Share

6

last update Last Updated: 2022-02-10 11:37:04

BAGIAN 6

              Semalaman itu aku benar-benar gelisah. Rasa sedih merasuk dan mencabik-cabik perasaan. Sebab tak konsentrasi, malam itu kubiarkan Naya tidur dengan Mamak. Padahal, biasanya aku tak bakalan mau pisah tidur dengan bocah kecil itu, kecuali kalau sedang lembur di studio.

Makan tak selera, tidur pun tak nyenyak. Sepanjang malam, hanya W******p dari Mas Cipta saja yang kutunggu. Permintaan maafnya yang kuharapkan betul. Namun, sia-sia. Lelaki itu memang tampaknya hanya memanfaatkanku saja selama ini. Pupus sudah harapan dan cita-cita untuk melepas masa janda akhir tahun. Semua hanya sekadar mimpi indah belaka.

              Aku sudah bersiap sejak pagi-pagi buta untuk mencari nafkah. Saking ingin membuang rasa galau, hari ini kubersihkan rumah dari ujung ke ujung. Menyiapkan sarapan buat Mamak dan Naya. Membawa bekal segala. Biasanya, urusan rumah Mamak yang handle. Dia paling tak suka kalau aku yang mengerjakannya. Mamak bilang, biar saja keringatku habis di studio sana. Biar kasar begitu, sebenarnya beliau tak mau membuatku lelah dua kali. Kalau sudah cari uang, cari uang saja. Jangan ditambah dengan pekerjaan rumah. Kalau mengingat itu, aku rasanya mau menangis. Sayang betul Mamak kepadaku.

              “Lho, Res, awal kali kamu bangun? Kok, sudah siap semuanya?” Mamak yang baru bangun, datang hendak mengambil wudu di toilet. Dia agak kaget saat melewati meja makan yang sudah siap dengan sajian ikan goreng dan sayur bening yang masih mengepul uap panasnya.

              “Nggak apa-apa, Mak. Sekalian aku mau bekal. Lagian, sekarang sudah hampir setengah enam. Mamak saja yang bangunnya kesiangan,” ledekku sembari memasukan lauk pauk ke dalam wadah plastik bekal.

              “Ih, bergaya kamu, ya!” kata Mamak sambil berlalu dan menjitak pelan kepalaku.

              Aku hanya tersenyum. Padahal, di balik senyuman itu ada kegetiran yang tengah kurasa.

              Saat aku hendak ke kamar untuk bertukar pakaian, Mamak sudah selesai berwudu dan kami pun kembali berpapasan.

              “Kenapa kamu, Res? Sedih betul mukamu?” Mamak menatapku sekilas. Wajahnya tampak menyelidik.

              “Ah, nggak. Biasa aja. Aku mau berangkat ya, Mak. Mau ngerjain job yang kemarin belum selesai.”

              Aku tak mau memandangi Mamak berlama-lama. Takut dia akan membaca isi kepalaku lagi.

              “Bohong, kamu! Pasti ini gara-gara masalah kemarin,” kata Mamak sambil mencegat lenganku.

              “Ih, nggak, kok!” Aku terus berkelit. Malas bantah-bantahan dengan Mamak lagi.

              “Awas, ya, kalau kamu menghubungi Cipta lagi! Mamak tebas nanti anak itu!”

              Aku terkesiap. Kagetlah! Masa anak orang mau ditebas sama dia.

              “Nggak, Mak. Aku nggak bakal menghubungi dia lagi. Biarin ajalah dia.”

              Aku menepis pelan tangan Mamak. Berjalan dengan langkah buru-buru untuk masuk segera ke kamar.

Sampai di ruangan berukuran 3 x 3,5 meter tersebut, perasaanku sebenarnya kacau sekali. Kulihat lagi ponsel yang tergeletak di kasur. Mengecek apakah ada W******p masuk atau tidak. Nyatanya nihil. Tak ada pesan apa pun di sana. Hancur sekali hatiku.

              Bergegas aku pun mengenakan gamis warna cokelat susu dengan lis warna pink di bagian ban ujung tangannya. Ini adalah hasil karyaku sendiri. Satu stel dengan khimarnya yang berwarna pink.

