BAGIAN 2
Angga yang semula menatap kesal, kini malah tersenyum manis sekali. Senyuman busuk, pikirku! Dua tahun kami dulu berpacaran, dua tahun pula dia meracuniku dengan senyuman tersebut. Sampai aku terbuai dan rela menggadaikan keperawanan dengan iming-iming bakal dinikahi. Nyatanya? Dia kabur-kaburan, meskipun akhirnya terpaksa bertanggung jawab saat usia kehamilanku menginjak delapan bulan. Ya, kuakui itu memang salahku. Aku yang bodoh dan lemah iman. Aku juga salah sudah meminta nafkah kepada dia atas keperluan anakku. Baru kutahu sekarang bahwa anak di luar nikah memang tak punya hak apa pun lagi terhadap harta ayah biologisnya.
“Kamu jangan seperti itu, Resa. Nanti menyesal,” ujarnya manis sambil membuka gulungan kertas yang tadi dipungutnya.
“Menyesal? Untuk apa?” Aku mendengus. Melecehkannya dengan senyum jijik.
Lelaki itu tampak menyalin nomor yang kuberikan ke ponselnya. Setelah selesai, kertas itu dia kembalikan kepadaku. Namun, tak sudi buat kuterima.
“Terima kasih ya, Res, untuk nomornya. Studio jahitmu bagus, ya. Lokasinya di tepi jalan pula. Pasti mahal.”
Aku jijik melihat lelaki ini masih berdiri di ruangan kerjaku yang penuh dengan manekin-manekin, sebuah mesin jahit, dan gulungan kain yang bersusun rapi di sudut ruangan. Seharusnya aku libur hari ini. Namun, demi loyalitas kepada klien, aku sempatkan untuk sekadar mengukur. Kalau tahu si Dewi itu adalah calon istri Angga, lebih baik ku-cancel saja dari awal!
“Pergi kamu sana! Buat apa lama-lama menginjakkan kaki di sini. bikin kotor lantaiku saja.”
Pria jangkung berkulit sawo dengan wajah standar itu tertawa kecil. Kalau bukan sebab mulut manis dan sikap royalnya saat pacaran, mungkin tak akan aku mau dengan dia.
“Kamu galak, Sayang. Membuat aku semakin gemas.”
Menjijikan. Sumpah menjijikan sekali!
“Silakan keluar atau aku teriak!”
Angga menurut. Pria berkaus hitam dengan celana pendek selutut itu pun pergi. Lekas kututup dua daun pintu rumah yang sudah kukontrak hampir setahun belakangan ini. Dasar lelaki menjijikan! Mengapa dia harus datang di saat aku sudah tak ingin diganggu lagi olehnya?
***
“Mas, aku tadi didatangi mantan suamiku. Dia bawa calon istrinya untuk mengukur baju pengantin. Namun, yang menjijikan dia malah minta nomor hape dan memanggilku sayang.” Aku berbicara dengan lelaki yang belakangan ini getol mendekatiku. Bahkan, kami sudah ada omongan untuk segera menikah di akhir tahun. Namanya Mas Cipta. Berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Kami saling kenal gara-gara aku dulu kerap menitipkan peyek di kantin belakang rumah sakit tersebut.
“Kamu kasih nomornya ke mantanmu?”
Seketika aku merasa agak ciut. Salahku. Iya, salahku sebab sudah memberikan Angga nomor ponselku dan menceritakan hal ini kepada Mas Cipta. Lelaki itu pasti cemburu, pikirku.
“I-iya. Dia pernah melemparkan uang di kakinya, jadi aku balas tadi perbuatan Angga biar dia merasakan apa yang kurasakan dulu. Kulempar kertas berisi nomor hape ke kakiku, biar dia memungutnya, Mas.”
Jantungku berdegup kencang. Takut bila Mas Cipta akan semakin marah. Pria lulusan S1 keperawatan dan profesi nurse yang sudah berusia 28 tahun tersebut terdiam sesaat di seberang sana.
