BAGIAN 7
Gemetar benar tanganku. Namun, tiba-tiba saja rasa berani itu muncul. Terlebih, saat Dewi menatapku dengan senyuman yang mengejek. Sudah betul hidupnya, dia pikir?
“Oh, kamu mau melaporkanku ke polisi? Bagaimana dengan tindakanmu barusan? Merekam tempat usaha orang lain dan mencemarkan nama baikku serta usaha yang kujalankan!” Aku berkacak pinggang. Marah besar kepadanya sambil melotot. Meskipun hatiku sedikit banyak takut pada ancamannya, aku tak peduli.
“Mau lapor ke polisi? Berapa duitmu, emang? Buat beli susu aja, dulu kamu nyiumin kaki Angga, kok!” Perempuan itu tersenyum sinis. Aku sampai mengernyitkan dahi. Dewi ini sebenarnya tahu atau pura-pura bodoh tentang Angga? Sebentar dia belaga pil
BAGIAN 8 Dewi terlihat menatapku dengan mata yang penuh dendam. Wanita mana yang tak sakit hatinya bila disuruh mencium kaki perempuan lain segala. Apalagi, baginya yang salah itu adalah aku. “Angga! Tidak usah sampai segitunya. Aku tidak perlu dicium kaki segala. Aku bukan kamu!” Aku menuding wajah Angga. Menatapnya geram. Siapa yang tak geram? Apa dia mau membuat nama baikku semakin buruk di mata Dewi? “Ini kan, yang kamu suka, Resa?” sentak Dewi dengan suaranya yang nyaring. “Diam kamu, Dewi! Lancang kamu! Tidak sopan! Dia itu ibu dari anakku!”&n
BAGIAN 9 Agak oleng tubuhku bangun dari duduk. Kuseka sisa air mata di sudut mata. Kutekatkan, bahwa aku tak boleh tampak lemah di hadapan lelaki perusak kebahagiaan tersebut. “Mbak, sudahlah,” cegah Nisa sembari menahan lenganku pelan. “Lepas, Nis! Aku masih harus menyelesaikan urusan dengan lelaki itu!” ujarku sembari menepis tangan Nisa. Gadis itu akhirnya menyerah. Dibiarkannya aku berjalan mendatangi pintu untuk membukakan Angga yang ada di depan sana. Sementara Arfan masih diam membeku di dekat jendela. Wajah Angga terlihat lesu. K
BAGIAN 10 “Aku mohon, Res. Kasih aku kesempatan satu kali lagi. Aku akan membatalkan pernikahanku dengan Dewi.” Angga terus mengemis. Lelaki itu bahkan hendak menyambar kakiku, kalau saja tak segera kutarik menjauh darinya. Aku pun bangkit. Berdiri di depan lelaki yang kini berlutut memohon bagai seorang pengemis dengan segala bujuk rayu paksaannya. Ya, Angga ini tipikal pengemis yang hanya bersandiwara. Akan rela menjilat kaki target, demi mendapat apa yang dia inginkan. Setelah semua didapatkan, maka dia akan pergi sambil menikmati hasil haramnya tersebut. “Kamu ingat, saat aku hamil dan meminta pertanggungjawabanmu? Apa yang kamu lakukan saat itu, Angga? Kamu mengusirku bagai seekor anjing!” Aku menghar
BAGIAN 11 “Arfan, mana videonya? Kirimkan cepat ke WhatsApp-ku. Aku mau bikin klarifikasi!” jeritku sembari membuka pintu studio. Kulihat Arfan langsung menghentikan mesin obrasnya. Sementara itu, Nisa langsung mendongak dan berhenti memotong kain satin warna hijau emerald. Keduanya tampak kaget dengan kedatanganku. Arfan pun buru-buru merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel berwarna gradasi biru dan putih, lalu mengetik-ngetik layarnya dengan gerakan cepat. “Nis, kamu siapkan tempat buat aku live. Bagusnya aku duduk di sini saja, dekat manekin,” ujarku sembari berjalan ke arah manekin-manekin yang memakai aneka bahan kain yang sudah kami bentuk selayaknya gaun dengan aneka model.&n
