Aku mengangguk seraya menundukkan pandangan. Tak berani menatap wajahnya, aku segera berjalan ke tempat wudhu laki-laki."Ucok, ingat gak tanggal berapa ini?" tanya Karen. Seraya mengikutiku dari belakang. Aku jadi risih, untung saja belum ada orang lain."Emangnya kenapa?" tanyaku seraya mengingat tanggal."Hari ini, subuh ini, setahun yang lalu," kata Karen lagi.Aku mengerjitkan kening, masih belum paham apa maksud perkataan Karen."Hari ini tepat setahun yang lalu kita bertemu di sini, Cok, awal dari perubahan hidupku, semuanya kucatat," kata Karen."Oh, iya, sebaiknya pergilah tidur lagi atau mandi, biar ikut Salat subuh, jangan begini, nanti timbul fitnah," kataku kemudian."Aku ingin salat subuh kau imami, Cok, sebagai peringatan hari ulang tahun pertemuan kita,""Ya, udah, sana mandi cepat," kataku lagi."Aku sendiri makmumnya, Cok, di rumahku," katanya lagi."Udah gila kau," "Benar, Cok, aku memang sudah gila,""Astaghfirullah, cepat sana pulang," kataku seraya menutup pintu
Ideku memang beresiko, bisa membuat orang malu, membuka aib orang, bisa pula membuat Sandy tersangkut masalah hukum. Akan tetapi aku tak punya cara lagi. "Bang Ucok?" Pesan dari Butet.Siang itu aku lagi di kampus, tumben Butet kirim pesan siang begini."Apa, Tet?""Kudengar Abang mau masuk got lagi," pesan Butet."Masuk got bagaimana?""Kali ini lebih beresiko, bisa kena UU ITE," pesan Butet lagi.Oh, pasti si Sandy sudah cerita, aku malas mengetik untuk menerangkan, kualihkan ke panggilan video. Aku lalu menceritakan semua pada Butet, mulai dari awal hinggap akhir."Abang harus bagaimana lagi, Tet?" kataku kemudian."Abang tanya lagi harus bagaimana?""Ya, iyalah, Tet,""Kan sudah kubilang, Bang, hati-hati dengan Karen tapi dasar memang Abang bandel, sudah begini jadi bingung,""Udahlah, Tet, gak usah ceramah lagi, aku harus bagaimana, langkah' apa yang harus kulakukan? Itu yang penting," kataku lagi."Satu saja, Bang, masa bodo," "Gitulah kau, Tet, capek Abang cerita, kamu malah
PoV KarenSemua video itu kukirim ke hp-ku sendiri, baru kuhapus bukti terkirim. Hp itu kembali kumasukkan ke kantong celana Ayah. Terus kubangunkan ayah karena sudah ada panggilan untuk menaiki pesawat.Singkat cerita kami sampai di rumah, begitu sampai aku langsung dapat omelan dari ibu. Kemudian aku dimasukkan ke dalam kamar, lalu kamar dikunci dari luar, wah, aku disekap orang tua sendiri.Kenapa begitu sulit untuk melupakan Ucok dan ayahnya? Saat aku tertidur, aku justru bermimpi, mimpi yang kotor sekali, Dalam mimpiku aku bercinta bertiga dengan Ucok dan ayahnya. Mimpi yang menggelikan sekali. Pintu kamar terbuka, lalu muncul ayah di pintu, di tangannya ada laptop dan hp."Ini peralatanmu, selesaikan skripsimu," kata Ayah."Aku sudah tak semangat, Pa," jawabku "Harus, selesaikan itu, jangan buat malu orang tua lagi," kata Ayah seraya menutup pintu kamar dengan keras.Aku tak dapat menyeselaikan skripsi itu, yang selalu terbayang justru Ucok dan Ayahnya, dua laki-laki yang s
PoV NiaKembali ke desa, jadi ibu rumah tangga, ternyata cukup membosankan juga, hanya satu bulan yang merasa bebas, bulan berikutnya justru jadi bosan. Aku mulai mencari kegiatan tambahan. "Bang, aku mau buka toko perlengkapan pertanian di desa ini," kataku pada Bang Parlindungan di suatu malam, saat itu kami lagi berduaan di kamar. Cantik sudah tidur, sedangkan Butet di ibukota kabupaten."Udahlah, Dek,""Bisa lo, Bang,""Kita kembali muda lo, Dek,""Muda apaan?""Kembali punya anak kecil seperti dulu,""Hmmm,""Kita bikin lagi, yuk, Dek, dari pada bosan," kata Bang Parlin lagi."Ya, ampun,"Saat kami hendak mendaki gunung, ada gangguan, HP Bang Parlin bunyi, ada pesan dari seseorang, isinya justru video aneh."Dari siapa, Dek?" tanya Bang Parlin."Entah," jawabku.Kemudian ada lagi pesannya. ..."Om, aku dijebak, Om," Aku coba perhatikan foto profilnya, ternyata Karen. Aku balas dan bertanya dijebak bagaimana, aku terkejut, Dia tuduh Ucok menjebaknya, mengambil video dirinya l
