“Tapi Bu, aku sudah menikah dengan Dinda! Tak mungkin Hasan tega menduakannya,” jelas Hasan.
“Siapa suruh kau memilih Dinda? Dia bukan selera Ibu!” bentak Bu Nafis.
“Bukankah Ibu dulu juga merestui? Bahkan Ibu yang menyuruh Hasan cepat menikahi Dinda,”
“Ya karena Ibu dulu salah sangka, rumah gedong itu Ibu pikir milik Dinda ternyata bukan, apalagi Ibu kira Dinda dulu tetap kerja nyatanya keluar, kesini hanya bawa mobil buntut!” jelas bu Nafis.
“Hasan Bu yang melarangnya bekerja,”
“Sudah-sudah, selera Ibu punya mantu PNS seperti ini, bagaimana mau kan?” bujuk bu Nafis.
“Istigfar Bu!” perintah Hasan sambil meninggalkan ibunya.
Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, jam di mana Dinda selalu bangun untuk sholat tahajud.
‘Tring...tring’ notif alarm HP Hasan berbunyi berkali kali.
Dinda menoleh, dia melihat Hasan masih tertidur lelap, pasti dia lelah setelah pulang bekerja harus membantu Dinda mengemasi madumongso jualan bu Nafis. Dinda sudah melarangnya tetapi Hasan ingin membantu agar pekerjaan itu cepat selesai.
“Oh rupanya hari ini Ibu berulang tahun, mungkin aku harus membelikan Ibu sepatu dan tas sesuai dengan permintaannya,” gumam Dinda sambil mematikan notif alarm di HP Hasan.
Setelah selesai tahajud dan tilawah Dinda membangunkan suaminya untuk bersiap sholat subuh.
“Mas hari ini Ibu ulang tahun ya?” tanya Dinda.
“Tanggal berapa Dek ini?”
“Tuh tanggal lima April,” sahut Dinda.
“Astagfirulloh Mas lupa, benar hari ini Dek! Untung kau mengingatkannya,” ujar Hasan.
“Hehehe, sebenarnya tadi alarm HP Mas berbunyi, terus notifikasinya tulisan ulang tahun Ibu, begitu,” jawab Dinda dengan senyum cengengesan.
“Dek, Mas transfer uang dua ratus ribu belikanlah kue dan kado untuk Ibu ya, apa cukup?” tanya Hasan.
“Insyaallah cukup Mas, toh uang belanja dari Mas juga masih! Mas kan selalu memberi Dinda uang satu juta setiap bulan, sedangkan untuk makan dan lain-lain Dinda tak pernah keluar uang,” jelas Dinda.
“Jangan Dek! Itu uang nafkah yang Mas berikan untukmu! Gunakanlah itu untuk mencukupi kebutuhanmu sendiri, maafkan Mas ya belum bisa memberi nafkah dengan jumlah lebih banyak,” ujar Hasan sambil mencium kepala Dinda.
“Amin, Dinda sangat bersyukur memiliki suami seperti Mas, jangan pernah berubah ya,” pinta Dinda mengeratkan pelukannya.
Mereka segera melakukan sholat subuh berjamaah. Setelah sholat Dinda langsung keluar kamar untuk memulai rutinitas pekerjaan rumahnya. Dulu saat belum menikah semua pekerjaan seperti ini di lakukan oleh pembantu rumah Dinda, sekarang setelah menikah dan ikut suami Dinda harus belajar mencuci, bersih-bersih, dan kegiatan rumah tangga lainnya. Jika tidak tentulah mertuanya akan memakinya sepanjang hari.
“Bu, Ifah belum bangun?” tanya Dinda.
“Baru tidur! Dia kan sekolah masuk sore! Pagi juga harus endors barang, jangan samakan adik iparmu dengan dirimu,” jawab sengit bu Nafis.
Dengan cekatan Dinda langsung menyapu dapur dan mencuci piring dari pada menanggapi perkataan ibunya.
“Bu hari ini Dinda mau keluar, apa Ibu mau diantar sekalian ke Rumah Sakit? Kita kan bisa naik mobil,” tawar Dinda.
