“Nduk? Apa kau yakin tak sedang menangis?” tanya papa Dinda.
“Tidak Pah, mungkin speaker Dinda bermasalah, tumben Papa telpon pagi sekali?” tanya Dinda mengalihkan pembicaraan.“Entah kenapa hati Papa tak tenang sejak semalam, teringat padamu! Apa sekarang kau baik-baik saja? Bagaimana perlakuan Hasan dan keluarganya?” tanya Papa Dinda.“Dinda baik-baik saja kok Pa, jadi Papa tak perlu khawatir,” jawab Dinda.“Baik, kabari Papa jika mereka memperlakukanmu dengan buruk! Ya walaupun Papa tak setuju kau menikah dengan Hasan tetapi kau harus ingat di sana ikut dengan mertua! Jaga sikap dan bicaramu, ingatlah kau bukan sedang di rumah sendiri, jangan menyamakan keadaan di sana seperti rumah sendiri, ujar papa Dinda.“Dinda selalu ingat pesan Papa,” jawab Dinda.“Jangan lupa makan dan jaga kesehatan, ! Assalamualaikum,” kata papa Dinda.‘Tut’ telpon terputus, Dinda mendekap erat Hpnya. Air mata yang sedari tadi di tahannya jatuh lagi, mengapa pernikahan yang di impikannya menjadi seperti ini. Jauh berbeda dengan apa yang di bayangkan Dinda. Kehidupannya yang nyaman saat masih tinggal bersama keluarganya kini berubah seratus delapan puluh derajat ketika dia di boyong suami.“Siapa yang telpon Dek?” tanya Hasan yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamar.“Oh em itu Bos Dinda dulu Mas,” jawab Dinda sedikit gelagapan.Dinda takut Hasan curiga. Karena selama ini Hasan belum mengetahui sejatinya siapa Dinda. Mereka menikah dengan ta’aruf atau perjodohan dari saudara jauh masing-masing. Pernikahan tertutup rapat hanya di hadiri keluarga inti dan di lakukan di masjid dekat perumahan Dinda.Ini dikarenakan Papa menentang konsep taaruf yang di lakukan oleh Dinda dan Hasan. Bukan karena taarufnya yang salah tetapi Papa Dinda sudah menyebar informan untuk menyelidiki latar belakang keluarga Hasan sebelumnya. Memang Hasan lelaki baik, tapi tidak dengan ibunya yang gemar memosting semua di media sosial bersama oara gengnya.Apalagi saat akad akan berlangsung, ibu Hasan berseloroh merendahkan keluarga mereka. Hal itu karena keluarga besar Dinda yang mengutamakan kesederhanaan. Sedangkan keluarga Hasan memandang semua dari harta.
Masih jelas di ingatan Dinda bagaimana bu Nafis mengatakan
"Halah dapat besan semua kok miskin! Ndak ada yang memakai perhiasan," seloroh ibu Nafis saat akad akan di mulai.
Hampir saja Papa Dinda membatalkan akad pagi itu. Tetapi Dinda merayu papanya agar tetap merestui pernikahan mereka. Karena Dinda telah jatuh hati pada pandangan pertama akan kesantunan dan kesopanan Hasan dalam bertutur kata. Dengan terpaksa Papa Dinda setuju dengan syarat Dinda tak menunjukkan identitas asli keluarganya.
