KEJUJURAN IFAH
"Lalu Bagaimana, Mas? Apa yang bisa aku lakukan selain membujuk Ibu dan Mbak Dinda?" tanya Ifah sekali lagi."Ya sudah itu dulu, Dek. Kau bantu Mas Hasan untuk meyakinkan Ibu agar beliau mau menikah dengan pak Hendi dengan begitu kemungkinan Mbak Dinda untuk bisa kembali ke rumah ini akan sangat besar. Mas Hasan sudah lelah jika terus-terusan bertengkar, banyak masalah di rumah ini, Dek. Mbak Dinda selalu minta untuk pindah ke rumah sendiri, meskipun hanya mengontrak. Sedangkan sekarang Mas Hasan Jujur saja sudah tak memiliki alasan lain untuk menolak Mbak Dinda karena perilaku ibu sendiri yang terang-terangan menggadaikan mobil Mbak Dinda tanpa izin. Hal itu juga membuat tingkat kepercayaan orang tua Mbak Dinda ke Mas Hasan langsung jatuh seketika," jelas Hasan."Bahkan orang tuanya menginginkan Mas Hasan untuk pisah rumah saja. Jika tidak begitu maka kemungkinan kecil Mbak Dinda bisa diizinkan ke sini lagi. Soalnya Mas Hasan harus berpisah dengan Mbak DiMENGHADAPI WANITAIfah pun menganggukkan kepalanya setuju. Hasan keluar kamar Ifah dan menutup pintunya membiarkan Ifah beristirahat. Ting satu pesan masuk di HP Hasan.[Mas bisakah kita bertemu? Aku rindu]Hasan terdiam melihat semua pesan di wa-nya itu. Dia tak mengira wanita itu makin ke sini makin berani saja. Padahal Hasan sudah berkali-kali memblokir wa-nya. Tapi dia pantang menyerah dan tetap mencari wa baru mengganti nomornya dan tetap berusaha menghubungi Hasan. Jika terus-terusan begini dan dibiarkan maka akan terjadi kesalahpahaman dan mengancam rumah tangganya. Tapi di sisi lain dan itu juga tak ingin jika istrinya tahu dan akan menjadi beban pikiran untuknya."Astagfirulloh," batin Hasan mengusap wajahnya dengan kasar.[Jangan seperti itu lagi. Aku sudah memiliki istri dan rumah tangga. Kau pun carilah yang lain tak akan baik jika dibaca istriku][Aku masih mencintaimu, Mas. Sungguh mencintaimu, rasanya aku juga menyesal, mengapa dulu memilih untuk berpisah denganmu. Ap
APA KEGUGURAN LAGI? INNALILLAHI!"Loh kenapa kau harus ragu? Jika memang kita menikah kau bisa memutuskan untuk tinggal di rumahku sendiri. Sedangkan aku setiap malam tetap bisa di rumahku, toh nanti kita bisa saling menginap sesekali, tak ada yang perlu dikhawatirkan kan?" tanya pak Hendi."Ya memang sih, tapi bagaimana yo, Mas. Aku masih ragu," kata bu Nafis."Apalagi yang membuatmu ragu, Nafis? Tak usahlah kau ragu. Hapus saja semua keraguanmu itu bersumber dari setan. Apalagi ini niat baik menurutku, bukankah niat baik harus disegerakan daripada begini terus? Apa kau tak lelah semua warga terlalu sering selalu bertanya padaku kapan kita menikah? Kapan kita menikah? Sedangkan mereka semua tahu tentang masa lalu kita," kata Pak Hendi."Sudahlah Nafis, sudahi semua ini. Mari menikah denganku, lalu kita membuat hidup baru untuk anak dan cucu," pinta pak Hendi lagi. Bu Nafis hanya bisa menghela nafas panjang. Ingin rasanya menolak tetapi dia juga tak berani."Nafis, apalagi yang kau p