“Tak usah, nanti bensin habis Ibu suruh belikan lagi, tak naik motor saja!” tolak bu Nafis.
“Astagfirulloh Bu, ketimbang bensin Dinda juga ada uang untuk membelinya,” sahut Dinda.
“Itu bukan uangmu, itu duit Hasan anakku!’ sanggah bu Nafis.
Dinda langsung pergi meninggalkan mertuanya, bisa gila lama-lama dia bertahan di sana. Dinda segera berganti baju, dia bercermin di lemari.
“Pantas saja Ibu sering mengatakan bajuku lusuh, wong selama dua bulan ini aku memakai baju itu-itu saja! Cuci kering pakai, apalagi ketika boyongan ke sini kemarin aku hanya membawa beberapa potong baju, sepertinya aku harus membeli baju juga,” gumam Dinda dalam hati.
“Kebiasaan sering bicara sendiri!” tegur Hasan.
“Eh Mas Hasan, ini nih Mas baju Dinda sudah lusuh, pantas Ibu menyuruh membeli baju, apakah Dinda boleh membeli baju Mas?” izin Dinda.
“Belilah Dek, dengan uang bulananmu, apa kurang? Tadi Mas sudah transfer untuk beli roti dan hadiah untuk Ibu nanti,” jelas Hasan.
“Tidak Mas, lebih dari cukup! Yuk sarapan, Mas kan segera harus ke kantor, Ibu masak pecel Madiun endull sekali!” ajak Dinda.
Ya saat ini Dinda sadar penghasilan Hasan tidaklah banyak. Gaji Hasan hanya sekitar empat juta sampai enam juta perbulan. Dinda mendapatkan jatah satu juta, bu Nafis dua juta, satu juta untuk tabungan bersama, sisanya untuk keperluan Hasan. Pendapatan itu tentu kurang untuk mencukupi biaya hidup satu keluarga apalagi gaya hedon bu Nafis dengan geng-gengnya.
“Mas berangkat ya Dek, kau juga berangkat?” tanya Hasan.
Dinda mengangguk lalu mencium takzim tangan suaminya.
“Semangat ya Mas kerjanya, semoga berkah dan lancar rezekinya,” ujar Dinda tulus mendoakan.
Hasan masuk mobil dan melaju ke kantornya.
“Bu? Yakin tak mau bareng dengan Dinda?” tawar Dinda sekali lagi.
“Pergilah, Ibu nanti saja!”
Dinda segera pergi ke salah satu bakery terkenal di kota ini. Jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, Dinda pergi ke departemen store tersbesar di kotanya. Membeli beberapa baju untuk dirinya sendiri, sebuah tas dan sepatu senam untuk ibu mertuanya.
“Semua totalnya empat juta tujuh ratus ribu rupiah, Bu,” ujar kasir.
Tak perlu waktu lama Dinda membayar semua belanjaannya, jika di pikir lucu bukan? Uang nafkah yang di berikan Hasan selama dua bulan di tambah uang transferan tadi hanya bisa menutup separo tagihan belanja Dinda.
“Tak apalah, memang Mas Hasan saat ini sedang merintis semua wajar jika pendapatanku jauh lebih besar dari dia, yang penting dia selalu berada di pihakku! Walaupun terkadang terpaksa memilih Ibunya” kata Dinda dalam hati.
Saat pulang, Dinda mendapati rumah sudah ramai. Jantungnya berdetak keras takut ada apa-apa dengan mertuanya.
“Assalamualaikum! Ibuk!” teriak Dinda begitu turun dari mobil.
Dia langsung berlari menuju rumah yang terbuka pintunya, betapa terkejutnya Dinda melihat keadaan ruang tamu yang mendadak menjadi tempat pesta. Mereka mengadakan liwetan di ruang tamu.
“Kenapa sih Dinda kau berteriak?” tanya bu Nafis.
“Astagfirulloh Ibu, Dinda panik kenapa rumah ramai orang, Dinda pikir ibu kenapa-kenapa,” ujar Dinda.