“Bosmu? Lalu mengapa kau menangis Dek?” tanya Hasan heran.“Dinda terharu Mas, walaupun Dinda sudah tak bekerja di sana tetapi masih memiliki Bos perhatian,” jawab Dinda.“Ingat Dek jangan pernah berfikir bekerja lagi, tugas istri melayani suaminya, kamu itu tulang rusuk, bukan tulang punggung! Mengerti?” tanya Hasan.Dinda mengangguk, dia tahu sebenarnya suaminya orang baik. Tetapi kadang kala dia di hadapkan pada kondisi dan pilihan sulit saat menghadapi Dinda dan Ibunya.“Mas, maafkan Dinda,” ujar Dinda.“Kenapa kau meminta maaf Dek? Harusnya Mas yang meminta maaf karena tadi meninggalkanmu sendiri untuk mengejar Ibu!” Hasan berjalan menuju Dinda dan memeluk istrinya.“Maafkan jika bakti Mas pada Ibu terlalu berlebihan, maafkan Mas yang kadang masih lupa untuk memuliakanmu sebagai istri, terkadang Mas di posisi sulit berada diantara Istri dan Ibu! Maafkan Mas yang kadang masih berlaku dzolim padamu karena terlalu mementingkan Ibu,” sambung Hasan.Dengan perlahan Dinda melepaskan pelukan suaminya, dia mengelus tangan Hasan.“Memang benar Mas, seorang anak harus berbakti kepada orang tua apalagi Ibu, tetapi jangan sampai bakti itu menjadikan lupa kewajiban seorang suami untuk memenuhi hak istrinya,” ucap Dinda.“Ingat Mas, kebaktian yang di bangun di atas kedzoliman itu namanya tetap dzolim bukan bakti! Mungkin Mas pikir doa seorang Ibu lebih mustajab, memang itu benar! Tetapi Mas lupa bahwa doa orang yang di dzolimi lebih mustajab lagi, jadi hendaknya Mas lebih bijak,” ujar Dinda.Hasan menganggukkan kepala sambil mencium tangan Dinda.“Tegur Mas jika salah Dek, kita masih dalam proses mengenal satu sama lain, jadi Mas harap kau maklum dan mahfum terhadap keluargaku Dek,” pinta Hasan.“Begitupun Dinda Mas, sebagai seorang istri tentu Dinda tak luput dari salah! Mungkin Dinda yang harus berusaha lebih lagi agar bisa mendapatkan hati Ibu,” kata Dinda.“Dek, bisakah kali ini Mas memintamu untuk datang meminta maaf ke Ibu?" tanya Hasan.“Bukankah jelas Ibu yang salah paham dan mengatakan aku mandul?” tanya Dinda.“Ya aku tahu, tapi tak ada salahnya kan Dek sebagai anak kita inisiatif dahulu, toh meminta maaf bukan berarti kalah, Ayok! Sekali ini saja Dek, demi Mas,” ajak Hasan menggandeng tangan istrinya.Dinda hanya mampu menurut semua perkataan dan ajakan suaminya. Sesampainya di kamar, ibu Nafis masih tidur dengan posisi membelakangi mereka.“Bu, ini Dinda datang ingin meminta maaf,” ujar Hasan.Ibu Nafis tak bergeming. Mereka berdua mendekatinya, Dinda mengelus tangan ibu mertuanya.“Maafkan Dinda Bu, jika perkataan Dinda semalam menyinggung hati dan perasaan Ibu, maafkan...” bisik Dinda lirih.“Bu, sudahlah! Dinda sudah datang dan meminta maaf untuk memperbaiki semuanya,” bujuk Hasan.Bu Nafis bangun dari tempat tidur dan duduk. Dia menangis sesegukan sambil memeluk Dinda.“Maafkan Ibu ya Din, maafkan Ibu jika banyak salah denganmu mengatakan kau mandul! Ibu lakukan ini semua demi kebaikanmu,” dengan terisak bu Nafis mengatakannya.Mendengar hal itu Dinda trenyuh, dia membalas pelukan ibu mertuanya. Menurunkan sedikit ego demi bisa berbaikan dengan mertuanya bukanlah ide buruk. Hasan tersenyum melihat dua wanita yang di sayanginya saling berpelukan.