              Kukaitkan ransel di kedua pundak, membawa ponsel, tak lupa bekal yang sudah kusiapkan di dapur. Sebelum berangkat naik motor, aku menyempatkan diri untuk ke kamar Mamak terlebih dahulu. Menjenguk si kecil yang masih tidur lelap di kasur besar Mamak.

              Mamak sendiri tampak masih terbalut dalam mukena putihnya. Menengadahkan tangan dan berdoa dengan suara lirih.

              Saat aku mengecup kening Naya, kudengar sekilas doa Mamak yang diiringi dengan sedu sedannya.

              “Ya Allah, kasihinilah anak tunggalku. Berikan dia jodoh yang baik, yang saleh. Jauhkan dia dari laki-laki jahat seperti Angga dan Cipta. Sesungguhnya anakku itu gadis yang baik. Hanya, terkadang dia bodoh saja dan berpikiran dangkal.”

              Terhenyak aku mendengarnya. Mamakku. Dalam doa pun masih dia sebutkan namaku. Dia doakan aku sambil terisak-isak. Ya Allah, rasanya aku sungguh merasa sangat bersalah sebab masih memikirkan Mas Cipta.

              “Mak, aku berangkat, ya?” ucapku sambil menyodorkan tangan ke arahnya. Wajah Mamak yang basah oleh air mata langsung merengut.

              “Ish, kamu ini! Orang lagi khusyuk doa juga!” Mamak langsung menepuk pelan tanganku. Menyodorkan tangannya untuk kucium. Tak lupa beliau juga mengecup lembut keningku.

              “Jangan kelewat bodoh kali lah kamu ya, Nak. Sudah cukup kamu dimanfaatnkan sama laki-laki.”

              “Iya, Mak. Siap.”

              “Jangan siap-siap aja tapi nggak kamu lakuin!” Mamak menjitak pelan kepalaku lagi. Duh, dasar Mamak rembo. Sikit-sikit jitak, sikit-sikit ngamok. Namun, bagaimana pun aku tetap sayang, kok.

***

              Setibanya di studio tepat pukul enam pagi, aku dikejutkan dengan kehadiran Arfan. Lelaki bertubuh sedang dengan pembawaan tenang dan wajah yang lumayan itu kini tengah menyapu halaman studio yang memang ditumbuhi dengan aneka ragam pepohonan. Ada pohon nangka, jambu air, dan pohon bunga kenanga yang semuanya sering menjatuhkan daun-daun gugur.

              “Awal banget, Fan!” tegurku kepada lelaki yang kini sedang memakai kaus berkerah warna oranye dengan motif garis-garis tersebut.

              Lelaki yang sedang memegang sapu lidi bertangkai kayu panjang tersebut hanya mengulas senyum manis. Menampakkan dua buah lesung pipit dalam pada kedua pipinya.

              “Iya, Mbak.” Hanya jawaban itu yang keluar dari bibirnya. Aku yang baru memarkirkan motor di depan halaman studio pun hanya bisa diam-diam mensyukuri kehadiran Arfan di sini. Dia karyawan yang rajin. Sejak enam bulan lalu bekerja di sini, memang dia yang lebih sering datang awal ketimbang rekannya, Nisa.

              “Fan, nggak usah bersih-bersih amat nyapunya. Kamu bantuin aku motong pola dulu,” kataku kepada lelaki yang masih asyik menyapu tersebut.

              Dia menoleh. Memasang wajah yang teduh. “Tunggu Nisa datang dulu saja, Mbak.”

              Aku awalnya agak tersinggung. Kenapa dia membantah perintahku? Namun, tiba-tiba aku menyadari satu hal. Oh, mungkin dia tidak enak kalau hanya berduaan denganku di dalam.

              “Oke, deh. Aku motong sendiri aja.”

              Aku pun masuk ke studio yang ruangannya dicat serba warna pink tersebut. Aku memang pecinta warna kalem tersebut. Makanya yang berbau pink, tetap jadi koleksiku.

              Kuletakkan tas dan bekal makanan ke meja makan yang terletak di ruang makan belakang—menyatu dengan dapur sederhana tempat aku dan Nisa kerap memasak mie instan atau membuat minuman. Studioku ini lumayan lengkap perkakasnya, memang sudah disediakan oleh si empunya rumah. Makanya, aku betah meskipun ongkos sewanya lumayan. Masih ketutup sih, dengan orderan kami yang makin membludak.