“Mas, kamu tidak marah kepadaku, kan?” tanyaku lagi.
“Asal kamu jangan meladeninya saja.”
Aku lega. Ternyata dia tak jadi marah.
“Nanti langsung kublokir kalau dia nekat menghubungiku, Mas.”
“Baguslah, Res. Kamu memang harus memperlakukannya seperti itu. Ngapain juga kamu berhubungan lagi dengan orang yang sudah mencampakkanmu. Lagian, dia itu pasti ngelihat kamu sudah sukses. Makanya minta nomor segala.”
Benar kata Mas Cipta. Dia memang pasti tergiur melihatku sesukses sekarang. Meskipun baru setahun terjun di dunia tailor, tapi pelangganku memang semakin meningkat drastis jumlahnya. Aku bahkan sudah mampu membeli dua mesin jahit dan membayar dua karyawan yang memang kuberi jatah libur hari Minggu ini.
“Kalau kamu sendiri, mendekatiku karena tulus kan, Mas?” tanyaku tiba-tiba kepada Mas Cipta yang memutuskan untuk berkomitmen denganku sejak dua bulan lalu itu.
“Oh, tentu saja. Kita kenalan saat kamu jualan peyek. Buktinya, aku tetap bersama kamu dan memutuskan buat serius, kan? Apa kamu tidak percaya, Res?”
Aku tersenyum. Membayangkan wajah Mas Cipta yang memang rupawan tersebut. Dia tinggi, tubuhnya juga proporsional. Berkulit lebih cerah dengan hidung bangir. Beda jauh dengan si Angga yang sudah jahat, burik pula. Nauzubillah!
“Percaya, kok, Mas,” jawabku sambil mengembangkan senyuman.
“Syukurlah kalau begitu, Res. Aku lega kalau kamu berpikiran positif.”
“Mas, tapi kapan kita berjumpa orangtuamu. Masa, sudah berbulan-bulan kita dekat, tapi aku belum juga kamu bawa ke rumah.” Timbul resah dalam dada. Bagaimana pun, aku butuh kepastian. Status janda bukanlah hal yang menenangkan untuk kurengkuh. Banyak mata yang menilaiku rendah sejak aku menjadi single parent. Aku juga ingin menjadi seorang istri dan punya pasangan lagi.
“Masalah itu, sabarlah dulu, Res. Aku masih cari waktu yang tepat.”
Seketika aku berkecil hati. Selalu jawaban Mas Cipta begitu. Sebenarnya, dia niat tidak, sih?
“Baiklah.” Nadaku agak lemah. Ya, tentu aku kecewa.
“Res, ngomong-ngomong, kamu lagi ada uang lebih nggak?”
“Ada, Mas. Kenapa memangnya?”
“STR-ku sudah mau mati beberapa bulan lagi. Aku belum bayar iuran PPNI tahun ini dan perlu uang juga buat mengaktifkan NIRA. Boleh pinjam dulu, Res? Gajiku kemarin dipakai untuk rehab rumah Mamah.”
Aku yang selalu tak masalah bila Mas Cipta meminta bantuan, lagi-lagi mengiyakan sambil tersenyum kecil dari sini. “Iya, Mas. Kamu butuh berapa? Kebetulan aku juga lagi dapat rejeki hari ini.”
“Sejuta. Aku pinjam dulu. Bulan depan aku kembalikan.”
“Baik, Mas. Ke rumah saja nanti. Uangnya ada, kok. Buatmu saja. Hitung-hitung bantu calon suami.” Senyumku merekah. Semoga kebaikan hatiku ini jadi pertimbangan buat Mas Cipta agar dia mau segera mengenalkanku dengan orangtuanya. Dia tahu sendiri, kalau aku ini orangnya pandai cari uang dan mandiri. Bagiku sekarang, suami bukanlah untuk kumanfaatkan tenaga dan uangnya. Melainkan untuk menyempurnakan separuh agama serta mengakhiri stigma negatif orang-orang terhadap status jandaku.
