PINDAH ATAU RESIGN?
"Maafkan aku, Pah! Maafkan," kata Hasan bersimpuh mencium kaki mertuanya."Maafkan saya jika selama saya menjadi suami Dinda, saya masih banyak kesalahan. Sehingga membuat Dinda seperti ini, Pah. Hasan sadar juga, selama ini Hasan masih belum bisa membahagiakan Papa dan Mama. Maafkan saya jika selama saya menjadi suami Dinda saya masih sering menyusahkan, belum bisa membahagiakan Dinda," kata Hasan dengan nada suara bergetar menahan tangisnya."Terima kasih juga Papa dan Mama sudah mau berbesar hati dan memberikan Hasan kepercayaan lagi untuk membawa Dinda pulang ke rumah. Hasan tahu ini tentu itu tidak mudah dan Papa mau melakukannya. Terima kasih Ya Pa, terima kasih banyak. Hanya itu yang bisa Hasan ucapkan sekarang. Doakan rumah tangga Hasan agar selalu awet dan bahagia kayaknya Papa dan Mama, bisa rukun sampai tua. Hanya itu yang berani Hasan minta sekarang kepada Papa dan Mama," ucap Hasan tulus. Pak Bukhari hanya menganggukkan kepalanya. DIKISAH MASA LALU PAK HENDI DAN BU NAFIS!"Nah, jika kau berpikir sampai sana, maka Bapak sebaliknya. Bapak hanya takut saja, bagaimana jika Hasan justru mengundurkan diri dari perusahaan. Bukankah itu sama dengan harus merelakan Dinda lebih lama di sana?" ucap Pak Bukhari. Memang ada benarnya juga semua ucapan Pak Bukhari itu. Dengan begitu justru Bu Nafis akan tambah semena-mena kepada Dinda. Memang kalau dipikir lagi akan menjadi buah simalakama. "Mungkin kita harus mendiskusikan ini lagi kepada yang lebih tahu, Pak. Saya rasa mungkin Dinda memiliki pemikiran lain," usul Eva."Iya aku berpikir seperti itu juga. Kita tak bisa gegabah untuk kali ini, karena banyak pertimbangannya. Kita tak tahu seberapa cinta anak lelaki itu kepada ibunya, bisa saja dia menuruti permintaanku untuk pindah karena memang merasa masih belum bisa mencukupi kebutuhan hidupnyad an memiliki pemikiran sepertimu kalau tidak bekerja di perusahaanku di mana lagi. Tapi di sisi lain kita harus me
MENGUSIR BU NAFIS?"Pak Hendi," panggil Hasan melihat pak Hendi yang tiba-tiba saja diam."Ah tidak, San. Sebenarnya jujur saja kalau boleh jujur kau sudah tahu sendiri itu masalah Pak Hendi dengan Ibumu dulu dengan almarhum Abahmu kan?" tanya Pak Hendi. Hasan menganggukkan kepalanya."Aku hanya ingin menebus kesalahan dan dosa masa lalu saja, San. Abahmu dulu terlalu baik kepadaku dan Ibumu. Dia tak pernah menuntut, mengampuniku, padahal aku jelas-jelas menyakitinya. Bukannya menjauh judtru dia mendekatiku, sampai aku memutuskan pergi ke Jakarta saking sungkannya aku. Aku malu jika terus ada di sini. Itu lah sebabnya aku dulu memutuskan kerja jauh, itu juga agar istriku merasa lega aku tak akan berhubungan dengan Nafis lagi," jawab Pak Hendi."Aku hanya ingin membalas kebaikan Abah saja, tidak lebih. Agar Abahmu juga tenang di sana," pungkas Pak Hendi.Pak Hendi menarik nafas yang panjang sekali. Dia sedang mencari jawaban paling aman dan terlintas jawaban
RENCANA HASAN DAN IFAH!"Apakah kita harus mengusir Ibu, Mas? Iyakah? Agar Mbak Dinda mau kembali ke sini?" tanya Ifah menggaruk kepalanya yang tak gatal."Rasanya tak mungkin deh, Mas," sambungnya."Bukan begitu, Dek. Jika untuk mengusir Ibu itu tak mungkin kita lakukan. Karena pertama rumah ini adalah milik Ibu. Jadi kan tidak mungkin kita mengusir yang punyarumah. Sehingga Mas Hasan memiliki ide lain. Alih- alih kita mengusir Ibu, biarkan Ibu pergi dengan sendirinya. Jika Ibu masih ada di rumah ini, maka tak pastikan masalah ini tidak akan segera selesai jika terus begini, masalah ini akan begini-begini saja," jelas Hasan."Sek to, bagaimana maksud Mas Hasan?" tanya Ifah belum paham."Bagaimana cara Ibu mau keluar dari rumah ini sendiri?" sambungnya."Seorang wanita bisa keluar dari rumahnya sendiri ketika dia menikah, Fah Jadi artinya satu, kita harus segera membujuk Ibu menikah dengan Pak Hendi. Jika tidak kita yang akan susah nantinya. Paling tidak jika
KEJUJURAN IFAH"Lalu Bagaimana, Mas? Apa yang bisa aku lakukan selain membujuk Ibu dan Mbak Dinda?" tanya Ifah sekali lagi."Ya sudah itu dulu, Dek. Kau bantu Mas Hasan untuk meyakinkan Ibu agar beliau mau menikah dengan pak Hendi dengan begitu kemungkinan Mbak Dinda untuk bisa kembali ke rumah ini akan sangat besar. Mas Hasan sudah lelah jika terus-terusan bertengkar, banyak masalah di rumah ini, Dek. Mbak Dinda selalu minta untuk pindah ke rumah sendiri, meskipun hanya mengontrak. Sedangkan sekarang Mas Hasan Jujur saja sudah tak memiliki alasan lain untuk menolak Mbak Dinda karena perilaku ibu sendiri yang terang-terangan menggadaikan mobil Mbak Dinda tanpa izin. Hal itu juga membuat tingkat kepercayaan orang tua Mbak Dinda ke Mas Hasan langsung jatuh seketika," jelas Hasan."Bahkan orang tuanya menginginkan Mas Hasan untuk pisah rumah saja. Jika tidak begitu maka kemungkinan kecil Mbak Dinda bisa diizinkan ke sini lagi. Soalnya Mas Hasan harus berpisah dengan Mbak Di