              Saat aku hendak kembali ke depan, aku tiba-tiba dikejutkan dengan suara ribut-ribut di halaman. Seperti suara teriakan. Lebih mirip ke arah perkelahian.

              Aku pun mempercepat langkah. Setengah berlari meninggalkan ruang makan untuk mencapai bagian depan studio kami. Saat kakiku sudah menginjak teras, maka mataku pun terbelalak besar. Seorang wanita bertubuh tambun dengan rambut sebahu tengah marah-marah mengamuk kepada Arfan.

              “Mana bosmu! Biarkan aku masuk menemuinya!” Perempuan itu berusaha menerobos adangan Arfan. Namun, karyawanku tersebut berusaha sekuat tenaga untuk mencegahnya.

              Dewi! Ya, itu Dewi calon istrinya si Angga. Ngapain lagi dia ke sini?

              “Arfan! Biarkan dia masuk!” teriakku kepada Arfan yang berada di pintu gerbang halaman. Lelaki itu pun menoleh dan akhirnya membiarkan Dewi untuk masuk. Tampak oleh mataku, tubuh gendut Dewi sempat-sempatnya menubruk Arfan hingga lelaki itu hendak terpental. Memang kurang ajar, pikirku.

              Dewi yang mengenakan celana jin hitam ketat dan blus lengan panjang warna gold itu berjalan sembari memegang ponselnya yang kini mengarah ke depan. Firasatku mulai tak enak. Apa yang mau dia lakukan.

              “Eh, penjahit amatiran! Apa masalahnya kamu ngembaliin uang dan membatalkan orderan secara sepihak! Aku sudah capek-capek ke sini buat ngukur, buang waktu dan tenaga, kenapa ujung-ujungnya malah kamu cancel!” Dewi ngamuk-ngamuk sembari mengacungkan ponselnya ke wajahku. Oh, dia sedang merekam?

              Cepat kusambar ponselnya, tapi gadis itu malah mendorongku sampai aku terpental ke ubin. Sejurus kemudian, Arfan langsung berteriak menyebut namaku, dan terlihat bergegas ke sini.

              “Eh, Mbak, yang sopan, dong!” Arfan marah kepada Dewi. Membeliakkan mata dan buru-buru membantuku untuk berdiri.

              “Bosmu yang tidak sopan! Tidak profesional! Aku harus memviralkannya biar usahanya bangkrut sekalian!” Dewi berapi-api. Mukanya merah bagai kepiting rebus. Dia masih saja mengacungkan ponselnya, merekam muka kami dan bagian luar studio.

              “Ini ya, lokasi rumah jahitnya. Ada di jalan Antasari nomor 112. Namanya Re Tailor. Katanya dia ini desainer dan penjahit pengantin yang lagi naik daun. Nyatanya omong kosong! Bisanya cuma cancel kerjaan tanpa ada kejelasan! Mana uangnya dibalikin ke cowokku pula. Ada hubungan apa dia sama calon suamiku?” Dewi berujar dengan ketus. Merekam wajahku dan hendak masuk ke dalam untuk mengambil gambar lebih jelas.

              Hatiku seketika panas. Emosi ini bagai sudah naik ke ubun-ubun. Gila! Perempuan ini memang kurang waras. Sama saja dengan calon suaminya, si Angga.

              Tanpa pikir panjang lagi, kurebut ponsel tersebut dari tangan gemuk Dewi. Kubanting tanpa ampun benda pipih enam inci warna hitam itu ke atas ubin. Kuinjak-injak tanpa henti dengan sandal jepit rumah yang baru kuganti saat masuk tadi.

              “Apa kamu? Mau protes? Mau marah? Mau lapor polisi? Silakan! Aku tidak takut!” Aku ngamuk. Meneriakinya tanpa ampun. Biar badannya seperti toren pun, aku tidak takut sama sekali!