“Dek pagi ini Mas akan pergi bertemu orang IMS perusahaan kereta yang ingin mengadakan kerja sama dengan perusahaan terkait suplai Minyak dan batu bara, kau tak apa tinggal di rumah? Ibu masih mengantar makanan di rumah sakit,” kata Hasan.“Pergilah Mas jangan khawatir,” jawab Dinda.Tak masalah berada di rumah sendiri, justru Dinda menantikan saat itu tiba. Bisa mengatur keluarga kecil dengan suami dan anak mereka nanti. Membayangkan hal itu saja Dinda sudah bahagia.“Dinda... Din! Bantu Ibu!” teriak bu Nafis dari luar.Dinda segera keluar, dia melihat ibu mertuanya yang kerepotan. Kresek dan kardus belanjaan memenuhi stang motor sampai jok belakang.“Ibu baru belanja? Mengapa tak mengajak Dinda naik mobil saja jika bawaannya sebanyak ini?” kata Dinda.“Halah menyuruhmu akan tambah lama, kau kan lelet karena keberatan membawa badan,” celetuk bu Nafis.‘Ces’ sakit hati Dinda mendengar perkataan mertuanya. Baru saja mereka berbaikan belum ada dua puluh empat jam tetapi mulut jahatnya berulah lagi.“Eh Dinda mending kau diet deh, jangan-jangan kau tak bisa hamil karena terlalu gemuk sehingga lemakmu menutupi rahim,” seloroh bu Nafis.Dinda diam dan memilih membawa masuk barang belanjaan dari pada menanggapinya.“Bu, ini belanjaan taruh mana?” tanya Dinda sambil membawa barang belanjaan terakhir di tangan.“Taruh sana saja, nanti Ibu tata sendiri!” perintah Ibu mertuanya.Dinda kembali ke kamar, menyelesaikan pekerjaannya mulai menyetrika sampai mengecek data laporan keuangan perusahaan papanya sampai malam tiba.“Assalamualaikum,” suara Hasan dari luar rumah tanda dia baru pulang bekerja.Secepat kilat dinda langsung mematikan laptop agar Hasan tak mengetahui semua rahasianya.“Kau sedang apa Dek kok di kamar? Tak membantu Ibu di dapur?” tanya Hasan.“Hah? Em... Itu Mas, sedang menyetrika baju, baru saja selesai, memang Ibu sibuk Mas?”“Tuh lagi bungkus madumongso produk UMKM andalan PKK, katanya tadi sudah meminta bantuanmu tapi kau tak mau membantu,” ujar Hasan.“Astagfirulloh Mas, dari tadi Dinda berada di kamar sekalipun Ibu tak pernah memanggil Dinda untuk meminta tolong,” jelas Dinda yang tak terima tuduhan Hasan.“Sudahlah Dek, bantu Ibu sana!” perintah Hasan.Dinda berjalan ke dapur, bu Nafis terlihat sedang membungkus madumongso di kertas warna- warni.“Buk, sini Dinda bantu,” tawar Dinda.Bu Nafis tak menjawab. Dia hanya diam sambil terus memasukkan madumongso buatannya. Dinda duduk di samping bu Nafis.“Mengapa Ibu sepertinya kesal begitu?” tanya Dinda pelan.“Tuh Bu Damar tadi ke warung Ibu, pas Ibu di sana, dia pamer anak perempuannya sekarang jadi PNS baru diangkat dapat SK dari pemerintah kota,” kata Bu Nafis.“Lalu apa yang salah Bu?” tanya Dinda.“Ya secara tak langsung dia itu ngenyek (menghina) Ibu, dapet mantu pengangguran, padahal dulu anaknya Damar suka sama Hasan tetapi di tolak eh sekarang dia jadi PNS terus Si Hasan dapetnya kamu pengangguran,” sambung bu Nafis.Dinda menghela nafasnya panjang mengatur semua emosinya agar stabil dan tak terpancing dengan ucapan mertua.“Memang kalau menantu PNS ibu bangga?” tanya Dinda.“Yo bangga! Jadi pas kumpul acara apapun bisa cerita oh itu mantu saya PNS, mantu saya kerja di sini, lah ini kamu nganggur apa yang bisa ibu banggakan? Bayangkan enaknya punya anak mantu gajian bilang ini di tas dan sepatu buat Ibu,” jelas bu Nafis.