BERSIMPUH DI HADAPAN MERTUA!
"Biarkan aku yang merawatnya, biarkan aku yang menjaganya. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang kembali. Aku tahu anak itu adalah gusti Allah, tapi kan kita sebagai manusia juga harus menjaganya sebisa mungkin. Dua kali aku mempercayakan kehamilan Dinda di rumah kalian tapi endingnya tak memuaskan. Anakku harus merasakan kesakitan, fisik dan mentalnya. Menurutmu sebagai suami bagaimana Hasan?" sindir Pak Bukhori."Tapi Pa, pekerjaan saya kan di Madiun," sanggah Hasan."Lalu di mana masalahnya? Yang bekerja kan dirimu, Le. Bukan Dinda. Jadi menurutku ini tak ada kaitannya. Toh kau lelaki kan? Tidak hamil, kau bisa mengunjungi istrimu sebulan sekali atau dua minggu sekali. Senyamanmu saja. Apakah kau tak lihat sekarang?" sindir Pak Bukhori. Hasan terdiam sekarang."Tak tanggung-tanggung dan tak sekali dua kali lo, Le. Apakah harus sampai tiga kali dia kehilangan anaknya sendiri? Bukankah itu sudah cukup untuk pembelajaran kalian? BukPINDAH ATAU RESIGN?"Maafkan aku, Pah! Maafkan," kata Hasan bersimpuh mencium kaki mertuanya."Maafkan saya jika selama saya menjadi suami Dinda, saya masih banyak kesalahan. Sehingga membuat Dinda seperti ini, Pah. Hasan sadar juga, selama ini Hasan masih belum bisa membahagiakan Papa dan Mama. Maafkan saya jika selama saya menjadi suami Dinda saya masih sering menyusahkan, belum bisa membahagiakan Dinda," kata Hasan dengan nada suara bergetar menahan tangisnya."Terima kasih juga Papa dan Mama sudah mau berbesar hati dan memberikan Hasan kepercayaan lagi untuk membawa Dinda pulang ke rumah. Hasan tahu ini tentu itu tidak mudah dan Papa mau melakukannya. Terima kasih Ya Pa, terima kasih banyak. Hanya itu yang bisa Hasan ucapkan sekarang. Doakan rumah tangga Hasan agar selalu awet dan bahagia kayaknya Papa dan Mama, bisa rukun sampai tua. Hanya itu yang berani Hasan minta sekarang kepada Papa dan Mama," ucap Hasan tulus. Pak Bukhari hanya menganggukkan kepalanya. DI
KISAH MASA LALU PAK HENDI DAN BU NAFIS!"Nah, jika kau berpikir sampai sana, maka Bapak sebaliknya. Bapak hanya takut saja, bagaimana jika Hasan justru mengundurkan diri dari perusahaan. Bukankah itu sama dengan harus merelakan Dinda lebih lama di sana?" ucap Pak Bukhari. Memang ada benarnya juga semua ucapan Pak Bukhari itu. Dengan begitu justru Bu Nafis akan tambah semena-mena kepada Dinda. Memang kalau dipikir lagi akan menjadi buah simalakama. "Mungkin kita harus mendiskusikan ini lagi kepada yang lebih tahu, Pak. Saya rasa mungkin Dinda memiliki pemikiran lain," usul Eva."Iya aku berpikir seperti itu juga. Kita tak bisa gegabah untuk kali ini, karena banyak pertimbangannya. Kita tak tahu seberapa cinta anak lelaki itu kepada ibunya, bisa saja dia menuruti permintaanku untuk pindah karena memang merasa masih belum bisa mencukupi kebutuhan hidupnyad an memiliki pemikiran sepertimu kalau tidak bekerja di perusahaanku di mana lagi. Tapi di sisi lain kita harus me
MENGUSIR BU NAFIS?"Pak Hendi," panggil Hasan melihat pak Hendi yang tiba-tiba saja diam."Ah tidak, San. Sebenarnya jujur saja kalau boleh jujur kau sudah tahu sendiri itu masalah Pak Hendi dengan Ibumu dulu dengan almarhum Abahmu kan?" tanya Pak Hendi. Hasan menganggukkan kepalanya."Aku hanya ingin menebus kesalahan dan dosa masa lalu saja, San. Abahmu dulu terlalu baik kepadaku dan Ibumu. Dia tak pernah menuntut, mengampuniku, padahal aku jelas-jelas menyakitinya. Bukannya menjauh judtru dia mendekatiku, sampai aku memutuskan pergi ke Jakarta saking sungkannya aku. Aku malu jika terus ada di sini. Itu lah sebabnya aku dulu memutuskan kerja jauh, itu juga agar istriku merasa lega aku tak akan berhubungan dengan Nafis lagi," jawab Pak Hendi."Aku hanya ingin membalas kebaikan Abah saja, tidak lebih. Agar Abahmu juga tenang di sana," pungkas Pak Hendi.Pak Hendi menarik nafas yang panjang sekali. Dia sedang mencari jawaban paling aman dan terlintas jawaban
RENCANA HASAN DAN IFAH!"Apakah kita harus mengusir Ibu, Mas? Iyakah? Agar Mbak Dinda mau kembali ke sini?" tanya Ifah menggaruk kepalanya yang tak gatal."Rasanya tak mungkin deh, Mas," sambungnya."Bukan begitu, Dek. Jika untuk mengusir Ibu itu tak mungkin kita lakukan. Karena pertama rumah ini adalah milik Ibu. Jadi kan tidak mungkin kita mengusir yang punyarumah. Sehingga Mas Hasan memiliki ide lain. Alih- alih kita mengusir Ibu, biarkan Ibu pergi dengan sendirinya. Jika Ibu masih ada di rumah ini, maka tak pastikan masalah ini tidak akan segera selesai jika terus begini, masalah ini akan begini-begini saja," jelas Hasan."Sek to, bagaimana maksud Mas Hasan?" tanya Ifah belum paham."Bagaimana cara Ibu mau keluar dari rumah ini sendiri?" sambungnya."Seorang wanita bisa keluar dari rumahnya sendiri ketika dia menikah, Fah Jadi artinya satu, kita harus segera membujuk Ibu menikah dengan Pak Hendi. Jika tidak kita yang akan susah nantinya. Paling tidak jika