BAGIAN 12 Setelah DM dan beralih ke chat via WhatsApp dengan Mas Fredy, rasanya kesedihanku agak hilang. Terlebih ketika beliau mengajak untuk jumpa besok. Rencananya, dia akan mengajakku membahas tentang masalah desain pakaian wanita dan rencana kolaborasi. Wow, benar-benar rejeki nomplok di tengah musibah yang melanda. Sekitar pukul sebelas siang, saat mood-ku sudah membaik, kuputuskan untuk keluar kamar dan membantu anak-anak. Memang Arfan dan Nisa sangat bisa diandalkan. Ditinggal beberapa jam, satu gaun bridesmaid sudah hampir jadi. Excellent! “Mbak Resa, gimana? Udah baikan suasana hatinya?” tanya Nisa kepadaku sembari masih memotong-motong kain untuk gaun.&nb
BAGIAN 13 Sejak diberi tahu oleh Nisa tentang rahasia besar dari Arfan, aku jadi lebih berhati-hati lagi dalam bersikap di hadapan mereka, terutama Arfan. Entah mengapa, seperti ada perasaan malu sekaligus kurang nyaman. Bahkan, sampai malam kami lembur untuk mengerjakan kebaya pernikahan pesanan customer bernama Angel, aku hanya sedikit saja berbicara dengan Arfan. Wajah lelaki itu pun lebih banyak tertekan ketimbang senyum lepas. Aku jadi menyesal mengapa harus mendesak Nisa untuk mengungkapkan hal ini, meskipun aku juga belum tahu apakah Arfan merasa jika aku tau akan apa yang disembunyikannya atau tidak. Pekerjaan kami hampir selesai pukul setengah dua belas malam. Itu pun, kebaya baru dipayet bagian leher dan dada saja. Sementara klien kami meminta kebaya berwarna putih dengan bahan brokat tersebut h
BAGIAN 14 “Biasa, Mak. Tadi itu Arfan,” kataku berusaha untuk terlihat santai di hadapan Mamak. Namun, dasar Mamak. Dia selalu berhasil mengendus apa pun yang tengah kusembunyikan. Matanya langsung memicing ke arahku dengan dua alis yang bertautan. “Mamak lihat, dia sering mengantarmu sampai rumah. Ada apa rupanya? Bukannya selain kamu, masih ada satu cewek lain lagi di tempat kali itu?” Mamak mendekatkan wajahnya yang tembam. Menyelidiki bagai seorang detektif yang hendak memecahkan sebuah kasus kriminal. Yah, kalau sudah begini, mau tak mau aku harus cerita, bukan? “Mak … kata si Nisa, dia itu suka kepadaku,” jawabku dengan wajah yang resah.&
BAGIAN 15 Hari yang kutunggu tiba. Sengaja aku berdandan lebih rapi dan cantik hari ini hanya untuk melakukan perjumpaan dengan Mas Fredy yang sudah kami jadwalkan sekitar pukul 09.00 pagi. Lelaki itu katanya akan menjemput di studio jahitku. Tentu aku sangat berdebar-debar menantikan kehadirannya. Terpksa kali ini Mamak tak kuberi tahu dulu. Takutnya beliau akan marah atau semakin parno. Aku yakin kalau Mas Fredy itu orang yang baik dan niatnya pasti tulus untuk menjalin silaturahmi. Jangan tanya perasaanku terhadapnya, ya. Sudah pasti jawabanku tertari, apalagi melihat pesannya semalam itu. “Res, jadi hari ini kamu akan ketemuan sama laki-laki yang tadi malam?” tanya Mamak saat aku hendak pamit kepadanya. Tuh, kan. Belum apa-apa, sudah diinterogasi.&n
