PERKARA PERGI TANPA IZIN SUAMI"Apakah ini ada kaitannya dengan Ibu?" tanya Hasan memandang Ibunya dengan tatapan penuh curiga."Astagfirulloh, San! Mengapa kau menuduh Ibu seperti itu? Betapa tega nya kamu dengan Ibu kandungmu! Kau sampai hati berkata seperti itu ya, San?" kata Bu Nafis berpura pura sedih sambil meninggalkan putranya itu pergi masuk kamar.Dia takut berhadapan lama-lama dengan Hasan dan terungkap semua perbuatannya. Hasan pun mengusap hanya bisa mengusap rambutnya dengan kasar. Dia berkali-kali menelpon Dinda, namun masih saja tidak bisa tersambung. Akhirnya Hasan pun merebahkan dirinya di kasur."Kau ke mana sih, Dek? Pergi dari rumah tanpa pamit! Maafkan aku ya, Dek! Membuatmu kecewa berkali- kali," gumam Hasan dalam hati.Sedangkan di sisi lain, ini pertama kalinya bagi Dinda merasakan kebebasan setelah hampir enam bulan menikah dengan Hasan. Dia bisa tertidur nyenyak tanpa gangguan dari mertuanya ataupun suaminya sendiri. Hatinya terasa lapang sekali sampai dia b
IZIN PERGI KE KEDIRI"Bahkan di katakan kalau seorang perempuan rumah tanpa suami tidak izin dengan suaminya malaikat di langit dan di bumi semua mengutuk perempuan tadi sampai dia pulang-pulang ke rumah dan meminta maaf suaminya meski dia membela diri," sambung Mama Dinda."Tapi, Mah!" sanggah Papa Dinda."Tak ada tapi- tapia, Pa! Ini sudah menjadi hukum Allah SWT! Bagaimana jika posisinya di balik, Papa yang ada di posisi Hasan. Mama tak membela Hasan, namun kita bicara masalah agama," ucap Mama Dinda tegas."Lalu apa yang harus kita lakukan, Mah?" tanya Dinda. Jujur saja dia juga tak ingin kembali ke rumah Hasan karena takut Hasan marah. Apalagi Bu Nafis, tentu akan murka melihat Dinda tak pulang dan tanpa kabar. Tak hanya itu, Dinda juga tak ingin kalau mendengar penjelasan dan pembelaan Hasan lagi. Rasanya dia sudah cukup muak dengan suaminya."Kau masih ingin di Madiun, Nduk?" tanya Mama Dinda bijak."Andai Dinda boleh memilih, maka Dinda tak ingin di Madiun, Ma! Dinda ingin iku
MENTAL ISTRI DI HANCURKAN!"Izinkan aku untuk ikut kedua orang tuaku pulang sekejap saja ke Kediri. Aku hanya ingin menenangkan diri, Mas," jelas Dinda."Dek! Bukannya Mas tak mengizinkan namun Mas ingin kau di sini dulu! Kita selesaikan semua dengan kepala dingin," jelas Hasan."Termasuk masalah wanita itu dan selingkuhanmu, Mas?" ejek Dinda."Selingkuhan?" tanya Pak Bukhori kaget.Dinda pun memutar suara di HP nya, rekaman pembicaraan Bu Nafis dan Mas Zain. Hasan terkejut Dinda melakukan hal itu. Bukannya apa- apa namun Dinda melakukan itu di hadapan orang tuanya. Tentulah nama baik dan citra Hasan di pertaruhkan dalam hal ini. Dia tak ingin mertuanya salah paham namun dia juga tak kuasa lagi melihat Dinda mengeluarkan bukti yang sangat jelas dan tegas bahkan tak bisa di bantah. "Kenapa kau lakukan itu Hasan? Hah? Kalau memang kau tak suka pada anakku, bukankah lebih baik kau pulangkan saja? Kenapa kau masih mencegahnya pulang jika kau menduakannya? Apa maumu?" tanya Pak Bukhari me
SAAT ISTRI MULAI DIAM!"Aku akan beristiqoroh dulu beberapa hari untuk memutuskan nasib rumah tanggaku ke depannya," batin Dinda dalam hati."Bahtera kapalku yang mulai terombang-ambing di usia pernikahan yang belum genap setahun, haruskah aku pertahankan semua ini atau aku harus menyerah sekarang juga pilihan mana yang bisa ku ambil?"Setelah puas menulis surat itu, Dinda pun segera pergi. Dia mengemasi beberapa pakaian yang sengaja ingin di bawanya. Kemudian dia berpamitan kepada Hasan, bagaimanapun juga dia tak ingin meninggalkan rumah dalam keadaan saling emosi. Karena dia tak menganggap ada pertengkaran dengan Hasan."Dinda pamit dulu, Mas," kata Dinda sambil mengulurkan tangan memintah tangan Hasan untuk di salami dan menciumnya penuh takdzim. "Dek, kau akan kembali kan?" tanya Hasan.Alaih- alih menjawab justru Dinda hanya mampu tersenyum dengan sejuta arti. Hati Dinda sudah lelah. Dia memilih diam dan berpasrah pada Tuhan. Biarlah Tuhan yang membawa mereka ke mana, Dinda juga