KEJUJURAN IFAH"Lalu Bagaimana, Mas? Apa yang bisa aku lakukan selain membujuk Ibu dan Mbak Dinda?" tanya Ifah sekali lagi."Ya sudah itu dulu, Dek. Kau bantu Mas Hasan untuk meyakinkan Ibu agar beliau mau menikah dengan pak Hendi dengan begitu kemungkinan Mbak Dinda untuk bisa kembali ke rumah ini akan sangat besar. Mas Hasan sudah lelah jika terus-terusan bertengkar, banyak masalah di rumah ini, Dek. Mbak Dinda selalu minta untuk pindah ke rumah sendiri, meskipun hanya mengontrak. Sedangkan sekarang Mas Hasan Jujur saja sudah tak memiliki alasan lain untuk menolak Mbak Dinda karena perilaku ibu sendiri yang terang-terangan menggadaikan mobil Mbak Dinda tanpa izin. Hal itu juga membuat tingkat kepercayaan orang tua Mbak Dinda ke Mas Hasan langsung jatuh seketika," jelas Hasan."Bahkan orang tuanya menginginkan Mas Hasan untuk pisah rumah saja. Jika tidak begitu maka kemungkinan kecil Mbak Dinda bisa diizinkan ke sini lagi. Soalnya Mas Hasan harus berpisah dengan Mbak Di
MENGHADAPI WANITAIfah pun menganggukkan kepalanya setuju. Hasan keluar kamar Ifah dan menutup pintunya membiarkan Ifah beristirahat. Ting satu pesan masuk di HP Hasan.[Mas bisakah kita bertemu? Aku rindu]Hasan terdiam melihat semua pesan di wa-nya itu. Dia tak mengira wanita itu makin ke sini makin berani saja. Padahal Hasan sudah berkali-kali memblokir wa-nya. Tapi dia pantang menyerah dan tetap mencari wa baru mengganti nomornya dan tetap berusaha menghubungi Hasan. Jika terus-terusan begini dan dibiarkan maka akan terjadi kesalahpahaman dan mengancam rumah tangganya. Tapi di sisi lain dan itu juga tak ingin jika istrinya tahu dan akan menjadi beban pikiran untuknya."Astagfirulloh," batin Hasan mengusap wajahnya dengan kasar.[Jangan seperti itu lagi. Aku sudah memiliki istri dan rumah tangga. Kau pun carilah yang lain tak akan baik jika dibaca istriku][Aku masih mencintaimu, Mas. Sungguh mencintaimu, rasanya aku juga menyesal, mengapa dulu memilih untuk berpisah denganmu. Ap
APA KEGUGURAN LAGI? INNALILLAHI!"Loh kenapa kau harus ragu? Jika memang kita menikah kau bisa memutuskan untuk tinggal di rumahku sendiri. Sedangkan aku setiap malam tetap bisa di rumahku, toh nanti kita bisa saling menginap sesekali, tak ada yang perlu dikhawatirkan kan?" tanya pak Hendi."Ya memang sih, tapi bagaimana yo, Mas. Aku masih ragu," kata bu Nafis."Apalagi yang membuatmu ragu, Nafis? Tak usahlah kau ragu. Hapus saja semua keraguanmu itu bersumber dari setan. Apalagi ini niat baik menurutku, bukankah niat baik harus disegerakan daripada begini terus? Apa kau tak lelah semua warga terlalu sering selalu bertanya padaku kapan kita menikah? Kapan kita menikah? Sedangkan mereka semua tahu tentang masa lalu kita," kata Pak Hendi."Sudahlah Nafis, sudahi semua ini. Mari menikah denganku, lalu kita membuat hidup baru untuk anak dan cucu," pinta pak Hendi lagi. Bu Nafis hanya bisa menghela nafas panjang. Ingin rasanya menolak tetapi dia juga tak berani."Nafis, apalagi yang kau p
PERJANJIAN TERSEMBUNYI YANG DI BUKA KAN!"Benarkah itu, San?" tanya tanya Bu Nafis meminta penjelasan Hasan. Lelaki di hadapannya itu pun menghela napasnya panjang dan menganggukkan kepalanya."Benar-benar ya aku tak menyangka lho, gugur lagi? Astagfirulloh, Dan. Sebenarnya dia itu benar-benar tak becus ya menjaga anaknya," sindir Bu Nafis."Bu hentikan! Ini semua bukan salah Dinda, Bu. Aku mohon, Ibu juga harus intropeksi diri sendiri. Ini salah Ibu juga, kenapa Ibu membuatnya stress dan pikirannya menjadi tinggi? Lalu sekarang Ibu menyalahkan Dinda juga untuk semua kesalahan ini," sanggah Hasan."Lah kau ini semua salah Ibu, kenapa kau sekarang menyalahkan Ibu? Kok ini jadi anak benar-benar ya tak tahu diri aku mau istrimu jelas-jelas tak becus menjaga anakmu tapi sekarang kok justru menyalahkan Ibu. Sebenarnya di mana otakmu, Hasan!" bentak Bu Hera."Ibu berkata begitu jika Ibu tidak menyebabkan Dinda keguguran, maka Hasan tak masalah, Bu. Hasan terima, tapi masalahnya ini semua pe