BAGIAN 24ENDING Deret ujian yang terjadi sebelum hari pernikahan, nyatanya tak membuat aku dan Arfan menjadi patah semangat. Lelaki saleh itu membuktikan kekuatan hatinya dalam menseriusi hubungan kami dengan perhatiannya yang wajar sekaligus hangat. Dia pantang mundur saat Angga beberapa kali muncul kembali untuk memohon balikan kepadaku. Arfan pun dengan sangarnya mengancam akan mempolisikan Angga bila dia kembali ke hadapan kami lagi dan itu ternyata terbukti ampuh. Angga tak muncul-muncul lagi sampai hari ini, hari di mana kami akan melangsungkan ijab kabul di KUA. Duduk di mobil yang disopiri oleh Jefry, aku kini merasa begitu deg-degan sekaligus nervous. Bagaimana tidak, sebentar lagi aku akan sah menjadi seorang istri dari Arfan Ramadhan. Lelaki yang akan kupanggil sayang atau mas. Rasanya,
BAGIAN 23 “Naya, masuk kamar dulu, ya? Bunda harus ke depan.” Aku buru-buru memasukkan Naya ke kamar Mamak. Gadis kecil yang masih menangis itu kini mulai meredakan isaknya. Dengan disogok ponsel dan disetelkan video musik kartun, anak semata wayangku akhirnya mau anteng di kasur sambil duduk bersandar di bantal. “Bunda ke depan, ya?” tanyaku sambil mengusap rambutnya. “Iya.” Naya masih menatap ponselnya. Wajahnya kini tampak ceria. Aku pun tak banyak menunggu lagi. Langsung keluar dari kamar Mamak dan menutup pintunya rapat. Bergegas ke ruang tamu dan membuka pintu rumah. Tampak kedua mantan mertuaku bersama
BAGIAN 22 “Kalau dari kami pribadi, inginnya bulan depan untuk akad.” Ucapan bapaknya Arfan yang bernama Pak Ahmad tersebut membuat mataku membulat. Sambil mengusap-usap kepala Naya yang tengah berada di pangkuan Arfan, lelaki paruh baya yang tampak segar dan maskulin itu lalu menatap ke arah aku dan Mamak dengan tatapan yang riang. “Mak,” lirihku sambil menatap wanita itu dengan wajah yang semringah. “Bulan depan, Mak!” Aku benar-benar tersentak senang. Bagaimana tidak, ternyata keinginanku sebentar lagi akan terwujud. Segera menikah dengan Arfan, anak buahku sendiri, demi menghindar dari gangguan Angga. &ldq
BAGIAN 21 Mataku membulat sempurna saat menatap halaman rumah yang sudah terparkir dua buah sepeda motor bebek di depannya. Tentu itu bukan motor keluargaku. Bukan motor Mamak juga. Aku pun membatin dalam hati. Itu pasti milik Arfan dan kedua orangtuanya. Motor kulesatkan sampai ke halaman yang pagarnya memang dibuka lebar. Semakin yakin aku bahwa di dalam sana ada Arfan dan calon mertuaku, sebab sandal-sandal yang tergeletak di depan teras salah pasangnya adalah milik Arfan. Jantungku makin berdegup keras, bersamaan dengan perasaan buncah yang luar biasa. Sampai aku sempat lupa bahwa di belakang sana ada sosok Angga yang memang mengikuti sejak dari studio tadi. Aku langsung menghentikan motor matikku. Melepaskan helm dan menyang