PERJANJIAN TERSEMBUNYI YANG DI BUKA KAN!"Benarkah itu, San?" tanya tanya Bu Nafis meminta penjelasan Hasan. Lelaki di hadapannya itu pun menghela napasnya panjang dan menganggukkan kepalanya."Benar-benar ya aku tak menyangka lho, gugur lagi? Astagfirulloh, Dan. Sebenarnya dia itu benar-benar tak becus ya menjaga anaknya," sindir Bu Nafis."Bu hentikan! Ini semua bukan salah Dinda, Bu. Aku mohon, Ibu juga harus intropeksi diri sendiri. Ini salah Ibu juga, kenapa Ibu membuatnya stress dan pikirannya menjadi tinggi? Lalu sekarang Ibu menyalahkan Dinda juga untuk semua kesalahan ini," sanggah Hasan."Lah kau ini semua salah Ibu, kenapa kau sekarang menyalahkan Ibu? Kok ini jadi anak benar-benar ya tak tahu diri aku mau istrimu jelas-jelas tak becus menjaga anakmu tapi sekarang kok justru menyalahkan Ibu. Sebenarnya di mana otakmu, Hasan!" bentak Bu Hera."Ibu berkata begitu jika Ibu tidak menyebabkan Dinda keguguran, maka Hasan tak masalah, Bu. Hasan terima, tapi masalahnya ini semua pe
TERIMA SAJA!!"Apa sih, Bu? Ibu melakukan perjanjian apa?"Mendengar pernyataan dari Pak Hendi itu seketika Bu Nafis langsung terdiam. Dia hanya bisa menghela nafasnya panjang. Seribu satu pertanyaan langsung berkejolak di hati Bu Nafis sekarang. Dia tidak bisa mengelak lagi bahkan bayangan pernikahan dan pak Hendi sudah ada di depan mata kali ini dia benar-benar kalah."Apa sih, Pak? Apa yang sebenarnya kalian bicarakan? Sungguh Hasan tidak mengerti," desak Hasan."Hasan aku dan ibumu sudah mengadakan perjanjian bila dia tak sanggup mengembalikan uang mobil itu maka aku akan menikahi dia dengan uang itu yang dijadikan Mas kawinnya. Kau tenang saja, aku akan mengurus uang masalah mobil itu, senilai tiga puluh juta dan nanti akan aku berikan juga kepada ibumu. Apakah kau tak setuju jika aku menikah dengan ibumu?" tanya pak Hendi.Mendengar ucapan pak Hendi sebenarnya ada perasaan lega di hati Hasan. Setidaknya jika memang ibunya menikah dengan Pak Hendi maka dia bisa hengkang dari ru
BU NAFIS MENIKAH LAGI?"Nah itu benar. Begitu maksudku," jelas Bu Nafis."Bagaimana keputusan, Pak Hendi?" tanya Hasan."Baiklah jika itu maumu. Aku juga tak keberatan. Pak Hendi, hanya ingin tahu bagaimana kau menghadapi suatu masalah, jika kau sudah memiliki kebijakan seperti itu maka Pak Hendi juga setuju. Nanti kita bantu selesaikan bersama-sama ya masalah ini," jawab Pak Hendi."Alhamdulillah kalau begitu, berarti sudah clear ya," sambung Pak Hendi.Semua pun menganggukkan kepalanya setuju. Lega rasanya sekarang hati Hasan. Paling tidak satu masalahnya selesai tinggalmeyakinkan istrinya agar mau kembali ke Madiun."Siap, Pak," jawab Hasan dengan senyum mengembang."Oh iya ngomong-ngomong di manasi Zain. Aku tidak melihat keberadaan putra pertama mu," tanya Pak Hendi pada Zain."Entah tadi terapi, entah terapi apa itu. Aku minta sendiri tak paham tapi lama-lama aku muak sekaligus benci dengan dia," jawab Hasan."Istighfar. Kau jangan seperti itu, bagaimanapun juga dia adalah kaka