“Kalau hanya untuk membeli sepatu dan tas Dinda juga bisa kok Bu, memang Ibu pengen sepatu yang kayak gimana to?” tanya Dinda.“Halah wong kamu duit juga dapet dari Hasan sok-sok an mau belikan! Ibu pengennya beli di Matahari sana yang ber- merk! Bukan di online ndak jelas,” jawab bu Nafis.“Iya, nanti Dinda belikan ya Bu,” ujar Dinda.“Heleh- heleh wong bajumu saja gimblik (jelek seperti itu) dari pada kamu membelikan Ibu mending beli sendiri agar Ibu tak malu jika jalan denganmu! Lanjutkan Ibu mau panggil Hasan!” bu Nafis berdiri meninggalkan Dinda yang terdiam.“Hasan...San!” teriak bu Nafis.“Ada apa to Bu?” tanya Hasan.“Sttttt! Diam jangan berisik, Sini!” perintah bu Nafis sambil menengok ke kanan dan kiri memastikan bahwa Dinda tak melihat mereka.“Lihat ini kau masih ingat siapa dia?” tanya bu Nafis menyodorkan layar Hpnya.“Memang siapa dia Bu?”“Ah rupanya kau lupa, memang seragam PNS ini membuat orang tambah cantik! Ini anaknya Bu Damar temen PKK ibu, kau ingat kan? Bagaimana kalau kau menikahi dia, dia sudah bekerja jadi PNS! Kau tahu sampai detik ini dia masih mencintaimu,” bisik bu Nafis.“Astagfirulloh Ibu,”“Kau lupa? Surga seorang lelaki meskipun sudah menikah tetap berada di bawah telapak kaki Ibunya Hasan!” bentak bu Nafis.“Tapi Bu....”BERSAMBUNG“Tapi Bu, aku sudah menikah dengan Dinda! Tak mungkin Hasan tega menduakannya,” jelas Hasan. “Siapa suruh kau memilih Dinda? Dia bukan selera Ibu!” bentak Bu Nafis. “Bukankah Ibu dulu juga merestui? Bahkan Ibu yang menyuruh Hasan cepat menikahi Dinda,” “Ya karena Ibu dulu salah sangka, rumah gedong itu Ibu pikir milik Dinda ternyata bukan, apalagi Ibu kira Dinda dulu tetap kerja nyatanya keluar, kesini hanya bawa mobil buntut!” jelas bu Nafis. “Hasan Bu yang melarangnya bekerja,” “Sudah-sudah, selera Ibu punya mantu PNS seperti ini, bagaimana mau kan?” bujuk bu Nafis. “Istigfar Bu!” perintah Hasan sambil meninggalkan ibunya. Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, jam di mana Dinda selalu bangun untuk sholat tahajud. ‘Tring...tring’ notif alarm HP Hasan berbunyi berkali kali. Dinda menoleh, dia melihat Hasan masih tertidur lelap, pasti dia lelah setelah pulang bekerja harus membantu Dinda mengemasi madumongso jualan bu Nafis. Dinda sudah melarangnya tetapi Hasan ingin membant
MENANTU ATAU MERTUA DAKJAL? “Hey Mantu Dakjal kau ya! Berani membentak Ibu Mertuamu sendiri!” teriak Ibu- ibu berbaju kolaborasi macan dan jilbab zebra. “Lihatkan, kalian bisa lihat sendiri sekarang, aku tak mengada- ada ya memang begitulah Dinda menantuku ini, huhuhu” isak bu Nafis. Dinda begitu muak melihat kelakuan Ibu mertuanya. “Dinda, maafkan Ibu Nak! Maafkan Ibu,” ujar bu Nafis dengan acting menangis. “Bu! Hentikan! Mengapa Ibu bersandiwara?” tanya Dinda berjalan mendekat menuju ibu mertuanya. “Heh berhenti menantu Dakjal! Tak akan ku biarkan kau menyiksa anggota- ku! Sini lawan aku!” tantang ibu- ibu lain. “Apa yang sebenarnya Ibu katakana pada mereka? Mengapa mereka begitu membenciku padahal sama sekali aku tak mengenal mereka!” seru Dinda. “Heh Dakjal!” seru ibu- ibu baju macan. “Namaku Dinda! Dasar norak baju corak kebun binatang!” sanggah Dinda tak kalah lantang. “Namaku Ibu Ningsih bukan kebun binatang! Bagaimana kami tak membenci menantu modelan seperti dirimu!