“Makasih banyak ya, Res. Nanti aku akan ke rumahmu. Mungkin sore atau malam.”
Aku mengangguk. Seoalah Mas Cipta bisa melihatku dari sini. “Iya, Mas. Sama-sama.”
“Kamu cantik, baik hati, lembut. Aku memang tidak salah pilih, Res. Mantanmu pasti sangat menyesal karena sudah membuang berlian sepertimu.” Ucapan Mas Angga sempurna membuatku terbang. Kata-kata itu sukses membesarkan hatiku yang dulunya sempat hancur berkeping. Ya, pasti Angga menyesal. Sudah kupastikan hal tersebut.
“Kamu bisa saja, Mas. Jangan puji aku terus. Mentang-mentang sudah ditraktir,” candaku kepadanya.
“Lho, aku serius, Resa. Masa aku bohong, sih?”
“Jadi, masih belum tahu kapan ya, Mas, waktu yang tepat untuk membawaku ke orangtuamu?” Aku menggigit bibir. Mulai resah lagi.
“Iya, Res. Belum tahu. Nanti, deh.”
“Kalau rencana nikah kita tahun depan, gimana?”
Mas Cipta tiba-tiba diam. Membuat tingkat keresahanku semakin naik tak terkendali. Mas, sebenarnya kamu ini serius tidak, sih?
BAGIAN 3 “Nanti kita bahas lagi deh, Res. Eh, iya. Udah dulu, ya. Mumpung libur dinas, aku mau beres-beres kamar dulu. Habis itu baru nanti ke rumahmu. Bye, Resa!” “Assalamualaikum, bukan bye!” Aku agak kesal menanggapi kata-kata Mas Cipta. Lelaki itu tak sama sekali merevisi kalimatnya. Malah segera mematikan sambungan telepon. Sesaat aku tercenung. Perasaanku tak enak. Rasanya ada yang mengganjal. Apa ada yang salah dalam diriku, ya? Namun, apa?! Pusing, aku memutuskan untuk pulang ke rumah Mamak. Kukendarai sepeda motor matikku dengan kecepatan sedang. Awalnya, aku sudah mulai ingin membuat p
BAGIAN 4 “Iya, Mak. Aku akan putuskan Mas Cipta.” Aku memang sayang kepada cowok itu. Namun, rasa sayangku tentu lebih besar lagi kepada Mamak. Ucapannya adalah titah. Mana mungkin aku bisa melawan. “Bagus! Awas saja kalau dia datang ke sini kamu malah berubah pikiran!” Hardikan Mamak benar-benar membuatku mati kutu. “Tapi, kalau seandainya Mas Cipta tidak terbukti memanfaatkanku, Mak?” Mata Mamak terlihat makin membeliak. Alisnya sampai bertaut. “Kamu masih kurang bukti apalagi, Resa?” Tampak Mamak gregetan sendi
BAGIAN 5 “Sore semuanya,” sapa Mas Cipta sambil tersenyum lebar. Dia menoleh ke arah Angga, kemudian kepada kami pemilik rumah. Feelingku sudah tak enak. Hari ini siap-siap saja perang dunia ketiga, benakku. “Pergi kamu Angga! Apalagi yang kau tunggu!” hardik Mamak sambil masih menggendong Naya. Anakku sudah mau menangis. Melihat itu, cepat-cepat kuambil alih Naya, lalu berlari ke dalam. Kuberikan Naya pada Arin, agar dia tak perlu melihat keributan di depan. “Mamak masih marah-marah, Res?” tanya Arin dengan muka yang khawatir. “Masih, Rin. Bentar, ya. Jagain Naya dulu. Aku ke depan.”