KERAS KEPALA NYA BU NAFIS!"Walaupun statusmu adalah sebagai Ibu tiri, namun dengan menjalin jaringan yang baik, tentunya bisa membuatmu menjadi Ibu tiri yang lebih baik. Menjadi seorang Ibu memang pekerjaan paling sulit bagi sebagian besar kaum wanita, tak terkecuali dirimu, Nafis. Apalagi kau yang berstatus sebagai Ibu tiri. Dibutuhkan usaha yang keras dan konsisten untuk mewujudkannya," ucap Pak Hendi."Iya, iya," sahut Bu Nafis malas mendnegarkan perdebatan ini."Lalu bagaimana masalah Dinda, Pak?" tanya Hasan yang masih belum menemukan solusinya."Kenapa lagi?" sahut Bu Nfis."Ya masalah jika Ibu dan Bapak Hendi menikah. Lalu Hasan lebih baik mengontrak atau Ibu yang pindah ke Pak Hendi. Kan belum ada kejelasan, Bu," kata Hasan."Ck! Sudah lah tak usah di bahas lagi. Tak aa yang pindah!" tegas Bu Nafis."Jika memang demikian maka aku putuskan untuk Hasan dan Dinda biar memiliki rumah sendiri saja," langsung Pak Hendi memutuskan. "Loh, bagaimana sih kau itu, Mas. Aku kan bilang t
DIANTARA DUA PILIHAN. MENTAL ATAU PERASAAN?"Kau kenapa, Nduk? Papa melihatmu sedari kasih kau hanya diam saja Apakah ada sesuatu yang mengganjal di pikiranmu?" tanya Pak Bukhari.Dinda menoleh ke arah Papanya. Sudah sehari ini, bahkan hampir dua hari dia mendiamkan suaminya. Bukan tanpa alasan sebenarnya Dinda mendiamkan Hasan sebenarnya, karena dia ingin tahu bagaimanakah reaksi Hasan sebenarnya dan alhamdulillahnya semua tidak seperti pikiran buruk Dinda. Hasan masih mencarinya.Dia beberapa kali bahkan mengirimkan pesan sejak semalam, namun Dinda sama sekali belum membalasnya. Dia takut akan mudah lagi luluh oleh bujuk rayu sang suami dan endingnya akan termakan oleh ekspektasinya sendiri. Karena sang suami akan kembali berulah lagi. Dia takut suaminya tak akan memperlakukannya selayaknya seorang istri dan masih tetap akan mendahulukan ibunya diatas segalanya. Meskipun dalam pesan itu Hasan sudah mengatakan kepada Dinda bahwa bu Nafis mertuanya akan menikah dengan pak Hendi, nam
KEPULANGAN DINDA DAN SURAT PINDAH UNTUK HASAN"Sekarang kegalauan itulah yang membuat Dinda berpikir ulang, langkah apa yang sebaiknya Dinda ambil, Pa?" tanya Dinda."Jika boleh jujur Papa pun berpikir mungkin lebih baik untuk sementara waktu Papa memberikan surat tugas saja kepada Hasan agar bekerja di kota ini. Bagaimana menurutmu?" tanya Pak Bukhori."Toh, kau bisa memakai rumah sebelah untukmu dan suamimu. Bukankah itu artinya kau juga sudah bisa rumah sendiri juga. Kami tak akan merecokimu juga, tapi apakah Hasan mau ya, Nduk? Justru Papa khawatir jika Hasan menolak dan keluar dari perusahaan," sambungnya.Mendengar ucapan Papanya, Dinda terdiam sejenak. Ini semua pernah dia diskusikan dengan kakak ipar perempuannya. Dia pernah berbicara ini kepada Mbak Eva dan Mbak Eva pun juga berkata juga Hasan tak akan mungkin mudah keluar dari perusahaan mengingat usianya yang sudah tak lagi muda akan sulit untuknya mencari pekerjaan baru juga."Rasanya tidak, Pa. Mas Hasan tentu mempertimb