              “Angga itu laki-laki bajing*n! Dia mantan suamiku yang sudah mencampakkan aku dan anakku! Itu kalau kamu mau tahu siapa dia sebenarnya!” Kupungut ponsel yang telah remuk redam itu, lalu kulempar ke tubuh Dewi yang seakan kaku sebab mungkin ngeri melihat kemarahanku barusan.

              “Makan nih hape! Makan!” kataku dengan napas yang terengah-engah akibat termakan emosi yang meledak-ledak.

              Wajah pias Dewi tiba-tiba tersenyum. Lebar sekali. Ponsel yang mental saat mengenai tubuhnya tersebut, jatuh kembali ke ubin, dan tak dia pedulikan.

“Tadi itu, aku lagi live di I*******m, lho. Wow! Selamat ya, Mbak Resa yang cantik. Barang buktinya sudah tersiar ke lima ribu followersku. Setelah ini, aku akan melaporkan tindak pengrusakan yang baru saja kamu lakukan kepadaku!”

              Aku terhenyak. Rasanya mau pingsan saat itu juga. Cobaan apalagi ini, ya Allah?

Related chapters

  • Jadi Ratu Usai Ditalak   7

    BAGIAN 7 Gemetar benar tanganku. Namun, tiba-tiba saja rasa berani itu muncul. Terlebih, saat Dewi menatapku dengan senyuman yang mengejek. Sudah betul hidupnya, dia pikir? “Oh, kamu mau melaporkanku ke polisi? Bagaimana dengan tindakanmu barusan? Merekam tempat usaha orang lain dan mencemarkan nama baikku serta usaha yang kujalankan!” Aku berkacak pinggang. Marah besar kepadanya sambil melotot. Meskipun hatiku sedikit banyak takut pada ancamannya, aku tak peduli. “Mau lapor ke polisi? Berapa duitmu, emang? Buat beli susu aja, dulu kamu nyiumin kaki Angga, kok!” Perempuan itu tersenyum sinis. Aku sampai mengernyitkan dahi. Dewi ini sebenarnya tahu atau pura-pura bodoh tentang Angga? Sebentar dia belaga pil

    Last Updated : 2022-02-10
  • Jadi Ratu Usai Ditalak   8

    BAGIAN 8 Dewi terlihat menatapku dengan mata yang penuh dendam. Wanita mana yang tak sakit hatinya bila disuruh mencium kaki perempuan lain segala. Apalagi, baginya yang salah itu adalah aku. “Angga! Tidak usah sampai segitunya. Aku tidak perlu dicium kaki segala. Aku bukan kamu!” Aku menuding wajah Angga. Menatapnya geram. Siapa yang tak geram? Apa dia mau membuat nama baikku semakin buruk di mata Dewi? “Ini kan, yang kamu suka, Resa?” sentak Dewi dengan suaranya yang nyaring. “Diam kamu, Dewi! Lancang kamu! Tidak sopan! Dia itu ibu dari anakku!”&n

    Last Updated : 2022-02-10
  • Jadi Ratu Usai Ditalak   9

    BAGIAN 9 Agak oleng tubuhku bangun dari duduk. Kuseka sisa air mata di sudut mata. Kutekatkan, bahwa aku tak boleh tampak lemah di hadapan lelaki perusak kebahagiaan tersebut. “Mbak, sudahlah,” cegah Nisa sembari menahan lenganku pelan. “Lepas, Nis! Aku masih harus menyelesaikan urusan dengan lelaki itu!” ujarku sembari menepis tangan Nisa. Gadis itu akhirnya menyerah. Dibiarkannya aku berjalan mendatangi pintu untuk membukakan Angga yang ada di depan sana. Sementara Arfan masih diam membeku di dekat jendela. Wajah Angga terlihat lesu. K

    Last Updated : 2022-02-10
  • Jadi Ratu Usai Ditalak   10

    BAGIAN 10 “Aku mohon, Res. Kasih aku kesempatan satu kali lagi. Aku akan membatalkan pernikahanku dengan Dewi.” Angga terus mengemis. Lelaki itu bahkan hendak menyambar kakiku, kalau saja tak segera kutarik menjauh darinya. Aku pun bangkit. Berdiri di depan lelaki yang kini berlutut memohon bagai seorang pengemis dengan segala bujuk rayu paksaannya. Ya, Angga ini tipikal pengemis yang hanya bersandiwara. Akan rela menjilat kaki target, demi mendapat apa yang dia inginkan. Setelah semua didapatkan, maka dia akan pergi sambil menikmati hasil haramnya tersebut. “Kamu ingat, saat aku hamil dan meminta pertanggungjawabanmu? Apa yang kamu lakukan saat itu, Angga? Kamu mengusirku bagai seekor anjing!” Aku menghar