"Waalaikumsalam Dek, tumben telpon jam segini ada apa?" tanya Hasan heran.Tak biasanya Dinda menelpon di jam kerja. Mengapa suara Dinda serak dan parau? Ah pastilah dia bertengkar lagi dengan ibunya. Hasan menarik nafas panjang."Kau kenapa Dek?" Hasan mengulangi pertanyaannya lagi."Huhuhu, Mas marilah kita pindah, apa aku saja yang ngekos jika Mas keberatan pindah! Dinda tak masalah kok Mas asal tak tinggal satu atap dengan ibu lagi, dulu aku juga terbiasa hidup sendiri di Kos," dengan terbata- bata Dinda menyampaikannya."Kenapa lagi dengan Ibu, Dek? Apa kau tadi sudah membelikan Ibu hadiah atau roti, bagaimana belanjamu?" Hasan masih terus mencoba mengalihkan pembicaraan Dinda."Mas, tolonglah Dinda, rasanya Dinda tak kuat lagi sekarang... huhuhu" isak tangis Dinda makin menjadi."Tunggulah," ujar Hasan mematikan telpon tanpa mengucapkan salam.Hasan segera mengambil kunci mobil dan bergegas pulang."Her aku izin keluar sebentar ya, jika ada yang mencariku katakan suruh tunggu sa
“Apa maksud ini semua Dek?” tanya Hasan sambil menyerahkan kertas bukti struk pembelanjaan. “Kau lebih peduli pada struk itu Mas dari pada keadaan Istrimu sendiri?” tatap Dinda setengah tak percaya mendapati suaminya melakukan hal ini. Dinda pikir Hasan datang akan menenangkannya. Sebelumnya Dinda begitu bangga saat Hasan membela dirinya di hadapan ibu- ibu geng mertua. Lagi dia ternyata terlalu berharap pada Hasan. “Bukan itu maksudku,” Hasan menoleh sekelilingnya. Semua mata ibu- ibu menuju ke arahnya dan Dinda. Tak baik rasanya jika menanyakan masalah keuangan saat ini. “Maafkan aku, mari kita keluar dan menyelesaikan semuanya Dek! Agar tak ada kesalapahaman lagi, tenanglah Mas akan berada di posisimu selama kau benar,” ucap Hasan menenangkan perasaan Dinda. Dinda mengangguk patuh. Dia keluar dengan mengandeng lengan suaminya. Bukan untuk memamerkan kemesraan tetapi mencari sumber kekuatan. “Baiklah Ibu- ibu mari kita duduk dulu,” perintah Hasan. Mereka semua duduk melingkar
"Oh, itu ini, em Mas uang Dinda," jawab Dinda dengan gugup dan terbata- bata."Iya Mas Hasan tahu Dek itu uangmu, tapi yang Mas Hasan pertanyaka dari mana Dinda mendapatkan uang itu?" tanya Hasan sekali lagi."Kan dari jatah bulanan yang Mas Hasan berikan selama ini," ujar Dinda."Dek, Mas bukanlah orang yang kaya sehingga mampu memberikanmu uang puluhan juta dalam satu bulan, Mas hanya bisa memberikanmu uang satu juta rupiah perbulan, kita menikah baru dua bulan itu artinya hanya dua juta rupiah, di tambah dua ratus ribu yang Mas berikan tadi pagi totalnya jadi dua juta dua ratus ribu rupiah, sedangkan nota belanjamu berapa Dek? Empat juta tujuh ratus ribu Dek," kata Hasan.Dia menghela nafas panjang."Dek Mas hanya ingin kejujuranmu," sambung Hasan."Jangan takut Mas, uang itu halal, selama ini Dinda bekerja, maafkan Dinda yang tak jujur pada Mas Hasan," jawab Dinda sambil menunduk."Kerja? Kau kerja apa Dek?" Hasan bingung selama ini Dinda selalu di rumah tak pernah keluar tanpa i