“Itu ya Jeng mantunya?” tanya seorang ibu-ibu memakai baju motif macan dengan jilbab corak zebra.
“Eh..Oh iya Jeng,” jawab bu Nafis tergagap.
“Duh seleranya Hasan, masak menolak Nanda yang PNS demi wanita ini Bu? Mending kalau cantik wong ya sama saja secara fisik sama Nanda, malah menang Nanda ya Jeng karena dia PNS!” kata Ibu itu.
“Nanda?” tanya Dinda bingung.
Siapa Nanda? Mengapa orang-orang membandingkannya.
“Itukan selera Hasan Bu, bukan selera saya! Taulah mungkin di pelet mau sama dia!” sanggah bu Nafis.
“Pelet? Apa maksudnya Bu? Siapa Nanda itu?” tanya Dinda benar-benar bingung.
“Ih amit-amit ya Jeng sudahlah tak cantik fisik, hatinya juga busuk! Jeng Nafis ini sabar sekali lo ya jadi mertua, kalau saya punya menantu seperti itu sudah saya suruh cerai anaknya!” kata seorang ibu-ibu di pojokkan.
“Bener Jeng, apalagi sampai menyiksa ibu mertuanya! Eh Mbak sampean mbok sadar diri, sudahlah numpang kelakuan masih begitu! Inget Mbak bagaimanapun juga Bu Nafis itu mertuamu! Dia orang tua yang harus di hargai!”
“IBU! APA YANG IBU KATAKAN PADA MEREKA!” teriak Dinda yang sudah habis kesabarannya.
BERSAMBUNG.
MENANTU ATAU MERTUA DAKJAL? “Hey Mantu Dakjal kau ya! Berani membentak Ibu Mertuamu sendiri!” teriak Ibu- ibu berbaju kolaborasi macan dan jilbab zebra. “Lihatkan, kalian bisa lihat sendiri sekarang, aku tak mengada- ada ya memang begitulah Dinda menantuku ini, huhuhu” isak bu Nafis. Dinda begitu muak melihat kelakuan Ibu mertuanya. “Dinda, maafkan Ibu Nak! Maafkan Ibu,” ujar bu Nafis dengan acting menangis. “Bu! Hentikan! Mengapa Ibu bersandiwara?” tanya Dinda berjalan mendekat menuju ibu mertuanya. “Heh berhenti menantu Dakjal! Tak akan ku biarkan kau menyiksa anggota- ku! Sini lawan aku!” tantang ibu- ibu lain. “Apa yang sebenarnya Ibu katakana pada mereka? Mengapa mereka begitu membenciku padahal sama sekali aku tak mengenal mereka!” seru Dinda. “Heh Dakjal!” seru ibu- ibu baju macan. “Namaku Dinda! Dasar norak baju corak kebun binatang!” sanggah Dinda tak kalah lantang. “Namaku Ibu Ningsih bukan kebun binatang! Bagaimana kami tak membenci menantu modelan seperti dirimu!