MENGHADAPI WANITAIfah pun menganggukkan kepalanya setuju. Hasan keluar kamar Ifah dan menutup pintunya membiarkan Ifah beristirahat. Ting satu pesan masuk di HP Hasan.[Mas bisakah kita bertemu? Aku rindu]Hasan terdiam melihat semua pesan di wa-nya itu. Dia tak mengira wanita itu makin ke sini makin berani saja. Padahal Hasan sudah berkali-kali memblokir wa-nya. Tapi dia pantang menyerah dan tetap mencari wa baru mengganti nomornya dan tetap berusaha menghubungi Hasan. Jika terus-terusan begini dan dibiarkan maka akan terjadi kesalahpahaman dan mengancam rumah tangganya. Tapi di sisi lain dan itu juga tak ingin jika istrinya tahu dan akan menjadi beban pikiran untuknya."Astagfirulloh," batin Hasan mengusap wajahnya dengan kasar.[Jangan seperti itu lagi. Aku sudah memiliki istri dan rumah tangga. Kau pun carilah yang lain tak akan baik jika dibaca istriku][Aku masih mencintaimu, Mas. Sungguh mencintaimu, rasanya aku juga menyesal, mengapa dulu memilih untuk berpisah denganmu. Ap
APA KEGUGURAN LAGI? INNALILLAHI!"Loh kenapa kau harus ragu? Jika memang kita menikah kau bisa memutuskan untuk tinggal di rumahku sendiri. Sedangkan aku setiap malam tetap bisa di rumahku, toh nanti kita bisa saling menginap sesekali, tak ada yang perlu dikhawatirkan kan?" tanya pak Hendi."Ya memang sih, tapi bagaimana yo, Mas. Aku masih ragu," kata bu Nafis."Apalagi yang membuatmu ragu, Nafis? Tak usahlah kau ragu. Hapus saja semua keraguanmu itu bersumber dari setan. Apalagi ini niat baik menurutku, bukankah niat baik harus disegerakan daripada begini terus? Apa kau tak lelah semua warga terlalu sering selalu bertanya padaku kapan kita menikah? Kapan kita menikah? Sedangkan mereka semua tahu tentang masa lalu kita," kata Pak Hendi."Sudahlah Nafis, sudahi semua ini. Mari menikah denganku, lalu kita membuat hidup baru untuk anak dan cucu," pinta pak Hendi lagi. Bu Nafis hanya bisa menghela nafas panjang. Ingin rasanya menolak tetapi dia juga tak berani."Nafis, apalagi yang kau p
PERJANJIAN TERSEMBUNYI YANG DI BUKA KAN!"Benarkah itu, San?" tanya tanya Bu Nafis meminta penjelasan Hasan. Lelaki di hadapannya itu pun menghela napasnya panjang dan menganggukkan kepalanya."Benar-benar ya aku tak menyangka lho, gugur lagi? Astagfirulloh, Dan. Sebenarnya dia itu benar-benar tak becus ya menjaga anaknya," sindir Bu Nafis."Bu hentikan! Ini semua bukan salah Dinda, Bu. Aku mohon, Ibu juga harus intropeksi diri sendiri. Ini salah Ibu juga, kenapa Ibu membuatnya stress dan pikirannya menjadi tinggi? Lalu sekarang Ibu menyalahkan Dinda juga untuk semua kesalahan ini," sanggah Hasan."Lah kau ini semua salah Ibu, kenapa kau sekarang menyalahkan Ibu? Kok ini jadi anak benar-benar ya tak tahu diri aku mau istrimu jelas-jelas tak becus menjaga anakmu tapi sekarang kok justru menyalahkan Ibu. Sebenarnya di mana otakmu, Hasan!" bentak Bu Hera."Ibu berkata begitu jika Ibu tidak menyebabkan Dinda keguguran, maka Hasan tak masalah, Bu. Hasan terima, tapi masalahnya ini semua pe
TERIMA SAJA!!"Apa sih, Bu? Ibu melakukan perjanjian apa?"Mendengar pernyataan dari Pak Hendi itu seketika Bu Nafis langsung terdiam. Dia hanya bisa menghela nafasnya panjang. Seribu satu pertanyaan langsung berkejolak di hati Bu Nafis sekarang. Dia tidak bisa mengelak lagi bahkan bayangan pernikahan dan pak Hendi sudah ada di depan mata kali ini dia benar-benar kalah."Apa sih, Pak? Apa yang sebenarnya kalian bicarakan? Sungguh Hasan tidak mengerti," desak Hasan."Hasan aku dan ibumu sudah mengadakan perjanjian bila dia tak sanggup mengembalikan uang mobil itu maka aku akan menikahi dia dengan uang itu yang dijadikan Mas kawinnya. Kau tenang saja, aku akan mengurus uang masalah mobil itu, senilai tiga puluh juta dan nanti akan aku berikan juga kepada ibumu. Apakah kau tak setuju jika aku menikah dengan ibumu?" tanya pak Hendi.Mendengar ucapan pak Hendi sebenarnya ada perasaan lega di hati Hasan. Setidaknya jika memang ibunya menikah dengan Pak Hendi maka dia bisa hengkang dari ru
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."