    Last Updated : 2022-02-10
  • Jadi Ratu Usai Ditalak   11

    BAGIAN 11 “Arfan, mana videonya? Kirimkan cepat ke WhatsApp-ku. Aku mau bikin klarifikasi!” jeritku sembari membuka pintu studio. Kulihat Arfan langsung menghentikan mesin obrasnya. Sementara itu, Nisa langsung mendongak dan berhenti memotong kain satin warna hijau emerald. Keduanya tampak kaget dengan kedatanganku. Arfan pun buru-buru merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel berwarna gradasi biru dan putih, lalu mengetik-ngetik layarnya dengan gerakan cepat. “Nis, kamu siapkan tempat buat aku live. Bagusnya aku duduk di sini saja, dekat manekin,” ujarku sembari berjalan ke arah manekin-manekin yang memakai aneka bahan kain yang sudah kami bentuk selayaknya gaun dengan aneka model.&n

    Last Updated : 2022-02-11
  • Jadi Ratu Usai Ditalak   12

    BAGIAN 12 Setelah DM dan beralih ke chat via WhatsApp dengan Mas Fredy, rasanya kesedihanku agak hilang. Terlebih ketika beliau mengajak untuk jumpa besok. Rencananya, dia akan mengajakku membahas tentang masalah desain pakaian wanita dan rencana kolaborasi. Wow, benar-benar rejeki nomplok di tengah musibah yang melanda. Sekitar pukul sebelas siang, saat mood-ku sudah membaik, kuputuskan untuk keluar kamar dan membantu anak-anak. Memang Arfan dan Nisa sangat bisa diandalkan. Ditinggal beberapa jam, satu gaun bridesmaid sudah hampir jadi. Excellent! “Mbak Resa, gimana? Udah baikan suasana hatinya?” tanya Nisa kepadaku sembari masih memotong-motong kain untuk gaun.&nb

    Last Updated : 2022-02-11
  • Jadi Ratu Usai Ditalak   13

    BAGIAN 13 Sejak diberi tahu oleh Nisa tentang rahasia besar dari Arfan, aku jadi lebih berhati-hati lagi dalam bersikap di hadapan mereka, terutama Arfan. Entah mengapa, seperti ada perasaan malu sekaligus kurang nyaman. Bahkan, sampai malam kami lembur untuk mengerjakan kebaya pernikahan pesanan customer bernama Angel, aku hanya sedikit saja berbicara dengan Arfan. Wajah lelaki itu pun lebih banyak tertekan ketimbang senyum lepas. Aku jadi menyesal mengapa harus mendesak Nisa untuk mengungkapkan hal ini, meskipun aku juga belum tahu apakah Arfan merasa jika aku tau akan apa yang disembunyikannya atau tidak. Pekerjaan kami hampir selesai pukul setengah dua belas malam. Itu pun, kebaya baru dipayet bagian leher dan dada saja. Sementara klien kami meminta kebaya berwarna putih dengan bahan brokat tersebut h

    Last Updated : 2022-02-11
  • Jadi Ratu Usai Ditalak   14

    BAGIAN 14 “Biasa, Mak. Tadi itu Arfan,” kataku berusaha untuk terlihat santai di hadapan Mamak. Namun, dasar Mamak. Dia selalu berhasil mengendus apa pun yang tengah kusembunyikan. Matanya langsung memicing ke arahku dengan dua alis yang bertautan. “Mamak lihat, dia sering mengantarmu sampai rumah. Ada apa rupanya? Bukannya selain kamu, masih ada satu cewek lain lagi di tempat kali itu?” Mamak mendekatkan wajahnya yang tembam. Menyelidiki bagai seorang detektif yang hendak memecahkan sebuah kasus kriminal. Yah, kalau sudah begini, mau tak mau aku harus cerita, bukan? “Mak … kata si Nisa, dia itu suka kepadaku,” jawabku dengan wajah yang resah.&