BAGIAN 6 Semalaman itu aku benar-benar gelisah. Rasa sedih merasuk dan mencabik-cabik perasaan. Sebab tak konsentrasi, malam itu kubiarkan Naya tidur dengan Mamak. Padahal, biasanya aku tak bakalan mau pisah tidur dengan bocah kecil itu, kecuali kalau sedang lembur di studio. Makan tak selera, tidur pun tak nyenyak. Sepanjang malam, hanya WhatsApp dari Mas Cipta saja yang kutunggu. Permintaan maafnya yang kuharapkan betul. Namun, sia-sia. Lelaki itu memang tampaknya hanya memanfaatkanku saja selama ini. Pupus sudah harapan dan cita-cita untuk melepas masa janda akhir tahun. Semua hanya sekadar mimpi indah belaka. Aku sudah bersiap sejak pagi-pagi buta untuk mencari nafkah. Saking ingin membuang rasa galau, hari ini kubersihkan ru
BAGIAN 7 Gemetar benar tanganku. Namun, tiba-tiba saja rasa berani itu muncul. Terlebih, saat Dewi menatapku dengan senyuman yang mengejek. Sudah betul hidupnya, dia pikir? “Oh, kamu mau melaporkanku ke polisi? Bagaimana dengan tindakanmu barusan? Merekam tempat usaha orang lain dan mencemarkan nama baikku serta usaha yang kujalankan!” Aku berkacak pinggang. Marah besar kepadanya sambil melotot. Meskipun hatiku sedikit banyak takut pada ancamannya, aku tak peduli. “Mau lapor ke polisi? Berapa duitmu, emang? Buat beli susu aja, dulu kamu nyiumin kaki Angga, kok!” Perempuan itu tersenyum sinis. Aku sampai mengernyitkan dahi. Dewi ini sebenarnya tahu atau pura-pura bodoh tentang Angga? Sebentar dia belaga pil
BAGIAN 8 Dewi terlihat menatapku dengan mata yang penuh dendam. Wanita mana yang tak sakit hatinya bila disuruh mencium kaki perempuan lain segala. Apalagi, baginya yang salah itu adalah aku. “Angga! Tidak usah sampai segitunya. Aku tidak perlu dicium kaki segala. Aku bukan kamu!” Aku menuding wajah Angga. Menatapnya geram. Siapa yang tak geram? Apa dia mau membuat nama baikku semakin buruk di mata Dewi? “Ini kan, yang kamu suka, Resa?” sentak Dewi dengan suaranya yang nyaring. “Diam kamu, Dewi! Lancang kamu! Tidak sopan! Dia itu ibu dari anakku!”&n
BAGIAN 9 Agak oleng tubuhku bangun dari duduk. Kuseka sisa air mata di sudut mata. Kutekatkan, bahwa aku tak boleh tampak lemah di hadapan lelaki perusak kebahagiaan tersebut. “Mbak, sudahlah,” cegah Nisa sembari menahan lenganku pelan. “Lepas, Nis! Aku masih harus menyelesaikan urusan dengan lelaki itu!” ujarku sembari menepis tangan Nisa. Gadis itu akhirnya menyerah. Dibiarkannya aku berjalan mendatangi pintu untuk membukakan Angga yang ada di depan sana. Sementara Arfan masih diam membeku di dekat jendela. Wajah Angga terlihat lesu. K
BAGIAN 10 “Aku mohon, Res. Kasih aku kesempatan satu kali lagi. Aku akan membatalkan pernikahanku dengan Dewi.” Angga terus mengemis. Lelaki itu bahkan hendak menyambar kakiku, kalau saja tak segera kutarik menjauh darinya. Aku pun bangkit. Berdiri di depan lelaki yang kini berlutut memohon bagai seorang pengemis dengan segala bujuk rayu paksaannya. Ya, Angga ini tipikal pengemis yang hanya bersandiwara. Akan rela menjilat kaki target, demi mendapat apa yang dia inginkan. Setelah semua didapatkan, maka dia akan pergi sambil menikmati hasil haramnya tersebut. “Kamu ingat, saat aku hamil dan meminta pertanggungjawabanmu? Apa yang kamu lakukan saat itu, Angga? Kamu mengusirku bagai seekor anjing!” Aku menghar