MAKNA HIDUP BERUMAH TANGGA!"Maafkan aku, Dek! Maafkan! Kembalilah padaku," pekik Hasan lirih menjerit keras dalam hatinya.Hasan segera mengambil ponselnya untuk merayu Dinda. Tak mungkin dia menelpon Dinda karena sadar saat ini Dinda tentulah masih dalam mobil bersama orang tuanya. Hasan memutuskan untuk mengirim pesan saja pada istrinya itu.Sedangkan di sisi lain Dinda pun juga menjatuhkan air matanya di pipi berkali-kali. Dia mengusapi dengan tangannya. Kedua orang tuanya mengetahui hal itu, tapi membiarkannya memuaskan diri menangis. Memberi sedikit dan ruang bagi putrinya itu. Biarlah luka itu Dinda rasakan sekarang, biarlah dia membawa pergi luka itu rasa kecewa dan semua sakit hatinya, biarlah dia menangis hari ini tetapi besok tak akan pernah lagi ada air mata pikir kedua orang tua Dinda."Sudahlah, Nduk! Kau harus banyak bersyukur diantara pedihnya musibah yang sedang menimpa rumah tanggamu. Eh kok Alhamdulillah Hasan mengizinkanmu pulang ke rumah orang tuamu," jelas Pak Bu
TENTANG OPERASI BARIATRIK!Dinda pun bingung harus menjawab apa pesan dari suaminya. Dia memutuskan untuk sementara diam saja. Dia takut terlalu banyak berharap pada suaminya bukan karena apa-apa dia sudah membuktikan sendiri bagaimana saat suaminya itu emosi dia dengan mudah mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan semuanya dan efek jangka panjangnya. Hal itu uang sebenarnya membuat Dinda semakin ragu kepada suaminya sendiri.Mobil itu pun melaju meninggalkan kota Madiun berjalan terus ke Kediri. Sesampainya di rumah orang tua Dinda. Dia pun segera merebahkan badanya di kasur kamar miliknya. Kamar yang telah membersamai nya sejak lama. Dia ingin istirahat malam ini lelah sekali rasanya hatinya merasakan semuanya. Dinda dan Hasan sama-sama saling memandang atap kamar masing-masing mencari jawaban atas segala permasalahan rumah tangganya ini."Ya Allah aku berpasrah semua padamu," batin Dinda dalam hati sambil memejamkan matanya.Keesokan harinya Dinda bangun dengan lebih segar lagi.
MENIKAH TAK SEINDAH ITU!"Dinda," panggil Devi."Ya?" tanya Dinda."Kenapa kau tak bersyukur seperti ini? Apa yang membuatmu berubah padahal pernikahamu belum ada setahun. Ada apa Dinda?" tanya Devi."Menikah ternyata tak seindah itu, Dev," kata Dinda dengan nada sura bergetar. Devi menghela nafasnya panjang. Dia tahu ke mana arah pembicaraan sahabatnya itu. Devi pun pernah mengalami kegagalan dalam rumah tangga karena satu atap dengan mertua dan sisi egosinya masih sangat tinggi.Dia pernah berpikir bahwa setelah bercerai dengan suaminya akan merasa bahagia, nyatanya tidak. Entah apa yang di pikirkannya dulu, alih- alih memperbaiki rumah tangga justru Devi memilih loncat dari dari bahtera itu. Dia pikir setelah loncat hidupnya bebas, karena kebetulan juga belum memiliki anak. Tapi kenyataan status janda itu tak mudah di sorotnya."Din, percaya atau tidak? Setelah menikah itu pasti akan menemukan satu titik, kehidupan yang rasanya ingin lari dari pernikahan itu. Hati sedih, susah, ge
TENTANG STATUS JANDA"Kenapa Bibi menanyakan itu padaku?" tanya Dinda heran. Apakah sejelas itu raut wajahnya sehingga orang pun bisa menebak jika dia sedang dalam masalah."Bibi itu bekerja di sini sudah dari Non kecil! Tentu tahu bagaimana sikap dan sifat, Non Dinda! Bahkan hanya melihat wajah Non saja, Bibi sudah tahu jika Non ada dalam masalah. Memang Non sedang dalam masalah apa toh? Bisa bercerita dengan Bibi?" tanya Bik Sumi lagi."Tidak kok, Bi! Dinda tak ada masalah, Bibi jangan khawatir," ujar Dinda mencoba untuk menutup aib dalam rumah tangganya. Meskipun Bik Sumi sudah bekerja padanya lama, dia tak ingin masalah pribadi nya terekspos juga."Menjadi janda itu tak enak, Non! Percayalah pada Bibi," ujar Bik Sumi yang memang telah menjanda selama tiga puluh tahun lebih."Semua orang tentu menghadapi masalah dalam hidupnya, termasuk juga pasangan suami istri. Masalah dalam rumah tangga memang tidak semuanya sama, namun masalah tersebut terkadang membuat kedua belah pihak merasa