    Last Updated : 2022-02-11

Latest chapter

  • Jadi Ratu Usai Ditalak   24

    BAGIAN 24ENDING Deret ujian yang terjadi sebelum hari pernikahan, nyatanya tak membuat aku dan Arfan menjadi patah semangat. Lelaki saleh itu membuktikan kekuatan hatinya dalam menseriusi hubungan kami dengan perhatiannya yang wajar sekaligus hangat. Dia pantang mundur saat Angga beberapa kali muncul kembali untuk memohon balikan kepadaku. Arfan pun dengan sangarnya mengancam akan mempolisikan Angga bila dia kembali ke hadapan kami lagi dan itu ternyata terbukti ampuh. Angga tak muncul-muncul lagi sampai hari ini, hari di mana kami akan melangsungkan ijab kabul di KUA. Duduk di mobil yang disopiri oleh Jefry, aku kini merasa begitu deg-degan sekaligus nervous. Bagaimana tidak, sebentar lagi aku akan sah menjadi seorang istri dari Arfan Ramadhan. Lelaki yang akan kupanggil sayang atau mas. Rasanya,

  • Jadi Ratu Usai Ditalak   23

    BAGIAN 23 “Naya, masuk kamar dulu, ya? Bunda harus ke depan.” Aku buru-buru memasukkan Naya ke kamar Mamak. Gadis kecil yang masih menangis itu kini mulai meredakan isaknya. Dengan disogok ponsel dan disetelkan video musik kartun, anak semata wayangku akhirnya mau anteng di kasur sambil duduk bersandar di bantal. “Bunda ke depan, ya?” tanyaku sambil mengusap rambutnya. “Iya.” Naya masih menatap ponselnya. Wajahnya kini tampak ceria. Aku pun tak banyak menunggu lagi. Langsung keluar dari kamar Mamak dan menutup pintunya rapat. Bergegas ke ruang tamu dan membuka pintu rumah. Tampak kedua mantan mertuaku bersama

  • Jadi Ratu Usai Ditalak   22

    BAGIAN 22 “Kalau dari kami pribadi, inginnya bulan depan untuk akad.” Ucapan bapaknya Arfan yang bernama Pak Ahmad tersebut membuat mataku membulat. Sambil mengusap-usap kepala Naya yang tengah berada di pangkuan Arfan, lelaki paruh baya yang tampak segar dan maskulin itu lalu menatap ke arah aku dan Mamak dengan tatapan yang riang. “Mak,” lirihku sambil menatap wanita itu dengan wajah yang semringah. “Bulan depan, Mak!” Aku benar-benar tersentak senang. Bagaimana tidak, ternyata keinginanku sebentar lagi akan terwujud. Segera menikah dengan Arfan, anak buahku sendiri, demi menghindar dari gangguan Angga. &ldq

  • Jadi Ratu Usai Ditalak   21

    BAGIAN 21 Mataku membulat sempurna saat menatap halaman rumah yang sudah terparkir dua buah sepeda motor bebek di depannya. Tentu itu bukan motor keluargaku. Bukan motor Mamak juga. Aku pun membatin dalam hati. Itu pasti milik Arfan dan kedua orangtuanya. Motor kulesatkan sampai ke halaman yang pagarnya memang dibuka lebar. Semakin yakin aku bahwa di dalam sana ada Arfan dan calon mertuaku, sebab sandal-sandal yang tergeletak di depan teras salah pasangnya adalah milik Arfan. Jantungku makin berdegup keras, bersamaan dengan perasaan buncah yang luar biasa. Sampai aku sempat lupa bahwa di belakang sana ada sosok Angga yang memang mengikuti sejak dari studio tadi. Aku langsung menghentikan motor matikku. Melepaskan helm dan menyang