"Tenanglah aku pernah ada di posisimu, kita sama- sama menantu di keluarga ini," kata Eva.Dinda menatap iparnya dengan pandangan heran."Makan dengan lauk sisa, hanya Ifah dan suami yang makan lauk enak, selalu di katakan benalu, mandul, pemalas, benar bukan? Ibarat makan aku sudah terlalu kenyang mengalami hal itu," ucap Eva agar Dinda yakin."Stttt! Belum selesai ketika teman- teman gengnya berkumpul selalu menjadi mertua terbaik, memperlakukan menantu spesial, dan lagi kita adalah menantu durhaka! Hahaha," tawa Eva membahana.'Prok... Prok...' Dinda bertepuk tangan."Hebat banget Mbak Eva bisa tahu, apakah ini artinya kita akan jadi Bestie?" tanya Dinda."Tentu, aku lima tahun hidup dengan Ibu Nafis mertuamu itu," ucap Eva."Mbak tolong! Please, mertuaku itu juga mertuamu," sanggah Dinda."Hahahaha, kalau bisa kau ambil aja! Pengen ku tukar tambah mertua tapi anaknya baik, gimana dong?" Kata Eva sambil menutup bagasi mobil tua milik Hasan yang selama ini di pinjamnya."Sudah nanti
"Aku... Aku tak merasa mengatakan sesuatu Mas," jawab Dinda tergagap."Yakin? Jangan samapi penialaian Mas Zain terhadapmu berubah ya!" ancam Zain.Dinda mengangguk pelan. Untung Eva datang dari belakang sambil membawa ember air dan kain pel. Dia heran mengapa suaminya duduk berhadapan dengan Dinda. Dia yakin pasti ada sesuatu yang tak beres."Ada apa ini? Masih sore lo masak iya sudah mau mengadakan acara rapat musyawarah mufakat?" ledek Eva."Bukan begitu Mi, ini lo Ibu di kamar nangis- nangis bercerita jika Dinda mengoloknya dengan kata- kata yang tak pantas lah pokoknya di sebutkan," jawab Zain.Eva melanjutkan kegiatannya mengepel lantai. Sedangkan Dinda hanya mampu duduk terdiam memandang ke lantai bawah."Halah sampean (kamu) itu kayak ndak hapal sama kelakuan Ibumu to Bi, bukannya apa- apa kalau seperti ini Abi yang salah! Dinda ini baru dalam keluarga sini, wajar kalau salah! Tapi Abi tak berhak langsung menghakiminya layaknya tersangka begitu, bagaimanapun Abi harus mengharg
"Iya Bu!" teriak Dinda kencang dan berlari.Dinda tergopoh- gopoh berlari meninggalkan cucian piring kotornya yang belum selesai di cuci. Dia seger berlari ke arah suara itu."Ada apa Bu?" tanya Dinda.Tak lama Mbak Eva juga keluar dari kamar dengan menggunakan jilbab yang asal- asalan terkejut dengan teriakan Ibu mertuanya."Kau itu benar- benar ya Din! Bodoh ndak ketulungan! Mengapa kau tak sesekali menggunakan otakmu agar bermanfaat!" teriak bu Nafis.Dinda masih plonga- plongo, dia tak mengetahui apa kesalahan yang telah dia perbuat. Dia memandang sekeliling ruang tamu masih rapi."Lolak lolok (tampang bodoh) kau masih tak mengerti apa salahmu?" bentak bu Nafis.Dinda menggelengkan kepalanya."Bodoh!" hardik bu Nafis."Astagfirulloh Bu! Mbok Njenengan nyebut (kamu istigfar), ada Fikri cucu Ibu lo, kok bahasanya seperti itu, tak baik! Bagaimana kalau Fikri menirukan ucapan Ibu?" tegur Eva.Fikri yang berdiri di depan Uti (panggilan untuk nenek singkatan dari Eyang Putri) hanya diam
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."