Bang Parlin nekad menyelam ke dasar sungai kecil tersebut. Dia memang sudah terbiasa di air. Akan tetapi tentu saja tidak ada, selain peralatan belum memadai. Air juga keruh. Tentu tak bisa melihat di dalam air."Kita tunggu saja mengambang," kata seorang aparat desa."Anakku masih hidup," aku berteriak kencang."Bu, kita harus bersiap menerima kemungkinan terburuk," katanya lagi.Setelah sekitar dua jam di sungai yang lagi naik, kami akhirnya pulang tak ada hasil. Hari pun sudah mulai sore. Perahu karet itu terus berjalan menuju pulang melewati sungai kecil di pinggir sawit warga. Kami berjalan pelan-pelan saja, sambil melihat kiri kanan, semua sudah seperti lautan saja. Banjir kali ini lebih parah dari banjir sepuluh tahun lalu."Bagaimana sapi, Pak, aman," tanya seorang pemuda."Heh, gak usah bicara sapi dulu, Anakku hilang," entah kenapa aku tersinggung."Maaf, Bu," jawab pemuda tersebut."Begini, Bu, menurut kronologi yang saya dengar, kemungkinannya ada tiga, satu, anak ibu be
Seluruh desa banjir, rumah kami saja yang sudah ditinggikan masih masuk air juga halaman rumah sudah seperti kolam renang. Jalanan desa seperti sungai saja. Hujan belum ada tanda-tanda berhenti. Masih turun biarpun tinggal gerimis saja."Pak, aku lapar," kata Udin, dia duduk di atas meja bekas sekolah mengaji."Dek, ada makanan?" tanya Bang Parlin."Tidak ada, Bang, beras sudah basah karena dapur lebih rendah. Kompor juga basah."Waduh, bagaimana kita makan?" tanya Bang Parlin lagi."Iya, Bang, bagaimana juga seluruh warga desa makan, kalau banjir tidak surut sampai besok, bisa mati kelaparan ini warga." Kataku.Rakit batang pisang Udin justru jadi tranportasi di banjir ini. Perahu karet itu sudah kembali ke ibukota kecamatan, karena dibutuhkan di tempat lain."Dek, sebagai bentuk rasa syukur Kita Cantik selamat, kita memberi makan seluruh desa," begitu kata Bang Parlin.Bang Parlin mengumpulkan beberapa pemuda, batang pisang di sekitar desa ditebang. Dibuat rakit yang cukup besar. Ad
PoV ButetPagi itu hujan gerimis melanda tempat tinggalku, malas sekali rasanya untuk pergi kuliah, akan tetapi tetap kupaksakan juga. Makin siang, hujan justru makin deras. Saat makan siang di kantin, Bang Ucok menelepon katanya prediksi BMKG wilayah kabupaten kami akan diguyur hujan lebat, waspada bencana banjir dan tanah longsor. Aku menjawab iya saja, Karena hujan sudah biasa di daerah kami.Akan tetapi Bang Ucok menelepon lagi, katanya Mamak tak bisa dihubungi, aku coba hubungi juga ke kampung, akan tetapi memang tidak bisa. Saat itu aku masih tenang, sinyal di desa memang sering hilang.Akan tetapi sore itu aku ditelepon Sersan Hasan."Tet, ada kabar di daerah pantai barat, ada bencana banjir, itu kan daerahmu?" kata Sersan tersebut."Innalilahi, benar, Bang, itu daerahku,""Laporannya, listrik mati di sana, sinyal tidak ada, hujan lebat mulai dari pagi," kata Sersan Hasan lagi."Aku harus pulang ini," kataku kemudian."Percuma, Tet, karena ada laporan jembatan penghubung ke de
Benar saja, saat kami tiba di pesantren, semua penduduk desa berkumpul di tempat tersebut. Aku langsung melihat mamak dan ayah, mereka duduk di atas meja dan kebasahan, tak ada penerangan."Mamak," aku langsung memeluk Mamak, tapi mataku melihat sekeliling."Cantik, Mak?""Dia di atas," kata Mamak."Cantik gak apa-apa, Mak?'"Iya, gak apa-apa," jawab mamak lagi.Keadaan warga sudah sangat memperihatinkan. Warga berebutan naik ke perahu karet tersebut. Akan tetapi ayah melarang."Kita semua tidak akan muat dalam perahu ini, jadi hanya orang yang sakit' boleh dibawa, Kita tetap di sini, hujan sudah berhenti," kaya Ayah.Begitulah manusia memang, tiba-tiba banyak yang mengaku sakit, ingin pertama' dibawa keluar dari desa.Para tentara kewalahan mengatur warga, untung mereka bisa tegas. Hanya orang tua dan yang punya bayi yang dibawa duluan. Sedangkan Cantik saja tidak ikut. "Tak, Tatak, uang tak mo matan itan," gitu kata Cantik. Adikku ini memang masih cadel bicara, dia tak bisa bilang