BAGIAN 24ENDING Deret ujian yang terjadi sebelum hari pernikahan, nyatanya tak membuat aku dan Arfan menjadi patah semangat. Lelaki saleh itu membuktikan kekuatan hatinya dalam menseriusi hubungan kami dengan perhatiannya yang wajar sekaligus hangat. Dia pantang mundur saat Angga beberapa kali muncul kembali untuk memohon balikan kepadaku. Arfan pun dengan sangarnya mengancam akan mempolisikan Angga bila dia kembali ke hadapan kami lagi dan itu ternyata terbukti ampuh. Angga tak muncul-muncul lagi sampai hari ini, hari di mana kami akan melangsungkan ijab kabul di KUA. Duduk di mobil yang disopiri oleh Jefry, aku kini merasa begitu deg-degan sekaligus nervous. Bagaimana tidak, sebentar lagi aku akan sah menjadi seorang istri dari Arfan Ramadhan. Lelaki yang akan kupanggil sayang atau mas. Rasanya,
BAGIAN 23 “Naya, masuk kamar dulu, ya? Bunda harus ke depan.” Aku buru-buru memasukkan Naya ke kamar Mamak. Gadis kecil yang masih menangis itu kini mulai meredakan isaknya. Dengan disogok ponsel dan disetelkan video musik kartun, anak semata wayangku akhirnya mau anteng di kasur sambil duduk bersandar di bantal. “Bunda ke depan, ya?” tanyaku sambil mengusap rambutnya. “Iya.” Naya masih menatap ponselnya. Wajahnya kini tampak ceria. Aku pun tak banyak menunggu lagi. Langsung keluar dari kamar Mamak dan menutup pintunya rapat. Bergegas ke ruang tamu dan membuka pintu rumah. Tampak kedua mantan mertuaku bersama
BAGIAN 22 “Kalau dari kami pribadi, inginnya bulan depan untuk akad.” Ucapan bapaknya Arfan yang bernama Pak Ahmad tersebut membuat mataku membulat. Sambil mengusap-usap kepala Naya yang tengah berada di pangkuan Arfan, lelaki paruh baya yang tampak segar dan maskulin itu lalu menatap ke arah aku dan Mamak dengan tatapan yang riang. “Mak,” lirihku sambil menatap wanita itu dengan wajah yang semringah. “Bulan depan, Mak!” Aku benar-benar tersentak senang. Bagaimana tidak, ternyata keinginanku sebentar lagi akan terwujud. Segera menikah dengan Arfan, anak buahku sendiri, demi menghindar dari gangguan Angga. &ldq
BAGIAN 21 Mataku membulat sempurna saat menatap halaman rumah yang sudah terparkir dua buah sepeda motor bebek di depannya. Tentu itu bukan motor keluargaku. Bukan motor Mamak juga. Aku pun membatin dalam hati. Itu pasti milik Arfan dan kedua orangtuanya. Motor kulesatkan sampai ke halaman yang pagarnya memang dibuka lebar. Semakin yakin aku bahwa di dalam sana ada Arfan dan calon mertuaku, sebab sandal-sandal yang tergeletak di depan teras salah pasangnya adalah milik Arfan. Jantungku makin berdegup keras, bersamaan dengan perasaan buncah yang luar biasa. Sampai aku sempat lupa bahwa di belakang sana ada sosok Angga yang memang mengikuti sejak dari studio tadi. Aku langsung menghentikan motor matikku. Melepaskan helm dan menyang