PoV ButetSaat hendak pulang ke rumah orang tuanya saat libur, Ustadz Rizal datang ke rumah, dia datang bersama temannya sesama pengajar di pesantren tersebut."Ayah dan mamak lagi pergi," kataku ketika menyambut mereka di pintu."Oh, kalau begitu kami pulang saja," jawab ustadz tersebut."Gak masuk dulu," kataku kemudian, biarpun aku tahu ustadz itu tidak akan mau masuk rumah jika tak ada ayah."Tidak usah lagi, aku datang hanya mau pamit, kan lagi libur, jadi mau pulang dulu," kata ustadz Rizal."Oh, iya, ya, nanti kusampaikan," kataku kemudian.Mereka tidak masuk, tidak juga pergi, masih terus berdiri di pintu, teman ustadz Rizal seperti memberikan kode pada ustadz tersebut. Dia menarik lengan bajunya."Ada apa ya?" tanyaku."Ini, Butet, ustadz Rizal mau bicara sama kamu, tapi dia tidak mau berduaan denganmu," kata teman ustadz Rizal tersebut.Mau bicara tapi tidak mau berdua, apakah harus bicara' di tempat orang ramai? "Udah, bicara saja," kataku kemudian."Begini, Tet, umur saya
Kulihat mamak, beliau tampak berpikir sebentar lalu meminjam HP Ayah."Kita uji dulu ustadz itu ya, Bang, apakah dia mau meninggalkan persiapan pernikahannya demi bantu orang tak dikenal," kata mamak seraya memainkan hp ayah, beberapa saat kemudian."Assalamualaikum, Pak," terdengar salam ustadz Rizal."Waalaikum salam, ini Ibu, mau bicara sebentar," kata mamak."Kenapa bukan bapak yang bicara, Bu?" jawab ustadz itu dari seberang."Oh, bapak lagi menyetir," "Oh, iya, Bu,""Begini, Ustadz, di Jakarta ada teman Ucok yang patah tulang, jadi dia minta supaya ustadz datang ke Jakarta secepatnya," kata mamak lagi."Oh, maaf sekali, Bu, saya lagi persiapan pernikahan, mungkin setelah selesai nikah, baru bisa," kata ustadz itu."Oh, gitu ya, Ustadz, terima kasih,""Iya, Bu, maaf, oh ya, saya mau undang ibu dan bapak, tapi tempat saya jauh, terus acaranya juga sederhana saja," kata ustadz itu lagi."Iya, Ustadz, kalau ada waktu kami datang," kata mamak.Mamak menutup telepon, lalu tersenyum k
Salah satu pria berambut cepak itu menarik tangan baju adiknya. Entah itu cara menghukum di militer atau bagaimana, pria itu terus memukuli adiknya. Sampai mereka sudah di luar pun tangan pria itu masih terus memukul. Mereka lalu pergi. Setelah mereka pergi, para anak kos mengelu-elukanku."Hebat Butet, baru kali ini kulihat aparat kalah sama cewek adu mulut," kata ibu kos. Ah, belum tahu saja ibu ini, aku bahkan pernah debat dengan Kapolres. Menyelesaikan kasus adalah salah aatu hobby-ku. Hobby yang aneh memang untuk ukuran anak gadis.Di lingkungan kos ini tak ada yang tahu aku anak mantan wakil bupati, setahu orang aku anak petani dari desa. Penampilanku juga memang jauh dari glamor. Keesokan harinya, pria berambut cepak itu datang lagi, kali ini dia datang sendiri. Naik motor matic besar. Saat itu aku dan beberapa teman kos lagi duduk-duduk di depan kos-kosan."Assalamualaikum," sapa pria itu seraya turun dari motornya, di tangannya ada buket yang terbuat dari uang kertas."Sa
Kami pun bersiap berangkat, Ayah mencari supir untuk kami karena perjalanan darat yang sangat jauh. Ini memang dilema tinggal di daerah Sumatra. Masih satu propinsi saja bisa perjalanan darat lima belas jam. Tak ada pilihan lain, tidak ada kereta api apalagi pesawat. Pilihannya hanya naik mobil pribadi atau bus.Saat hendak berangkat, Hasan, tentara itu datang."Hai, Butet, mau ke mana ini?" tanya Hasan."Mau kondangan, oh ya, kenalkan ini orang tuaku," kataku seraya menunjuk Ayah dan mamak."Aku Hasan, Om, Tante, Sersan Hasan," kata pria tersebut."Oh, saya Parlin, ini istri saya, Nia," ayah yang menjawab."Saya teman Butet, Om, mana tau butuh pengawalan, saya siap, kebetulan saya bebas," kata Sersan tersebut."Kondangannya jauh," jawabku kemudian."Gak apa-apa, ini bisa jalan jauh," jawabnya lagi seraya menunjuk motor besarnya."Kabupaten Karo lo," kataku kemudian."Wah, jauh sekali, itu besok baru sampe,""Itulah, bersedia kawal gak?" kataku seraya tersenyum."Oh, maaf, saya harus