Sapiku memang yang dipotong hanya satu, akan tetapi sebenarnya aku merelakan dua sapi. Karena sesuai perjanjian, setengah untuk aku setengah lagi untuk yang pelihara. Karena aku ambil satu untuk dipotong, yang urus selama ini juga ambil satu. Kini sapiku tinggal tiga. Samson yang dipotong, tinggal Herkules dan dua sapi betina.Aku masih di desa, urusan kuliah kutinggal untuk sementara, Wulan juga terus ikut aku. Beberapa relawan masih di desa. Relawan dari remaja mesjid yang paling banyak membantu. Mesjid dan kantor desa mereka bersihkan.Mamak juga mulai melobi dinas sosial dari propinsi untuk mendapatkan bantuan buat warga, sebagai mantan wakil bupati mamak masih punya koneksi di pemerintahan.Empat hari pasca bencana, desa sudah bersih dari lumpur dan sudah kering dari banjir. Kendaraan roda dua banyak yang rusak karena terendam banjir. Bang Torkis datang, dia membawa bantuan satu truk bahan makanan dan pakaian. Om Firman juga datang, dia membawa telur bebek satu truk kecil. Pada
Bang Sandy datang, tidak seperti biasanya yang selalu gerak cepat, ini seminggu setelah banjir baru dia datang. Ternyata mereka juga kena dampak banjir. Tidak sempat menyelamatkan isi rumah karena mereka mengungsi. Umar juga datang , dia juga ternyata sangat sibuk mengatur lalu lintas yang macet parah karena banjir. Sementara ayah' dan mamak seperti masih kurang semangat, akan tetapi sepertinya mereka berusaha tampak biasa saja di depan orang. Kami punya anggota keluarga baru, yaitu Udin, dia sangat setia mengikuti ayah ke mama saja, ke kebun ikut, ke pesantren ikut, bahkan ke mesjid pun selalu ikut. Akan tetapi belakangan ini Udin sering pergi sendiri, karena kata ayah, capek diikuti Udin terus.Kata mamak dari luar Udin seperti orang kebanyakan, biasa saja, akan tetapi jika dia bicara baru ketahuan, dia memang keterbelakangan mental. Tidak parah memang. Tapi dia tidak tahu cari uang, tidak tahu bekerja, yang dia tahu ikuti orang saja. Entah keterbelakangan jenis apa ini. Dia h
PoV Nia Ucok dan Bang Parlin pergi mencari Rahman, entah apa yang akan mereka lakukan pada lajang tua tersebut. Aku sebenarnya tidak heran, karena dari dulu sudah beredar gosip Rahman seperti itu. Aku jadi khawatir dengan Bang Parlin yang masih merasa bersalah. Takut emosinya tak stabil hingga melukai orang. Aku juga sebenarnya merasa bersalah sekali, aku masih ingat ucapanku tersebut, akan tetapi aku kemudian sadar, semuanya itu sudah takdir Allah. Kuambil HP, lalu menghubungi Bang Parlin."Bang, jangan hukum orang karena berpenyakit, kelainan menyimpang itu penyakit, bukan kejahatan," kataku kemudian."Iya, Dek, terima kasih sudah mengingatkan," jawab Bang Parlin."Kok berterima kasih, Bang?""Jadi Abang harus apa?" Entahlah, aku juga tidak tahu harus bilang apa, akan tetapi ucapan terima kasih itu seakan menyindirku yang jarang berterima kasih, atau memang aku yang masih sensitif."Bang, sudah di mana?" tanyaku kemudian."Ini, kami sudah bertemu Rahman," kata Bang Parlin."In
Aku dapat pekerjaan, ini seperti kembali' ke masa dulu, padahal sudah lama aku menikmati hidup tanpa memikirkan pekerjaan. Kali ini aku harus turun tangan, menteri sosial mau datang, Aku tentunya tak ingin sambutan untuknya kurang meriah.Kebetulan Butet dan Ucok masih di rumah, kami bekerja bersama, Bang Parlin mengurusi tenda dan panggung. Butet melatih anak-anak menyambut pejabat. Aku mengurus konsumsi. Saleh jadi andalan membuat kue. Sedangkan Ucok mengurus menghias desa.Dana penyambutan ternyata cukup banyak juga, cukup untuk segala keperluan, para pemuda dan pemudi desa dilibatkan. Sapi bantuan juga sudah mulai datang, penyerahan secara simbolis akan dilakukan oleh menteri sosial. Desa kami jadi ramai, sampai malam jam sepuluh sudah selesai semua. Saat pekerjaan sudah selesai datang serombongan pria berbaju loreng khas ormas. "Kami siap membantu keamanan, akan kami jaga panggung ini malam ini," kata seorang di antaranya. Bukan lagi Gulmat. Mungkin ini dari kota kabupaten."
PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep
Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal
Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem
Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j