BAGIAN 20 Keesokan harinya, entah mengapa suasana studio jadi lain. Bukan sebab ramai yang mengukur pakaian, tapi sebab perubahan sikap Nisa dan Arfan. Baik antara mereka berdua, maupun kepadaku. Arfan tampak malu sekaligus sungkan padaku, sedangkan Nisa lebih banyak diam dan menghindar. Tentu saja, ada tanda tanya besar dalam kepala ini mengenai perubahan sikap karyawan perempuanku. Apakah dia sungguh sedang patah hati? Total ada tiga orang klien yang datang dari pagi hingga sore hari. Semuanya ingin mengukur pakaian pengantin. Dua kebaya, sedang satunya gaun modern bertema princess. Tiga-tiganya kami sanggupi. Deadline memang masih lama. Sebulan lagi. Kurasa semua tetap bisa kami handle, meskipun aku juga tengah memikirkan konsep yang cocok untuk pernikahan kami kelak. Duh, maaf, ya. M
BAGIAN 19 “Jadi, kamu siap buat menikah dengan anak tunggalku itu?” Raut wajah Mamak lagi-lagi tampak galak. Wanita paruh baya yang mengenakan daster lengan panjang motif bunga-bunga kecil warna marun dan jilbab instan bahan jersey warna senada tersebut melempar pandagan sengit ke arah Arfan. Lelaki yang telah bertukar pakaian dengan koko putih dan celana ¾ warna abu gelap itu tampak duduk menghadap ke arah kami berdua dengan keringat yang membasahi pelipisnya. Naya sengaja sudah kutitipkan ke rumah sebelah, agar pembicaraan ini bisa berjalan tanpa gangguan. “Iya, Mak. Insyaallah,” jawabnya sambil mengangguk sopan. “Kamu tahu kan, kalau anakku sudah janda. Anaknya satu. Siap kamu mene
BAGIAN 18 “Fan? Kamu nggak lagi kemasukan, kan?” tanyaku dengan setengah sebal. Lelaki itu akhirnya mengangkat kepala perlahan. Tampak dia menarik napasnya dalam-dalam sambil mengatupkan dua bibir erat. “Mbak ….” Dia menggantung kalimat. Membuatku hampir tak sabaran. Ada apa, sih? Apa susahnya buat to the point! “Kenapa? Kamu minta libur? Mau kas bon? Atau apa?” “Mau nggak … kalau kukhitbah?” Lelaki itu menatapku dengan wajah yang pucat pasi. Seketika mataku langsung membuka besar-besar. Arfan mau mengkhitbahku? Dia?&nbs
BAGIAN 17 “Lho, udah pulang, Mbak?” Arfan yang tengah sibuk memasang payet pada bahan brokat tile kebaya putih yang sudah jadi itu tiba-tiba beranjak dari duduknya. Lelaki itu setengah kaget memperhatikan kehadiranku. “Iya.” Aku menjawab singkat. Melangkah masuk dengan gerakan gontai. Tidak bersemangat seperti beberapa jam lalu. “Mana Nisa?” tanyaku sembari mengempaskan bokong di atas kursi jahit. Kutopang dagu dengan tangan kanan yang sikunya kutempel di atas mesin jahit. Memperhatikan sosok Arfan di depan sana dengan kedua bola mata yang kini sudah sayu. “Katanya agak meriang. Jadi, kusuruh istirahat d
BAGIAN 16 “Bisa aja kamu, Resa.” Mas Fredy terkekeh. Tawanya renyah, tak terdengar mengejek diriku. Malu-malu kulihat wajahnya. Bahkan kulit putih itu sampai berubah menjadi kemerahan. Sepanjang perjalanan, aku hanya dapat menahan rasa malu. Entah, sampai detik ini terasa hatiku berat saja. Takut bila lelaki itu berpikir negatif atau ilfeel kepadaku. Gimana dong, kalau dia nganggap aku ini cewek yang ‘gampangan’? Aduh, Resa, seharusnya kamu nggak se-open itu! Aku jadi tidak keru-keruan, deh. Mas Fredy membawaku ke café and resto Harvest yang berada di kawasan tongkrongan anak-anak ibu kota. Jujur, aku baru kali ini menyambangi tempat bertema rustic dengan donimasi kayu pada perabot dan interiornya t