BAGIAN 20 Keesokan harinya, entah mengapa suasana studio jadi lain. Bukan sebab ramai yang mengukur pakaian, tapi sebab perubahan sikap Nisa dan Arfan. Baik antara mereka berdua, maupun kepadaku. Arfan tampak malu sekaligus sungkan padaku, sedangkan Nisa lebih banyak diam dan menghindar. Tentu saja, ada tanda tanya besar dalam kepala ini mengenai perubahan sikap karyawan perempuanku. Apakah dia sungguh sedang patah hati? Total ada tiga orang klien yang datang dari pagi hingga sore hari. Semuanya ingin mengukur pakaian pengantin. Dua kebaya, sedang satunya gaun modern bertema princess. Tiga-tiganya kami sanggupi. Deadline memang masih lama. Sebulan lagi. Kurasa semua tetap bisa kami handle, meskipun aku juga tengah memikirkan konsep yang cocok untuk pernikahan kami kelak. Duh, maaf, ya. M
BAGIAN 19 “Jadi, kamu siap buat menikah dengan anak tunggalku itu?” Raut wajah Mamak lagi-lagi tampak galak. Wanita paruh baya yang mengenakan daster lengan panjang motif bunga-bunga kecil warna marun dan jilbab instan bahan jersey warna senada tersebut melempar pandagan sengit ke arah Arfan. Lelaki yang telah bertukar pakaian dengan koko putih dan celana ¾ warna abu gelap itu tampak duduk menghadap ke arah kami berdua dengan keringat yang membasahi pelipisnya. Naya sengaja sudah kutitipkan ke rumah sebelah, agar pembicaraan ini bisa berjalan tanpa gangguan. “Iya, Mak. Insyaallah,” jawabnya sambil mengangguk sopan. “Kamu tahu kan, kalau anakku sudah janda. Anaknya satu. Siap kamu mene
BAGIAN 18 “Fan? Kamu nggak lagi kemasukan, kan?” tanyaku dengan setengah sebal. Lelaki itu akhirnya mengangkat kepala perlahan. Tampak dia menarik napasnya dalam-dalam sambil mengatupkan dua bibir erat. “Mbak ….” Dia menggantung kalimat. Membuatku hampir tak sabaran. Ada apa, sih? Apa susahnya buat to the point! “Kenapa? Kamu minta libur? Mau kas bon? Atau apa?” “Mau nggak … kalau kukhitbah?” Lelaki itu menatapku dengan wajah yang pucat pasi. Seketika mataku langsung membuka besar-besar. Arfan mau mengkhitbahku? Dia?&nbs
BAGIAN 17 “Lho, udah pulang, Mbak?” Arfan yang tengah sibuk memasang payet pada bahan brokat tile kebaya putih yang sudah jadi itu tiba-tiba beranjak dari duduknya. Lelaki itu setengah kaget memperhatikan kehadiranku. “Iya.” Aku menjawab singkat. Melangkah masuk dengan gerakan gontai. Tidak bersemangat seperti beberapa jam lalu. “Mana Nisa?” tanyaku sembari mengempaskan bokong di atas kursi jahit. Kutopang dagu dengan tangan kanan yang sikunya kutempel di atas mesin jahit. Memperhatikan sosok Arfan di depan sana dengan kedua bola mata yang kini sudah sayu. “Katanya agak meriang. Jadi, kusuruh istirahat d
BAGIAN 16 “Bisa aja kamu, Resa.” Mas Fredy terkekeh. Tawanya renyah, tak terdengar mengejek diriku. Malu-malu kulihat wajahnya. Bahkan kulit putih itu sampai berubah menjadi kemerahan. Sepanjang perjalanan, aku hanya dapat menahan rasa malu. Entah, sampai detik ini terasa hatiku berat saja. Takut bila lelaki itu berpikir negatif atau ilfeel kepadaku. Gimana dong, kalau dia nganggap aku ini cewek yang ‘gampangan’? Aduh, Resa, seharusnya kamu nggak se-open itu! Aku jadi tidak keru-keruan, deh. Mas Fredy membawaku ke café and resto Harvest yang berada di kawasan tongkrongan anak-anak ibu kota. Jujur, aku baru kali ini menyambangi tempat bertema rustic dengan donimasi kayu pada perabot dan interiornya t