  • Jadi Ratu Usai Ditalak   20

    BAGIAN 20 Keesokan harinya, entah mengapa suasana studio jadi lain. Bukan sebab ramai yang mengukur pakaian, tapi sebab perubahan sikap Nisa dan Arfan. Baik antara mereka berdua, maupun kepadaku. Arfan tampak malu sekaligus sungkan padaku, sedangkan Nisa lebih banyak diam dan menghindar. Tentu saja, ada tanda tanya besar dalam kepala ini mengenai perubahan sikap karyawan perempuanku. Apakah dia sungguh sedang patah hati? Total ada tiga orang klien yang datang dari pagi hingga sore hari. Semuanya ingin mengukur pakaian pengantin. Dua kebaya, sedang satunya gaun modern bertema princess. Tiga-tiganya kami sanggupi. Deadline memang masih lama. Sebulan lagi. Kurasa semua tetap bisa kami handle, meskipun aku juga tengah memikirkan konsep yang cocok untuk pernikahan kami kelak. Duh, maaf, ya. M

  • Jadi Ratu Usai Ditalak   19

    BAGIAN 19 “Jadi, kamu siap buat menikah dengan anak tunggalku itu?” Raut wajah Mamak lagi-lagi tampak galak. Wanita paruh baya yang mengenakan daster lengan panjang motif bunga-bunga kecil warna marun dan jilbab instan bahan jersey warna senada tersebut melempar pandagan sengit ke arah Arfan. Lelaki yang telah bertukar pakaian dengan koko putih dan celana ¾ warna abu gelap itu tampak duduk menghadap ke arah kami berdua dengan keringat yang membasahi pelipisnya. Naya sengaja sudah kutitipkan ke rumah sebelah, agar pembicaraan ini bisa berjalan tanpa gangguan. “Iya, Mak. Insyaallah,” jawabnya sambil mengangguk sopan. “Kamu tahu kan, kalau anakku sudah janda. Anaknya satu. Siap kamu mene

  • Jadi Ratu Usai Ditalak   18

    BAGIAN 18 “Fan? Kamu nggak lagi kemasukan, kan?” tanyaku dengan setengah sebal. Lelaki itu akhirnya mengangkat kepala perlahan. Tampak dia menarik napasnya dalam-dalam sambil mengatupkan dua bibir erat. “Mbak ….” Dia menggantung kalimat. Membuatku hampir tak sabaran. Ada apa, sih? Apa susahnya buat to the point! “Kenapa? Kamu minta libur? Mau kas bon? Atau apa?” “Mau nggak … kalau kukhitbah?” Lelaki itu menatapku dengan wajah yang pucat pasi. Seketika mataku langsung membuka besar-besar. Arfan mau mengkhitbahku? Dia?&nbs

  • Jadi Ratu Usai Ditalak   17

    BAGIAN 17 “Lho, udah pulang, Mbak?” Arfan yang tengah sibuk memasang payet pada bahan brokat tile kebaya putih yang sudah jadi itu tiba-tiba beranjak dari duduknya. Lelaki itu setengah kaget memperhatikan kehadiranku. “Iya.” Aku menjawab singkat. Melangkah masuk dengan gerakan gontai. Tidak bersemangat seperti beberapa jam lalu. “Mana Nisa?” tanyaku sembari mengempaskan bokong di atas kursi jahit. Kutopang dagu dengan tangan kanan yang sikunya kutempel di atas mesin jahit. Memperhatikan sosok Arfan di depan sana dengan kedua bola mata yang kini sudah sayu. “Katanya agak meriang. Jadi, kusuruh istirahat d

  • Jadi Ratu Usai Ditalak   16

    BAGIAN 16 “Bisa aja kamu, Resa.” Mas Fredy terkekeh. Tawanya renyah, tak terdengar mengejek diriku. Malu-malu kulihat wajahnya. Bahkan kulit putih itu sampai berubah menjadi kemerahan. Sepanjang perjalanan, aku hanya dapat menahan rasa malu. Entah, sampai detik ini terasa hatiku berat saja. Takut bila lelaki itu berpikir negatif atau ilfeel kepadaku. Gimana dong, kalau dia nganggap aku ini cewek yang ‘gampangan’? Aduh, Resa, seharusnya kamu nggak se-open itu! Aku jadi tidak keru-keruan, deh. Mas Fredy membawaku ke café and resto Harvest yang berada di kawasan tongkrongan anak-anak ibu kota. Jujur, aku baru kali ini menyambangi tempat bertema rustic dengan donimasi kayu pada perabot dan interiornya t

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status