kali dia meremas rambutnya. Sementara Samsul, laki-laki itu masih pingsan di jok belakang."Ini belum seberapa Bang, sudah lihat nggak apa yang kuhadapi waktu jadi kepala desa, mulai dari pertengkaran sampai pembunuhan sampai demonstrasi sudah pernah kuhadapi," kata mamak kemudian."Iya, Dek, aku makin salut sama kamu, Dek," kata ayah."Aku baru kepala desa beberapa bulan saja sudah begini, baru ini kasus sudah sempat aku memukul orang," kata Ayah lagi."Sabar, Bang," "Aku baru mengaku kini, Kamu memang yang terbaik, Dek," kata ayah lagi.Kulihat Mamak tersenyum. Ini sesuatu yang jarang terjadi, ayah orangnya yang pelit pujian, apalagi memuji mamak, Baru kali ini kudengar Ayah memuji seperti ini. "Percuma aku dapat penghargaan dari Menteri, urusan begini saja aku sudah pusing," kata Ayah.Kami sampai di klinik terdekat, belum sempat Samsul dibawa masuk ternyata dia sudah sadar. Dia tampak gegalapan melihat sekeliling."Di mana aku?" Kata Samsul
Sidang ala desa sudah menjadi tradisi di desa ini, hakimnya adalah para tetua desa, sidang ini ada semenjak Mamak jadi kepala desa. Biasanya sidang adalah masalah sengketa lahan masalah keluarga, pernah juga sidang masalah harta gono gini orang yang bercerai. Kali ini masalahnya sangat pelik, ada orang yang meninggal karena terjatuh dari motornya. Keluarga yang meninggal yakin ada pembunuhan. Aku jadi semacam pembela tersangka pembunuhan ini. Aku yakin cerita versi dia yang benar, versi yang lain lagi saksinya tidak ada, karena saat kejadian mereka berdua yang di jalan.Suasana malam itu mencekam, seperti biasa kami para gadis membaca tahlil tahtim di rumah duka. Setelah kami selesai baru giliran kaum bapak-bapak yang membaca tahlil. Aku tidak pulang kami para gadis sibuk di dapur membantu menyediakan makanan ringan. Kukira orang yang tertuduh tidak akan datang tahlil, karena dia baru saja dari rumah kami. Akan tetapi ternyata dia datang. itu yang mungkin membuat beberapa keluarg
Sidang desa itu akhirnya ditutup, dengan keputusan tidak ada tersangka pembunuhan, akan tetapi, lima anak yatim yang ditinggalkan oleh almarhum akan jadi tanggungan seluruh warga desa. Dana Desa setiap tahunnya akan disisihkan untuk kelima anak tersebut sampai dewasa. Istri almarhum jadi sesunggukan menangis berterima kasih kepada kepala desa. Katanya sewaktu suaminya masih hidup saja tidak ada jaminan anaknya bisa sekolah sampai minimal tamat SMA. Akan tetapi setelah Ayah yang mengatakan seperti itu dia menjadi tambah semangat untuk melanjutkan hidup. Ayah bahkan berjanji jika sekiranya dana desa tidak cair, akan memberikan uang pribadinya untuk biaya ke 5 anak tersebut. Soal besaran biaya disesuaikan dengan waktu ke waktu. Untuk saat ini pertama karena anaknya masih kecil-kecil akan disubsidi satu juta setengah perbulan. Setiap tahun akan bertambah. Keputusan ini membuat kedua belah pihak nampaknya puas. Pihak korban merasa terbantu karena anak yatim yang ditinggalkan jadi ada ja
"Jujur saja ya, Dek, apa saat kita pertama' nikah kamu langsung cinta? tidak kan, karena kita bahkan baru dua kali bertemu, perlahan cinta itu tumbuh di hatimu," kata Ayah kemudian."Yang aku tanya cinta Abang, bukan cintaku?" kata Mamak. "Kalau Abang sudah jelas, jatuh cinta di pandangan pertama," kata Ayah."Cinta remahan rengginang," kata Mamak lagi."Kok remahan sih?""Iyalah, regginsngnya sudah sama si Dia yang tidak boleh disebut namanya," kata mamak."Voldemort," kataku kemudian."Siapa Voldemort?""Itulah, yang tidak boleh disebut namanya?""Siapa pula itu""Udahlah, cukup bahas cinta unik, sekarang kita bahas Wulan," kataku kemudian."Iya, bagaimana ya, apakah tentara itu memang serius?" tanya Mamak.Akhirnya kami berkumpul lagi, Sersan Hasan untuk yang kesekian kalinya minta tolong."Begini ya, kami mau, ayah bersedia, tapi, jangan coba-coba sakiti Wulan lagi, ayahku nanti yang kau hadapi," kataku pada Sersan Hasan. Aku tahu dia sangat segan ke ayah."Pasti, Tet, aku sudah