"Waalaikumsalam Dek, tumben telpon jam segini ada apa?" tanya Hasan heran.Tak biasanya Dinda menelpon di jam kerja. Mengapa suara Dinda serak dan parau? Ah pastilah dia bertengkar lagi dengan ibunya. Hasan menarik nafas panjang."Kau kenapa Dek?" Hasan mengulangi pertanyaannya lagi."Huhuhu, Mas marilah kita pindah, apa aku saja yang ngekos jika Mas keberatan pindah! Dinda tak masalah kok Mas asal tak tinggal satu atap dengan ibu lagi, dulu aku juga terbiasa hidup sendiri di Kos," dengan terbata- bata Dinda menyampaikannya."Kenapa lagi dengan Ibu, Dek? Apa kau tadi sudah membelikan Ibu hadiah atau roti, bagaimana belanjamu?" Hasan masih terus mencoba mengalihkan pembicaraan Dinda."Mas, tolonglah Dinda, rasanya Dinda tak kuat lagi sekarang... huhuhu" isak tangis Dinda makin menjadi."Tunggulah," ujar Hasan mematikan telpon tanpa mengucapkan salam.Hasan segera mengambil kunci mobil dan bergegas pulang."Her aku izin keluar sebentar ya, jika ada yang mencariku katakan suruh tunggu sa
“Apa maksud ini semua Dek?” tanya Hasan sambil menyerahkan kertas bukti struk pembelanjaan. “Kau lebih peduli pada struk itu Mas dari pada keadaan Istrimu sendiri?” tatap Dinda setengah tak percaya mendapati suaminya melakukan hal ini. Dinda pikir Hasan datang akan menenangkannya. Sebelumnya Dinda begitu bangga saat Hasan membela dirinya di hadapan ibu- ibu geng mertua. Lagi dia ternyata terlalu berharap pada Hasan. “Bukan itu maksudku,” Hasan menoleh sekelilingnya. Semua mata ibu- ibu menuju ke arahnya dan Dinda. Tak baik rasanya jika menanyakan masalah keuangan saat ini. “Maafkan aku, mari kita keluar dan menyelesaikan semuanya Dek! Agar tak ada kesalapahaman lagi, tenanglah Mas akan berada di posisimu selama kau benar,” ucap Hasan menenangkan perasaan Dinda. Dinda mengangguk patuh. Dia keluar dengan mengandeng lengan suaminya. Bukan untuk memamerkan kemesraan tetapi mencari sumber kekuatan. “Baiklah Ibu- ibu mari kita duduk dulu,” perintah Hasan. Mereka semua duduk melingkar
"Oh, itu ini, em Mas uang Dinda," jawab Dinda dengan gugup dan terbata- bata."Iya Mas Hasan tahu Dek itu uangmu, tapi yang Mas Hasan pertanyaka dari mana Dinda mendapatkan uang itu?" tanya Hasan sekali lagi."Kan dari jatah bulanan yang Mas Hasan berikan selama ini," ujar Dinda."Dek, Mas bukanlah orang yang kaya sehingga mampu memberikanmu uang puluhan juta dalam satu bulan, Mas hanya bisa memberikanmu uang satu juta rupiah perbulan, kita menikah baru dua bulan itu artinya hanya dua juta rupiah, di tambah dua ratus ribu yang Mas berikan tadi pagi totalnya jadi dua juta dua ratus ribu rupiah, sedangkan nota belanjamu berapa Dek? Empat juta tujuh ratus ribu Dek," kata Hasan.Dia menghela nafas panjang."Dek Mas hanya ingin kejujuranmu," sambung Hasan."Jangan takut Mas, uang itu halal, selama ini Dinda bekerja, maafkan Dinda yang tak jujur pada Mas Hasan," jawab Dinda sambil menunduk."Kerja? Kau kerja apa Dek?" Hasan bingung selama ini Dinda selalu di rumah tak pernah keluar tanpa i
"Tenanglah aku pernah ada di posisimu, kita sama- sama menantu di keluarga ini," kata Eva.Dinda menatap iparnya dengan pandangan heran."Makan dengan lauk sisa, hanya Ifah dan suami yang makan lauk enak, selalu di katakan benalu, mandul, pemalas, benar bukan? Ibarat makan aku sudah terlalu kenyang mengalami hal itu," ucap Eva agar Dinda yakin."Stttt! Belum selesai ketika teman- teman gengnya berkumpul selalu menjadi mertua terbaik, memperlakukan menantu spesial, dan lagi kita adalah menantu durhaka! Hahaha," tawa Eva membahana.'Prok... Prok...' Dinda bertepuk tangan."Hebat banget Mbak Eva bisa tahu, apakah ini artinya kita akan jadi Bestie?" tanya Dinda."Tentu, aku lima tahun hidup dengan Ibu Nafis mertuamu itu," ucap Eva."Mbak tolong! Please, mertuaku itu juga mertuamu," sanggah Dinda."Hahahaha, kalau bisa kau ambil aja! Pengen ku tukar tambah mertua tapi anaknya baik, gimana dong?" Kata Eva sambil menutup bagasi mobil tua milik Hasan yang selama ini di pinjamnya."Sudah nanti
"Aku... Aku tak merasa mengatakan sesuatu Mas," jawab Dinda tergagap."Yakin? Jangan samapi penialaian Mas Zain terhadapmu berubah ya!" ancam Zain.Dinda mengangguk pelan. Untung Eva datang dari belakang sambil membawa ember air dan kain pel. Dia heran mengapa suaminya duduk berhadapan dengan Dinda. Dia yakin pasti ada sesuatu yang tak beres."Ada apa ini? Masih sore lo masak iya sudah mau mengadakan acara rapat musyawarah mufakat?" ledek Eva."Bukan begitu Mi, ini lo Ibu di kamar nangis- nangis bercerita jika Dinda mengoloknya dengan kata- kata yang tak pantas lah pokoknya di sebutkan," jawab Zain.Eva melanjutkan kegiatannya mengepel lantai. Sedangkan Dinda hanya mampu duduk terdiam memandang ke lantai bawah."Halah sampean (kamu) itu kayak ndak hapal sama kelakuan Ibumu to Bi, bukannya apa- apa kalau seperti ini Abi yang salah! Dinda ini baru dalam keluarga sini, wajar kalau salah! Tapi Abi tak berhak langsung menghakiminya layaknya tersangka begitu, bagaimanapun Abi harus mengharg
"Iya Bu!" teriak Dinda kencang dan berlari.Dinda tergopoh- gopoh berlari meninggalkan cucian piring kotornya yang belum selesai di cuci. Dia seger berlari ke arah suara itu."Ada apa Bu?" tanya Dinda.Tak lama Mbak Eva juga keluar dari kamar dengan menggunakan jilbab yang asal- asalan terkejut dengan teriakan Ibu mertuanya."Kau itu benar- benar ya Din! Bodoh ndak ketulungan! Mengapa kau tak sesekali menggunakan otakmu agar bermanfaat!" teriak bu Nafis.Dinda masih plonga- plongo, dia tak mengetahui apa kesalahan yang telah dia perbuat. Dia memandang sekeliling ruang tamu masih rapi."Lolak lolok (tampang bodoh) kau masih tak mengerti apa salahmu?" bentak bu Nafis.Dinda menggelengkan kepalanya."Bodoh!" hardik bu Nafis."Astagfirulloh Bu! Mbok Njenengan nyebut (kamu istigfar), ada Fikri cucu Ibu lo, kok bahasanya seperti itu, tak baik! Bagaimana kalau Fikri menirukan ucapan Ibu?" tegur Eva.Fikri yang berdiri di depan Uti (panggilan untuk nenek singkatan dari Eyang Putri) hanya diam
"Eh... Oh! Hay!" kata Eva tergagap."Mbak Eva kenal dia?" tanya Dinda.Eva mengedipkan matanya perlahan memberikan kode pada Dinda."Ini Fikri ya Mbak?" tanya wanita itu."Eh, iya!" jawab Eva."Sudah besar ya! Hallo adek Fikri ingat sama Tante ndak? Dulu saat kau kecil Tante sering lo mengajakmu main, gendong kamu, duh gembulnya sekarang," wanita itu mengajak Fikri berinteraksi."No no! No no!" jerit Fikri."Maaf Nan, anaknya tak mau! Dia sedang rewel karena mengantuk jadi jangan di paksa" tegur Eva."Oh iya Mbak, mungkin dia sudah lupa kalik ya Mbak, karena kita tak bertemu lama, oh iya Ibu mana? Kemarin Ibu mengundangku untuk makan malam di sini, katanya syukuran kecil- kecilan sekalian karena beliau ulang tahun," ujar wanita itu."Oh beliau di dalam kamar sepertinya! Masuk dulu," perintah Mbak Eva.Dinda hanya diam berdiri mematung, keberadaannya sepertinya tak di anggap dan terlupakan. Wanita itu masuk ke dalam rumah tanpa peduli dengan Dinda."Mbak, siapa sih dia?" tanya Dinda me
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."